Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMASI KLINIK

STUDI KASUS GANGGUAN/PENYAKIT KARDIOVASKULER DAN


RESPIRASI
DENGAN DIAGNOSIS UTAMA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIS

DISUSUN OLEH:
KELAS B/GOLONGAN IV/KELOMPOK 4

ANGGOTA KELOMPOK:
1. MARIA NOVIA PUSPITA NURANGGRAENI
NIM 17/411931/FA/11360
2. MAYA SEPTIANA
NIM 17/411933/FA/11362
3. MEUTIA FAZA MEITRIKA
NIM 17/411935/FA/11364

PROGRAM SARJANA PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2020
DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

STUDI KASUS KARDIOVASKULAR DAN RESPIRASI

DENGAN DIAGNOSIS UTAMA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIS

LUARAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi Drug-Related Problems (DRPs) pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.
2. Mahasiswa mampu merencanakan care plan untuk menyelesaikan Drug-
Related Problems (DRPs) pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.
3. Mahasiswa mampu merencanakan monitoring dan evaluasi terapi obat pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.
4. Mahasiswa mampu merencanakan edukasi dan informasi obat pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut


sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya
hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible
sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang
berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien (Sudoyo, et al., 2009).

PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru


terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu penyakit
multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut
bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan
keduanya (GOLD, 2016).

B. Etiologi dan Faktor Risiko

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

1. Asap Rokok

Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok
merupakan salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan
faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK (GOLD, 2016). Asap rokok
yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam
uterus. Sejak lama telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor
risiko utama dari bronkitis kronis dan emfisema. Serangkaian penelitian
telah menunjukkan terjadinya percepatan penurunan volume udara yang
dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi paksa (FEV1)
dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang
ditunjukkan secara spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah
bungkus rokok yang dihisap per hari dikalikan dengan jumlah total tahun
merokok). Walaupun hubungan sebab akibat antara merokok dan
perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari
merokok ini masih sangat bervariasi. Merokok merupakan prediktor
signifikan yang paling besar pada FEV1, hanya 15% dari variasi FEV1
yang dapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun. Temuan ini
mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik
sebagai kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan
obstruksi jalan napas (GOLD, 2016)(Reily, et al., 2011).

2. Paparan Pekerjaan

Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara


dapat diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan
pekerjaan yang khas termasuk penambangan batu bara, panambangan
emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko obstruksi
aliran udara kronis (Sudoyo, et al, 2009).

3. Polusi Udara

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada


orang-orang yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan
mereka yang tinggal di daerah pedesaan, yang berhubungan dengan
meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada wanita bukan
perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di dalam
ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan
sebagai kontributor yang potensial (Reily, et al., 2011).

4. Infeksi Berulang Saluran Respirasi

Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial


dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa,
terutama infeksi saluran napas bawah berulang. Infeksi saluran respirasi
pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor predisposisi
potensial pada perkembangan akhir PPOK (GOLD, 2016)(Reily, et al.,
2011).

5. Kepekaan Jalan Napas dan PPOK

Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi


terhadap berbagai stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin,
adalah salah satu ciriciri dari asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien
PPOK juga memiliki ciriciri jalan napas yang hiperesponsif. Pertimbangan
akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK dalam
kepekaan jalan napas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal
mengarahkan kepada perumusan hipotesis Dutch yang menegaskan bahwa
asma, bronkitis kronis, dan emfisema merupakan variasi dari dasar
penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik
untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata (Sudoyo, et al, 2009)
(Reily, et al., 2011).

6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik


terjadinya PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang
mewarisi defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor
genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan untuk berkembangnya
PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat penting
untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh
bakteri, leukosit PMN, dan monosit (GOLD, 2016)(Reily, et al., 2011).

C. Patofisiologi

Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran napas.


Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas dan
menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit. Berkelok-kelok, dan
berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet. Saluran
napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar
mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran napas disebabkan oleh
berkurangnya elastisitas paru-paru (Mansjoer, 2001).

Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas


yaitu: inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang
berlebihan, kehilangan rekoil elastik jalan napas, dan kolaps bronkiolus
serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli
mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung
dengan kapiler paru secara kontinu berkurang mengakibatkan kerusakan
difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada
tahap akhir, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan
mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dalam darah arteri
(hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respirastorius individu dengan
emfisema mengalami obstruksi kronik kealiran masuk dan aliran keluar
dari paru. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru-paru,
dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi


(Mansjoer, 2001).

D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe perokok (Smeltzer
& Bare, 2007):

1. Mempunyai gambaran klinik dominan ke arah


bronchitis kronis (blue bloater).
2. Mempunyai gambaran klinik ke arah emfisema
(pink puffers)

Tanda dan gejalanya adalah:

1. Kelemahan badan
2. Batuk
3. Sesak napas
4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
5. Mengi atau wheezing
6. Ekspirasi yang memanjang
7. Batuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
8. Penggunaan alat bantu pernapasan
9. Suara napas melemah
10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
11. Edema kaki, ansietas, dan jari tabuh
E. Tujuan Terapi

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko


eksaserbasi akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik,
memperbaiki toleransi terhadap aktivitas, dan memperbaiki status kesehatan.
Sedangkan indikator penurunan risiko adalah mencegah perburukan penyakit,
mencegah dan mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas.

F. Farmakologi

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat,


seperti:

1. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat


meningkatkan FEV1 dan atau mengubah variabel spirometri. Obat
ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada saluran
pernapasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran
ekspirasi dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru.
Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi dinamis
saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap
akivitas. Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat
sulit untuk memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat
istirahat. Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang
memberikan respon relatif pada setiap kelas bronkodilator.
Peningkatan dosis beta2-agonist atau antikolinergik, khususnya
yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan efek positif pada
episode akut, namun tidak terlalu membantu pada kondisi stabil.
Bronkodilator pada PPOK diberikan sebagai dasar untuk mencegah
atau menurunkan gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan
bronkodilator dengan kerja pendek.

2. Beta2-agonist

Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada


saluran pernapasan dengan menstimulasi reseptor beta2-
adrenergik, dimana akan meningkatkan siklus AMP dan
memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan
bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist dengan kerja pendek
(SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya
muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara regular dapat
meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala. Untuk dosis tunggal,

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat keuntungan apabila


digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol dibandingkan
konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12
jam atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada
terapi SABA. Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang
diberikan 2 kali dalam sehari, dimana secara signifikan
memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak, laju eksaserbasi serta
jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak terdapat efek
pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau LABA
yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status
kesehatan, dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat
batuk akan diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi.
Oladaterol dan vilanterol merupakan tambahan LABA yang dapat
dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat memperbaiki gejala dan fungsi
paru. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat memproduksi sinus
takikardia dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme
jantung. Tremor dapat dirasakan pada pasien tua dengan dosis
tinggi. Apabila terapi dikombinasi dengan diuretik thiazide, dapat
menimbulkan hipokalemia dan peningkatan konsumsi oksigen
pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek penurunan
metabolik.

