Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

RASIONALISME, SILOGISME DAN LOGIKA


DEDUKTIF
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat dan teori Model
Keperawatan
Dosen Pembimbing : Wahyudin, S.Kep.,M.Kes

Disusun oleh:

Aam Abdul Muhyan KHGC20015


Akbar Mantopani KHGC20148
Fitria Nursinta KHGC20097
Nandi Najarudin KHGC20098
Rafi Ramadhan KHGC10103
Riana Monica Amanda Dewi KHGC20094
Sindi Novitasari KHGC20139
Yana Saepurohman KHGC20135
Yulianti Kusuma Azhar KHGC20142
Yeliani Rachmi fauzi KHGC20151

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN (NON REGULER )


STIKES KARSA HUSADA GARUT
TAHUN AKADEMIK 2020/202
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Filsafat dan
Teori Model Keperawatan yang berjudul “RASIONALISME, SILOGISME
DAN LOGIKA DEDUKTIF” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Pelayanan Kesehatan Primer. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “RASIONALISME,
SILOGISME DAN LOGIKA DEDUKTIF” bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Garut, 24 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar .............................................................................................i

Daftar isi .......................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan.......................................................................................1

A. Latar belakang ...................................................................................1


B. Rumusan masalah ..............................................................................2
C. Tujuan pembuatan .............................................................................2
Bab II pembahasan ......................................................................................3

A. Pengertian Rasionalisme.....................................................................3
B. Rasionalisme dalam berbagai Aspek..................................................5
C. Pemikiran Para Tokoh Filsafat Rasionalisme....................................7
D. Pengertian Silogisme.......................................................................14
E. Struktur Silogisme............................................................................14
F. Macam-macam Silogisme................................................................15
G. Bentuk-bentuk Silogisme..................................................................20
H. Pengertian Logika Deduktif.............................................................21
I. Ciri-ciri Logika Deduktif..................................................................22

Bab III Penutup .........................................................................................24

A. Kesimpulan.......................................................................................24

Daftar Pustaka

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab


beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-
dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya
antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan
erat dengan epistemologi dan ontologi.
Epistemilogis merupakan cara untuk mendapatkan Obyek dari
Ontologis yaitu Obyek yang diketahui yang kemudian diaplikan dengan
Aksiologis dengan cara apa dan untuk dijadikan apa obyek yang sudah
diketahui atau sebagai pertimbangan Moral. Didalam filsafat ilmu tidak hanya
membahas perihal sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, tetapi juga
mempelajari hubungan filsafat dengan ilmu alam, ilmu sosial dan logika.
Logika adalah Kaidah-kaidah atau aturan-aturan berfikir baik dan
benar, hubungan filsafat dengan logika sendiri adalah mempelajari sesuatu
yang ada dan yang mungkin ada. Bedahannya dengan filsafat, Logika
diletakan atau ditemukan oleh Aristoteles yaitu murid dari Socrates peletak
dasar filsafat, Aristoteles adalah murid dari plato, plato sendiri merupakan
murid dari Socrates. Aristoteles meluruskan dan menyempurnakan sekaligus
menggugurkan teori gurunya Plato  yaitu “segala sesutu itu ada, tetapi hanya
ada dialam hakikat bukan di alam materi walaupun ada itu hanyalah bayangan
dari alam hakikat” kemudian digugurkan oleh Aristoteles dengan teori
“Segala sesuatu itu ada baik dialam hakikat maupun dialam materi” oleh
karenya lah muncul logika.
Subjek filsafat adalah manusia dan objeknya adalah alam semesta
beserta isinya, berbeda dengan logika, logika memiliki subjek Konsep dan
Proposisi, proposisi adalah pernyataan yang tersusun secara sistematis dan
dinyatakan kebenarannya, Konsep adalah ide atau pengertian yang

1
diabstrakkan dari peristiwa konkret. Sedangkan Objek logika adalah Definisi
dan Argumentasi, Definisi adalah menjelaskan sesuatu yang belum jelas,
Argumentasi adalah alasan untuk memperkuat dan menolak suatu pendapat,
pendirian, atau gagasan.
Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti:
apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah,
bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan,
memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara
menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan
metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk
mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap
masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri

B. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan
yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Rasionalisme?
2. Bagaimana Rasionalisme dalam berbagai Aspek?
3. Siapa saja Tokoh Filsafat Rasionalisme?
4. Apa yang dimaksud dengan Silogisme?
5. Bagaiaman Struktur Silogisme?
6. Apa saja Macam-macam Silogisme?.
7. Bagaimana Bentuk-bentuk Silogisme ?
8. Apa ayang dimaksud dengan Logika Deduktif?
9. Apa Ciri-ciri Logika Deduktif?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari
makalah ini adalah untuk mengetahui Apa itu logika, hubungannya dengan
bahasa, dalam kalimat pernyataan dan menarik kesimpulan dari kalimat-
kalimat pernyataan tersebut, sehingga memperoleh hakikat kebenaran

