Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

Dosen Pengampu : Atiek Murharyati S.Kep.,Ns.,M.Kep.

Disusun Oleh :

Anggota Kelompok 1 :

1. Anastya Ayu Wardani (S21107)


2. Apridha Hapsari (S21110)
3. Daffa Naufal Naafi (S21113)
4. Erma Tamiya Sari (S21119)
5. Eunike Tresya Fimanti (S21120)
6. Fauzy Nugroho (S21121)
7. Febri Retnosari (S21122)
8. Mia Aminarta (S21131)
9. Muhhammad Fahrizal N.R (S21133)
10. Nita Noviana Rahmawati (S21135)
11. Putri Aprilia P.A (S21141)
12. Yuliyanti D.T Alwi (S21159)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit pernafasan


umum yang mendunia dan dapat dicegah serta diobati dengan karakteristik berupa
adanya hambatan aliran udara dan gejala pernafasan yang persisten berhubungan
dengan ketidaknormalan aliran udara dan/atau alveolar yang disebabkan oleh
paparan gas atau partikel berbahaya (Gold, 2017, Kakarla et.al., 2016, Soeroto dan
Suryadinata, 2014). Hambatan aliran udara tersebut bersifat progresif dan
disebabkan oleh ketidaknormalan respon inflamasi paru dalam menghirup gas atau
partikel berbahaya, terutama disebabkan oleh asap rokok (Bezerra dan Fernandes,
2006, PDPI, 2003).
PPOK sekarang ini menjadi penyebab kematian keempat di dunia,tetapi
diproyeksikan akan meningkat menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun
2020. PPOK merupakan penyebab utama masalah kronik yang mengakibatkan
kematian dan kesakitan di dunia (GOLD, 2017). The 2013Global Burden Disease
Study menunjukkan bahwa PPOK menjadi urutan ke 8 yang menyebabkan
penderitanya hidup dalam kecacatan. Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) 2013
menyatakan prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Data Profil Kesehatan
Provinsi JawaTengahTahun 2013 menunjukkan jumlah kasus PPOK di Provinsi
Jawa Tengah mengalami penurunan dari tahun 2012 sebanyak 13%.
KasusPPOKtertinggi di Provinsi Jawa Tengah terdapat di Kota Salatiga sebesar
1.744kasus.
Perubahan asupan zat gizi makro dan mikro dapat meningkatkanderajat
keparahan PPOK (Bezerra dan Fernandes, 2006). Gas atau partikel berbahaya yang
masuk ke dalam paru dapat meningkatkan stress oksidatif pada pasien
PPOK,sehingga menimbulkan derajat keparahan yang berbeda-beda sesuai dengan
banyaknya iritan yang masuk ke dalam paru (Safitri,2016). Antioksidan diperlukan
untuk mencegah stress oksidatif, yaitu kondisi ketidakseimbangan antara jumlah
radikal bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh (Werdhasari,
2014).
Asupan makanan sumber antioksidan yang tinggi dapat meningkatkan
fungsi paru- paru, menurunkan gejala infeksi pernafasan dan eksaserbasi
(Tsiligianni and van der molen, 2010).
Penelitian yang dilakukan tehadap 564 sampel pasien PPOK dengan derajat
keparahan sedang sampai berat di Belanda dan 275 pasien di Spanyol menunjukkan
bahwa asupan zat gizi makro (protein, karbohidrat, lemak) dan mikro pasien
(vitamin A, C, E, dan Kalsium) yang tidak adekuat dibandingkan rekomendasi
(Bool et.al., 2014, Yilmas et.al., 2015). Terdapat hubungan antara zat gizi mikro
tertentu khususnya zat gizi antioksidan dengan pengukuran fungsi paru-paru.
Peningkatan asupan zat gizi seperti vitamin E, beta carotene, vitamin C, dan
vitamin D memiliki asosiasi positif dengan FEV1. FEV1 menjadi dasar
pengklasifikasian derajat keparahan PPOK sesuai panduan dari GOLD ( Hanson
et.al., 2013, Yilmaz et.al., 2015). Asupan vitamin C dan E berhubungan dengan
penurunan pada gejala, infeksi pernafasan dan eksaserbasi pada PPOK
(Tsilligianni, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Baldrick et.al. (2012) dan
Keranis et.al (2010) menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara asupan
buah dan sayur yang merupakan sumber antioksidan terhadap FEV1.
Prognosis penyakit PPOK bersifat progresif dan terjadi keparahan dengan
ditandai timbulnya eksaserbasi (GOLD, 2017). Derajat keparahan PPOK memiliki
hubungan yang signifikan dengan Indeks Massa Bebas Lemak (IMBL) yang rendah
dan malnutrisi (Ischaki et.al., 2007, Artawan dkk, 2016). Yilmaz (2015)
melaporkan bahwa Indeks Massa Bebas Lemak (IMBL) dapat menyediakan
informasi yang lebih baik pada pasien PPOK yang memiliki karakteristik
penurunan berat badan dan kehilangan massa bebas lemak. Penderita PPOK
memiliki karakteristik kehilangan berat badan, dan muscle wasting berupa
kehilangan massa bebas lemak, hal ini merupakan masalah serius yang biasanya
muncul dan akan memberikan prognosis buruk bagi penderita PPOK. Kira-kira 20
– 40% pasien PPOKdilaporkan memiliki status gizi kurang dan malnutrisi (Hsu
et.al., 2013, Karakas et.al., 2014, Yilmaz et.al., 2015). Menurut Luo (2016) IMBL
memiliki hubungan yang kuat dengan kapasitas latihan, sesak nafas, fungsi otot
pernafasan, FEV1 dan dapat digunakan sebagai prediktor derajat keparahan PPOK.
Hasil FEV1 pada pasien PPOK dengan IMBL normal lebih tinggi dibandingkan
dengan IMBL rendah, sehingga diindikasikan bahwa malnutrisi dihubungkan
dengan gangguan fungsi paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Harminto (2004) menunjukkan bahwa
72,6% pasien PPOK rawat jalan di RS Paru dr. Ario Wirawan Salatiga termasuk
kategori kurus (malnutrisi). Penelitian oleh Rahayu (2016) menunjukkan bahwa
sebagian besar pasien PPOK rawat jalan di RS Paru dr. Ario Wirawan Salatiga
mempunyai status gizi rendah yaitu sebanyak 26 subjek (86,7%) berdasarkan
pengukuran menggunakan Indeks Massa Bebas Lemak (IMBL). Penelitian
Karakas et.al (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
kehilangan massa bebas lemak dengan keparahan pasien PPOK.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. TEORI PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS)


a. Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau disebut juga dengan COPD
(Cronic Obstruktif Pulmonary Disease) adalah suatu penyakit yang bisa di cegah
dan diatasi yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, biasanya
bersifat progresif dan terkait dengan adanya proses inflamasi kronis saluran nafas
dan paru-paru terhadap gas atau partikel berbahaya (Ikawati, 2016). Kumar, dkk
tahun 2007 menjelaskan bahwa penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit
yang ditandai dengan berdasarkan uji fungsi paru terdapat bukti objektif hambatan
aliran udara yang menetap dan ireversibel. PPOK adalah suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di
tandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. ( Manurung, 2016).
b. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2014, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
a. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis :Memiliki satu atau lebih gejala batuk
kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap
faktorresiko. Spirometri : Normal
b. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis :Dengan atau tanpa batuk, dengan
atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 0 (tidak terganggu
oleh sesak saat berjalan cepat atau sedikit mendaki) sampai derajat sesak
1(terganggu oleh sesak saat berjalan cepat atau sedikit mendaki)
.Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk,
dengan atau tanpa produksi sputum, sesak napas derajat sesak 2 (jalan
lebih lambat di banding orang seumuran karna sesak saat berjalan
biasa). Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 <80%.
d. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3
(berhenti untuk bernafas setelah berjalan 100 meter/setelah berjalan
beberapa menit pada ketinggian tetap) dan 4 (sesak saat aktifitas ringan
seperti berjalan keluar rumah dan berpakaian) Eksaserbasi lebih sering
terjadi. Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% (GOLD 2014).
c. Etiologi
Ketiga penyakit yang menjadi penyebab PPOK yaitu asma, emfisema
paru-paru dan bronchitis. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan
serangan asma bronchial atau sering disebut faktor pencetus adalah :
a) Alergen
Alergen adalah zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma misalnya debu, spora, jamur, bulu
binatang, makanan laut dan sebagainya.
b) Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran pernafasan terutama disebabkan oleh virus. Virus
influenza merupakan salah satu factor pencetus yang paling
menimbulkan asma bronchial. Diperkirakan dua pertiga penderita
asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran
pernafasan
c) Olahraga atau kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma akan mendapakan serangan asma bila
melakukan olahraga atau aktifitas fisk yang berlebihan.
d) Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronchial sensitif atau alergi terhadap
obat tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein dan
sebagainya.
e) Polusi uadara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap
pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil
pembakaran.
f) Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus yang
menyumbang 2-15 % klien dengan asma (Muttaqin, 2012).
Penyebab bronchitis kronis adalah sebagai berikut :
a. Infeksi seperti Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus,
Haemophilus influenza.
b. Alergi.
c. Rangsangan, seperti asap yang berasal dari pabrik, kendaraan
bermotor, merokok, dll.
Penyebab dari emfisema adalah sebagai berikut :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan
erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV).
b. Keturunan
Belum diketahui jelas apa faktor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-
antitripsin.
c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan pru lebih hebat sehingga gejala
– gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas
pada seseorang penderita bronchitis kronis hamper selalu
menyebabkan infeksi paru bagian bawah dan menyebabkan kerusakan
paru bertambah.
d. Hipotesis Elastase-Antielastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan pada jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada
jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan terjadilah
emfisema.
Pada bronchitis kronis terjadi penumpukan lendir, sekresi yang banyak
sehingga terjadi sumbatan jalan nafas, pada emfisema obstruksi pada pertukaran
oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang
disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru dan pada asma jalan nafas
