Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN DENGAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Disusun Oleh :

1. Liya Fatmawati (1020183083)


2. Muhammad Rico Junaedi (1020183084)
3. Ikha Nurul Anisa (1020183085)
4. Lutfin Yunia (1020183086)
5. Mauliya Muslimah (1020183090)
6. Yunia Faradila Putri (1020183091)
7. Novia Agusti Anggiana (1020183092)

PRODI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat di selesaikan. Makalah ini merupakan makalah pengetahuan bagi
mahasiswa/i Keperawatan  maupun para pembaca untuk bidang Ilmu Pengetahuan.
Makalah ini sendiri dibuat guna memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah
Keperawatan Paliatif dan Menjelang Ajal dengan judul “ Asuhan Keperawatan pada
Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)”. Dalam penulisan makalah ini
penyusun berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh para
pembaca.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karenanya, penyusun menerima kritik dan saran yang positif dan
membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan makalah ini. Penyusun juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita semua. Amin.

Kudus, 15 September 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif Kronis (PPOK) merupakan istilah lain dari beberapa
jenis penyakit paru-paru yang berlangsung lama atau menahun, ditandai dengan
meningkatnya resistensi terhadap aliran udara (Maisaroh, 2018)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu kelompok


penyakit tidak menular yang menjadi masalah di bidang kesehatan baik di Indonesia
maupun di dunia. PPOK adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran napas dan paru
yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara yang bersifat persisten dan progresif
sebagai respon terhadap partikel atau gas berbahaya. Karakteristik hambatan aliran udara
PPOK biasanya disebabkan oleh obstruksi saluran nafas kecil (bronkiolitis) dan
kerusakan saluran parenkim (emfisema) yang bervariasi antara setiap individu
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam Agustin, 2017). Pada umumnya penyakit ini
dapat dicegah dan diobati (Suyanto dalam Agustin, 2017).

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik


dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya adalah: merokok, polusi udara, dan
pemajanan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-
faktor resiko penting yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat
terjadi dalam rentang lebih dari 20 tahunan. (Smeltzer dan Bare dalam Rahmadi, 2015.
Penyakit ini juga mengancam jiwa seseorang jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan
Bare dalam Rajmadi, 2015).

Angka kejadian PPOK di Indonesia cukup tinggi dengan menggambil beberapa


sempel di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta
3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6%. Hasil wawancara pada peserta umur kurang lebih
30 tahun berdasarkan gejala. Dalam kasus PPOK laki-laki cenderung lebih tinggi di
banding perempuan dan lebih tinggi pedesaan di banding perkotaan (Kemenkes dalam
Agustin, 2017). World Health Organizatiton (WHO) memperkirakan pada tahun 2020
yang akan datang angka kejadian PPOK akan mengalami peningkatan dan menduduki
dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 sebagai penyebab kematian tersering (Ikawati dalam
Agustin, 2017).
Berdasarkan Latar belakang di atas terlihat bahwa angka kejadian penderita
PPOK semakin meningkat setiap tahun, maka kami sebagai penyusun makalah tertarik
untuk membuat “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis” untuk menambah wawasan bagi mahasiswa Keperawatan maupun untuk
pembaca lain agar menambah ilmu pengetahuan.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
b. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK)
1.3. Tujuan
a. Memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan diagnosa dan penatalaksanaan pada pasien PPOK.
b. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmunary


Disease (COPD) adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak
dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan
dikaitkan dengan respons inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas
berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan napas, hipersekresi mukus, dan
perubahan pada sistem pembuluh darah paru (Brunner & Suddarth, 2013)

Penyakit Paru Obstuktif Kronis (Chronic obstructive pulmonary disease – COPD)


merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit paru-paru yang


ditandai dengan penyumbatan pada aliran udara dari paru-paru. Penyakit ini merupakan
penyakit yang mengancam kehidupan dan mengganggu pernafasan normal (WHO dalam
Maisaroh, 2018).

2.2. Klasifikasi PPOK

PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global


Initiative for Chronic Obstructuve Lung Disease (GOLD) dalam Rahmadi tahun 2015,
yaitu:

1. Derajat 0 (beresiko)

Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea, terdapat paparan faktor resiko, sprirometri : normal.

2. Derajat I (PPOK ringan)

Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat
ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.

3. Derajat II (PPOK sedang)


Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala
batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan
kesehatannya.

4. Derajat III (PPOK Berat)

Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan
eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien

5. Derajat IV (PPOK sangat berat)

Gejala Klinis : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung
kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan
jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagal napas kronik.

