Disusun Oleh :
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan
hidayah-Nya, makalah ini dapat di selesaikan. Makalah ini merupakan makalah
pengetahuan bagi mahasiswa/i Keperawatan maupun para pembaca untuk bidang
Ilmu Pengetahuan. Makalah ini sendiri dibuat guna memenuhi salah satu tugas
kuliah dari dosen mata kuliah Keperawatan Paliatif dan Menjelang Ajal dengan
judul “ Asuhan Keperawatan pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK)”. Dalam penulisan makalah ini penyusun berusaha menyajikan bahasa
yang sederhana dan mudah dimengerti oleh para pembaca.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karenanya, penyusun menerima kritik dan saran yang
positif dan membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan makalah
ini. Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif Kronis (PPOK) merupakan istilah lain
dari beberapa jenis penyakit paru-paru yang berlangsung lama atau
menahun, ditandai dengan meningkatnya resistensi terhadap aliran
udara (Maisaroh, 2018)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah di bidang
kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. PPOK adalah penyakit
inflamasi kronik pada saluran napas dan paru yang ditandai oleh
adanya hambatan aliran udara yang bersifat persisten dan progresif
sebagai respon terhadap partikel atau gas berbahaya. Karakteristik
hambatan aliran udara PPOK biasanya disebabkan oleh obstruksi
saluran nafas kecil (bronkiolitis) dan kerusakan saluran parenkim
(emfisema) yang bervariasi antara setiap individu (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia dalam Agustin, 2017). Pada umumnya penyakit
ini dapat dicegah dan diobati (Suyanto dalam Agustin, 2017).
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetik dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya
adalah: merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor
resiko penting yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya
dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 tahunan. (Smeltzer dan Bare
dalam Rahmadi, 2015. Penyakit ini juga mengancam jiwa seseorang
jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan Bare dalam Rajmadi, 2015).
Angka kejadian PPOK di Indonesia cukup tinggi dengan
menggambil beberapa sempel di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat
4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan
Bali 3,6%. Hasil wawancara pada peserta umur kurang lebih 30 tahun
berdasarkan gejala. Dalam kasus PPOK laki-laki cenderung lebih
tinggi di banding perempuan dan lebih tinggi pedesaan di banding
perkotaan (Kemenkes dalam Agustin, 2017). World Health
Organizatiton (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 yang akan
datang angka kejadian PPOK akan mengalami peningkatan dan
menduduki dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 sebagai penyebab
kematian tersering (Ikawati dalam Agustin, 2017).
Berdasarkan Latar belakang di atas terlihat bahwa angka
kejadian penderita PPOK semakin meningkat setiap tahun, maka kami
sebagai penyusun makalah tertarik untuk membuat “Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis”
untuk menambah wawasan bagi mahasiswa Keperawatan maupun
untuk pembaca lain agar menambah ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
(PPOK)?
b. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
C. Tujuan
a. Memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis,
patofisiologi, pemeriksaan diagnosa dan penatalaksanaan pada
pasien PPOK.
b. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic
Obstructive Pulmunary Disease (COPD) adalah penyakit yang
dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih
sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan
dikaitkan dengan respons inflamasi paru yang abnormal terhadap
partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan
napas, hipersekresi mukus, dan perubahan pada sistem pembuluh darah
paru (Brunner & Suddarth, 2013)
Penyakit Paru Obstuktif Kronis (Chronic obstructive
pulmonary disease – COPD) merupakan istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit
paru-paru yang ditandai dengan penyumbatan pada aliran udara dari
paru-paru. Penyakit ini merupakan penyakit yang mengancam
kehidupan dan mengganggu pernafasan normal (WHO dalam
Maisaroh, 2018).
B. Klasifikasi PPOK
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global
Initiative for Chronic Obstructuve Lung Disease (GOLD) dalam
Rahmadi tahun 2015, yaitu:
1. Derajat 0 (beresiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis,
produksi sputum, dan dispnea, terdapat paparan faktor
resiko, sprirometri : normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi
tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari
bahwa menderita PPOK.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan
kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada
derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan
kesehatannya.
4. Derajat III (PPOK Berat)
Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa
lelah dan serangan eksasernasi semakin sering dan
berdampak pada kualitas hidup pasien
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala Klinis : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal
napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan
oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk
dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya
disertai gagal napas kronik.