3. Antimuskarinik

Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi


asetikolin pada reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran
pernapasan. Short-acting ntimuscarinic (SAMAS) seperti
ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok reseptor neuronal M2,
yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi. Long acting
muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan
dengan reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

dibandingkan reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi


efek bronkodilator. Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja
pendek memiliki efek yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja
pendek dalam hal perbaikan fungsi paru, status kesehatan dan
kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs seperti
titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium
untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara
memberikan 1 kali sehari dan negara lain memberikan 2 kali
sehari. Pengobatan dengan tiotripium dapat memperbaiki gejala
dan status kesehatan, memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan
mengurangi eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa penelitian
menunjukkan efek eksaserbasi yang lebih besar pada golongan
obat LAMAs (tiotropium) dibandingkan LABA. Efek samping
yang dapat muncul berupa mulut kering, gangguan buang air kecil,
dan pada penggunaan ipratropium menunjukkan gejala mulut
terasa pahit dan gangguan pengecapan serta sebagian kecil
peningkatan kejadian kardiovaskuler.

4. Methylxanthines

Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling


sering digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450
dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa
peningkatan fungsi otot skeletal respirasi. Penambahan
theophylline dengan salmeterol memberikan efek perbaikan pada
FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian salmeterol
saja. Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang
diberikan, dimana efek yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat
atrium dan ventrikel aritmia. Efek lain termasuk sakit kepala,
insomnia, mual, terasa panas di dada. Pengobatan ini juga memiliki
interaksi yang signifikan dengan beberapa obat seperti digitalis dan
coumadin.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

5. Kombinasi terapi bronkodilator

Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan


efek perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara
tunggal. Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium inhaler
memberikan efek yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki
fungsi paru dan status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa
penelitian menunjukkan pemberian kombinasi LABA/LAMA,
memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga
dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan
ICS (inhaled corticosteroid).

6. Anti-inflamasi

- Inhaled corticosteroid (ICS)

Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan


respon yang terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist,
theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas
kortikosteroid pada PPOK. Pengobatan dengan ICS saja, tidak
dapat memodifikasi penurunan FEV1. Pada pasien dengan PPOK
kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan LABA lebih efektif
dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan menurunkan
eksaserbasi. Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed dose
combination FDC) memberikan efek yang signifikan dibandingkan
dengan LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1
kali dalam setahun. Efek samping yang ditimbulkan yaitu,
candidiasis mulut, suara parau, kulit memar, dan pneumonia.
Peningkatan risiko tersebut telah dikonfirmasi pada ICS dengan
menggunakan fluticasone furoate, walaupun pada dosis rendah.

7. Antibiotik

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik


secara regular dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin
(250 mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu) atau eritromycin (500
mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan risiko
eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan peningkatan
insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.

8. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan

Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid


inhaler, terapi regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan
N-acetylcystein dapat menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki
status kesehatan.

(GOLD, 2016)

G. Penatalaksanaan Pada Keadaan Stabil

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk


menurunkan gejala, menurunkan frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas dan status kesehatan. Pemelihan
pengobatan dari masing-masing kelas, tergantung aviabilitas, harga, dan
perbandingan antara respon klinis dan efek samping. Setiap pengobatan
harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu berdasarkan
beratnya gejala, keterbatasan aliran udara, dan beratnya eksaserbasi.

Terapi farmakologi pada PPOK keadaan stabil berdasarkan


kelompok atau populasi yang sudah ditentukan (GOLD, 2016):

1. Populasi A, menggunakan bronkodilator dengan pilihan pertama SAMA


atau SABA (jika diperlukan). Pilihan kedua digunakan LAMA atau LABA
atau SAMA dan SABA. Sedangkan untuk pilihan alternative digunakan
theophylline.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

2. Populasi B menggunakan pilihan pertama LAMA atau LABA, pilihan


kedua digunakan LAMA dan LABA, serta pilihan alternative digunakan
SABA dan/atau SAMA dan theophylline.
3. Populasi C dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA, pilihan
kedua menggunakan LAMA dan LABA, sedangkan pilihan alternative
dapat menggunakan PDE4-inhibitor, SABA dan/atau SAMA, serta
theophylline.
4. Populasi D dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA. Pilihan
kedua menggunakan beberapa pilihan obat yaitu ICS dan LAMA atau
ICS+LABA dan LAMA atau ICS+LABA dan PDE4-inhibitor atau LAMA
dan LABA atau LAMA dan PDE4-inhibitor. Sedangkan untuk pilihan
alternative dapat menggunakan carbocysteine, SABA dan/atau SAMA,
serta theophylline.

Terapi non farmakologi pada PPOK keadaan stabil:

1. Edukasi dan self managemen

Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap


berpikir positif dalam mengahadapi penyakitnya. Selain itu, juga
membantu pasien memodifikasi faktor risiko yang dapat sebagai pencetus
eksaserbasi. Pasien juga diharapkan dapat melakukan penanganan apabila
gejala muncul. Berdasarkan GOLD 2016, Kelompok A,B,C, dan D, dapat
memodifikasi faktor risiko, termasuk merokok, mengatur aktivitas fisik
dan mengatur tidur dan pola hidup sehat. Sedangkan khusus untuk
Kelompok B dan D, harus dapat melakukan penanganan terhadap gejala
sesak, teknik konservasi energi dan management stress. Kelompok C dan
D dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap faktor pemicu,
monitoring dan menangani gejala buruk, dan mempunyai rencana serta
mengatur komunikasi dengan tenaga kesehatan. Kelompok D harus mulai
melakukan diskusi paliative dengan tenaga kesehatan.

2. Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh


karena itu perlu memilih aktivitas agar tidak terjadi eksaserbasi melalui
beberapa program. Program rehabilitasi paru, khusunya pada kelompok B,
C, D dapat mencegah proses teradinya eksaserbasi. Program rehabilitasi
termasuk pelatihan aktivitas fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan
edukasi. Program latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat
melakukan aktivitas berat serta dapat meningkatkan efek kerja obat
LABA/LAMA. Selain itu, aktivitas fisik aerobik dapat meningkatkan
kekuatan dan apabila difokuskan pada ekstremitas atas, dapat memperkuat
otot pernapasan inspirasi. Hal tersebut tentunya harus disesuaikan dengan
terapi nutrisi.

3. Vaksinasi

Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23 direkomendasikan


pada pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan
pada pasien PPOK umur muda dengan penyakit komorbid gagal jantung
kronik atau penyakit paru lainnya.

4. Terapi oksigen

Indikasi:

 PaO2 <7,3 kPa (55mmHg) atau SaO2 <88% dengan atau tanpa
hiperkapnia 2 kali dalam 3 minggu atau
 PaO2 7,3 kPa (55 mmHg)- 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 88%, jika
terdapat hipertensi pulmonal, edema perifer yang mengarah pada gagal
jantung kongestive, atau policitemia (HCT>55%). Terapi ini harus
dievaluasi 60-90 hari dengan analisa gas darah.
5. Terapi ventilasi

Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang terjadi


setiap hari dan sering hospitalisasi, dimana terapi sistemik tidak
menunjukkan perbaikan.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

6. Intervensi bronkoskopi dan operasi

Indikasi dilakukan tindakan ini adalah:

a. Pasien dengan enfisema heterogen atau homogen dan signifikan refrakter


hiperfentilasi, dimana tindakan dilakukan untuk menurunkan volumen
paru.
b. Pasien dengan bulla yang besar, dapat disarakan operasi bullektomi
c. Pasien PPOK sangat berat tanpa kontraindikasi, disarankan melakukan
transplantasi paru.