2
sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun
metafisika (hakikat keaslian)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal
(reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut
aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir. Para
tokoh aliran rasionalisme, di antaranya adalah Descartase (1596-1650 M),
Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716 M). Adapun alat berfikir
adalah kaidah-kaidah yang logis. Zaman modern dalam sejarah filsafat
biasanya dimulai oleh filsafat Descartes, istilah modern di sini hanya
digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang
amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad
pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang di maksud di sini
ialah di anutnya kembali rasionalisme seperti pada masa kuno. Gagasan
itu, di sertai oleh argument yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh
karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga di sebut bercorak
renaissance. Pada masa ini, rasionalisme Yunani lahir kembali, sebagai
objek kajian yang harus dan menarik untuk di amati. para filosof merdeka
terhadap kebebasan berfikirnya, zaman ini memberi pintu lebar-lebar
kepada siapapun, bukan hanya kepada filosof, tetapi bagi semua orang
yang mau mencurahkan pandangan dan pendapatnya atau kepada siapa
pun yang mau berfilsafat.
Anggapan Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern, menurut
Bertrand Russel, memang benar. Kata bapak diberikan kepada Descartes
karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat
yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang di hasilkan oleh pengtahuan

3
rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang
menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar
filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan
bukan yang lainnya.
Aliran filsafat rasionalisme memiliki pandangan, bahwa sumber
pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio).
Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal-lah yang memenuhi
syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang
dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya
dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah
diperoleh melalui akal. Menurut aliran ini, akal tidak memerlukan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal
dapat menurunkan kebenaran itu dari dirinya sendiri. Metode yang
diterapkan oleh para filsuf rasionalisme ialah metode deduktif, seperti
yang berlaku pada ilmu pasti.
Pendapat di atas didukung pula oleh Muhadjir bahwa Rasionalisme pada
dasarnya kontras terhadap empirisme. Kebenaran substantif dalam visi
rasionalisme diperoleh lewat kekuatan argumentasi rasio manusia. Kontras
dengan kebenaran subtantif dan visi empirisme yang diperoleh lewat
mengalaman empirik. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa keseluruhan struktur
ilmu dalam rasionalisme dibangun dalam sistem deduktif. Mengingat
daratan ilmu berada pada yang phisik, yang intersenden, maka para
rasionalispun mendudukkan pengembangan ilmu pada yang intrasenden.
Karena itu pembuktian kebenaran berada pada dataran tesebut.
Secara ringkas dapatlah dikemukakan beberapa hal pokok yang merupakan
ciri dari filsafat rasionalisme yang diungapkan oleh Franz Magnis dan
Suseno adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan terhadap kekuatan akal budi
Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti secara rasional. Suatu
pernyataan hanya boleh diterima  sebagai benar, dan sebuah claim hanya
dapat dianggap sah, apabila dapat dipertanggujawabkan secara rasional.

4
’Rasional’ itu mempunyai komponen negatif dalam arti: berdasarkan
tuntutan rasionalitas itu ditolak, pendasaran-pendasaran, pernyataan-
pernyataan dan claim-claim yang dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dasar-dasar yang tidak rasional yang dimaksud adalah tradisi, wewenang
tradisional, otoritas dan dogma. Jadi rasionalisme merupakan semacam
pemberontakan terhadap otoritas-otoritas tradisional. Tidak cukup untuk
mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang pihak yang menuntut,
melainkan isi tuntutan itu sendiri harus dapat dipertanggungjawabkan,
diperlihatkan sebagai hal yang masuk akal. Rasional secara hakiki bersifat
anti tradisional.
Maka abad ke-17 dan ke-18 diberinama aufklarung atau pencerahan,
dimana mereka telah mengatasi masa-masa manusia yang diliputi
kegelapan tradisi dan dogma, kegelapan karena tunduk dan percaya tanpa
mengerti. Paham Aufkarung itu mencerminkan kepercayaan akan
kemajuan dan optimisme polos bahwa umat manusia semakin maju ke
arah rasionalitas dan kesempurnaan moral.
2. Penolakan terhadap Tradisi, Dogma dan Otoritas
Penolakan tersebut mempunyai dampak pada segala bidang pengetahuan,
dan juga kehidupan masyarakat.
B. Rasionalisme dalam berbagai Aspek
1. Dalam Bidang Sosial Politik
Rasionalisme menuntut kepemimpinan rasional. Dalam rangka itu
dipergunakan teori perjanjian negara yang mengatakan bahwa negara
berasal dari perjanjian antara individu-individu bebas. Akibat dari paham
itu ialah bahwa negara berada dibawah para warga nrgara dan tidak
sebaliknya, bahwa kekuasaan secara hakiki terbatas dan bahwa negara
harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu yaitu fungsi-fungsi yang mau
dipenuhi waktu manusia menciptakan negara. Paham dasar itu terungkap
dalam tuntutan bahwa negara harus diselenggarakan berdasarkan sebuah
konstitusi, dan konstitusi itu harus menjamin hak-hak dasar manusia dan

