OLEH:
PENDAMPING:
PORTOFOLIO
Nama Peserta
Nama Wahana
Topik
Tanggal (kasus)
: 24 April 2016
Tanggal Presentasi
: 4 mei 2016
Nama Pendamping
Tempat Presentasi
Objektif Presentasi
Bahan Bahasan
: Kasus
Cara Membahas
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi PPOK
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran
udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya (GOLD, 2015). Istilah lebih umum bronkitis kronik
dan emfisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis PPOK (WHO,
2015).
Terminolgi PPOK telah mengalami beberapa kali perubahan sejak dicetuskan pertama kali
dalam forum internasional Ciba Guest Symposium 1959, semula dikenal sebagai Chronic
Airflow Obstruction (CAO), Chronic Aspecific Respiratory Affection (CARA), Chronic Non
Specific Lung Disease (CNSLD), dan saat ini lebih dikenal sebagai Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) (Alsagaff, 2005).
Penyakit paru obstruktif kronik meliputi bronkitis kronik dan emfisema yang sering terjadi
bersamaan (Ward et al., 2007). Bronkitis kronik adalah suatu sindrom klinis berupa batuk-batuk
kronis berdahak setiap hari paling sedikit selama 3 bulan dan berlangsung 2 tahun berturut-turut
(Danusantoso, 2013). Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai
oleh pelebaran rongga udara distal bronkhiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli
(PDPI, 2011).
2.2 Epidemiologi
WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat di dunia dan
memprediksi pada tahun 2020, PPOK akan meningkat dari peringkat 12 menjadi peringkat 5
penyakit terbanyak dan dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 penyebab kematian di seluruh dunia
(PDPI, 2011). Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK
sebesar (10,1%), pada laki-laki sebesar (11,8%), dan untuk perempuan (8,5%) (Oemiati, 2013).
Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan meningkat pada kelompok usia > 45
tahun. Hal ini dihubungkan dengan penurunan fungsi respirasi pada usia 30-40 tahun (Oemiati,
2013). Di negara Uni Eropa biaya total untuk penyakit pernapasan diperkirakan sekitar 6% dari
total biaya pelayanan kesehatan, dengan biaya PPOK sekitar 56% (38,6 miliar Euro) dari total
keseluruhan (GOLD, 2015).
Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Hasil survei penyakit
tidak menular oleh Rikesdas pada tahun 2013, diperoleh asma menempati urutan pertama
menyumbang angka kesakitan (4,5%), diikuti PPOK (3,7%), diabetes (2,1%), penyakit jantung
koroner (1,5%), kanker (1,4%), dan gagal ginjal (0,3%). Prevalensi tertinggi PPOK adalah
Provinsi Nusa Tenggara Timur 10% dan terendah adalah Provinsi Lampung 1,4%. Khusus untuk
provinsi Sumatera Barat prevalensinya adalah 3% (Balitbangkes, 2014). Prevalensi kasus PPOK
di Provinsi Jawa Tengah yaitu 0,08% pada tahun 2010 menjadi 0,09% pada tahun 2011. Data
tersebut menunjukkan bahwa kasus PPOK di Jawa Tengah meninggkat dalam dua tahun terakhir
(Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2013).
2.3 Faktor Risiko PPOK
Faktor risiko PPOK adalah
hal-hal
yang
berhubungan
dan
atau
yang
perokok pasif dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, karena
terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas.
Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor risiko kepada janin,
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru, perkembangan janin dalam
kandungan, dan dapat menurunkan sistem imun dari janin tersebut (PDPI, 2011).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
1. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah ratarata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-199
Sedang : 200-599
b) Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan.
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kurangnya alfa-1 antitripsin (AAT)
yang merupakan suatu serin protease inhibitor. Kerja dari alfa-1 antitripsin ini menetralkan
enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru, sehingga kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi
alfa-1 antitripsin ini merupakan suatu kelainan yang diturunkan secara autosomal resesif
(Tierney et al., 2002).
c) Pekerjaan
Peningkatan gangguan dan obstruksi saluran pernapasan juga bisa diakibatkan oleh
pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Hal ini berkaitan erat dengan seberapa besar
seseorang terkena polusi saat bekerja. Orang yang bekerja di daerah pertambangan biasanya
lebih rentan terkena PPOK. Pekerja yang kesehariannya berhubungan dengan asap kompor
dan pemanasan ruangan yang kurang baik juga bisa terkena PPOK, seperti koki dan
pekerja rumah tangga. Selain itu, ada beberapa pekerjaan yang pekerjanya sering
menyelingi waktunya dengan merokok yang merupakan faktor utama terjadinya PPOK,
seperti petani, nelayan, pekerja angkutan, pekerja bangunan dan lain-lain.
d) Tempat Tinggal
Orang yang tinggal di kota kemungkinan terkena PPOK lebih tinggi dibandingkan
orang yang tinggal di desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi tempat yang berbeda, yang
mana kota polusi udaranya lebih tinggi dibandingkan di desa.
e) Jenis Kelamin
PPOK lebih banyak pada laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan wanita.
f) Polusi udara
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam dan di luar ruangan. Polusi di dalam ruangan
seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap obat nyamuk bakar, asap kayu
bakar, dan lain-lain. Sedangkan polusi di luar ruangan seperti gas buang industri, gas buang
kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain.