(GOLD, 2016)

H. Penatalaksanaan Pada Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti kejadian kompleks dengan


peningkatan inflamasi saluran pernapasan, peningkatan produksi mukus
dan terperangkapnya udara dalam saluran pernapasan. Hal tersebut
menimbukan gejala sesak sebagai gejala khas eksaserbasi. Gejala lain
berupa peningkatan produksi dan konsistensi sputum, bersamaan dengan
peningkatan batuk dan wheezing. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi
atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi. Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:

1. Tipe I ( eksaserbasi berat), memilki 3 gejala di atas. Harus segera


hospitalisasi dan berhubungan dengan gagal napas akut.
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) memiliki 2 gejala di atas. Terapi dengan
SABDs dan antibiotik dan/atau oral kortikosteroid.
3. Tipe III (eksaserbasi ringan) memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran pernapasan atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. Terapi
dengan bronkodilator kerja pendek.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Penyebab eksaserbasi akut dapat berupa primer karena infeksi


trakeobronkial (biasanya karena virus); sekunder: pneumonia, gagal
jantung kanan, atau kiri, atau aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan,
penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat
penenang, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM, gangguan
elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk/polusi udara, aspirasi
berulang, stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).
Penanganan eksaserbasi akut ringan dapat dilakukan di rumah oleh pasien
yang telah diedukasi dengan cara menambahkan dosis bronkodilator atau
dengan mengubah bentuk bronkodilator yang digunakan dari bentuk
inhaler, oral menjadi bentuk nebulizer; menggunakan oksigen bila
aktivitas dan selama tidur; menambahkan mukolitik; dan menambahkan
ekspektoran. Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan pasien harus segera
dibawa ke dokter. Penatalaksanaan eksaserbasi akut sedang dan berat
dilakukan di rumah sakit, dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat
inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, unit gawat darurat, ruang
rawat, atau ruang ICU. Indikasi pasien harus dirawat di rumah sakit
tergantung pada derajat eksaserbasi dan gejala klinis pasien, dengan
mengikuti kriteria :

1. Tidak terdapat gagal pernapasan: RR 20-30x/menit, tidak


menggunakan otot pernapasan aksesoris, tidak terdapat perubahan
status mental, hipoksemia membaik dengan tambahan oksigen
melalui masker venturi 28-35%, tidak terdapat peningkatan
PaCO2.
2. Gagal napas akut-tidak mengancam nyawa: RR >30x/menit,
menggunakan bantuan otot pernapasan, tidak terdapat perubahan
status mental, hipoksemia membaik dengan tambahan oksigen
melalui masker venturi 34-40%, hiperkarbia, PaCO2 meningkat
50-60 mmHg.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

3. Gagal napas akut-mengancam nyawa : RR>30x/menit,


menggunakan bantuan otot pernapasan, perubahan akut status
mental, hipoksemia tidak membaik dengan tambahan oksigen
melalui masker venturi >40%, hiperkarbia, PaCO2 meningkat >60
mmHg, asidosis (pH≤ 7,25) .

(GOLD, 2016)

Terapi farmakologi pada eksaserbasi akut:

1. Bronkodilator

Beta2-agonist kerja pendek dengan atau tanpa


antikolinergik kerja pendek merupakan terapi bronkodilator utama
pada pasien PPOK dengan eksaserbasi. Tidak terdapat perbedaan
efek yang signifikan antara penggunaan metered dose inhaler
(MDI) dan nebulizer. Pasien yang tidak mendapatkan nebul secara
berlanjut dapat menggunakan MDI inhaler 1 semprot setiap 1 jam
untuk 2-3 dosis dan setiap 2-4 jam berdasarkan respon pasien
(GOLD, 2016).

2. Glukokortikoid

Sistemik glukokortikoid pada pasien PPOK dapat


menurunkan waktu eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru.
Selain itu juga memperbaiki oksigenasi, risiko kejadian berulang,
kegagalan terapi dan lamanya dirawat di rumah sakit. Terapi
prednisolon oral memiliki efektivitas yang sama dengan terapi
intravena dan nebul budesonide dapat sebagai alternatif
kortikosteroid oral pada terapi PPOK eksaserbasi (GOLD, 2016).

3. Antibiotik

Pemberian antibiotik berdasarkan gejala klinis infeksi


bakteri seperti peningkatan produksi dan konsistensi sputum.
Antibiotik dapat diberikan apabila pasien memiliki gejala cardinal

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

seperti sesak , peningkatan volume dan konsistensi sputum,


terdapat 2 gejala dari 3 gejala, terdapat peningkatan konsistensi
sputum sebagai salah satu gejala dari 2 gejala atau memerlukan
ventilasi mekanik (invasive atau noninvasive). Lama pemberian
antibiotik adalah 5-7 hari. Pemilihan antibiotik berdasarkan
resistensi bakteri lokal, biasanya dimulai dengan terapi empiris
aminopenicillin dengan asam clavulanic, macrolide atau
tetracycline. Pada pasien dengan eksaserbasi yang berulang,
keterbatasan aliran udara, dan/atau eksaserbasi yang membutuhkan
ventilasi mekanik, hasil kultur yang menunjukkan bakteri gram
negatif, dapat menunjukkan gejala resisten terhadap antibiotik
tersebut. Pemberian secara oral atau intravena, tergantung
kemampuan pasien, namun lebih disarankan diberikan secara oral
(GOLD, 2016).

4. Terapi pendukung

Terapi ini diberikan berdasarkan kondisi pasien seperti


kebutuhan keseimbangan cairan, diuretik, antikoagulan apabila
terdapat indikasi atau penyakit komorbid diikuti dengan edukasi
berhenti merokok. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, PPOK
dengan eksaserbasi meningkatkan risiko terjadinya deep vein
thrombosis, emboli paru, sehingga diperlukan pemeriksaan
lanjutan (GOLD, 2016).

5. Terapi oksigen

Terapi oksigen harus dititrasi pada pasien dengan


hipoksemia dengan saturasi target 88-92%. Ketika memulai terapi
oksigen, analisa gas darah harus dilakukan untuk mengetahui
oksigenasi tanpa retensi karbodioksida dan/atau asidosis yang
memburuk. Pemberian oksigen dengan masker venturi

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

menunjukkan hasil yang akurat dibandingkan dengan nasal prongs


(GOLD, 2016).

6. Terapi ventilasi

Pemberian terapi ventilasi pada kasus PPOK eksaserbasi


dapat secara noninvasive (nasal atau facial mask) atau invasive
(oro-tracheal tube atau tracheostomy), Ventilasi mekanik
noninvasive diberikan pada pasien gagal nafas akut yang sudah
hospitalisasi dan mengalami PPOK eksaserbasi. Beberapa
penelitian menunjukkan terdapat perbaikan oksigenasi dan asidosis
respirasi akut, peningkatan pH dan penurunan PaCO2, penurunan
laju pernafasan, dan sesak. Namun, memiliki komplikasi berupa
pneumonia yang berhubungan dengan ventilator dan lamanya
hospitalisasi. Ventilasi mekanik invasive diberikan dengan indikasi
kegagalan terapi ventilasi mekanik noninvasive sebagai terapi
pertama pada gagal nafas akut, PPOK eksaserbasi. Efek samping
yang ditimbulkan berupa risiko infeksi pneumonia (multiresisten
organisme), barotrauma dan volutrauma (GOLD, 2016).

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

KASUS

Riwayat Penyakit sekarang:

Ny. SMS, 62 tahun, didiagnosis PPOK sejak 2 tahun yang lalu. Dia masuk RS 2

hari yang lalu dengan gejala sesak napas dan batuk berdahak yang sulit

dikeluarkan. Waktu masuk RS, mukanya kelihatan pucat membiru (cyanosis) dan

napas tersengal-sengal. Denyut jantungnya 95/menit dan PEF 50%.

Riwayat penyakit dahulu:

Tidak merokok, tapi almarhum suaminya (meninggal 4 tahun yang lalu karena

kanker paru-paru) adalah perokok berat dan suka merokok di dalam rumah.