bronchial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir kedalam paru
sehingga ketiga penyebab ini akan menyebabkan PPOK ( Muttaqin, 2012).
d. Patofisiologi
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan PPOK yaitu asma, emfisema
paru-paru dan bronchitis. Asma akibat alergi bergantung kepada respons IgE
yang dikendalikan oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara
antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar
alergen yang mencetuskan asma bersifat airbone dan agar dapat menginduksi
keadaan sensitivitas, alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk
periode waktu tertentu.
Antagonist β-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas
pada klien asma, sama dengan klien lain dapat menyebabkan peningkatan
reaktifitas jalan nafas dan hal tersebut harus dihindarkan . Pencetus- pencetus asma
mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibody. Reaksi antigen antibodi ini
akan mengeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme
tubuh dalam menghadapi 10 Poltekkes Kemenkes Padang serangan. Zat yang
dikeluarkan dapat berupa histamine, bradikinin dan anafilatoksin. Hasil dari reaksi
tersebut adalah timbulnya tiga gejala yaitu berkontraksinya otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler dan peningatan sekret mukus (Somantri, 2009).
Bronchitis timbul akibat dari adanya paparan terhadap agen infeksi maupun
non infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan memicu timbulnya respon
inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema dan
bronkospasme. Bronchitis lebih memengaruhi jalan nafas kecil dan besar
dibandingkan dengan alveoli. Oleh karena mucocilliary defence dari paru
mengalami kerusakan, maka meningkatkan kecenderungan untuk terserang
infeksi, ketika infeksi timbul kelenjer mukus akan menjadi hipertropi dan
hiperplasia, sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronkial
meradang dan menebal (sampai dua kali ketebalan normal ) dan mengganggu
aliran udara. Mucus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak
akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara
besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronkus besar dan
pada khirnya saluran-saluran nafas akan terkena. Mukus yang kental dan
pembesaran bronkus akan menyebabkan obstruksi jalan nafas, terutama selama
ekspirasi. Jalan nafas mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal
paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hipoksia dan
asidosis. Klien akan mengalami kekurangan oksigen jaringan dan timbul rasio
ventilasi perfusi abnormal, dimana terjadi penurunan PaCO2, klien
terlihat sianosis ketika mengalami kondisi ini (Somantri, 2009).
Pada emfisema penyebab utama penyakit ini adalah merokok dan juga infeksi,
beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas pada emfisema yaitu : inflamasi
dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan recoil
elastik jalan nafas dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang
berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat
terjadi) dan mengakibatkan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Ada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida
dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler
pulmona berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa
untuk mempertahanakan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan
demikian gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi
emfisema karena cor pulmonal menyebabkan vaskuler bed / luasnya permukaan
pembuluh darah akibat semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang/kerusakan paru, darah menjadi asam dan kandungan CO2 dalam
darah meningkat dan oksigen di alveoli menurun lalu terjadilah penyempitan
pembuluh darah dan jumlah sel darah merah meningkat dan menyebabkan
pengentalan darah, lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan hipertensi yang
berakhir dengan gagal jantung. Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan
individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan
sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang
mengalami emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstuksi kronik ke aliran amsuk dan
aliran keluar udara dari paru-paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik.
Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-apru dibutuhkan tekanan
negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus
dicapai dan diprtahankan selama ekspirasi.
B. PATHWAY
C. TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PPOK

Proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,


penyusunan kriteria hasil, tindakan dan evaluasi. Perawat menggunakan pangkajian
dan penilaian klinis untuk merumuskan hipotesis atau penjelasan tentang penyajian
masalah aktual atau potensial, risiko dan atau peluang promosi kesehatan. Semua
langkah-langkah ini membutuhkan pengetahuan tentang konsep-konsep yang
mendasari ilmu keperawatan sebelum pola diidentifikasikan sesuai data klinis atau
penetapan diagnosis yang akurat (Herdman H, 2015).
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis,
nomor registrasi.
b. Keluhan utama
Biasanya pasien PPOK mengeluh sesak nafas dan batuk yang disertai
sputum.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien PPOK mengeluhkan sesak napas, kelemahan fisik,
batuk yang disertai dengan adanya sputum.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ada riwayat paparan gas berbahaya seperti merokok, polusi
udara, gas hasil pembakaran dan mempunyai riwayat penyakit seperti
asma (Ikawati 2016).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ditemukan ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat
alergi (asma) karna asma merupakan salah satu penyebab dari PPOK.
f. Pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Biasanya pada penderita PPOK terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang PPOK.
Biasanya terdapat riwayat merokok karena merokok meningkatkan
risiko terjadinya PPOK 30 kali lebih besar (Ikawati, 2016).
2. Pola nutrisi dan metabolisme.
Biasanya pada pasien PPOK terjadi penurunan nafsu makan.
3. Pola eliminasi.
Pada pola eliminasi biasanya tidak ada keluhan atau gangguan.
4. Pola istirahat dan tidur.
Pola tidur dan istirahat biasanya terganggu karena karena sesak.
5. Pola aktifitas dan latihan.
Pasien dengan PPOK biasanya mengalami penurunan toleransi
terhadap aktifitas. Aktifitas yang membutuhkan mengangkat
lengan keatas setinggi toraks dapat menyebabkan keletihan atau
distress pernafasan (Suzanne, 2001).
6. Pola persepsi dan konsep diri.
Biasa nya pasien merasa cemas dan ketakutan dengan kondisinya.
7. Pola sensori kognitif.
Biasa nya tidak ditemukan gangguan pada sensori kognitif.
8. Pola hubungan peran.
Biasanya terjadi perubahan dalam hubungan intrapersonal maupun
interpersonal. Biasanya adanya perubahan status kesehatan dan
penurunan fungsi tubuh mempengaruhi pola ibadah pasien.
g. Pemeriksaan fisik
1. Gambaran umum.
Biasanya kesadaran pasien composmentis.
2. Secara sistemik dari kepala sampai ujung kaki.
a. Kepala.
Biasanya rambut tidak bersih karena pasien dengan PPOK
mengalami penurunan toleransi terhadap aktifitas termasuk
perawatan diri.
b. Mata.
Biasanya mata simetris, sklera tidak ikterik.
c. Telinga.
Biasanya telinga cukup bersih,bentuk simetris dan fungsi
pendengaran normal.
d. Hidung.
Biasanya hidung simetris, hidung bersih.
e. Leher.
Biasanya tidak ditemukan benjolan.
f. Paru.
 Inspeksi.
Biasanya terlihat klien mempunya bentuk dada barrel chest
penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi.
Biasanya premitus kanan dan kiri melemah.
 Perkusi.
Bisanya hipersonor.
 Auskultasi.
Biasanya terdapat ronkhi dan wheezing sesuai tingkat
keparahan obstruktif.
g. Jantung.
 Inspeksi.
Bisanya ictus cordis tidak terlihat.
 Palpasi.
Biasanya ictus cordis teraba.
 Auskultasi
Biasanya irama jantung teratur.
h. Abdomen.
 Inspeksi.
Biasanya tidak ada asites.
 Palpasi.
Biasanya hepar tidak teraba.
 Perkusi.
Biasanya timphany.
 Auskultasi.
Biasanya bising usus normal.
i. Ekstremitas.
Biasanya didapatkan adanya jari tabuh (clubbing finger) sebagai
dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan (Muttaqin, 2012).
j. Pemeriksaan diagnostik.
1. Pengukuran fungsi paru.
 Kapasitas inspirasi menurun dengan nilai normal 3500 ml.
 Volume residu meningkat dengan nilai normal 1200 ml.
 FEV1 (forced expired volume in one second) selalu menurun :
untuk menentukan derajat PPOK dengan nilai normal 3,2 L.
 FVC (forced vital capacity) awalnya normal kemudian
menurun dengan nilai normal 4 L.
 TLC (Kapasitas Paru Total) normal sampai meningkat sedang
dengan nilai normal 6000 ml.
2. Analisa gas darah.
PaO2 menurun dengan nilai normal 75-100 mmHg, PCO2
meningkat dengan nilai normal 35-45 mmHg dan nilai pH normal
dengan nilai normal 7,35-7,45.
3. Pemeriksaan laboratorium.
 Hemoglobin (Hb) meningkat dengan nilai normal pada wanita
12-14 gr/dl dan laki-laki 14-18 gr/dl , hematocrit (Ht)
meningkat dengan nilai normal pada wanita 37-43 % dan pada
laki-laki 40-48 %.
 Jumlah darah merah meningkat dengan nilai normal pada
wanita 4,2-5,4 jt/mm3 dan pada laki-laki 4,6-6,2 jt/mm3.
 Eosonofil meningkat dengan nilai normal 1-4 % dan total IgE
serum meningkat dengan nilai normal < 100 IU/ml.
 Pulse oksimetri , SaO2 oksigenasi meningkat dengan nilai
normal > 95 %.
 Elektrolit menurun.
4. Pemeriksaan sputum.
Pemeriksaan gram kuman / kultur adanya infeksi campuran .
kuman pathogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus
pneumonia, hemophylus influenzae.
5. Pemeriksaan radiologi Thoraks foto (AP dan lateral).
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung dan
bendungan area paru (Muttaqin, 2012).
2. Diagnosa Keperawatan.