5
warga negara, dan bahwa hak untuk membuat undang-undang harus
berada dibawah kontrol demokratis.
2. Dalam Bidang Agama
Yaitu dogma-dogma. Ialah ajaran agama tentang apa yang harus
dipercayai supaya seseorang dapat dianggap orang kristiani. Semula
protestantisme mendasarkan pada dogma-dogma atas kitab suci. Tetapi
kemudia kitab suci sendiri dipertanyakan secara kritis dengan metode-
metode kritik literer, sejarah dan hermeneutika.
3. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dapat dikatakan bahwa abad ke-16 dan ke-17 menyaksikan
kelahiran ilmu-ilmu modern. Sampai abad ini ilmu-ilmu alam dijalankan
secara dogmatis, dalam arti bahwa dalil-dalilnya didasarkan pada ahli
yunani kuno. Terutama Aristoteles, Ptolemeaus dan lain-lain. Tentu saja
ilmu pengetahuan semacam itu mandul. Rasionalisme menolak bahwa
tradisi dapat merupakan dasar bagi ilmu-ilmu pengetahuan.
4. Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan yang
jelas menunjukkan ciri-ciri kemoderenan.
Metode untuk mengacu pada otoritas-otoritas tradisonal diganti
dengan metode baru yang pada hakekatnya terdiri dari dua unsur: disatu
pihak pengamatan dan instrumen, dilain pihak deduksi menurut cara ilmu
ukur (more geometrico). Jadi bagaimana gerak-gerak benda alamiah,
perubahan-perubahan kimia mana yang akan terjadi apabila dua zat
dicampur dan dipanasi dan sebagainya, ingin diketahui melalui
pengamatan dan eksperimen dan hasil-hasilnya ditarik kesimpulan
menurut metode induksi.
5. Sekularisasi
Adalah suatu pandangan dasar  dan sikap hidup yang dengan tajam
membedakan antara Tuhan dan dunia dan menganggap dunia sebagai
sesuatu yang duniawi saja. Sekulerisasi menghilangkan unsur-unsur
keramat dan gaib dari dunia. Sekularisme jug diartikan sebagai sikap yang
menentang pengaruh agama atas kehidupan masyarakat. Sekularimse mau

6
menjadikan agama sama dengan pelbagai persatuan sosial dan kultural
masyarakat, tanpa pengaruh sama sekali atas kehidupan bangsa dan
negara. Sekularisme merupakan sikap anti agama. 
Ciri-ciri filsafat Rasional secara singkat juga dijelaskan oleh Mustansyir dan
Misnal Munir, sebagai berikut:
a. Adanya pendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang hakiki itu secara
langsung dapat diperoleh dengan menggunakan akal sebagai sarananya.
b. Adanya suatu penjabaran secara logik atau deduksi yang dimaksud untuk
memberikan pengertian seketat mungkin mengenai segi-segi lain dari
seluruh bidang pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai
kebenaran-kebenaran hakiki.

C. Pemikiran Para Tokoh Filsafat Rasionalisme


1. Rene Descartes (1596-1650)
Rene Descartes, adalah pendiri filsafat modern. Beberapa hal yang
pernah ia lakukan yakni: pertama, ia berusaha mencari satu-satunya
metode dalam seluruh cabang penyelidikan manusia; kedua, ia
memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang penelitian dan
konsep dalam filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam
perkembangan filsafat modern. Metode Descartes dimaksudkan bukan
saja sebagai metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat,
melainkan sebagai metode penelitian rasional mana saja, sebab akal
budi manusia selalu sama.
a. Metode  Rene Descartes
Metode Rene Descartes Segala sesuatu perlu di pelajari, tetapi
di perlukan metode yang tepat untuk mempelajarinya. Rene
Descartes  pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa
mempelajari filsafat membutuhkan metode tersendiri agar hasilnya
benar-benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya
itu, yaitu dengan menyaksikan segala-galanya atau menerapkan
metode keragu-raguan, artinya kesangsian atau keragu-raguan ini

7
harus meliputi seluruh pengetahuan yang di miliki, temasuk juga
kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap sudah final dan
pasti. Kebenaran itu harus dialami sehingga ia tidak dapat
diragukan lagi, dengan kata lain pengertian benar harus bisa
menjamin dirinya sendiri.
Descartes memulai metodenya dengan meragukan segala
macam pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja, yaitu bahwa
ia sedang melakukan  keragu-raguan. Maka ia sampai kepada
kebenaran yang tak terbantahkan, yakni: saya berpikir, jadi saya
ada (Cogito ergo sum). Pernyataan ini begitu kokoh dan
meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptik yang paling ekstrim
pun tidak akan mampu menggoyahkannya.
Bagi Descartes, pernyataan ”saya berpikir, jadi saya ada”
adalah terang dan jelas, segala sesuatu yang bersifat terang dan
jelas bagi akal pikiran manusia dapatlah dipakai sebagai dasar yang
tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk melakukan
penjabaran terhadap pernyataan-pernyataan yang lain. Segenap
ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-kepastian
yang tidak dapat diragukan lagi akan kebenarannya yang secara
langsung dilihat oleh akal pikiran manusia. Metode semacam ini
dinamakan juga metode ’apriori’. Dengan menggunakan metode
apriori ini kita seakan-akan sudah mengetahui segala gejala secara
pasti, meskipun kita belum mempunyai pengalaman indrawi
mengenai hal-hal yang kemudian tampak sebagai gejala-gejala itu.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran
melalui metode keragu-raguan. Karyanya berjudul A Discourse on
Methode mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal
berikut:
1) Kebenaran baru dinyatakan shahih jika telah benar-benar
indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas, sehingga tidak
ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.