2.3. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)


menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) dalam Rahmadi (2015) adalah :

a. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.
b. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paru-paru bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
c. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang
dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
d. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau
pun tidak merokok.

2.4. Manisfestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Reeves (2001) dalam Rahmadi (2015) adalah :

Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis
pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan
produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang
yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk
yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi
dahak yang semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat
badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu
secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut
tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak
yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang
cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang
makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi
sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel
dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak
kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

2.5. Patofisiologi

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan. (Jackson dalam Rahmadi, 2015).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik


pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak strukturstruktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps. (Grece & Borley dalam Rahmadi, 2015).

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
menurut Somantri (2009) antara lain :

a. Chest X-Ray : dapat menunjukan hiperinflation paru, flattened diafragma,


peningkatan ruang udara restrotenal, penurunan tanda vaskuler/bullae
(emfisema), peningkatan suara bronkovaskular (bronkitis), normal ditemukan
saat periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya
bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada
asma, namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
e. FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas
vital (FVC) menurun pada bronkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukan proses penyakit kronis, sering kali
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan
emfisema), tetapi sering kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis,
alkalosis repiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang
atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps
bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronkitis).
h. Darah Lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan eosinofil
(asma).
i. Kimia Darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer.
j. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi patogen,
sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit
keganasan atau alergi.
k. Elektrokardiogram (EKG) : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma
berat), atrial distritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II, III, dan AVF
panjang, tinggi (pada bronkitis dan emfisema), dan aksis QRS vertikal
(emfisema)
l. Exercise EKG, Stress test : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi
pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merencanakan/evaluasi program.

2.7. Komplikasi PPOK

Menurut Irman Sumantri (2009), Komplikasi PPOK yaitu :

a. Hipoksemia

Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg, dengan nilai
saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.

b. Asidosis Respiratori

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul
antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.

c. Infeksi Respiratori

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan


rangsangan otot polos bronkial serta edem mukus. Terbatasnya aliran udara akan
menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.

d. Gagal Jantung

Terutama kor pulmonl (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.

e. Kardiak Disritma

Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori.

f. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma brokial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespons terhadap
terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher
sering kali terlihat pada klien dengan asma.
2.8. Pentalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut


Mansjoer dalam Rahmadi (2015) adalah :

1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara


2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi
beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10
hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari
fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

Asih dalam Rahmadi (2015) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien


dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :

a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan


edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma
adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala
kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat.
Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah
untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan
berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses
fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta
dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan
bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek
samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi
beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas,
kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan
fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan
ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk
bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada
penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari
bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi
sedemikian besar.

Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada
akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi
fisik  dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu
termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan
teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa
individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut (Rahmadi, 2015)
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT


PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

3.1. Asuhan Keperawatan Paliatif care pada Pasien PPOK


a. Pengkajian
1. Biodata

Penyakit PPOK (Asma bronkial) terjadi dapat menyerang seagala usia tetapi lebih
sering di jumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan
sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Predisposisi laki-laki dan
perempuan di usia dini sebesar 2:1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun.

2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial adalah dispnea
(bias sampai berhari-hari atau berbulan-bulan),batuk,dan mengi (pada beberapa
kasus lebih banyak paroksismal).
b. Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya penyakit
ini, di antaranya adalah riwyat alergi dan riwayat penyakit saluran napas bagian
bawah ( rhinitis, urtikaria, dan eksim).
c. Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya riwayat penyaakit
keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di temukan adanya penyakit
yang sama pada anggota keluarganya.

3. Pengkajian diagnostic COPD


a. Chest X- Ray :dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda vascular / bullae
( emfisema ), peningkatan suara bronkovaskular ( bronchitis ), normal ditemukan
saat periode remisi ( asma ).
b. Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya
bronkodilator.
c. Total lung capacity (TLC ) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada
asma, namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema.
e. FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi ( FEV ) terhadap tekanan kapasitas
vital ( FVC ) menurun pada bronkitis dan asma.
f. Arterial blood gasses (ABGs) : menunjukan prose penyakit kronis, sering kali
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkatkan ( bronkitis kronis dan
emfisema ), terapi sering kali menurun pada asma, Ph normal atau asidosis,
alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi ( emfisema sedang
atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolabs
bronkial pada tekanan ekspirasi( emfisema ), pembesaran kelenjar
mucus( brokitis).
h. Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin ( emfisema berat) dan
eosinophil (asma).
i. Kimia darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema perimer.
j. Skutum kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi
pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit
keganasan/ elergi.
k. Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan, glombang P tinggi ( asma
berat), atrial disritmia ( bronkitis), gelombang P pada leadsII, III, dan AVF
panjang, tinggi( pada bronkitis dan efisema) , dan aksis QRS vertical (emfisema).
l. Exercise ECG , stress test :membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keektifan obat bronkodilator, dan merencanakan/
evaluasi program.

b. Pemeriksaan fisik
1. Objektif
a. Batuk produktif/nonproduktif
b. Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada kedua fase respirasi
semakin menonjol.
c. Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di keluarka.
d. Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan.
e. Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f. Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks dan hilus )
g. Penurunan berat badan secara bermakna.