Peran polusi di luar ruangan masih belum jelas terhadap PPOK, tetapi lebih kecil
prevalensinya jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Polusi di dalam ruangan yang
disebabkan oleh bahan bakar biomass yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga
merupakan salah satu faktor risiko PPOK. Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai
biomass dan batubara sebagai sumber energi utama untuk memasak, pemanas ruangan, dan
keperluan rumah tangga lainnya, sehingga populasi berisiko menjadi sangat banyak.
Populasi di dalam ruangan diperkirakan akan membunuh 2 juta perempuan dan anak-anak
setiap tahunnya (PDPI, 2011).
g) Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko PPOK belum dapat dijelaskan secara pasti,
namun ini lebih berhubungan dengan pajanan polusi di dalam dan di luar ruangan,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang menyebabkan seseorang
lebih mudah untuk terkena PPOK (PDPI, 2011).
paru dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa. Seringnya kejadian infeksi berat pada
anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko PPOK (PDPI, 2011).
i) Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan
pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko
untuk terjadinya PPOK. Studi menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai
VEP1
Patogenesis PPOK
Terjadinya pembatasan aliran udara progresif pada PPOK dikaitkan dengan respon
inflamasi abnormal dari partikel/gas beracun disepanjang saluran napas, parenkim, dan
pembuluh darah paru. Seiring waktu, proses tersebut menyebabkan terbentuknya jaringan parut
sehingga
lumen
saluran
napas
menyempit.
Faktor
lain
yang
berhubungan
adalah
akhirnya menunjukkan adanya restriksi dan obstruksi. Parameter yang sering digunakan untuk
melihat gangguan restriksi adalah vital capacity (VC), sedangkan pada gangguan obstruksi
parameternya adalah Force Expiratory Volume 1 ( FEV 1 ) dan rasio
FEV 1
terhadap Force
Ringan
GOLD 2:
Sedang
GOLD 3:
Berat
GOLD 4:
Sangat Berat
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok atau polusi
udara
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tanpa kelainan
Inspeksi
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed-lips breathing.
Blue Bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed-lips Breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Faal Paru
a. Spirometri
Merupakan pemeriksaan faal paru yang terpenting untuk mendeteksi adanya
obstruksi jalan napas maupun derajat obstruktif. Hambatan aliran udara pernapasan pada
ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan perumusan nilai-nilai Volume Ekspirasi
Paksa detik pertama.
(VEP 1)
c. Kapasitas difusi
d. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik.
2. Elektrokardiogram
Hipertensi pulmonal pada derajat lanjut PPOK dapat diketahui dengan EKG.
Gambaran abnormal EKG antara lain:
a. P pulmonal deviasi aksis ke kanan
b. Low Voltage sering pada emfisema
3. Radiologi
Pada emfisema terlihat gambaran:
a. Hiperinflasi
b. Hiperlusen
c. Ruang retrosternal melebar
d. Diafragma mendatar
e. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik:
a. Pada foto toraks PA dan lateral terlihat normal
b. Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus
Gambaran Klinis
Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam/dini hari lebih
menonjol
Dapat ditemukan alergi, rhinitis dan atau
eksim
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara umumnya reversible
2. Gagal Jantung Kongestif
Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru
Gambaran foto pembesaran jantung dan
edema paru
Pemeriksaan faal paru retriksi, bukan
obstruksi
3. Bronkiektasis
4. Tuberkulosis
tahan
Usia muda
Tidak merokok
Mungkin ada riwayat arthritis rheumatoid
CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens
7. Diffuse panbrochiolitis
Pencegahan Primer
Bronkodilator
Bronkodilator terdiri dari beta-agonis (salbutamol 2,5-5 mg; saltamerol atau
formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium bromide 20 mg atau 40 mg;
tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari) dan teofilin 10-20 mg/l atau 100-600 per oral).
Pemberian bronkodilator dapat membantu pasien mengurangi sesak serta meningkatkan
toleransi latihan/aktifitas dengan menggunakan air-trapping dan meningkatkan efisiensi
otot pernapasan. Kombinasi dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala yang muncul
pada pasien. Efek samping yang dilaporkan meliputi sakit kepala, insomnia, tremor,
hipertensi, aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah (Deglin.J.H & Vallerand.A.H, 2005).
b.2
Mukolitik
Sebagian besar pasien PPOK mengalami batuk kronis dan memproduksi sputum.
Pemberian kodein 15 mg (5 ml) 3-4x/hari dapat mengurangi gangguan tidur pada pasien
akibat batuk. Mukolitik semacam carbocisteine dengan dosis 750 mg 3x/hari dan
mecisteine hidrochloride 200 mg 4x/hari adalah obat-obat yang dapat mengencerkan dan
memudahkan pengeluaran sputum. Efek samping meliputi mual, muntah, stomatitis, diare
b.3
bukti yang menyarankan pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat ringan, namun
pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat sedang sampai berat dengan nilai
FEV 1
kurang dari 50% dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Pemberian kortikosteroid oral tidak disarankan untuk jangka waktu yang lama,
mengingat hal tersebut bisa memberikan efek yang buruk terhadap kejadian osteoporosis.