8
2) Pecahkan lah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak-
banyaknya, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun
yang mampu merobohkannya.
3) Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari
hal yang sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara
bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4) Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit,
selamanya harus di buat perhitungan-perhitungan sempurna
serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh,
sehingga di peroleh keyakinan banwa tak ada satu pun yang
mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahah itu.
Rene Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas
dasar pancaindra. Pada dasarnya, ia bersikukuh bahwa semua yang
dilihatnya harus diragukan kebenarannya, dan setiap yang telah
terlihat jelas dan tegas harus dipilah-pilah hingga mendapat bagian-
bagian yang kecil. Atas dasar aturan-aturan itulah, Descartes
mengembangkan pikiran filosofisnya. Dia sendiri
meragukan apakah sekarang sedang berdiri menyaksikan realitas
yang tampak di matanya atau dia sedang tidur dan bermimpi.
Sebagaimana ia meragukan dirinya apakah sedang sadar atau
sedang gila. Keraguan Descartes sangat rasional, karena tidak ada
perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan
ketika terjaga, karena gambarannya sama. Sebagaimana seseorang
yang bermimpi bertemu kakeknya, kemudian ia benar-benar
bertemu dengan kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur
atau terjaga, tidaklah jelas karena hasilnya tidak ada bedanya.
Bahkan ketika seseorang pernah melihat kuda yang sedang terbang
dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua
kenyataan yang berbeda, karena kuda dan sayap semula tidak
bersatu, tetapi apa yang bisa di lihat bisa saja menjadi satu. Oleh
karena itu, keraguan terhadap semua yang dilihat sangat beralasan,

9
karena terlalu banyak tipu daya terhadap pembuktian kebenaran
hakiki.
Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa betapapun radikalnya
keragu-raguan Descartes ini, akhirnya ia pun mengakui bahwa di
sana, ada satu hal yang tak bisa di ragukan, biar setan licik atau jin
gundul yang berniat menipunya. Yang dimaksudkannya adalah
bahwa “aku yang sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku
sedang berfikir dan karena aku berfikir, aku ada” (cogito ergo
sum). Mengingat bahwa aku berfikir ini adalah sesuatu, dan
mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras dan
meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptic yang paling hebat
pun tidak akan menipu menumbangkannya, sampailah aku pada
keyakinan bahwa aku dapat menerimanya sebagai prinsip pertama
dari filsafat yang ku cari.
b. Ide-ide Bawaan Menurut Rene Descartes
Ide-ide Bawaan Descartes  Yang paling fundamental dalam
mencari kebenaran adalah senantiasa merujuk kepada prinsip
Cogito ergo sum. Hal tersebut di sebabkan oleh keyakinan bahwa
dalam diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Dalam diri
sendiri terdapat 3 ide bawaan sejak lahir, yaitu: (1) pemikiran, (2)
Allah, (3) keluasan.
1) Pemikiran. Sebab saya memahami diri saya sebagai
makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa
pemikiran merupakan hakikat saya.
2) Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena
saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab
sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi
penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain dari pada
Allah.

10
3) keluasan. Materi sebagai keluasan atau eksestensi
sebagaimana hal itu di lukiskan dan dipelajari aoleh ahli-
ahli ilmu ukur.
Substansi Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah, ada
dua substansi : pertama, jiwa yang hakikatnya adalah
pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan
tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar
aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan
keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk
menerima adanya dunia materil ialah bahwa Allah akan menipu
saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di
luar tidak ada satu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian,
keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan
menemui saya, artinya ada dunia materil lain yang keberadaannya
tidak diragukan, bahkan sempurna.
c. Manusia menurut Descartes
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas.
Manusia terdiri dari dua substansi : jiwa dan tubuh. Jiwa adalah
pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain
dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap subtansi
yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata
bahwa Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan
pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh.
Kritik atas Rasionalisme Descartes Fenomenologi jerman,
spiritualisme, positivism Bergsonisme dan bentuk-bentuk
katholikisme adalah cabang-cabang dari Cartianisme. Adapun
aliran-aliran lain, baik yang menyanggah, maupun yang tampil
untuk mendukungnya –sadar atau tidak-memperoleh inspirasi dari
problem-problem yang dipermasalahkan oleh Descartes, khususnya
mengenai dualism jiwa-badan, masalah rasio sebagai dasar
keyakinan dan kebenaran, serta masalah berada(exist). Pandangan