Diagnosa yang biasa ditemukan pada pasien dengan PPOK menurut


NANDA (2015) adalah sebagai berikut :

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus


berlebihan, batuk yang tidak efektif.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi.
c. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai
O2 ke sel dan jaringan kurang.
e. Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan kurang asupan
makanan.
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan kerja siliaris.
h. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian.
i. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan.
Nama : Tn.F Jenis Kelamin : Laki – laki

Usia : 54 Tahun Keluhan Utama : Sesak nafas

A. Analisis Data

No. Hari /Tanggal Data Fokus Masalah Etiologi Diagnosa


Keperawatan

1. Jum’at, 2 DS : Bersihan Jalan Spasme Jalan Bersihan jalan


september  Pasien Nafas tidak Benar Napas napas tidak
2022 mengalami efektif b.d
08.00 batuk spasme jalan
selama 3 nafas d.d
bulan. sputum
 Sesak nafas berlebihan,
selama 1 terdapat bunyi
bulan. ronki pada paru
 Batuk – paru kanan
berdahak. dan kiri.

 Lemas.
DO :
 TD :
120/90
mmHg
 RR : 24
x/menit
 S : 36,3℃
 Bunyi
ronchi pada
paru – paru
kanan dan
kiri.
2. Jumat, 2  Produksi Resiko Gangguan Resiko aktivitas
September sputum intoleransi pernapasan d.d gangguan
2022 banyak. aktivitas pernapasan
15.00  Dada
berbentuk
dada burung.
 Terlihat ada
restraksi
dinding dada.
 Focal
premitus
paru kanan
dan kiri tidak
sama.
 Indeks massa
tubuh 16.
 Pucat dan
terlihat
kelelahan.
 Tidak mau
makan.
 Tidak bisa
tidur.
B. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
(SLKI) (SIKI)
Bersihan jalan Setelah dilkukan tindakan O : - Identifikasi kemampuan
napas tidak keperawatan selama 7x 24 jam batuk
efektif b.d diharapkan bersihan jalan napas -Monitor adanya retensi Sputum
spasme jalan meningkat dengan kriteria hasil : T : - Atur posisi semi Flower
napas d.d sputum 1. Batuk Efektif ( 3 ) -Buang sekret pada tempat
berlebihan 2. Produksi Sputum ( 3 ) Sputum
terdapat bunyi Menurun E : - Jelaskan tujuan dan prosedur
ronkhi pada paru 3. Pola napas ( 3 ) batuk efektif
– paru kanan dan K : Kolaborasi pemberian
kiri mukolitik/ekspektoran jika perlu.

