Anda di halaman 1dari 15

SEMINAR KASUS

NY.J DENGAN PPOK DI RUANG MELATI 2

RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Klinik

Stase Medikal Bedah

Dosen Pembimbing: Santi Damayanti, S.Kep.,Ns., M.Kep., Sp.KMB

Disusun Oleh : Kelompok 32

Ametkabal Kriswento Luturmas 22160042


Ariya Dhammayanti 22160089

PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) bukan satu penyakit tunggal namun
merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru-paru
kronis yang menyebabkan keterbatasan aliran udara di paru-paru. Istilah yang lebih
dikenal seperti 'bronkitis kronis' dan 'emphysema' tidak lagi digunakan, namun sekarang
termasuk dalam diagnosis PPOK. Gejala COPD/PPOK yang paling umum adalah sesak
napas, atau kebutuhan akan udara, produksi sputum berlebihan, dan batuk kronis. Namun,
PPOK bukan hanya sekedar "batuk perokok", tapi penyakit paru yang kurang terdiagnosis
dan mengancam jiwa yang dapat menyebabkan kematian secara progresif (WHO, 2015).
Penyakit paru obstruksi kronis adalah penyakit yang ditandai dengan pengurangan
aliran udara yang terus-menerus. Gejala COPD/PPOK semakin memburuk dan sesak
napas terus-menerus pada pengerahan tenaga, akhirnya menyebabkan sesak napas saat
istirahat. Ini cenderung kurang di diagnosis dan bisa mengancam nyawa. Istilah yang
lebih dikenal bronkitis kronis dan emphysema sering digunakan sebagai label untuk
kondisinya (WHO, 2015).
Riskesdas 2013 berhasil mengunjungi 11.986 blok sensus (BS) dari 12.000 BS
yang di targetkan (99,9%), 294.959 dari 300.000 RT (98,3%) dan 1.027.763 anggota RT
(93,0%). Data hasil riskesdas tersebut menempatkan Sulawesi Tenggara pada peringkat
10 dengan penderita penyakit PPOK sebesar 4,9% dari 33 provinsi di Indonesia
(Riskesdas, 2018).
Prevalensi PPOK berdasakan wawancara di Indonesia didapati 3,7 % per mil
dengan frekuensi yang lebih tinggi pada laki-laki, dari seluruh populasi daerah yang
terbanyak yaitu di Nusa Tenggara Timur (10,0%) (Riskesdas, 2018).
Pasien dengan PPOK mengalami penurunan kapasitas kualitas hidup, peningkatan
biaya hidup serta ketidakmampuan fisik. Pelayanan keperawatan yang optimal
merupakan tugas dan tanggung jawab perawat yang bertujuan untuk perbaikan dan
memaksimalkan kemampuan pasien PPOK dalam memenuhi kebutuhan dan aktivitas
yang mampu dilakukan. Perawat berperan dalam memberikan layanan asuhan
keperawatan baik secara 3 langsung maupun tidak langsung kepada pasien. Perawat
memperhatikan kebutuhan dasar pasien melalui pemberian asuhan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan. Dimulai dari pengkajian lalu menentukan diagnosa
keperawatan. Kemudian diimplementasikan sesuai dengan tindakan atau intervensi
dengan tujuan yang tepat sehingga dapat di evaluasi (Ratih, 2013).
Keluhan pasien dengan PPOK pada umumnya adalah batuk dan sesak nafas yang
semakin berat seiring dengan adanya aktifitas. Dalam kondisi ini perawat sangat
dibutuhkan oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan kenyamanan. Intervensi
keperawatan yang dilaksanakan pada pasien penyakit paru obstruksi kronis bertujuan
meningkatkan dan mempertahankan oksigenasi tercakup dalam domain keperawatan,
yaitu pemberian dan pemantauan intervensi serta program yang terapeutik. Tindakan
keperawatan mandiri yang dimaksud seperti perilaku peningkatan kesehatan dan upaya
pencegahan, pengaturan posisi fowler atau semifowler, teknik batuk efektif, dan
intervensi tidak mandiri, seperti pengisapan lendir (suction), fisioterapi dada, hidrasi, dan
inhalasi serta terapi oksigen (Soeharto, 2014).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melaporkan kasus penyakit dalam dan mampu menerapkan asuhan keperawatan
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang komprehensif pada penderita
PPOK di Rumah Sakit Pusat Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum dapat dibuat tujuan khusus sebagai berikut :
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis
b. Mendeskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pada pasien dengan kasus penyakit
paru obstruktif kronis
c. Mendeskripsikan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis di ruangan Melati 2 Rumah Sakit Pusat Soeradji Tirtonegoro Klaten.
d. Mendeskripsikan tindakan keperawatan pada pasien dengan kasus penyakit paru
obstruktif kronis
e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada pasien dengan kasus penyakit paru
obstruktif kronis
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)