C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006)
dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan
gas-gas kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan
berkurangnya fungsi paru-paru bahkan pada saat gejala
penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia,
bronkitis, dan asma orang dengan kondisi ini berisiko
mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan
suatu enzim yang normalnya melindungi paru-paru dari
kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini
dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walau pun tidak merokok.
D. Manisfestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis menurut Reeves (2001) dalam Rahmadi (2015)
adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari
PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang
manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi
dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas
pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.
Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi
dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan
dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada
akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut
tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah
dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan
sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami
penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari
hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin
melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera
makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder
karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak
kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan
pernafasan.
E. Patofisiologi
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Somantri (2009) antara lain :
a. Chest X-Ray : dapat menunjukan hiperinflation paru,
flattened diafragma, peningkatan ruang udara restrotenal,
penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan
suara bronkovaskular (bronkitis), normal ditemukan saat
periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan
penyebab dispnea, menentukan abnormalitas fungsi
tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek
dari terapi, misalnya bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis
berat dan biasanya pada asma, namun menurun pada
emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
e. FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV)
terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada
bronkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukan proses
penyakit kronis, sering kali PaO2 menurun dan PaCO2
normal atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema),
tetapi sering kali menurun pada asma, pH normal atau
asidosis, alkalosis repiratori ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukan dilatasi dari bronki saat
inspirasi, kolaps bronkial pada tekanan ekspirasi
(emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronkitis).
h. Darah Lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin
(emfisema berat) dan eosinofil (asma).
i. Kimia Darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang
pada emfisema primer.
j. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan
mengidentifikasi patogen, sedangkan pemeriksaan sitologi
digunakan untuk menentukan penyakit keganasan atau
alergi.
k. Elektrokardiogram (EKG) : deviasi aksis kanan, gelombang
P tinggi (asma berat), atrial distritmia (bronkitis),
gelombang P pada leads II, III, dan AVF panjang, tinggi
(pada bronkitis dan emfisema), dan aksis QRS vertikal
(emfisema).
l. Exercise EKG, Stress test : membantu dalam mengkaji
tingkat disfungsi pernapasan, mengevaluasi keefektifan
obat bronkodilator, dan merencanakan/evaluasi program.
G. Komplikasi PPOK
Menurut Irman Sumantri (2009), Komplikasi PPOK yaitu :
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55
mmHg, dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul
sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea).
Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi,
dizzines, dan takipnea.
c. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan
produksi mukus dan rangsangan otot polos bronkial serta edem
mukus. Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan
peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonl (gagal jantung kanan akibat penyakit
paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dispnea
berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkitis
kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.
e. Kardiak Disritma
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat
atau asidosis respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
brokial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan, dan sering kali tidak berespons terhadap terapi
yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan
distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.
H. Pentalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Mansjoer dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi,
polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai
infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H.
Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5
g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat
diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H.
Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta
laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol,
amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dam membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10
hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka
dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan
pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan
sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya
golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau
aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang,
ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan
kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas
obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas
fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami
gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan
bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu
kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis
dan rehabilitasi pekerjaan.
4. Pemeriksaan fisik
Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing)
pada kedua fase respirasi semakin menonjol.
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di
keluarka.
d) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas
tambahan.
e) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f) Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks
dan hilus )
g) Penurunan berat badan secara bermakna.
Subjektif
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi
penyakitnnya
c) Data tambahan (medical terapi)
Bronkodilator
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara
inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan
obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya
diberikan Aminophilin seacara parenteral, sebab
mekanisme yang berlainan, demikian pula sebaliknya,
bila sebelmnya telah digunakan obat golongan Teofilin
oral, maka sebaiknya diberikan obat golongan
simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
Obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik
bentuk selektif terhadap adrenoreseptor ( orsiprendlin,
salbutamol, terbutalin, ispenturin, fenoterol) mempunyai
sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek
samping kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif
(adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)
a. Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat
dan efek samping sistemiknya lebih kecil. Baik
digunakan untuk sesak napas berat pada anak-anak dan
dewasa. Mula-mula deberikan dua sedotan dari Metered
Aerosol Defire (AfulpenMetered Aerosol ). Jika
menunjukkan perbaikan dapat diulang setiap empat jam,
jika tidak ada perbaikan dalam 10-15 menit setelah
pengobatan, maka berikan Aminophilin intravena
b. Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek
samping takikardi, penggunaan parenteral pada orang tua
harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi,
kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba
dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan.