Setengah tahun yang lalu dia masuk RS karena gangguan ginjal. Saat ini fungsi

ginjalnya sudah banyak berkurang. Ny. SMS juga menderita tukak lambung yang

cukup sering kambuh. Sejak dua hari yang lalu (di RS) mengalami mual dan

muntah.

Riwayat pengobatan:

Selama ini di rumah dia menggunakan nebulizer ipratropium bromida inhalasi 500

g 1 x sehari. Tapi tidak begitu patuh karena menyebabkan pandangan matanya

kabur. Untuk tukak lambungnya dia menggunakan simetidin bila perlu.

Hasil pemeriksaan fisik dan lab:

• TB: 165 cm, BB: 65 kg, T: 38.0oC Hitung leukosit: 18.000 cells/mm3

• Belum dilakukan pemeriksaan kultur sputum dan sensitivitas kuman.

 Kreatinin serum: 3,5 mg/dL. Diagnosis: Eksaserbasi akut PPOK

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

ASESMEN DRUG-RELATED PROBLEMS (DRPs) DAN RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN (PHARMACEUTICAL

CARE PLAN)

Masalah Medik Terapi S, O A P

PPOK Nebulizer S: sesak napas, batuk  Pasien dalam kondisi  Rekomendasi pengobatan
ipratropium berdahak yang sulit demam dan jumlah leukosit untuk eksaserbasi PPOK
bromida inhalasi dikeluarkan, muka pucat tinggi sebagai tanda terapi oksigen, salbutamol
500 g 1 x sehari membiru (cyanosis), napas kemungkinan terjadinya nebulasi 2,5 mg setiap 20
tersengal-sengal. infeksi yang menyebabkan menit untuk 3 dosis
eksaserbasi. (Kopsaftis, et al., 2018)
O: HR 95/menit; PEF 50%;
 Kategori eksaserbasi yang prednison 40 mg PO 1 kali
T: 38.0oC Hitung leukosit:
dialami pasien adalah sehari selama 10-14 hari,
18.000 cells/mm3
moderat karena mengalami azitromisin 500 mg/hari
dua gejala (sesak napas dan selama 3 hari tanpa
memiliki sputum). penyesuaian dosis karena
 Cyanosis menandakan gangguan renal (CrCl
bahwa pasien mengalami 17ml/mnt) (Drug
kekurangan oksigen dalam Information Handbook)
darah. (DiPiro, et al.,2014)
 Pasien memiliki PEF 50%  Untuk pengobatan
yang menandakan pasien maintanance
mengalami PPOK stage direkomendasikan
moderat (GOLD 2). kombinasi dosis tetap

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

 Pasien merupakan inhalasi flutikason 250


kelompok pasien kategori mcg/salmeterol 50 mcg
D stage GOLD 2 dengan tiap 12 jam (Drug
estimasi nilai CAT >10 Information Handbook)
berdasarkan keluhan (DiPiro, et al.,2014)
pasien.  Pasien disarankan untuk
 Ketidakpatuhan pasien menjauhi polusi atau asap
dalam mengonsumsi yang dapat memicu
ipratropium bromida akibat eksaserbasi dan
munculnya efek yang tidak menjalankan program
dikehendaki dan mungkin rehabilitasi paru.
saja meningkatkan risiko  Vaksinasi influenza
eksaserbasi. direkomendasikan untuk
 Pasien diduga mengalami mencegah infeksi yag
gangguan pengelihatan, dapat menyebabkan
batuk yang sulit eksaserbasi (Bennett, et
dikeluarkan, mual, serta al., 2014)
muntah akibat efek
samping Ipratropium
bromida.
 Pasien belum mendapat
terapi untuk manajemen
ppok stabil sehingga
meningkatkan risiko

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

eksaserbasi

Tukak Lambung Simetidin prn S : mual, muntah  Pengobatan dengan  Pasien dianjurkan untuk
simetidine tidak adekuat menghindari makan
O :-
sehingga masih tengah malam dan
menyebabkan mual makanan yang dapat
muntah. memicu sekresi asam
 Mual muntah yang dialami lambung berlebih.
pasien bisa terjadi karena  Direkomendasikan
efek eksaserbasi PPOK penambahan lansoprazol
(Lee al & Goldstein, 2015). 15 mg 1 kali sehari selama
8 minggu (Sasaki, et al.,
2009)

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

PEMBAHASAN

Pada praktikum terkait pencernaan dan pernafasan ini, kelompok kami


mendapatkan kasus terkait sistem pernafasan yaitu seorang perempuan 62
tahun dibawa ke Rumah Sakit dalam kondisi sesak nafas, batuk berdahak yang
sulit dikeluarkan, wajah pucat membiru (sianosis), nafas tersengal-sengal
dengan diagnosis eksaserbasi akut Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK).
Pasien telah didiagnosis PPOK sejak 2 tahun yang lalu dengan pengobatan
nebulizer ipratropium bromida inhalasi 500 mg 1 x sehari, juga memiliki
tukak lambung yang cukup sering kambuh dan diatasi menggunakan simetidin
bila perlu, serta fungsi ginjal pasien sudah banyak berkurang.
Kami melakukan analisis terhadap terjadinya Drug Related Problems
(DRPs) berdasarkan telaah kasus dan mempertimbangkan kondisi pasien dan
rekomendasi diberikan berdasarkan tinjauan literatur yang ada. Berikut ini
masalah terkait obat yang kami temukan :
1. Ketidakpatuhan
Diketahui pasien terkadang memilih tidak menggunakan nebulizer
ipratropium bromida karena menyebabkan pandangan mata pasien kabur.
2. Reaksi obat yang merugikan
Ditemukan efek obat yang tidak diharapkan yaitu efek samping
dari penggunaan ipratropium bromide menyebabkan pandangan mata
pasien kabur.
3. Obat inefektif
Pengobatan tukak lambung pasien menggunakan Simetidin belum
memberikan efek yang adekuat sehingga pasien mengalami mual dan
muntah.
4. Memerlukan tambahan terapi obat
Eksaserbasi yang dialami pasien disertai dengan gejala sesak nafas
dan peningkatan volume sputum namun tidak diketahui apakah terjadi
peningkatan purulensi sputum sehingga dikategorikan dalam kondisi
eksaserbasi moderat. Selain itu kondisi pasien dengan usia 62 tahun

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

dengan eksaserbasi kurang dari 3 kali dalam setahun, dan tidak memiliki
penyakit jantung dapat dikategorikan sebagai kandidat yang memerlukan
terapi antibiotic untuk mengurangi risiko eksaserbasi. Hasil pemeriksaan
laboratorium leukosit pasien yang lebih tinggi dari normal menunjukkan
kemungkinan infeksi yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi.
Saat ini pasien hanya diberikan ipratropium bromida yang
merupakan bronkodilator antimuskarinik kerja pendek (SAMA) untuk
mengobati penyakit paru obstruksi kronis. Pasien dikategorikan dalam
kelompok D berdasarkan nilai Peak Expiratory Flow (PEF) pasien 50%,
memerlukan penanganan eksaserbasi di rumah sakit, dan perkiraan nilai
COPD Assessment Test (CAT) >10 sehingga pasien memerlukan
tambahan terapi obat untuk mempertahankan kondisi yang stabil.

RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN

Rencana asuhan kefarmasian (care plan) yang diberikan oleh apoteker


kepada dokter dilakukan berdasarkan hasil telaah kasus dengan
mempertimbangkan kondisi pasien. Rekomendasi didasarkan pada
tinjauan literatur yang mendukung meliputi textbook, jurnal dan guideline
internasional. Adapun rencana asuhan kefarmasian pada praktikum ini
adalah sebagai berikut :
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Merekomendasikan pemberian terapi oksigen, salbutamol nebulasi 2,5


mg setiap 20 menit untuk 3 dosis (Kopsaftis, et al., 2018) prednison 40 mg PO
1 kali sehari selama 10-14 hari, azitromisin 500 mg/hari selama 3 hari tanpa
penyesuaian dosis karena gangguan renal (CrCl 17ml/mnt) untuk eksaserbasi
PPOK (Drug Information Handbook) (DiPiro, et al.,2014). Saat terjadi
eksaserbasi PPOK tidak dapat dilakukan isolasi bakteri atau virus, akan tetapi
penggunaan azithromycin sebagai antibiotik secara empiris disarankan untuk
profilaksis eksaserbasi PPOK dikemudian hari (Bennett, et al., 2014).

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Menurut DiPiro (2014) terapi lini pertama untuk PPOK kondisi stabil
kategori D adalah pemberian kortikosteroid inhalasi (ICS) kombinasi agonis
beta kerja panjang (LABA) dan/atau agen antimuskarinik kerja panjang
(LAMA). Kami merekomendasikan kombinasi dosis tetap inhalasi flutikason
250 mcg/salmeterol 50 mcg tiap 12 jam (Drug Information Handbook).
Direkomendasikan pula untuk melakukan vaksinasi influenza untuk
mencegah infeksi yang dapat menyebabkan eksaserbasi (Bennett, et al., 2014).
Selain itu, pasien juga disarankan untuk menjauhi polusi atau asap yang dapat
memicu eksaserbasi dan menjalankan program rehabilitasi paru.

2. Tukak Lambung
Pasien mengalami mual dan muntah yang kembali muncul saat
dirawat, hal ini dapat terjadi akibat pengobatan tukak lambung yang belum
adekuat dan bisa saja tukak lambung terjadi sebagai efek eksaserbasi PPOK.
Kami merekomendasikan penambahan lansoprazol 15 mg 1 kali sehari selama
8 minggu yang secara signifikan mencegah eksaserbasi PPOK (Sasaki, et al.,
2009). Pasien juga dianjurkan untuk menghindari makan tengah malam dan
makanan yang dapat memicu sekresi asam lambung berlebih.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

PARAMETER PEMANTAUAN

Parameter efektivitas Parameter efek samping


Obat
Kondisi klinik TTV dan lab Kondisi klinik TTV dan lab

Nebulizer ipratropium sesak napas dan batuk PEF > 80%, CAT, mMRC, Mulut kering, kejadian Peningkatan tekanan
bromida inhalasi 500 g berdahak yang sulit FEV1/FVC >0,7 kardiovaskuler, intraokular
dikeluarkan hilang. penglihatan kabur,

Simetidin Tidak terasa nyeri Pemeriksaan fisik, Ginekomastia, Leukopenia,


lambung, mual, muntah, endoskopi abnormalitas status mental trombositopenia
perdarahan lambung (halusinasi. kebingungan
pada usia lanjut)
Flutikason Kejadian eksaserbasi PEF > 80%, CAT, mMRC, Oral kandidiasis, Pemeriksaan fisik,
berkurang, peradangan FEV1/FVC >0,7 pneumonia, suara parau, radiografi paru
berkurang, dan fungsi memar kulit, palpitasi
paru-paru stabil
Salmeterol otot polos jalan napas PEF > 80%, CAT, mMRC, Vasodilatasi perifer, Pemeriksaan fisik
rileks, fungsi paru yang FEV1/FVC >0,7 gangguan tidur, kram otot,
lebih baik
Salbutamol Gejala eksaserbasi mereda PEF > 80%, CAT, mMRC, Palpitasi, takikardi, aritmia, Hipotensi (TD), HR
FEV1/FVC >0,7 urtikaria, angioedema

Prednison fungsi paru-paru dan PEF > 80%, CAT, mMRC, Gangguan cairan dan Pemeriksaan fisik,
oksigenasi arteri meningkat FEV1/FVC >0,7 elektrolit, perdarahan, pemeriksaan tulang

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

osteoporosis, miopati,
Azitromisin sesak napas dan batuk PEF > 80%, CAT, mMRC, Mual, muntah, kembung, tes fungsi hati, eosinofilia,
berdahak yang sulit FEV1/FVC >0,7 diare, gangguan pengukuran suhu tubuh
dikeluarkan hilang. pendengaran, nefritis (demam)
interstitial, vertigo,
hepatitis kolestatik akut,
Lansoprazol Mengurangi nyeri akibat Pmeriksaan fisik, Urtikaria, mual, muntah, Eosinofilia,
tukak lambung, endoskopii konstipasi, kembung, nyeri trombositopenia,
abdomen, pandangan leukopenia (tes darah
kabur, edema perifer, lengkap), tes fungsi hati
mulut kering

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis

 Menjelaskan pada pasien mengenai tujuan terapi untuk meminimalkan


efek negatif akibat eksaserbasi dan mencegah berulangnya kejadian
tersebut.
 Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan faktor penyebab
eksaserbasi seperti debu, polusi udara-bahan kimia, dan asap rokok.
 Mengedukasi pasien mengenai progam rehabilitasi paru selama 6
minggu dalam rangka mencegah eksaserbasi dengan melakukan
perubahan gaya hidup seperti melakukan latihan fisik.
 Menginformasikan pasien mengenai cara penggunaan inhalasi
kombinasi salmeterol dan flutikason :
a. Tempatkan jempol pada alur dan buka dengan cara mendorong
alur ke kanan hingga terdengar bunyi klik
b. Geser tuas ke kanan sampai bunyi klik
c. Memegang diskus dengan posisi horizontal
d. Tariklah napas dan hembuskan jauh dari mouthpiece diskus
e. Tempatkan diskus di mulut antara gigi dan bibir
f. Tarik napas mantap dan mendalam
g. Lepaskan mouthpiece diskus dari mulut dan tahan napas yang
dalam selama 5-10 detik
h. Hembuskan dan bernapaslah perlahan-lahan
i. Tempatkan jempol pada alur dan geser kembali ke arah kiri sampai
terdengar bunyi klik (Lorensia, 2016).
 Mengedukasi pasien untuk tidak membawa tank oksigen terapi ke
ruangan sempit.
 Mengedukasi pasien tentang efek samping terapi oksigen yang mungkin
timbul meliputi hidung kering, iritasi area kulit wajah, mimisan sesaat,
kelelahan dan pusing saat bangun tidur di pagi hari. Mengedukasi

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

tentang efek samping prednisone meliputi pusing, sakit kepala,


takikardi, serta nyeri pada lengan atau kaki. Mengedukasi tentang efek
samping azitromicin meliputi detak jantung yang tidak biasanya, reaksi
kulit yang berat, diare, mual serta muntah.
 Mengedukasi pasien untuk meminum prednisone bersama makanan
serta tidak menghentikan pengobatan prednisone secara tiba-tiba.
 Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan sinar matahari ketika
mengonsumsi azitromicin karena dapat membuat kulit terbakar dengan
lebih mudah
2. Tukak Lambung

 Menginformasikan mengenai tujuan terapi, obat yang diberikan dan

aturan pakai lansoprazol yaitu diminum 1 tablet 15 mg sekali / hari

pada pagi hari, 30 menit sebelum sarapan.

 Mengedukasi pasien untuk menghindari makan tengah malam dan

makanan yang dapat memicu sekresi asam lambung berlebih.

 Menginformasikan kepada pasien efek samping yang dapat timbul

akibat konsumsi lansoprazol seperti urtikaria, mual, muntah,

konstipasi, kembung, nyeri abdomen, pandangan kabur, edema perifer,

mulut kering.

