Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PPOK

PEMBIMBING
dr. Sukaenah Shebubakar, SpP

DISUSUN OLEH
Efbri Chauresia Dalitan
030.07.077

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 07 MARET 2016 14 MEI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2016

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

REFERAT
PPOK

Presentasi Referat
Diajukan kepada SMF Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih Untuk Memenuhi
Persyaratan Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik SMF Penyakit Dalam
Periode 07 Maret 2016 14 Mei 2016

Oleh:
Efbri Chauresia Dalitan
030.07.077

Pembimbing
dr. Sukaenah Shebubakar, SpP

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM RSUD BUDHI ASIH


FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
JAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan salah satu penyakit penyebab kematian ke 5
di seluruh dunia, dan menurut WHO, diprediksikan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab
kematian ketiga di seluruh dunia. Sebagai pengingat pentingnya masalah PPOK, WHO
menetapkan hari PPOK sedunia (COPD day) diperingati setiap tanggal 18 November.
Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di
seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada individu
usia > 45 tahun. Data penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1%
di beberapa kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah
3,5 % di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam. Untuk Indonesia, penelitian
COPD working group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens
PPOK Indonesia sebesar 5,6%.
Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia
harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan
penyakit degeneratif meningkat serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara.
Merokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar PPOK.

BAB II
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

Definisi
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan, yang dapat mengakibatkan
tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual. Penyakit paru kronik ini ditandai dengan
keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas
berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah
dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya (GOLD, 2007).
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit paru kronik ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible atau irreversible.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (PDPI, 2003).

Epidemiologi
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda dari partikel yang
terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika kita mengambil kesimpulan
bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat
mengiritasi saluran pernapasan. Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat
memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah dari
partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut ( PDPI, 2006 ). Insidensi pada pria > wanita.
Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah
perokok wanita (Aditama, 2005).

Prevalensi
Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5
juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.
Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24
milyar per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan
meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan meningkat dari ke
duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke enam menjadi
ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama
asma bronchial menduduki peringkat ke enam. Merokok merupakan farktor risiko terpenting
penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lainlainnya.
Etiologi
PPOK merupakan salah satu penyakit yang etiologinya berasal dari gene-enviroment
interaction.
1. Faktor Genetik
Faktor genetik yang paling sering disebutkan dalam literatur adalah defisiensi dari alpha1 antitripsin yang merupakan inhibitor dari serine protease yang terbanyak beredar dalam
sirkulasi. Defisiensi ini jarang ditemukan namun paling sering dijumpai pada ras yang berasal
dari North Europe. Penyebab genetik lainnya adalah kelainan pada kromosom 2q, perubahan dari
transforming growth factor beta 1 (TGF-beta1), microsomal epoxide hydrolase 1 (mEPHX1),
dan tumor necrosis factor alpha (TNFa).
Defisiensi enzim alfa 1 antitripsin merupakan faktor predisposisi untuk berkembangnya
PPOK secara dini.1 Alfa 1 antitripsin merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati,
berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan.2 Enzim ini berfungsi untuk menetralkan
tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzim ini rendah dan asupan rokok tinggi maka akan
mengganggu sistem kerja enzim tersebut yang bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan.
Defisiensi enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda yaitu pada mereka yang tidak
merokok, onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.

2.

Faktor Lingkungan
Inhalasi Asap rokok yang terinhalasi baik secara aktif maupun pasif serta debu dan zat

kimiawi seperti uap, iritan, debu jalanan, gas buang kendaraan bermotor, asap kompor
merupakan contoh dari polusi yang sering terinhalasi dan menyebabkan PPOK.
Hiperresponsivitas dari saluran napas ditambah dengan faktor merokok akan
meningkatkan resiko untuk menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) disertai dengan
penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis. Selain itu, hiperaktivitas dari bronkus dapat terjadi
akibat dari peradangan pada saluran napas yang dapat diamati pada bronkitis kronis yang
berhubungan dengan merokok. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya remodelling pada saluran
napas yang memperparahkan lagi obstruksi pada saluran napas pada penderita penyakit paru
obstruktif kronis.
Faktor lingkungan seperti merokok merupakan penyebab utama disertai resiko tambahan
akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota. Sebagian pasien mengalami asma kronis
yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.1
3.

Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan Paru


Dari penelitian ditemukan bahwa adanya hubungan antara perkembangan dan

pertumbuhan paru pada masa gestasi, melahirkan dan anak-anak dengan kejadian PPOK. Hal ini
dibuktikan melalui meta analisis adanya hubungan antara berat lahir dengan FEV1 pada masa
dewasa.
4. Stress Oksidatif
Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan (kelebihan oksidan dan deplet dari
antioksidan) dapat menyebabkan kerusakan langsung pada paru dan mengaktifkan proses
inflamasi pada paru.
5. Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri dapat bepengaruh dalam kejadian PPOK maupun
perburukan PPOK. Riwayat infeksi pernafasan yang parah pada anak-anak dapat menyebabkan
penurunan fungsi paru dan meningkatkan keluhan pernafasan pada saat dewasa. Virus HIV juga
dapat menyebabkan terjadinya HIV-induced pulmonary inflammation, riwayat TB paru
sebelumnya, riwayat infeksi saluran nafas bawah yang berulang.

6. Status Sosioekonomi
7. Nutrisi
Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menyebabkan penurunan dari kekuatan dan
ketahanan otot pernafasan. Kelaparan dan perubahan anabolik dan katabolik berhubungan
dengan kejadian emfisema pada penelitian ekperimental yang dilakukan terhadap hewan.
8.

Asma
Menurut Tucson Epidemiological Study of Airway Obstructive Disease, penduduk dewasa

dengan asma memiliki 12 kali peningkatan resiko terjadinya PPOK dibanding dengan penduduk
dewasa normal lainnya.

Patofisiologi
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok
atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor
kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan
neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease
sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease
terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap
perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide,
radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease.
Beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni : peningkatan
jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran
nafas, dan parenkim), limfosit T terutama CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim). Yang

mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma.(Corwin EJ,
2001). Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien
B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik.
Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti
proteinase di paru dan stres oksidatif (Alsaggaf dkk, 2004).
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar (central
airway), saluran napas kecil (peripheral airway), parenkim paru dan vaskuler pulmonal. Pada
saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar
yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan
hipersekresi bronkus.
Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya siklus
injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan menghasilkan struktural
remodeling dari dinding saluran napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan
jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan.
Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler.
Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh
lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed.
Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah yang
dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama kali terjadi adalah
penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh selsel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen
bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal (Alsaggaf dkk, 2004).

Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas. Penyempitan
ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran
pernapasan yang berdiameter kecil (< 2mm) menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok.
Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena
hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru (Sat Sharma, 2006).
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang
terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO 2 rendah)
oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli
yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan
pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi
keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi
resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah
retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.
Tabel Patogenesis PPOK
Mekanisme Patogenik
Perubahan Patologis
Peradangan
Saluran napas pusat
Proteinase vs. antiproteinase
Saluran napas perifer
Stress oxidative
Vaskuler Pulmoner

Konsekuensi Fisiologis
Hipersekresi Mukus
Disfungsi silier
Pertukaran gas abnormal
Hipertensi Pulmoner
Efek Sistemik

Patogenesis PPOK

(Sumber : PDPI,2010)

Manifestasi Klinis
1. Riwayat Penyakit
Dua keluhan utama yang tersering adalah batuk dan sesak nafas. Batuk dan ekspektorasi
cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya
pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya intermitten,
dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan
mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah
selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.. Sesak nafas terutama pada saat melakukan
aktifitas yang mengerahkan tenaga dimana terjadi peningkatan kebutuhan oksigen
sehingga Respiration Rate meningkat. Selain itu sering didapatkan mengi pada pasien
PPOK pada saat serangan sesak terjadi. Keluhan-keluhan itu berlangsung kronis ataupun
berulang dan cenderung progresif. Karakteristik PPOK adalah adanya eksaserbasi dimana
pada saat eksaserbasi keluhan-keluhan diatas menjadi semakin parah. Pada keadaan yang
berat, sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat
akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat obstruksi aliran udara, derajat
hiperinflasi paru, dan bentuk tubuh. Awalnya mungkin hanya dapat ditemukan ekspirasi
memanjang dan wheezing saat ekspirasi paksa. Bila berlanjut maka akan tampak
hiperinflasi dan terjadi perubahan pada rongga thorax menjadi barrel chest. Dapat juga
ditemukan tanda-tanda kor pulmonale sekunder seperti penigkatan JVP dan kongesti
hepar. Pada penyakit yang moderat hingga berat , pemeriksaan fisik dapat
memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan
hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang berkomplikasi menjadi
hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk distensi
vena sentralis, hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada
jari bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan
lainnya, terutama karsinoma bronkogenik.