Pada anak-anak 0,01 mg /KgBB subkutan (1 mg per mil)
dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai
kebutuhan .
c. Pemberian Aminophilin secara intravena denagn dosis
awal 5-6 mg/KgBB dewasa/ anak-anak, disuntikkan
perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis penunjang dapat
diberikan sebanyak 0-9 mg/kgBB/jam secara intravena.
Efek sampingnya tekanan darah menurun bila tidak
dilakukan secara perlahan.
Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak
menunjukkan perbaikan, maka bisa dilanjutkan deagan
pengobatan kortikosteroid, 200 mg hidrokortison secara
oral atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai
dosis permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara
parental sampai serangan akut terkontrol,dengan diikuti
pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-2
mg/KgBB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian
dosis dikurangi secara bertahap
Pemberian oksigen
Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan
kecepatan 2-4 liter/menit , menggunakan air (humidifier)
untuk memberiakan pelembapan. Obat eksfektoran
seperti gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk
memperbaiki dehidrasi, oleh karena itu intake cairan per
oral infus harus cukup sesuai dengan prinsip.
Beta Agonis
Beta agonis ( β–adrenergic agents) merupakan
pengobatan awal yang digunakan dalam penatalaksanaan
penyakit asma, dikarenakan obat ini berekrja dengan cara
mendilatsikan otot polos ( vasedilator). Andrenerigic
agent juga meningkatkan pergerakan siliari , menurunkan
mediator kimia anafilaksis, dan dapat meningkatan efek
bronkodilatasi dari kortikosteroid. Andrenergic yang
sering digunakan antara lain epinefrin, albuterol,
metaproterenol, isoproterenol, isoetarin, dan terbutalin.
Biasanya diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan
inhalasi merupakan salah satu pilihan dikarenakan dapat
mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek
samping yang lebih kecil.
dan cracles.
Posisi semi/
Batuk
high fowler
(presisten)dengan
memberikan
/tanpa produksi
kesempatan
sputum.
paru-paru
berkembang
secara maksimal
akibat diafragma
turun ke bawah.
Batuk efektif
mempermudah
ekspektorasi
mukus.
Klien dalam
kondisi sesak
cenderung untuk
bernapas
melalui mulut
yang pada
akhirnya jika
tidak
ditindaklanjuti
akan
mengakibatkan
stomatis.
2. Gangguan pertukaran Status respirasi a. Manajemen asam
gas yang berhubungan pertukaran gas basa tubuh Kelemahan,
dengan: dengan skala….(1- b. Manajemen jalan iritable, bingung
Kurangnya suplai 5) setelah diberikan napas dan somnolen
oksigen (obstruksi perawatan c. Latihan batuk dapat
jalan napas oleh selama… hari efektif merefleksikan
secret, dengan kriteria : d. Tingkatkan adanya
bronkospasme, air Status aktivitas hipoksemia/pen
trapping); mental e. Terapi oksigen urunan
Untuk
mengikuti
kemajuan proses
penyakit dan
memfasilitasi
perubahan
dalam terapi
oksigen.
…(1-5) klien.
Mampu
mengontrol
asupan makanan
secara adekuat
(1-5)
(menunjukkan)
No Diagnosa Perencanaan
. keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
(NANDA)
4. Intoleransi Berpartisipasi Kolaborasi Mengurangi stres dan
aktifitas b.d dalam aktivitas dengan tenaga stimulasi yang
ketidakseimbagan fisik tanpa rehabilitasi berlebihan,
antara suplai dan disertai medik dalam meningkatkan istirahat
kebutuhan peningkatan merencanaakan
oksigen. darah, nadi dan program terapi Klien mungkin merasa
nyaman dalam kepala
RR. yang tepat dalam keadaan evalasi,
Mampu Bantu klien tidur di kursi atau
melakukan untuk istiirahat pada meja
aktivitas sehari- mengidentifikas dengan bantuan bantal
hari (ADLs) i aktivitas yang
secara mandiri. mampu Meminimalkan kelelahn
http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/910/13/151210013_Iis%20Maisaroh_KTI
%20benarkunci.pdf (diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 10.00 WIB)
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/539/1/NISA%20AGUSTIN%20NIM.
%20A01401932.pdf (diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 14.00 WIB)
https://www.google.com/url?q=https://www.academia.edu/37689132/
asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan_PPOK&sa=U&ved=2ahUKEwjf0_7S
2ZvlAhWFdn0KHYzXA3MQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw3TTVNbVYVQV
mbPnhQAJqM7 (diakses pada tanggal 13 Oktober 2019, pukul 12.00 WIB)