 Mengedukasi pasien untuk segera menemui dokter apabila terjadi

perburukan tanda dan gejala, dan memeriksakan diri sesuai jadwal

apabila tidak ada perburukan.

EVALUASI DAN FOLLOW-UP

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Evaluasi (frekuensi/periode evaluasi dan target terapi sesuai indikasi dari

tiap obat.)

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Pada setiap kontrol perlunya dilakukan peninjauan ulang gejala (dispnea) dan

risiko eksaserbasi. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pengobatan dan

penggunaan teknik inhalasi yang benar. Peninjauan respon klinis pasien dan

pemantauan efek samping obat dalam 3-6 bulan. Melakukan spirometri setiap

tahun untuk mengetahui progresi penyakit. Memantau perkembangan gejala

PPOK, perbedaan yang dirasakan sebelum perubahan terapi dengan kondisi

saat ini pada pasien setiap kontrol.

2. Tukak Lambung

Melakukan pemantauan efikasi, efek samping, dan kepatuhan pasien terkait

dengan tercapainya tujuan terapi. Mengevaluasi aksesibilitas pasien terhadap

pengobatan seperti status obat dalam formularium, dan asuransi kesehatan.

Memonitor tanda dan gejala komplikasi seperti penurunan berat badan

maupun perdarahan.

Follow up (apa yang harus dilakukan) apabila:

1. Obat efektif / mencapai target terapi

Obat yang efektif atau telah mencapai target terapi dilanjutkan penggunaannya
untuk mempertahankan kondisi pasien yang telah berlangsung baik dan
mampu mempertahankan maupun meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Obat tidak efektif / tidak mencapai target terapi

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pada pengobatan penyakit paru obstruksi kronis yang belum efektif dapat

dilakukan penambahan obat yaitu Long Acting Anti Muskarinik atau dapat

menambahkan roflumilast jika eosinofil <100 sel/µL. Apabila terjadi efek

samping penggunaan flutikason seperti pneumonia, penggunaan flutikason

dihentikan dan diberikan kombinasi salmeterol dengan anti muskarinik aksi

panjang. Pada pengobatan tukak lambung yang tidak efektif atau target terapi

yang belum tercapai dapat dilakukan peningkatan dosis lansoprazol yang

diberikan.

KESIMPULAN

1. Masalah terkait obat yang ditemukan antara lain: ketidakpatuhan, obat

inefektif, reaksi obat yang merugikan, dan memerlukan tambahan terapi

obat.

2. Apoteker merekomendasikan agar pasien mendapatkan obat :

o Oksigen, salbutamol nebulasi 2,5 mg setiap 20 menit untuk 3 dosis,

prednison 40 mg PO 1 kali sehari selama 10-14 hari, azitromisin

500 mg/hari untuk eksaserbasi PPOK.

o Kombinasi dosis tetap inhalasi flutikason 250 mcg/salmeterol 50

mcg tiap 12 jam untuk pemeliharaan kondisi PPOK stabil.

o Lansoprazol 15 mg 1 kali sehari selama 8 minggu untuk tukak

lambung.

o Vaksinasi influenza

3. Rencana pemantauan terapi yang akan dilakukan adalah :

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

o Penilaian kepatuhan, efikasi, dan efek samping obat setiap kontrol

pada PPOK maupun tukak lambung

o Penilaian progresi PPOK dengan spirometri setiap tahun

o Memonitor tanda dan gejala komplikasi tukak lambung.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug

Information Handbook 17th Edition, American Pharmacist Association.

Bennett, John E., Raphael Dolin, and Martin J. Blaser. Mandell, douglas, and

bennett's principles and practice of infectious diseases: 2-volume set. Vol.

2. Elsevier Health Sciences, 2014.

Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD, Global

Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2016. Available

at: http://goldcopd.org . Accessed June 18, 2020.

Kopsaftis ZA, Sulaiman NS, Mountain OD, Carson-Chahhoud KV, Phillips PA,

Smith BJ. Short-acting bronchodilators for the management of acute

exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease in the hospital

setting: systematic review. Syst Rev. 2018;7(1):213. Published 2018 Nov

29. doi:10.1186/s13643-018-0860-0

Lee AL, Goldstein RS. Gastroesophageal reflux disease in COPD: links and

risks. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2015;10:1935-1949. Published

2015 Sep 14. doi:10.2147/COPD.S77562

Lorensia, 2016, Studi Kelengkapan Penjelasan Cara Penggunaan Sediaan

Controller Inhaler (Kombinasi Kortikosteroid Dengan Beta-2 Agonis)

Jenis Diskus® Dan Turbuhaler® Oleh Apoteker Di Apotek, Fakultas

Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Marie A., Terry L., Wells B., Malone M., Kolesar M., DiPiro T.,

Pharmacotheraphy Principles and Practice, 4th Edition, Mc Graw-Hill

Education

Mansjoer Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.

Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease. In:

Longo D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's

principles of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.

pp. 2151–2159.

Sasaki T, Nakayama K, Yasuda H, et al. a Randomized, Single-blind Study of

Lansoprazole for The Prevention of Exacerbations of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease In Older Patients. J Am Geriatr Soc.

2009;57(8):1453-1457. doi:10.1111/j.1532-5415.2009.02349.x

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth (Agung Waluyo, Kariasa, Julia, Y. Kuncara Yasmin

Asih, Penerjemah). Jakarta: EGC.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Wells, Barbara; DiPiro, Joseph; Schwinghammer, Terry; and DiPiro, Cecily.

Pharmacotherapy Handbook, 9th Edition. New York: McGraw-Hill

Education, 2014.

***

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LAMPIRAN PERTANYAAN DAN JAWABAN DISKUSI

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LAMPIRAN EVIDENCE-BASED MEDICINE

1. Terapi Oksigen

2. Salbutamol

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

3. Azitromicin

4. Flutikason/salmeterol

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

5. Vaksinasi Influenza

6. Lansoprazol

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LAMPIRAN LAPORAN SEMENTARA

LAPORAN SEMENTARA PRAKTIKUM FARMASI KLINIK


STUDI KASUS GANGGUAN/PENYAKIT KARDIOVASKULER DAN
RESPIRASI
DENGAN DIAGNOSIS UTAMA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIS

DISUSUN OLEH:
KELAS B/GOLONGAN IV/KELOMPOK 4

ANGGOTA KELOMPOK:
1. MARIA NOVIA PUSPITA NURANGGRAENI
NIM 17/411931/FA/11360
2. MAYA SEPTIANA
NIM 17/411933/FA/11362
3. MEUTIA FAZA MEITRIKA
NIM 17/411935/FA/11364

PROGRAM SARJANA PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

2020

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

STUDI KASUS KARDIOVASKULAR DAN RESPIRASI

DENGAN DIAGNOSIS UTAMA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIS

LUARAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi Drug-Related Problems (DRPs) pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.
2. Mahasiswa mampu merencanakan care plan untuk menyelesaikan Drug-
Related Problems (DRPs) pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.
3. Mahasiswa mampu merencanakan monitoring dan evaluasi terapi obat pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis.
4. Mahasiswa mampu merencanakan edukasi dan informasi obat pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis.
KASUS

Riwayat Penyakit sekarang:

Ny. SMS, 62 tahun, didiagnosis PPOK sejak 2 tahun yang lalu. Dia masuk RS 2

hari yang lalu dengan gejala sesak nafas dan batuk berdahak yang sulit

dikeluarkan. Waktu masuk RS, mukanya kelihatan pucat membiru (cyanosis) dan

nafas tersengal-sengal. Denyut jantungnya 95/menit dan PEF 50%.