1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau disebut juga dengan COPD
(Cronic Obstruktif Pulmonary Disease) adalah suatu penyakit yang bisa di cegah dan
diatasi yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, biasanya
bersifat progresif dan terkait dengan adanya proses inflamasi kronis saluran nafas
dan paru-paru terhadap gas atau partikel berbahaya (Ikawati, 2016). Kumar, dkk
tahun 2007 menjelaskan bahwa penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit
yang ditandai dengan berdasarkan uji fungsi paru terdapat bukti objektif hambatan
aliran udara yang menetap dan ireversibel. PPOK adalah suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di
tandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya (Smeltzer & Bare, 2013).
2. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menurut
(Oemiati, 2013) adalah:
a. Pajanan dari partiker antara lain:
1.) Merokok : Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan
obstruksi jalan napas kronik, ini berhubungan antara penurunan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya
merokok. Sedangan pada perokok pasif dapat mengalami kerusakan paru-
paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Indonesia
merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang memproduksi tembakau,
dan dari segi konsumen menempati posisi ke-5 di dunia dengan prevalensi
31,5% merokok, 80% mengkonsumsi rook kretek, dan lebih dari 60%
berada di daerah pedesaan. Asap rokok yang dihirup ke dalam paru-paru
oleh prokoknya disebut asap rokok utama (main stream smoke), sedangkan
asap rokok yang berasal dari ujung batang rokok yang terbakar disebut
asap rokok sampingan (side stream smoke). Polusi udara yang disebabkan
oleh asap rokok utama yang dihembuskan lagi oleh perokok dan asap
rokok sampingan disebut asap rokok lingkungan (ARL) atau
Enviromenttal Tobacco Smoke (ETS). 12 Kandungan bahan kimia pada
asap rokok sampingan ternyata lebih tinggi dibanding asap rokok utama,
antara lain karena tembakau terbakar pada temperature lebih rendah ketika
rokok sedang tidak dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap
dan mengeluarkan lebih banyak bahan kimia. Terdapat 4.000 zat kimia
berbahaya yang keluar melalui asap rokok, diantaranya : aseton (bahan
cat), ammonia (aki kendaraan), karbon monoksida (asap knalpot),
hydrogen sianida (gas beracun), arsen (racun).
2.) Polusi indoor : Manusia banyak menghabiskan waktunya di rumah apalagi
di jaman covid-19 sehingga harus tetap dirumah. Memasak dengan bahan
biomass dengan ventilasi dapur yang jelek.
3.) Polusi outdoor : Polusi udara mempunyai pengaruh yang buruk pada
VEP1. d) Polusi di tempat kerja : Debu-debu organik (debu sayuran dan
bakteri atau racun-racun darijamur), debu kapas.
b. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor resiko dari genetik
memeberikan kontribusi 1-3% pada pasien PPOK.
c. Riwayat infeksi saluran pernapasan berulang: infeksi saluran nafas akut
adalah yang melibatkan organ salurn pernapasan, hidung, sinus, faring, atau
laring. Infeksi saluran napas akut adalah penyakit terbanyak yang diderita
anak-anak yang akan memberi dampak kecacatan sampai pada usia dewasa,
dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
d. Gender
e. Usia
f. Konsumsi alkohol
g. Kurang aktivitas fisik
h. Alergi
(Oemiati, 2013).
3. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
1.) Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis,
produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri :
Normal
2.) Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau
tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 0 (tidak terganggu oleh sesak
saat berjalan cepat atau sedikit mendaki) sampai derajat sesak 1 Poltekkes