Klasifikasi PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007,
dibagi atas 4 derajat :(Antonio et all, 2007)

Derajat I: PPOK ringan


Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara
ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut
mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

Derajat II: PPOK sedang


Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP 1 / KVP < 70%; 50% < VEP 1 <
80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien
biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

Derajat III: PPOK berat


Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP 1 /
KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat,
penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas
hidup pasien.

Derajat IV: PPOK sangat berat


Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30%
prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan
gagal jantung kanan.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu

diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP.

Lama

Baru

(Gold 2001)
Derajat
Derajat 0 : beresiko

(Gold 2003)
Derajat
Derajat 0 : beresiko

Klinis
Gejala

Faal paru
klinik Normal

(batuk,produksi
sputum).
Derajat I : PPOK Derajat I : PPOK Dengan atau
Ringan

Ringan

gejala

klinis

tanpa VEP1/KVP <70%


(batuk

produksi sputum).
Derajat IIA : PPOK Derajat II : PPOK Dengan
Sedang

Sedang

atau

gejala
(

batuk,produksi
gejala

bertambah

>

80%

prediksi
tanpa VEP1/KVP <70%

klinis

sputum)

VEP1

50%<VEP1<80%
prediksi

sehingga

menjadi sesak.
Derajat IIB : PPOK Derajat III : PPOK Dengan atau

tanpa VEP1/KVP <70%

Sedang

klinis

Berat

gejala
(

batuk,produksi

sputum)
bertambah

gejala

Sangat Berat

atas VEP1/KVP < 70%

ditambah tanda-tanda
gagal nafas atau gagal
jantung kanan

VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa Detik 1


KVP = Kapasitas Vital Paksa

prediksi

sehingga

menjadi sesak.
Derajat III : PPOK Derajat IV : PPOK Gejala
di
Berat

30% < VEP1<50%

VEP1<30% prediksi

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan :
1. Gambaran klinis :
a. Anamnesis:

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan:
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah

Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Keterangan :
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda:
- Pasien biasanya tampak kurus dengan Barrel shaped chest
- Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada
- Perkusi dada hipersonor, batas paru hati lebih rendah
- Suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, suara tambahan (ronkhi atau wheezing)
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin:
a. Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) merupakan Gold


Standard.

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE (Arus
Puncak Ekspirasi) meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.

Pada emfisema terlihat gambaran :


- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan
ke distal.

Normal

Hyperinflation

Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


a. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- Pemeriksaan Kapasitas Difusi Karbon Monoksida / DLCO (Difussing of capacity
of the Lung for Carbon Monoxide) menurun pada emfisema.
- Variabiliti Harian APE (Arus Puncak Ekspirasi) kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

e. Analisis gas darah


Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
- CT-Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. riwayat penyakit yang
ditandai dengan gejala-gejala diatas.
PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk dengan dahak atau
sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor resiko. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan
obyektif adanya hambatan aliran udara (dengan spirometri) (Alsaggaf dkk, 2004).

Sesak nafas
Batuk kronik disertai dahak
Keterbatasan aktifiti

Faktor resiko
Usia
Riwayat pajanan : asap rokok, polusi
udara, polusi tempat kerja

Pemeriksaan fisik *

Pemeriksaan foto
torak

Curiga PPOK **

Fasiliti spirometri (-)

Fasiliti spirometri (+)

Normal

PPOK secara
klinis

Infiltrat, massa, dll

30% < VEP1 < 70% prediksi


VEP1 / KVP < 80 %

Beresiko PPOK
derajat 0

PPOK Derajat
I/II/III/IV

* Pemeriksaan fisik :
a. Normal
b. Kelainan
Bentuk dada : Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernapasan
Pelebaran sela iga
Hipertrofi otot bantu nafas
Fremitus melemah, sela iga melebar
Hipersonor
Suara nafas vesikuler melemah atau normal

Bukan PPOK

Ekspirasi memanjang
Mengi
**Foto toraks curiga PPOK
a.

Normal

b.

Kelainan
Hiperinflasi
Hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler meningkat
Bullae
Jantung pendulum

Diagnosis Banding

Asma
Asma terjadi pada usia dini, gejala pada malam hari lebih menonjol, dan dapat
ditemukan alergi, rhinitis, dan eksim. Terdapat riwayat asma dalam keluarga.
Hambatan aliran udara reversible.

SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis) adalah penyakit obstruksi


saluran napas yang

ditemukan pada penderita pasca tuberculosis dengan lesi

paru yang minimal.