11
Rene Descartes tentang kebenaran berpusat pada “Aku” adalah
lahirkan kenisbaan, karena setiap orang memiliki keakuan masing-
masing akan memiliki hak untuk menyatakan kebenarannya,
alhasil, kenisbian akan beranak-pinak. Rasionalisme tidak lebih
dari upaya semua “Aku” untuk membuktikan kebenaran, tetapi
semua keakuan tidak berhasil menemukan titik semu alias terjebak
oleh dunia relativitas. Di sisi lain, rasio setiap “Aku” berbeda-beda
tingkat kecerdasannya, sedangkan Rene Descartes tidak
membedakan tingkat kecerdasan, karena setiap rasio memiliki
standar kebenaran sendiri-sendiri. Dengan demikian, kebenaran
tidak pernah sampai atau sampai pada yang selalu nisbi.
Penganut empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme,
karena telah menghinakan empirisme, sementara rasionalisme
meyakini bahwa kebenaran itu berpusat pada kepastian tentang
pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri sendiri adalah fungsi-
fungsi indrawi, yang berhubungan juga dengan empirisme. Dalam
kasus ini, Immanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena
semuanya menunjjukkan bahwa rasionalisme murni berpijak atas
dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah sehingga Cogito ergo
sum tidak lagi di anggap titik tolak yang memadai. Descartes
mencari suatu dasar bagi metode itu. Bagaimana saya bisa tahu
bahwa hal yang menampakkan dirinya dengan jelas pada mata
rohani ialah hal yang betul-betul terdapat dalam dunia luar,
bagaimana saya tahu bahwa itu bukan impian? Pertanyaan tersebut
sebagai awal penerapan paradigm keragu-raguan. Yang membuat
tidak ragu adalah kita sendiri. Lalu, mengapa munculnya keraguan
itu dari diri kita juga? Kritik demikian dilontarkan kepada
Descartes, sehingga rasionalismenya tetap tidak dapat dijadikan
paradigma universal dalam berfilsafat.
2. De Spinoza (1632-1677 M)

12
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada
tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan
diri dari agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de
Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam. Spinoza maupun
Leibniz mengikuti pemikiran Rene Descartes. Dua tokoh terakhir ini
juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika
mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes. Tiga
filosofis ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya di
kelompokkan ke dalam suatu mazhab, yaitu Rasionalisme.
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa
substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang
terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga
sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan deduksi
matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma,
proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian berdasarkan
definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene
Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada
pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan
adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan.
3. Leibniz (1646-1716 M)
Seorang filosuf Jerman, matematikawan, fisikawan,
dan  sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase,
pembantu pejabat tinggi nengara pusat. Dialah Gottfried Eilhelm von
Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun
1716 M. metafisikanya adalah idea tentang substansi yang di
kembangkanya dalam konsep monad.
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada
substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan
keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi

13
menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara
sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai
alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap
yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi ,
sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia
menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda dari
yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah pencipta monad-monad itu.
Karya Leibniz tentang ini di beri judul Monadology (study tentang
monad) yang di tulisnya pada tahun 1714 M. ini adalah singkatan
metafisika Leibniz.
D. Pengertian Silogisme
Silogisme adalah proses logis yang terdiri dari tiga bagian. Dua bagian
pertama merupakan premis-premis atau pangkal tolak penalaran (deduktif)
syllogistik. Sedangkan bagian ketiga merupakan perumusan hubungan yang
terdapat antara kedua bagian pertama melalui pertolongan term penengah (M).
bagian ketiga ini disebut juga kesimpulan yang berupa pengetahuan baru
(konsekuens). Dilihat dari bentuknya silogisme adalah contoh yang paling
tegas dalam cara berpikir deduktif yakni mengambil kesimpulan khusus dari
kesimpulan umum. Suatu premis adalah suatu pernyataan yang dirumuskan
sedemikian rupa sehingga pernyataan tadi menegaskan atau menolak bahwa
sesuatu itu benar atau tidak benar. Suatu premis dapat mengatakan suatu fakta,
suatu generalisasi, atau sekedar suatu asumsi atau sesuatu yang spesifik.
Contoh – contoh:
Maka ketetapan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran
premis mayor, kebenaran premis minor dan keabcahan pengambilan
kesimpulan.
E. Struktur Silogisme
Pada dasarnya silogisme mempunyai empat bagian:
1. Bagian pertama adalah keputusan pertama, yang biasanya disebut premis
mayor. Premis mempunyai arti kalimat yang dijadikan dasar penarikan
kesimpulan. Mayor artinya besar. Premis mayor artinya pangkal piker