Kemenkes Padang (terganggu oleh sesak saat berjalan cepat atau sedikit
mendaki) . Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3.) Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau
tanpa produksi sputum, sesak napas derajat sesak 2 (jalan lebih lambat di
banding orang seumuran karna sesak saat berjalan biasa). Spirometri :
FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
4.) Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 (berhenti
untuk bernafas setelah berjalan 100 meter/setelah berjalan beberapa menit pada
ketinggian tetap) dan 4 (sesak saat aktifitas ringan seperti berjalan keluar
rumah dan berpakaian) Eksaserbasi lebih sering terjadi. Spirometri :
FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
5.) Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal
napas kronik disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% (Soeharto, 2014).
4. Manifestasi
Tanda gejala dari PPOK menurut Padila (2012) yaitu: Malfungsi kronis
pada sistem pernafasan yang awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan terdapat
dahak khususnya dipagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi
nafas pendek, sesak nafas akut, frekuensi nafas yang cepat, penggunaan otot bantu
pernafasan dan ekspirasi lebih lama daripada inspirasi. PPOK dapat
berkembang secara perlahan dan tidak menunjukkan gejala khusus. Gejalanya
akan muncul setelah bertahun-tahun, ketika sudah terjadi kerusakan yang
signifikan pada paru-paru. Berikut sejumlah gejala yang biasanya dialami oleh
penderita PPOK adalah:
a. Batuk yang tak kunjung sembuh, kadang disertai dengan dahak.
b. Napas tersengal-sengal/napas pendek, terutama saat melakukan aktivitas fisik.
c. Berat badan menurun
d. Nyeri dada
e. Mengi/wheezing.
f. Pembengkakan di tungkai dan kaki
g. Lemas.
(Padila, 2012)
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia, pemeriksaan penunjang yang
diperlukan dalam mendiagnosis PPOK antara lain:
a. Radiologi (foto thoraks)
b. Laboratorium darah rutin (untuk mengetahui timbulnya polisemia yang
menunjukkan terjadinya hipoksia kronik)
c. Analisa gas darah
d. Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotic bila terjadi
eksaserbasi)
e. Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif aanya
obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan
untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelahinspirasi
maksimal, atau disebut Forced vital capacity 14 (FVC). Spirometri juga harus
digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik
pertama saat melakukan manuver diatas, atau di sebut dengan Forced
Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Pengukuran ini juga sebagai
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit (Oemiati, 2013).
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko yang disertai
batuk kronik dan berdahak dengan adanya sesak napas terutama pada saat
beraktivitas apalagi pada seseorang yang berusia pertengahan atau lansia.
6. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) antara
lain untuk mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan
mencegah penurunan faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
Secara umum, penatalaksanaan PPOK meliputi terapi nonfarmakologis, terapi
farmakologis, dan terapi oksigen.
a. Terapi Farmakologi : terapi farmakologi yang bermanfaat untuk pasien PPOK
adalah golongan beta 2 agonis, golongan antikolonergik, golongan
methyxanthiens, kortikosteroid, mukolitik, dan antibiotic. Pemeberian terapi
dapat dilakukan dengan strategi dual inhaler ataupun triple inhaler.
b. Terapi Non-farmakologi : dapat dilakukan meliputi edukasi, rehabilitasi, dan
nutrisi.
c. Terapi Oksigen: Pemberian oksigen relative aman dan diketahui dapat
menurunkan angka mortalitas pada pasien PPOK berat. Para ahli