Riwayat penyakit dahulu:

Tidak merokok, tapi almarhum suaminya (meninggal 4 tahun yang lalu karena

kanker paru-paru) adalah perokok berat dan suka merokok di dalam rumah.

Setengah tahun yang lalu dia masuk RS karena gangguan ginjal. Saat ini fungsi

ginjalnya sudah banyak berkurang. Ny. SMS juga menderita tukak lambung yang

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

cukup sering kambuh. Sejak dua hari yang lalu (di RS) mengalami mual dan

muntah.

Riwayat pengobatan:

Selama ini di rumah dia menggunakan nebulizer ipratropium bromida inhalasi 500

g 1 x sehari. Tapi tidak begitu patuh karena menyebabkan pandangan matanya

kabur. Untuk tukak lambungnya dia menggunakan simetidin bila perlu.

Hasil pemeriksaan fisik dan lab:

• TB: 165 cm, BB: 65 kg, T: 38.0oC Hitung leukosit: 18.000 cells/mm3

• Belum dilakukan pemeriksaan kultur sputum dan sensitivitas kuman.

 Kreatinin serum: 3,5 mg/dL. Diagnosis: Eksaserbasi akut PPOK

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

ASESMEN DRUG-RELATED PROBLEMS (DRPs) DAN RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN (PHARMACEUTICAL

CARE PLAN)

Masalah Medik Terapi S, O A P

PPOK Nebulizer S: sesak napas, batuk Kolom assessment untuk farmasi  Rekomendasi pengobatan
ipratropium berdahak yang sulit sebenarnya diisikan untuk DRP untuk eksaserbasi PPOK
bromida inhalasi dikeluarkan, muka pucat yang ditemukan terapi oksigen, salbutamol
500 g 1 x sehari membiru (cyanosis), napas misal dalam kasus ini karena sudah nebulasi 2,5 mg setiap 20
tersengal-sengal. ada diagnosa untuk kolom ini bisa menit untuk 3 dosis
diisikan (Kopsaftis, et al., 2018)
O: HR 95/menit; PEF 50%;
prednison 40 mg PO 1 kali
T: 38.0oC Hitung leukosit:
PPOK eksaserbasi akut sehari selama 10-14 hari,
18.000 cells/mm3
memerlukan terapi azitromisin 500 mg/hari
Pasien demam memerlukan selama 3 hari tanpa
antipiretik penyesuaian dosis karena
Pasien infeksi memelukan gangguan renal (CrCl
antibiotika 17ml/mnt) (Drug
Information Handbook)
(DiPiro, et al.,2014)
 Untuk pengobatan
 Pasien dalam kondisi maintanance
demam dan jumlah leukosit direkomendasikan
tinggi sebagai tanda kombinasi dosis tetap

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

kemungkinan terjadinya inhalasi flutikason 250


infeksi yang menyebabkan mcg/salmeterol 50 mcg
eksaserbasi. tiap 12 jam (Drug
 Kategori eksaserbasi yang Information Handbook)
dialami pasien adalah (DiPiro, et al.,2014)
moderat karena mengalami  Pasien disarankan untuk
dua gejala (sesak napas dan menjauhi polusi atau asap
memiliki sputum). yang dapat memicu
 Cyanosis menandakan eksaserbasi dan
bahwa pasien mengalami menjalankan program
kekurangan oksigen dalam rehabilitasi paru.
darah.  Vaksinasi influenza
 Pasien memiliki PEF 50% direkomendasikan untuk
yang menandakan pasien mencegah infeksi yag
mengalami PPOK stage dapat menyebabkan
moderat (GOLD 2). eksaserbasi (Bennett, et
 Pasien merupakan al., 2014)
kelompok pasien kategori
Perlukah pengencer dahak ?
D stage GOLD 2 dengan
estimasi nilai CAT >10 karena dahaknya sukar
berdasarkan keluhan dikeluarkan?
pasien.
 Ketidakpatuhan pasien
dalam mengonsumsi

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

ipratropium bromida akibat


munculnya efek yang tidak
dikehendaki dan mungkin
saja meningkatkan risiko
eksaserbasi.
 Pasien diduga mengalami
gangguan pengelihatan,
batuk yang sulit
dikeluarkan, mual, serta
muntah akibat efek
samping Ipratropium
bromida.
 Pasien belum mendapat
terapi untuk manajemen
ppok stabil sehingga
meningkatkan risiko
eksaserbasi

Tukak Lambung Simetidin prn S : mual, muntah  Pengobatan dengan  Pasien dianjurkan untuk
simetidine tidak adekuat menghindari makan
O :-
sehingga masih tengah malam dan
menyebabkan mual makanan yang dapat
muntah. memicu sekresi asam
 Mual muntah yang dialami lambung berlebih.
pasien bisa terjadi karena  Direkomendasikan

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

efek eksaserbasi PPOK penambahan lansoprazol


(Lee al & Goldstein, 2015). 15 mg 1 kali sehari selama
 PPOK yang dialami pasien 8 minggu (Sasaki, et al.,
memiliki risiko untuk 2009)
meningkatkan perdarahan Penambahan atau
tukak peptik (Huwang KW, penggantian ya?
2012)

PARAMETER PEMANTAUAN

Parameter efektivitas Parameter efek samping


Obat
Kondisi klinik TTV dan lab Kondisi klinik TTV dan lab

Nebulizer ipratropium sesak nafas dan batuk PEF > 80%, CAT, mMRC, Mulut kering, kejadian Peningkatan tekanan
bromida inhalasi 500 g berdahak yang sulit FEV1/FVC >0,7 kardiovaskuler, intraokular
dikeluarkan hilang. penglihatan kabur,

Simetidin Tidak terasa nyeri Pemeriksaan fisik, Ginekomastia, Leukopenia,


lambung, mual, muntah, endoskopi abnormalitas status mental trombositopenia
perdarahan lambung (halusinasi. kebingungan
pada usia lanjut)
Flutikason Kejadian eksaserbasi PEF > 80%, CAT, mMRC, Oral kandidiasis, Pemeriksaan fisik,
berkurang, peradangan FEV1/FVC >0,7 pneumonia, suara parau, radiografi paru

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

berkurang, dan fungsi memar kulit, palpitasi


paru-paru stabil
Salmeterol otot polos jalan napas PEF > 80%, CAT, mMRC, Vasodilatasi perifer, Pemeriksaan fisik
rileks, fungsi paru yang FEV1/FVC >0,7 gangguan tidur, kram otot,
lebih baik
Salbutamol Gejala eksaserbasi mereda PEF > 80%, CAT, mMRC, Palpitasi, takikardi, aritmia, Hipotensi (TD), HR
FEV1/FVC >0,7 urtikaria, angioedema

Prednison fungsi paru-paru dan PEF > 80%, CAT, mMRC, Gangguan cairan dan Pemeriksaan fisik,
oksigenasi arteri meningkat FEV1/FVC >0,7 elektrolit, perdarahan, pemeriksaan tulang
osteoporosis, miopati,
Azitromisin sesak nafas dan batuk PEF > 80%, CAT, mMRC, Mual, muntah, kembung, tes fungsi hati, eosinofilia,
berdahak yang sulit FEV1/FVC >0,7 diare, gangguan pengukuran suhu tubuh
dikeluarkan hilang. pendengaran, nefritis (demam)
interstitial, vertigo,
hepatitis kolestatik akut,
Lansoprazol Mengurangi nyeri akibat Pmeriksaan fisik, Urtikaria, mual, muntah, Eosinofilia,
tukak lambung, endoskopii konstipasi, kembung, nyeri trombositopenia,
abdomen, pandangan leukopenia (tes darah
kabur, edema perifer, lengkap), tes fungsi hati
mulut kering

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Menjelaskan pada pasien mengenai tujuan terapi untuk meminimalkan efek


negatif akibat eksaserbasi dan mencegah berulangnya kejadian tersebut.
Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan faktor penyebab eksaserbasi
seperti debu, polusi udara-bahan kimia, dan asap rokok. Mengedukasi pasien
mengenai progam rehabilitasi paru selama 6 minggu dalam rangka mencegah
eksaserbasi dengan melakukan perubahan gaya hidup seperti melakukan
latihan fisik.