14
yang mengandung term mayor dari silogisme itu, dimana nantinya akan
muncul menjadi predikat dalam konklusi (kesimpulan).
2. Bagian kedua adalah keputusan kedua, yang umumnya disebut dengan
premis minor. Premis minor artinya pangkal pikiran yang mengandung
term minor (kecil) dari silogisme itu, dimana nantinya akan muncul
menjadi subyek dalam konklusi
3. Bagian ketiga adalah bagian-bagian yang sama dalam dua keputusan
tersebut, yang biasanya disebut medium atau term menengah (middle
term), karena ia terdapat pada kedua premis (mayor dan minor), maka
bertindak sebagai penghubung (medium) antara keduanya, tetapi tidak
muncul dalam konklusi.
4. Bagian keempat adalah keputusan ketiga yang disebut konklusi atau
kesimpulan, adalah merupakan keputusan baru (dari dua keputusan
sebelumnya) yang mengatakan bahwa apa yang benar dalam mayor, juga
benar dalam term minor.
F. MACAM-MACAM SILOGISME
1. Silogisme kategoriS
Silogisme kategoris adalah struktur suatu deduksi berupa
suatu proses logis yang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing
bagiannya berupa pernyataan kategoris (pernyataan tanpa syarat). Bentuk
silogisme kategoris dapat membantu menunjukan jalan atau tahap-tahap
penalarannya. Misalnya seseorang ditanya, “Mengapa korupsi itu haram?”
maka akan dicari alasannya, kemudian berkata “karena korupsi adalah
mencuri”. Jika kemudian diberi bentuk logis, maka dapat diperoleh
silogisme berikut1[4]:
M=P
S=M
S=P

Mencuri itu haram


Korupsi adalah mencuri
1
Maka korupsi adalah haram

15
Keterangan:
S = Subyek; P = Predikat; M = Middle term.
→ korupsi adalah mencuri, dan mencuri termasuk hal-hal yang haram →
maka korupsi haram.
Kenapa hal tersebut perlu dirumuskan demikian? Karena perumusan
seperti itu dengan jelas memperlihatkan titik pangkal pemikiran, dan jalan
pikiran yang terkandung di dalamnya. Jika penalarannya baik, maka
silogisme dengan jelas memperlihatkan apa alasan-alasan atau dasar-
dasarnya.
Kebanyakan ucapan orang mengandung satu putusan atau
lebih yang tersembunyi dan menjadi titik pangkal suatu penalaran, tetapi
tidak disebutkan dengan jelas, bahkan sering kali tidak disadari oleh si
penalar (pemikir). Maka, untuk menganalisis suatu pemikiran, haruslah
kita:
·         Menjabarkan putusan-putusan menjadi bentuk S = P
·         Merumuskan putusan-putusan, dalil-dali, atau generalisasi-
generalisasi yang tersembunyi sehingga menjadi terlihat dengan jelas,
dalam bentuk silogisme.

Misalnya : “Poligami kita tolak karena merendahkan derajat


wanita”.
Kesimpulan : Poligami = kita tolak (S = P)
Alasannya : Poligami = merendahkan derajat wanita (M)
Silogismenya : Yang merendahka derajat wanita = kita tolak
(M = P)
Poligami = merendahkan derajat wanita…….(S =M)
Jadi poligami = kita tolak (S = P)

16
Untuk penjabaran pemikiran-pemikiran macam ini menjadi
silogisme diperlukan langkah-langkah berikut:
a) Tentukan dahulu kesimpulan yang dikemukakan, kesimpulan
biasanya tidak tersembunyi dan dinyatakan dalam kata-kata,
seperti: karena itu, maka dari itu, jadi, dan sebagainya.
b) Jika kesimpulan telah dirumuskan, maka dicari apa alasannya
yang dikemukakan (“karena”-nya). Alasan ini biasanya
menunjukan M.
c) Jika telah dimengerti S dan P (dari kesimpulan) serta M (dari
alasan) maka dapatlah disusun silogisme, (kesimpulan dulu) (S =
P), lalu minor (yang mengandung S dan M), lalu mayor. Mayor
ini merumuskan titik pangkal yang sebenarnya.
2. Silogisme hipotetis
Silogisme hipotetis adalah argument yang premis mayornya
berupa posisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalh proposisi kategorik
yang menetapkan atau mengingkari term antecedent atau term konsekuen
premis mayornya.
Pada silogisme hipotetis tida mempunyai premis mayor maupun
minor karena kita keahui premis mayor itu mengandung term predikat pada
konklusi, sedangkan premis minor itu mengandung term subyek pada
konklusi. Pada silogisme hipotetis term konklusi adalah term yang
kesemuanya dikandung oleh premis mayornya.
Karena premis pertama mengandung permasalahan yang lebih
umum, maka kita sebut premis mayor, bukan karena ia mengandung term
mayor. Kita menggunakan premis minor, bukan karena ia mengandung term
minor, tetapi lantaran memuat pernyataan yang lebih khusus.
Macam-macam silogisme hipotetis
a) Silogisme hipotetis yang premis minornya mengakui bagian
antecedent, seperti: ü  Jika hujan, saya naik becak
Sekarang hujan
Jadi saya naik becak