menyarankan pemberian terapi oksigen pada pasien dengan PaO2 < 55
mmHg. Pemberian oksigen melalui nasal kanul secara berkelanjutan
merupakan pemberian secara standar pada pasien hipoksemia yang stabil. 15
Pada pasien PPOK dengan gejala gagal napas harus dipertimbangkan untuk
penggunaan ventilator mekanik dan dengan pengawasan yang ketat di ruang
perawatan intensif.
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, nomor registrasi, diagnosa medis, dan tanggal.
2) Keluhan utama Keluhan utamam yang sering muncul adalah gejala sesak
napas atau peningkatan frekuensi napas. Secara umum perlu dikaji
tentang gambaran secara menyeluruh apakah pasien tampak takut,
mengalami sianosis, dan apakah pasien mengalami kesukaran dalam
bernapas. Perlu diperhatiakan juga apakah pasien berubah menjadi
sensitif dan cepat marah (iritability), tampak bingung (confusion) atau
mengantuk (somnolen). Yang tak kalah pentingnya yaitu kemampuan
orientasi pasien terhdap tempat dan waktu. Hal ini perlu diperhatikan
karena setiap gangguan pada fungsi paru sering direfeksikan dalam
bentuk perubahan status mental. Selain itu riwayat penyakit masa lalu,
riwayat penyakit keluarga, lingkungan serta kebiasaan.
3) Riwayat
a) Adanya faktor pencetus
b) Adanya manifestasi klinik
4) Airway
a) Adanya peningkatan sekresi pernapasan
b) Adanya bunyi suara napas tambahan ronki atau mengi
5) Breathing
a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipnea/bradipnea
retraksi
b) Menggunakan otot pernapasan
c) Kesulitan bernapas: lapar udara, diaphoresis, sianosis
6) Circulation
a) Penurunan curah jantung
b) Sakit kepala
c) Gangguan tingkat kesadaran 16
d) Papiledema
e) Penurunan haluan urine
7) Keadaan umum Kaji tentang kesadaran pasien, kecemasan pasien ,
kegelisahan pasien, kelemahan suara saat berbicara. Denyut nadi,
frekuensi napas yang meningkat, penggunaan otot bantu pernapsan,
sianosis.
a) B1 (Breathing) Inpeksi Kesulitan bernapas tampak dalam perubahan
irama dan freakuensi pernapasan. Keadaan normal frekuensi
pernapasan 16-20 x/menit dengan amplitude yang cukup besar. Jika
seseorang bernapas lambat dan dangkal, itu menunjukkan
adanyadepresi pusat penapasan. Penyakit paru sering menunjukkan
frekuensi pernapasan > 20 x/menit atau karena penyakit sistemik
seperti diabetes melitus. Palpasi Perawat harus memperhatikan
pelebaran ICS pada pasien. Perkusi Perkusi yang dilakukan dengan
seksama dan cermat dapat ditemukan adanya bagian yang redup
sampai daerah dengan nafas melemah yang disebabkan oleh
penebalan pleura, efusi pleura, yang cukup banyak, dan jipersonor
bila ditemukan pneumothoraks atau emfisema. Auskultasi Auskultasi
untuk menilai apakah adanya bunti nafas tambahan seperti wheezing
dan ronki serta untuk menentukan dengan tepat lokasi yang didapat
dari kelainan yang ada.
b) B2 (Blood) Monitor dampak PPOK pada status kardiovaskuler
meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
c) B3 (Brain) 17 Mengkaji perubahan status mental penting dilakukan
oleh perawat guna unntu mencari tahu gejala sekunder yang terjadi
akibat ganggun pertukaran gas. Diperlukan pemeriksaan GCS untuk
menentukan tingkat kesadaran.
d) B4 (Bladder) Pengukuran volume cairan urin perlu dilakukan karena
berkaitan dengan intake dan output cairan. Oleh karena itu, perlu
monitor adanya oliguria, karen hal tersebut merupakan tanda awal
dari syok.
e) B5 (Bowel) Pengkajian terhadap status nutrisi pasien meliputi
jumlah, frekuensi dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi.
f) B6 (Bone) Pengkajian ini guna melihat apakah pasien terdapat
edema ektremitas, tremor, tanda-tanda infeksi, turgor kulit,
kelembaban, pengelupasan atau bersisik pada dermis/integumen
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
BAB IV