2. Subjektif
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
3. Psikososial
a. Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b. Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnnya
c. Data tambahan (medical terapi)
4. Bronkodilator

Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral.
Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya
diberikan Aminophilin seacara parenteral, sebab mekanisme yang berlainan, demikian
pula sebaliknya, bila sebelmnya telah digunakan obat golongan Teofilin oral, maka
sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.

Obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap


adrenoreseptor ( orsiprendlin, salbutamol, terbutalin, ispenturin, fenoterol) mempunyai
sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan
dengan bentuk non selektif (adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)

a. Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping
sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak napas berat pada anak-anak
dan dewasa. Mula-mula deberikan dua sedotan dari Metered Aerosol Defire
(AfulpenMetered Aerosol ). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang setiap
empat jam, jika tidak ada perbaikan dalam 10-15 menit setelah pengobatan, maka
berikan Aminophilin intravena
b. Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek samping takikardi,
penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit
hipertensi, kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3
ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Pada anak-anak 0,01 mg /KgBB
subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai
kebutuhan .
c. Pemberian Aminophilin secara intravena denagn dosis awal 5-6 mg/KgBB
dewasa/ anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis
penunjang dapat diberikan sebanyak 0-9 mg/kgBB/jam secara intravena. Efek
sampingnya tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara perlahan.

1) Kortikosteroid

Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak menunjukkan perbaikan, maka bisa


dilanjutkan deagan pengobatan kortikosteroid, 200 mg hidrokortison secara oral atau
dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2-4 jam
secara parental sampai serangan akut terkontrol,dengan diikuti pemberian 30-60 mg
prednison atau dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari secara oral dalam dosis terbagi,
kemudian dosis dikurangi secara bertahap

2) Pemberian oksigen

Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan kecepatan 2-4 liter/menit ,


menggunakan air (humidifier) untuk memberiakan pelembapan. Obat eksfektoran seperti
gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, oleh karena itu
intake cairan per oral infus harus cukup sesuai dengan prinsip.

3) Beta Agonis

Beta agonis ( β–adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan


dalam penatalaksanaan penyakit asma, dikarenakan obat ini berekrja dengan cara
mendilatsikan otot polos ( vasedilator). Andrenerigic agent juga meningkatkan
pergerakan siliari , menurunkan mediator kimia anafilaksis, dan dapat meningkatan efek
bronkodilatasi dari kortikosteroid. Andrenergic yang sering digunakan antara lain
epinefrin, albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetarin, dan terbutalin. Biasanya
diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan
dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang
lebih kecil.

Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep Nursing
Interventien Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC).

Diagnosis Keperawatan Perencanaan


No. (NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
1. Bersihan jalan nafas tidak Status respirasi: a. Manajemen jalan Adanya
efektif berhubungan dengan kepatenan jalan nafas napas. perubahan fungsi
 Bronkospasme. dengan skala (1-5) b. Penurunan respirasi dan
 Peningkatan setelah diberikan kecemasan penggunaan otot
produksi secret perawatan selama… c. Aspiration tambahan
(secret yang hari, dengan kriteria: precautions. menandakan
bertahan, kental)  Tidak ada d. Fisioterapi dada. kondisi penyakit
 Menurunya demam e. Latih batuk efektif yang masih harus
energi/fatigue  Tidak ada cemas f. Terapi oksigen. mendapatkan
 RR normal g. Pemberian posisi. penanganan
Ditandai dengan:  Irama nafas h. Monitoring penuh.
 Klien mengeluh normal respirasi.
sulit bernafas.  Pergerakan i. Monitoring tanda Ketidakmampuan

 Perubahan sputum keluar vital. mengeluarkan

kedalaman/jumlah dari jalan nafas mukus

napas, penggunaan menjadikan


 Bebas dari suara
otot bantu timbulnya
nafas tambahan.
pernafasan. kongesti berlebih

 Suara nafas pada saluran

abnormal seperti pernapasan .

wheezing, ronchi,
dan cracles. Posisi semi/ high

 Batuk fowler

(presisten)dengan/t memberikan

anpa produksi kesempatan paru-

sputum. paru berkembang


secara maksimal
akibat diafragma
turun ke bawah.
Batuk efektif
mempermudah
ekspektorasi
mukus.