17
b) Silogisme hipotetis yang premis minornya mengakui bagian
konsekuen-nya, seperti:
ü  Bila hujan, bumi akan basah
Sekarang bumi telah basah
Jadi hujan telah turun
c) Silogisme hipotetis yang premis minornya mengingkari
antecedent, seperti:
ü  Jika politik pemerintahan dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, jadi
kegelisahan tidak akan timbul.
d) Silogisme hipotetis yang premis minornya mengingkari bagian
konsekuen-nya, seperti:
ü  Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah.
Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
3. Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya
keputusan disjungtif sedangkan premis minornya keputusan kategorika
yang mengakui atau mengingkari salah satu alternative yang disebut oleh
premis mayor. Seperti halnya silogisme hipotetis, istilah premis mayor dan
minor disini adalah secara analog, bukan penggunaan semestinya. Macam-
macam silogisme disjungtif:
a) Silogisme disjungtif dalam arti luas: premis mayornya mempunyai
alternative bukan kontradiktif, seperti:
 Hasan dirumah atau di pasar
 Ternyata tidak dirumah
 Jadi di pasar
b)   Silogisme disjungtif dalam arti sempit: mayornya mempunyai
alternative kontradiktif, seperti:
 Ia lulus atau tidak lulus.

18
 Ternyata ia lulus, jadi
 Ia bukan tidak lulus.
Silogisme disjungtif dalam arti sempit maupun arti luas mempunyai
dua tipe, yaitu:
1) Premis minornya mengingkari salah satu alternative, konklusi-
nya adalah mengakui alternative yang lain, seperti:
  Ia berada di luar atau di dalam
Ternyata tidak berada di luar
Jadi ia berada di dalam
2) Premis minor mengakui salah satu alternative, kesimpulannya
adalah mengingkari alternative yang lain, seperti:
Budi di masjid atau di sekolah
Ia berada di sekolah
Jadi ia tidak berada di masjid
4.  Dilema
Dilema adalah semacam pembuktian, yang didalamnya terdiri
dari dua atau lebih putusan disjungtif untuk ditarik kesimpulan yang sama
atau dibuktikan bahwa dari masing-masing kemungkinan harus ditarik
kesimpulan yang tidak dikehendaki. Dilemma merupakan suatu kombinasi
dari berbagai bentuk silogisme. Mayor terdiri dari sebuah putusan
disjungtif. Dalam minor diambil kesimpulan yang sama dari kedua
alternative.
Bagan dilemma: bentuknya bermacam-macam. Bentuk pokoknya sebagai
berikut2[8]:
A, atau tidak A.
Nah, kalau A, maka B.
Kalau tidak A, toh B
Jadi B.
Contoh3[9]:
2

19
Jika engkau berbuat adil manusia akan membencimu. Jika engkau berbuat
tidak adil dewa-dewa akan membencimu. Sedangkan kau harus bersikap
adil atau tidak adil. Berbuat adil atau pun tidak engkau akan dibenci.
G. Bentuk-bentuk Silogisme
Bentuk-bentuk silogisme dibedakan berdasarkan letak term penengah atau
mediumnya, yang terbagi menjadi empat diantaranya4[10]:
a. Bentuk I M---P
S ---M
S P
Term penengah (M) merupakan subjek di dalam premis mayor dan
menjadi predikat di dalam premis minor. Aturan yang harus dipatuhi:
premis minor harus berupa penegasan (afirmatif), sedangkan premis mayor
bersifat umum. (universal).
      Semua yang dilarang Tuhan mengandung bahaya
Mencuri adalah dilarang Tuhan
Jadi : mencuri adalah mengandung bahaya.
b. Bentuk II P---M
S---M
S P
Term penengah (M) menjadi predikat di dalam premis mayor dan premis
minor. Aturan yang harus dipatuhi; salah satu sebuah premis harus
negative, dan premis mayor bersifat umum (universal).
      Semua tumbuhan membutuhkan air.
Tidak satu pun benda mati membutuhkan air
Jadi : tidak satu pun benda mati adalah tumbuhan
c. Bentuk III M - - - P
M---S
S P

20
Term penengah menjadi subjek di premis mayor dan premis minor. Aturan
yang harus dipatuhi: premis minor harus berupa penegasan (afirmatif) dan
kesimpulannya bersifat particular.
      Semua politikus adalah pandai berbicara
Beberapa poltikus adalah sarjana
Jadi: sebagian sarjana adalah pandai berbicara

d.      Bentuk IV P---M


M---S
S P
Term penengah menjadi predikat pada premis mayor dan menjadi subyek
pada premis minor. Aturan yang harus dipatuhi: jika premis mayornya
afirmatif maka untuk premis minornya harus universal dan jika premis
minornya negative maka premis mayor harus universal.
      Semua pendidik adalah manusia
      Semua manusia akan mati
      Jadi: sebagian yang akan mati adalah pendidik

H. Logika Deduksi

Pengertian logika deduktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah


prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta
kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian yang diturunkan dari pangkal
pikiran yang jernih atau sehat’. Atau logika deduktif adalah ‘suatu ilmu yang
mempelajari asas-asas atau hokum-hukum dalam berfikirm hokum-hukum
tersebut harus ditaati supaya pola berfikirnya benar dan mencapai kebenaran’
(Sudiarja, dkk., 2006; Copi, I.M. 1978).