Pneumotoraks

Gagal jantung kronik


Riwayat hipertensi. Rhonki basah halus di basal paru. Terdapat kardiomegali
dan oedem. Pemeriksaan faal paru restriktif.

Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,


destroyed lung.

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya
berbeda.

Asma

PPOK

SOPT

Timbul pada usia muda

++

Sakit Mendadak

++

Riwayat Merokok

+/-

+++

Riwayat Atopi

++

Sesak dan Mengi berulang

+++

Batuk Kronik Berdahak

++

Hiperaktivitas Bronkus

+++

+/-

Revesibilitas Bronkus

++

Variabilitas Harian

++

Eosinofil Sputum

Neutrofil Sputum

Makrofag Sputum

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK stabil meliputi :
A. Edukasi
Menigkatkan kemampuan menanggulangi penyakit dan status kesehatan secara umum.
Edukasi terhadap faktor resiko penting untuk memperlambat progresifitas.
B. Farmakoterapi, terdiri dari:
1) Bronkodilator
2) Kortikosteroid
3) Mukolitik

4) Antioksidan
C. Oksigen
Indikasi: PaO2< 55 mmHg atau SaO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnea atau PaO2
antara 55-60 mmHg dan Sa02 89% tetapi ada tanda-tanda congestive heart failure.
D. Ventilator Mekanik
E. Rehabilitasi Medik
F. Operasi
Tatalaksana PPOK
stabil

EDUKASI

Berhenti merokok
Pengetahuan
dasar PPOK
Obat-obatan
Pencegahan
perburukan
penyakit
Menghindari
pencetus
Penyesuaian
aktifitas

FARMAKOLOGI

REGULER
Bronkodilator
Anti kolinergik
2 Agonis
Xantin
Kombinasi SABA +
Antikolinergik
Kombinasi LABA +
Kortikosteroid
Antioksidan

NON FARMAKOLOGI

Rehabilitasi
Terapi oksigen
Vaksinasi *
Nutrisi
Ventilasi non mekanik
Intervensi bedah

Dipertimbangkan
mukolitik

Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji steroid positif
adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau inhalasi selama 6 minggu
3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau fungsi paru.
SABA : short acting 2 Agonis
LABA : long actng 2 Agonis

Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :


Pasien usia diatas 60 tahun
Pasien PPOK sedang dan berat

PPOK Eksaserbasi Akut


Secara umum eksaserbasi adalah perburukan kondisi pasien yang menetap dari keadaan
stabil dan di luar variasi normal sehari-hari yang mengharuskan perubahan dari obat reguler.
Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau
timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi adalah :
1. Batuk makin sering/hebat
2. Produksi sputum bertambah banyak
3. Sputum berubah warna
4. Sesak napas bertambah
5. Keterbatasan aktivitas bertambah
6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik
7. Kesadaran menurun
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut meliputi :
1. Oksigenasi adekuat, cukup menggunakan O2 nasal 1-4 lpm. Sasaran PaO2 60-65 mmHg
atau SaO2> 90%
2. Bronkodilator.
3. Kortikosteroid oral atau intravena dianjurkan sebagai tambahan terhadap bronkodilator
dan oksigenasi.

4. Antibiotika, diindikasikan untuk eksaserbasi yang disebabkan karena infeksi bakterial.

Umumnya infeksi paling sering disebabkan oleh kuman S. Pneumonia, H. Influenzae,


dan M. Catarhalis.
5.

Cairan dan Elektrolit perlu dimonitor.

6. Nutrisi yang adekuat, untuk mencegah proses katabolik tubuh.


7. Ventilator mekanik, dapat diberikan pada pasien eksaserbasi dengan stadium IV.
Rekomendasi Pengobatan Bderdasarkan Derajat PPOK
DERAJAT

PENGOBATAN

Semua Derajat

- Edukasi (hindari faktor pencetus)


- Bronkodilator kerja singkat (SABA,
Antikolinergik, kerja cepat, Xantin)
bila perlu
- Vaksinasi influenza

Derajat I:

DERAJAT I

PPOK Ringan

VEP1/KVP < 70%

Bronkodilator kerja singkat (SABA,


Antikolinergik, kerja cepat, Xantin)
bila perlu

VEP1 80% Prediksi,


dengan atau tanpa gejala
Derajat II:

DERAJAT II

PPOK Sedang

VEP1/KVP < 70%

1.

dengan

reguler

dengan

bronkodilator:
a.

50% < VEP1 < 80%


prediksi,

Pengobatan

Antikolinergik

kerja

lama

sebagai terapi pemeliharaan

atau

tanpa gejala

b. LABA
c. Simptomatik
2.