PEMBAHASAN

Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit yang ditandai dengan berdasarkan uji
fungsi paru terdapat bukti objektif hambatan aliran udara yang menetap dan ireversibel.
Beberapa penyebab PPOK sendiri adalah kebiasaan merokok, terpapar polusi, genetik, riwayat
infeksi saluran pernafasan berulang, gender, usia, konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik dan
alergi (Oemiati, 2013). Hal ini sesuai dengan kasus Ny.J yaitu penyebab dari PPOK yang dialami
adalah sebagai perokok pasif yang mana suaminya adalah perokok aktif.

Beberapa manifestasi klinis yang dapat dialami pasien PPOK diantaranya batuk yang tak
kunjung sembuh, kadang disertai dengan dahak, napas tersengal-sengal/napas pendek, terutama
saat melakukan aktivitas fisik, berat badan menurun, nyeri dada, mengi/wheezing/lainnya,
pembengkakan di tungkai dan kaki, lemas (Padila, 2012). Beberapa tanda gejala di atas dialami
oleh Ny.J yaitu diantaranya batuk yang tak kunjung sembuh, kadang disertai dengan dahak,
napas tersengal-sengal/napas pendek, terutama saat melakukan aktivitas fisik, nyeri dada, suara
paru wheezing.

Penegakan diagnosa PPOK dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang


diantaranya radiologi (foto thoraks), laboratorium darah rutin (untuk mengetahui timbulnya
polisemia yang menunjukkan terjadinya hipoksia kronik), analisa gas darah, mikrobiologi
sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotic bila terjadi eksaserbasi) uji faal paru dengan
menggunakan spirometri. Pada kasus ini, telah dilakukan pemeriksaan penunjang diantaranya
foto thorax, analisa gas darah, mikrobiologi sputum dan uji faal paru.

Penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah Terapi Farmakologi : terapi farmakologi yang


bermanfaat untuk pasien PPOK adalah golongan beta 2 agonis, golongan antikolonergik,
golongan methyxanthiens, kortikosteroid, mukolitik, dan antibiotic. Pemeberian terapi dapat
dilakukan dengan strategi dual inhaler ataupun triple inhaler. Terapi Non-farmakologi dapat
dilakukan meliputi edukasi, rehabilitasi, dan nutrisi. Terapi Oksigen: Pemberian oksigen relative
aman dan diketahui dapat menurunkan angka mortalitas pada pasien PPOK berat. Para ahli
menyarankan pemberian terapi oksigen pada pasien dengan PaO2 < 55 mmHg. Pemberian
oksigen melalui nasal kanul secara berkelanjutan merupakan pemberian secara standar pada
pasien hipoksemia yang stabil. 15 Pada pasien PPOK dengan gejala gagal napas harus
dipertimbangkan untuk penggunaan ventilator mekanik dan dengan pengawasan yang ketat di
ruang perawatan intensif. Pada kasus ini, telah dilakukan penatalaksanaan sesuai prosedur mulai
dari terapi non farmakologi maupun terapi farmakologi.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penatalaksanaan PPOK dengan terapi non farmakologi dan farmakologi dapat
mengurangi dan mengatasi tanda dan gejala yang dirasakan Ny.J
B. Saran
1. Mahasiswa
Dapat digunakan sebagai acuan referensi dan menambah pengetahuan cara
penatalaksanaan PPOK
2. Perawat
Dapat menjadi acuan intervensi non farmakologi dalam mengelola pasien PPOK
3. Rumah Sakit
Dapat dipertimbangkan sebagai intervensi pilihan dalam mengatasi keluahan pasien
PPOK.
DAFTAR PUSTAKA

Oemiati. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok).


http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/3130%0Adiakses pada
tanggal 22 desember 2022

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (12 ed.). Nuha Medika.

Ratih, O. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Riskesdas. (2018). Laporan Nasional RISKESDAS 2018.

Smeltzer & Bare. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (12 ed.). EGC.

Soeharto. (2014). Penyakit Paru Obstruktif Kronis.

WHO. (2015). PPOK. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/.%0Adiakses pada


tanggal 22 desember 2022

Anda mungkin juga menyukai