 Dalam kajian logika deduktif, secara umum macam-macam definisi


dibedakan menjadi tiga, yaitu:Definisi nominalis, yaitu ‘definisi yang

21
menjelaskan sebuah istilah’. Definisi nominalis dibedakan menjadi tiga,
yaitu: (1) definisi sinonim, yaitu penjelasan dengan memberi arti persamaan
dari istilah yang didefinisikan. Contoh: Valid adalah ‘sahih’; Sawah-ladang
adalah ‘lahan pertanian terbuka’, Universitas adalah lembaga pendidikan
tinggi tempat mendidik mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan sebagainya; (2) definisi simbolik, yaitu penjelasan dengan
memberikan persamaan dari istilah berbentuk simbol-simbol. Contoh, ( p =>
q ) = df – ( p Λ – q ), di baca, Jika p maka q, didefinisikan non (p dan non q);
dan (3) definisi etimologis, yaitu penjelasan istilah dengan memberikan
uraian asal usul istilah atau kata tersebut. Contoh. pengertian kata ‘filsafat’
berasal dari bahwa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan
‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan, dan sebagainya.

 Definisi realis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu atau hal yang ditandai
oleh suatu istilah’. Definisi realis dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) definisi
essensial, yaitu penjelasan dengan cara menguraikan bagian penting atau
mendasar tentang sesuatu hal yang didefinisikan. Contoh, definisi ‘manusia’,
adalah makhluk yang mempunyai unsur jasad, jiwa dan ruh; Definisi ‘nilai’,
adalah sesuatu yang diagungkan atau dijadikan pedoman hidup; (2) definisi
deskriptif, yaitu penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat atau ciri-ciri
yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan. Contoh, Bangsa Indonesia
adalah ‘bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi dan keadilan’, dan sebagainya.

 Definisi praktis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu istilah atau kata dari segi
manfaat dan tujuan yang hendak dicapai’. Contoh: (1) ‘filsafat’ adalah
‘pemikiran secara kritis, sistematis, rasional, logis, mendalam dan
menyeluruh untuk mencari hakikat kebenaran’; (2) ‘Universitas atau Institut’
adalah lembaga pendidikan tinggi untuk mendidik dan mencetak sarjana yang
berkualitas yang berguna bagi masyarakat’ (Mundiri, 1994; Maram.R.R.
2007).

22
I. Ciri-ciri dari logika deduktif adalah:
a. Analitis
Kesimpulan daya tarik hanya dengan menganalisa proposisi-proposisi atau
premis-premis yang sudah ada
b. Tautologies
Kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat sudah terkandung
dalam premis-premisnya
c. Apirori
Kesimpulan ditarik tanpa pengamatan indrawi atau operasi kampus.
d. Argument deduktif selalu dapat nilai sahih atau tidaknya.

Penyimpulan deduktif, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip atau


dalil atau kaidah atau hukum menuju contoh-contoh (kesimpulan dari umum
ke khusus). Contoh: (a) – Setiap agama mengakui adanya Tuhan; – Budiman
pemeluk agama Islam; – Jadi, Budiman mengakui (beriman) kepada Tuhan
Yang Esa; (b) – Universitas Gadjah Mada mempunyai beberapa fakultas dan
program studi; – Ani mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; –
Jadi, Ani mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Logika deduktif bisa berbahaya apabila salah dalam mengambil/menyusun


kesimpulan. Sebagai contoh:

1) Pasir adalah material dasar sungai (premis major)


2) Lempung adalah material dasar sungai (premis minor)
3) Lempung adalah pasir (kesimpulan)
4) Semua karyawan di PT. Anaconda mempunyai IQ tinggi (premis major)
5) Komar bukan karyawan di PT. Anaconda (premis minor)
6) Komar tidak ber-IQ tinggi (kesimpulan)

Kesalahan ini sering terjadi karena menganggap kata “adalah” selalu


berarti “sama dengan”. Perlu diingat bahwa kata “adalah” tidak selalu
berarti “sama dengan”.

23
BAB III
KESIMPULAN

3.1  Kesimpulan
Filsafat Ilmu adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.
Filsafat sangat dibutuhkan dalam membuktikan suatu aksiden atau
fenomena dan Subtansi karena dengan filsafat lah bisa terbukti sesuatu itu
ada atau mungkin ada, karena dengan akal lah bisa membuktikan suatu
substansi dan substansi itu terbentuknya dari filsafat.
Logika dan filsafat adalah suatu kajian yang sama-sama mengkaji
sesuatu, dengan logika kita tidah mudah menilai orang lain dan tidak mudah
terkontaminasi serta terpengaruh oleh teoti-teori yang tidak rasional, karena
logika dan filsafat membuktikan objeknya dengan rasional.
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam
sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan
fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti
dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati
alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat
untuk solusi tertentu, Dan untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika
berpikir dan logika bahasa.

24
DAFTAR PUSTAKA

Gaarder, Jostein. 2010. Dunia Sophie. Bandung: Mizan.


Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan

25

Anda mungkin juga menyukai