Rehabilitasi

(edukasi,

rehabilitasi respirasi)

nutrisi,

Derajat III:

DERAJAT III

PPOK Berat

VEP1/KVP 70%

1. Pengobatan reguler dengan 1 atau


lebih bronkodilator:
a. Anti kolinergik kerja lama

30% VEP1 50%


prediksi

dengan

sebagai terapi pemeliharaan


atau

b. LABA

tanpa gejala

c. Simptomatik
d.

Kortikosteroid

inhalasi

bila

memberikan respons klinis atau


eksasebasi
2. Rehabilitasi
DERAJAT IV
PPOK
Berat

DERAJAT III

1. Pengobatan reguler dengan 1 atau


lebih bronkodilator :

Sangat VEP1/KVP 70%

a. Anti kolinergik kerja lama

30% VEP1 50%

sebagai terapi pemeliharaan

prediksi atau gagal napas

b. LABA

atau gagal jantung kanan

c. Simptomatik
d.

Kortikosteroid

inhalasi

bila

memberikan respons klinis atau


eksasebasi berulang
2.

Rehabilitasi

(edukasi,

nutrisi,

rehabilitasi respirasi)
3. Terapi oksigen jangka panjang bila
gagal napas
4. Ventilasi mekanis noninvasive

5. Pertimbangkan terapi pembedahan

Indikasi Rawat Inap :


1. Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak beraktivitas
2. PPOK dengan derajat berat
3. Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema
4. Disertai penyakit komorbid lain
5. Sering eksaserbasi
6. Didapatkan aritmia
7. Diagnostik yang belum jelas
8. Usia lanjut
9. Infeksi saluran nafas berat
10. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Indikasi Rawat ICU :
1. Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang gawat
2. Kesadaran menurun, letargi atau kelemahan otot-otot respirasi
3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 < 50 mmHg
atau PaCO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau non invasive)
4. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasive
5. Ketidakstabilan hemodinamik

Algoritma PPOK

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :


1. Gagal napas
Gagal napas kronik
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik


Hasil analisis gas darah pO2 < 60 mmHg dan pCO2 > 60 mmHg, dan pH normal, maka
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan pO2 dan pCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan.

Prognosis
Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan dan mortalitas
pada 2 tahun kurang lebih 50%. Namun di samping survival perlu diketahui pula morbiditas
pasien PPOK. Sebagai ilustrasi bahwa Inggris kehilangan 26 juta hari kerja orang/tahun oleh
karena PPOK, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3 juta hari kerja orang/tahun.

DAFTAR PUSTAKA
1. Andika 2009. PPOK dan Nutrisi, PPOK dan Antibiotik, PPOK Eksaserbasi Akut.
Tersedia

di:

hhtp://www.andikacp.wordpress.com/2009/07/26/PPOK-eksaserbasi-

akut
2. Anonim

2008.

Konsensus

PPOK.

Tersedia

di:

http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-ppok

3. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA,

p. 16-19 Didapat dari :

http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp

4. BMJ.

ABC

of

COPD.2006.

[Cited]

17

Maret

2011.

Didapat

dari:

Tersedia

di:

http://www.bmj.com/content/332/7552/1261.full

5. Corwin EJ 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, p. 437-8.


6. DMI.

2006.Acuan

Penanganan

PPOK

Terkini.

www.kalbe.co.id/news/seminar/acuanpenangananppokterkini

7. Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et all 2011. Inhaled Corticosteroids in
Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of American
Medical Association, p. 2408-2416.
8. Irwanto 2010. Penyakit Paru Obstruktif Kronis.. Didapat dari: hhtp://IrwantoFK04USK.blogspot.com/2010/08/Penyakit-Paru-Obstruktif-Kronik-PPOK.html
9. Rahajeng 2009. Penggunaan Rasional Antibitica Pada Pasien PPOK. . Didapat
dari:http://dokterblog.wordpress.com/2009/05/01/penggunaan-rasional-antibiotik-padapasien-ppok/

10. Rani AA 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI, p. 105-8

11. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 984-5.
12. Roberto RR et all 2007. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and
Prevention. USA. Tersedia di http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
13. Sin DD, McAlister FA, Paul SF, et all 2003. Management of chronic obstructive
pulmonary disease (COPD). Journal of American Medical Association, p 2302-2312.
14. Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta:. p. 1-18.
15. Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator therapy for COPD. New England Journal
Medicine. Diakses tgl 6 Agustus 2011.

Anda mungkin juga menyukai