Klien dalam
kondisi sesak
cenderung untuk
bernapas melalui
mulut yang pada
akhirnya jika
tidak
ditindaklanjuti
akan
mengakibatkan
stomatis.
2. Gangguan pertukaran gas Status respirasi a. Manajemen asam
yang berhubungan dengan: pertukaran gas basa tubuh Kelemahan,
 Kurangnya suplai dengan skala….(1-5) b. Manajemen jalan iritable, bingung
oksigen (obstruksi setelah diberikan napas dan somnolen
jalan napas oleh perawatan selama… c. Latihan batuk dapat
secret, bronkospasme, hari dengan kriteria : efektif merefleksikan
air trapping);  Status d. Tingkatkan adanya
 Destruksi alveoli mental aktivitas hipoksemia/penur
Ditandai dengan dalam batas e. Terapi oksigen unan oksigenasi
 Dyspnea normal f. Monitoring serebral.

 Confusion,lemah;  Bernapas respirasi


dengan g. Monitoring tanda
 Tidak mampu
mudah vital Mencegah
mengeluarkan
 Tidak ada kelelahan dan
secret;
sinosis mengurangi
 Nilai ABGs
 Pao paco konsumsi oksigen
abnormal (hipoksia
dalam batas untuk
dan hiperkapnea)
normal memfasilitasi
 Perubahan tanda
 Saturnasi O resolusi infeksi.
vital
 Menurunya toleransi dalam
rentang Pemberian terapi
terhadap aktivitas
normal oksigen untuk
memelihara PaO2
di atas 60 mmHg,
oksigen yang
diberikan sesuai
dengan toleransi
dari klien.
Untuk mengikuti
kemajuan proses
penyakit dan
memfasilitasi
perubahan dalam
terapi oksigen.

3 Ketidakseimbangan Status nutrisi; intake a. Manajemen


nutrisi : cairan dan makanan cairan Meningkatkan
Kurang dari kebutuhan gas dengan skala...... b. Monitoring kenyamanan flora
tubuh yang berhubungan (1-5) setelah cairan normal mulut,
dengan : diberikan perawatan c. Status diet sehingga akan
 Dispea, selama…. Hari d. Manajemen meningkatkan
fatique dengan kriteria; gangguan perasaan nafsu
 Efek samping  Asupan makan makan.
pengobatan makanan e. Manajemen
 Produksi adekuat dengan nutrisi Meningkatkan
sputum skala.. (1-5) f. Kolaborasi intake makanan

 Anoreksia,  Intake cairan dengan ahli dan nutrisi klien

nausea/vomiti per oral gizi untuk terutama kadar

ng. adekuat, dengan memberikan protein tinggi

Ditandai dengan skala …(1-5) terapi nutrisi akan

 Penurunan  Intake cairan g. Konseling meningkatkan

berat badan adekuat dengan nutrisi mekanisme tubuh

 Kehilangan skala… (1-5) h. Kontroling dalam proses

masa otot, nutrisi penyembuhan.

tonus otot jelek Status nutrisi intake dilakukan


nutrien gas dengan untuk Menentukan
 Dilaporkan
skala … (1-5) memenuhi diet kebutuhan nutrisi
adanya
setelah diberikan pasien. yang tepat bagi
perubahan
perawatan selama… i. Terapi klien.
sensasi rasa
 Intake kalori menelan Mengontrol
 Tidak bernafsu
adekuat,dengan j. Monitoring keefektifan
untuk makan,
skala.. (1-5) tanda vital tindakan terutama
tidak tertarik
k. Bantuan untuk dengan kadar
makan  Intake protein, peningkatan protein darah.
karbohidrat, dan BB
lemak adekuat, l. Manajemen Meningkatkan
dengan skala … berat badan komposisi tubuh
(1-5) akan kebutuhan
vitamin dan nafsu
Control berat badan makan klien.
dengan skala … (1-
5) setelah diberikan
perawatan selama …
hari dengan kriteria:
 Mampu
memelihara
intake kalori
secara optimal (1-
5) (menunjukkan)
 Mampu
memelihara
keseimbangan
cairan (1-5)
(menunjukkan)

 Mampu
mengontrol
asupan makanan
secara adekuat
(1-5)
(menunjukkan)