Menginformasikan pasien mengenai cara penggunaan inhalasi kombinasi


salmeterol dan flutikason :

a. Tempatkan jempol pada alur dan buka dengan cara mendorong alur ke
kanan hingga terdengar bunyi klik
b. Geser tuas ke kanan sampai bunyi klik
c. Memegang diskus dengan posisi horizontal
d. Tariklah nafas dan hembuskan jauh dari mouthpiece diskus
e. Tempatkan diskus di mulut antara gigi dan bibir
f. Tarik napas mantap dan mendalam
g. Lepaskan mouthpiece diskus dari mulut dan tahan nafas yang dalam
selama 5-10 detik
h. Hembuskan dan bernapaslah perlahan-lahan
i. Tempatkan jempol pada alur dan geser kembali ke arah kiri sampai
terdengar bunyi klik (Lorensia, 2016).
2. Tukak Lambung

Menginformasikan mengenai tujuan terapi, obat yang diberikan dan aturan

pakai lansoprazol yaitu diminum 1 tablet 15 mg sekali / hari pada pagi hari, 30

menit sebelum sarapan. Mengedukasi pasien untuk menghindari makan tengah

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

malam dan makanan yang dapat memicu sekresi asam lambung berlebih.

Menginformasikan kepada pasien efek samping yang dapat timbul akibat

konsumsi lansoprazol seperti urtikaria, mual, muntah, konstipasi, kembung,

nyeri abdomen, pandangan kabur, edema perifer, mulut kering. Mengedukasi

pasien untuk segera menemui dokter apabila terjadi perburukan tanda dan

gejala, dan memeriksakan diri sesuai jadwal apabila tidak ada perburukan.

EVALUASI DAN FOLLOW-UP

Evaluasi (frekuensi/periode evaluasi dan target terapi sesuai indikasi dari

tiap obat.)

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Pada setiap kontrol perlunya dilakukan peninjauan ulang gejala (dispnea) dan

risiko eksaserbasi. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pengobatan dan

penggunaan teknik inhalasi yang benar. Peninjauan respon klinis pasien dan

pemantauan efek samping obat dalam 3-6 bulan. Melakukan spirometri setiap

tahun untuk mengetahui progresi penyakit. Memantau perkembangan gejala

PPOK, perbedaan yang dirasakan sebelum perubahan terapi dengan kondisi

saat ini pada pasien setiap kontrol.

2. Tukak Lambung

Melakukan pemantauan efikasi, efek samping, dan kepatuhan pasien terkait

dengan tercapainya tujuan terapi. Mengevaluasi aksesibilitas pasien terhadap

pengobatan seperti status obat dalam formularium, dan asuransi kesehatan.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Memonitor tanda dan gejala komplikasi seperti penurunan berat badan

maupun perdarahan.

Follow up (apa yang harus dilakukan) apabila:

1. Obat efektif / mencapai target terapi

Obat yang efektif atau telah mencapai target terapi dilanjutkan penggunaannya
untuk mempertahankan kondisi pasien yang telah berlangsung baik dan
mampu mempertahankan maupun meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Obat tidak efektif / tidak mencapai target terapi

Pada pengobatan penyakit paru obstruksi kronis yang belum efektif dapat

dilakukan penambahan obat yaitu Long Acting Anti Muskarinik atau dapat

menambahkan roflumilast jika eosinofil <100 sel/µL. Apabila terjadi efek

samping penggunaan flutikason seperti pneumonia, penggunaan flutikason

dihentikan dan diberikan kombinasi salmeterol dengan anti muskarinik aksi

panjang. Pada pengobatan tukak lambung yang tidak efektif atau target terapi

yang belum tercapai dapat dilakukan peningkatan dosis lansoprazol yang

diberikan.

KESIMPULAN

1. Masalah terkait obat yang ditemukan antara lain: ketidakpatuhan, obat

inefektif, reaksi obat yang merugikan, dan memerlukan tambahan terapi

obat.

2. Apoteker merekomendasikan agar pasien mendapatkan obat :

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

o Oksigen, salbutamol nebulasi 2,5 mg setiap 20 menit untuk 3 dosis,

prednison 40 mg PO 1 kali sehari selama 10-14 hari, azitromisin

500 mg/hari untuk eksaserbasi PPOK.

o Kombinasi dosis tetap inhalasi flutikason 250 mcg/salmeterol 50

mcg tiap 12 jam untuk pemeliharaan kondisi PPOK stabil.

o Lansoprazol 15 mg 1 kali sehari selama 8 minggu untuk tukak

lambung.

o Vaksinasi influenza

3. Rencana pemantauan terapi yang akan dilakukan adalah :

o Penilaian kepatuhan, efikasi, dan efek samping obat setiap kontrol

pada PPOK maupun tukak lambung

o Penilaian progresi PPOK dengan spirometri setiap tahun

o Memonitor tanda dan gejala komplikasi tukak lambung.

DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug

Information Handbook 17th Edition, American Pharmacist Association.

Bennett, John E., Raphael Dolin, and Martin J. Blaser. Mandell, douglas, and

bennett's principles and practice of infectious diseases: 2-volume set. Vol.

2. Elsevier Health Sciences, 2014.

Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD, Global

Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2016. Available

at: http://goldcopd.org . Accessed June 18, 2020.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Kopsaftis ZA, Sulaiman NS, Mountain OD, Carson-Chahhoud KV, Phillips PA,

Smith BJ. Short-acting bronchodilators for the management of acute

exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease in the hospital

setting: systematic review. Syst Rev. 2018;7(1):213. Published 2018 Nov

29. doi:10.1186/s13643-018-0860-0

Lee AL, Goldstein RS. Gastroesophageal reflux disease in COPD: links and

risks. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2015;10:1935-1949. Published

2015 Sep 14. doi:10.2147/COPD.S77562

Lorensia, 2016, Studi Kelengkapan Penjelasan Cara Penggunaan Sediaan

Controller Inhaler (Kombinasi Kortikosteroid Dengan Beta-2 Agonis)

Jenis Diskus® Dan Turbuhaler® Oleh Apoteker Di Apotek, Fakultas

Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya.

Marie A., Terry L., Wells B., Malone M., Kolesar M., DiPiro T.,

Pharmacotheraphy Principles and Practice, 4th Edition, Mc Graw-Hill

Education

Sasaki T, Nakayama K, Yasuda H, et al. a Randomized, Single-blind Study of

Lansoprazole for The Prevention of Exacerbations of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease In Older Patients. J Am Geriatr Soc.

2009;57(8):1453-1457. doi:10.1111/j.1532-5415.2009.02349.x

Wells, Barbara; DiPiro, Joseph; Schwinghammer, Terry; and DiPiro, Cecily.

Pharmacotherapy Handbook, 9th Edition. New York: McGraw-Hill

Education, 2014.

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

***

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK

Anda mungkin juga menyukai