Resiko Setelah dilakukan tindakan O : Identifikasi indikasi


intoleransi keperawatan selama 1x 24 jam dilakukan latihan pernapasan.
aktivitas d.d diharapkan toleransi aktivitas T : - Posisikan pasien nyaman
gangguan meningkat dengan kriteria hasil : dan rileks
pernapasan 1. Kemudahan dalam -Pastikan lengan didada mundur
melakukan aktivitas ke belakang dan telapak tangan di
sehari – hari ( 3 ) perut maju ke depan saat menarik
2. Keluhan lelah ( 3 ) napas.
3. Dispenia saat aktivitas ( -Ambil napas dalam secara
3) perlahan melalui hidung dan
tahan selama tujuh hitungan.
-Hitungan kedelapan hembuskana
napas melalui mulut dengan
perlahan.
E : Jelaskan tujuan dan prosedur
latihan pernapasan
-Anjurkan mengurangi latihan 4 –
5x
C. IMPLEMENTASI
Hari/tanggal No. Dx Implementasi Respon TTD
Jumat,2 Bersihan jalan O :- identifikasi S : pasien
september tidak efektif kemampuan batuk mengatakan masih
2022 b.d spasme -monitor adanya batuk tetapi sudah
09.00 jalan nafas d.b retensi sputum berkurang.
sputum T :-atur posisi semi O : pasien tampak
berlebih, flower/fowler masih batuk.
09.20 terdapat bunyi -buang secret pada S : pasien
rochi pada tempat sputum mengatakan merasa
paru-paru E : jelaskan tujuan lebih nyaman.
kanan dan kiri dan prosedur batuk O : pasien tampak
efektif rileks.
K : kolaborasi S : pasien mampu
09.45 pembuatan memahami apa
mukolitik/ekspektora yang kita jelaskan.
n, jika perlu O : pasien tampak
mendengarkan.
10.00 S : pasien mau
minum obat.
O : pasien tampak
minum obat.
Hari/Tanggal No. DX Implementasi Respon TTD
Jumat,2 Resiko O : identifikasi S : pasien mau
september intolerans indikasi dilakukan melakukan latihan
2022 aktivitas d.d latihan pernapasan. pernapasan.
10.20 gangguan T : -posisikan pasien O : pasien tampak
pernapasan. nyaman dan rileks siap bantu
-tempatkan satu melakukan latihan
tangan di ada dan pernapasan.
10.50 satu tangan di perut S : pasien
-pastikan tangan mengatakan merasa
didada mundur nyaman.
kebelakang dan O : pasien tampak
telapak tangan di rileks.
11.20 perut maju kedepan S : pasien
saat menarik napas mengatakan
-ambil napas dalam memahami apa
secara perlahan yang kita jelaskan.
lahan melalui hidung O : pasien tampak
dan tahan selama mendengarkan.
tujuh hitungan
-hitungan ke delapan
hembuskan napas
melalui mulut
dengan perlahan
E :- jelaskan tujuan
dan prosedur latihan
pernapasan.
-anjurkan
mengulangi 4-5x
D. EVALUASI KEPERAWATAN
No. DX Hari/Tanggal Evaluasi TTD
Bersihkan jalan Jumat,2 S : pasien mengatakan masih
napas tidak september 2022 batuk tetapi sudah berkurang.
efektif b.d 15.00 O : pasien tampak masih batuk.
spasme jalan A : masalah belum teratasi.
napas d.d P : intervensi dilanjutkan
sputum berlebih
terdapat bunyi
rochi pada paru
– paru kanan
dan lain.

No. Dx Hari/Tanggal Evaluasi TTD


Resiko Jumat,2 S : pasien mengatakan sesak
intoleransi september 2022 napas apabila beraktivitas dan
aktivitas d.d 15.00 masih lelah.
gangguan O : pasien tampak lelah dan
pernapasan. sesak napas.
A : masalah belum teratasi.
P : intervensi dilanjutkan
memberikan latihan pernapasan.

Anda mungkin juga menyukai