N Diagnosa Perencanaan
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
o. keperawatan
(NANDA)
4. Intoleransi  Berpartisipasi dalam  Kolaborasi Mengurangi stres dan
aktifitas b.d aktivitas fisik tanpa dengan tenaga stimulasi yang berlebihan,
ketidakseimbaga disertai peningkatan rehabilitasi medik meningkatkan istirahat
n antara suplai darah, nadi dan RR. dalam
dan kebutuhan  Mampu melakukan merencanaakan Klien mungkin merasa
oksigen. aktivitas sehari-hari program terapi nyaman dalam kepala
(ADLs) secara yang tepat dalam keadaan evalasi,
mandiri.  Bantu klien untuk tidur di kursi atau istiirahat
 Tanda-tanda vital mengidentifikasi pada meja dengan bantuan
normal. aktivitas yang bantal
 Energi psikomotor. mampu dilakukan.
 Level kelemahan.  Bantu utuk Meminimalkan kelelahn

 Mampu berpindah: memilih aktivitas dan menolong

dengan atau yang sesuai menyeimbangkan suplai

menggunakan alat. dengan oksigen dan kebutuhan.

 Status kemampuan fisik,

kardiopulmoari sosial dan

adekuat. psikologi.

 Sirkulasi status baik.  Bantu utuk


mengidetifikasi
 Status respirasi:
dan mendapatkan
pertukara gas da
sumber yang
vetilasi adekuat.
diperlukan untuk
aktivitas yang
diinginkan
 Bantu klien untuk
mendapatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi roda,
krek
 Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
 Bantu klien
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
 Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
 Sediakan
penguatan positif
bagi yang aktif
beraktivitas
 Bantu pasien
untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon
fisik,emosi, sosial
dan spiritual.
5. Risiko tinggi  Tidak muncul tanda  Monitor vital sign,  Selama peride ini,
penyebaran tanda infeksi terutama pada potensial
infeksi yang b.d sekunder. proses terapi. berkembang
penyakit kronis .  Klien dapat  Demonstrasikan menjadi
mendemonstrasikan teknik mencuci komplikasi yang
kegiatan untuk yang benar. lebih
menghindarkan  Ubah posisi dan fatal( hipotensi /
infeksi. berikan pulmonari shock ).
toilet yang baik.  Sangat efektif
 Batasi pengunjung untuk mengurangi
atas indikasi. penyebaran
 Lakukan isolasi infeksi .
sesuai dengan  Meningkatkan
kebutuhan ekspektorasi,
individual. membersihkan dari
 Anjurkan untuk infeksi.
istirahat secara  Mengurangi
adekuat sebanding paparan dengan
dengan aktifitas, organisme patogen
tingkatkan intake lain.
nutrisi secara  Isolasi mungkin
adekuat. dapat mencegah
penyebaran atau
memproteksi klien
dari proses infeksi
lainya.
 Memvasilitasi
proses
pengembuhan dan
meningkatkan
pertahanan tubuh
alami.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan kumpulan penyakit paru yang
sudah lama dan bertahun tahun, ditandai dengan adanya penyumbatan pada aliran udara
dari paru-paru. Dengan penyebab utama dari lingkungan polusi udara, merokok, paparan
debu, dan gas-gas kimiawi. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan
berkurangnya fungsi paru-paru bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan. Infeksi
sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang dengan kondisi ini
berisiko mendapat PPOK.

Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada
akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok.

4.2. Saran

Bagi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai aplikasi breathing retraining pada pasien

dengan PPOK. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat

menyempurnakan pembahasan dan aplikasi breathing retraining

terhadap kualitas tidur pada pasien PPOK, serta penggunaan

lembar observasi untuk memantau kualitas tidur pasien P


DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Susan C. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan . Vol:2. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/910/13/151210013_Iis%20Maisaroh_KTI
%20benarkunci.pdf (diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 10.00 WIB)

http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/539/1/NISA%20AGUSTIN%20NIM.
%20A01401932.pdf (diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 14.00 WIB)

http://eprints.ums.ac.id/25892/14/NASKAH_PUBLIKASI.pdf (diakses pada tanggal 12


Oktober 2019, pukul 19.00 WIB)

https://www.google.com/url?
q=https://www.academia.edu/37689132/asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan_PPO
K&sa=U&ved=2ahUKEwjf0_7S2ZvlAhWFdn0KHYzXA3MQFjAAegQIAhAB&usg=A
OvVaw3TTVNbVYVQVmbPnhQAJqM7

Anda mungkin juga menyukai