Prednison oral 40-60 mg dapat diberikan sebagai dosis harian tunggal di pagi hari untuk
kasus yang tidak begitu berat. Beklometason, 100 g (2 isapan) 4 kali sehari, dapat
diberikan sementara prednison dikurangi secara perlahan-lahan. Efek samping dari
pemberian obat ini diantaranya depresi, anoreksia, ulkus peptikum, supresi adrenal,
penurunan berat badan dan kerentanan terhadap infeksi (Deglin.J.H & Vallerand.A.H,
b.4
2005).
Inhaler
Alat ini sangat mudah digunakan, perawat dan tenaga kerja kesehatan profesional
yang lain sebaiknya perlu mengajarkan dengan benar penggunaan dan perawatannya secara
teratur. Beberapa pasien kesulitan menggunakan berkaitan dengan gangguan kognitif
sehingga pemilihan dan penggunaan alat ini perlu dipertimbangkan. Multiple-dose inhalers
b.5
b.6
mg/hari memiliki waktu paruh yang pendek dan sangat bermanfaat diberikan sublingual
pada kondisi panik pernapasan. Diazepam 2-5 mg diberikan 3x/hari mungkin juga
memberikan keuntungan pada pasien. Obat-obat ini perlu mendapatkan perhatian khusus
pada pemberiannya karena telah diketahui sebagai depresan pernapasan. Pemberian
buspiron 5 mg/hari merupakan non-sedasi juga dapat menekan pernapasan. Efek samping
obat ini meliputi mual, pusing, sakit kepala dan tremor. Pemilihan serotonin reuptake
inhibitor seperti sertraline 50 mg/hari, paroxetin 20 mg/hari diberikan pagi atau citalopram
20 mg diberikan 1x/hari memiliki sedikit anti kolinergik dan non-sedasi.
b.7
Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ lainnya.
Indikasi terapi oksigen :
PaO2
O2
perubahan P pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea,
dan penyakit paru lain
Terapi oksigen dapat diberikan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di
rumah diberikan kepada pasien PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan kepada pasien PPOK eksaserbasi akut di unit
gawat darurat, ruang rawat, ataupun ICU.
Pemberian oksigen pada pasien PPOK yang dirawat di rumah dapat dibedakan
menjadi pemberian oksigen jangka panjang, pemberian oksigen pada waktu aktivitas, dan
pemberian oksigen pada timbul sesak mendadak. Terapi oksigen jangka panjang diberikan
di rumah pada keadaan stabil terutama pada keadaan tidur atau sedang aktivitas, lama
pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi
oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang terjadi bila pasien tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oxsimetry. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90% (PDPI,
2011).
2.9.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini berupa rehabilitasi, disebabkan pasien cenderung menemui kesulitan
bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosial yang terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah:
a.
Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan
efisiensi batuk, mengatasi gangguan pernapasan pasien, memperbaiki gangguan
perkembangan toraks, meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan, dan mengurangi
spasme otot leher.
b. Rehabilitasi psikis
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan
mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.
c. Rehabilitasi pekerjaan
PO2
PCO2
> 60 mmHg dengan pH normal. Sedangkan gagal napas akut pada gagal napas kronik
ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen,
deman, dan kesadaran menurun.
2. Kor Pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.
3. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman. Hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah (PDPI, 2011).
2.11 Prognosis PPOK
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara
permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu satu tahun,
95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas
akut, embolus paru, dan aritmia jantung (Ward et al., 2007).
2.12 Eksaserbasi Pada PPOK
Eksaserbasi pada PPOK adalah suatu keadaan akut ditandai dengan memburuknya gejala
respirasi pasien di luar dari variasi normal sehari-hari dan menyebabkan perubahan dalam
pengobatan (GOLD, 2015). Eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi atau faktor lainnya seperti
polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi (PDPI, 2011).
Gejala eksaserbasi
Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat
Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)
Presentasi
dan
Cara Membahas Diskusi
E-mail
Pos
Diskusi
Data Pasien
No. Registrasi : 836804
Nama RS : RSUD Kota Padang Panjang
Telp :
Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1
2
3
4
5
Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal di lingkungan perumahan, sumber air dari sumur
Hasil Pembelajaran :
1 Diagnosis Penyakit Paru Obstrusi Kronik Eksaserbasi Akut
2 Tata laksana pasien PPOK EA
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif
Sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk RS, sesak memberat sejak 30 menit SMRS,
sesak nafas tidak bebunyi menciut dan tidak dipengaruhi aktifitas.
Deman ada sejak 2 hatri yang lalu, demam hilang timbul, tidak berkeringat, tidak
menggigil.
Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia muda, kurang lebih 2 sampai 3 bungkus
perhari.
Kesadaran : composmentis
Suhu : 37,8 0C
Berat badan : 55 kg
Sianosis (-)
Edema (-)
Ikterik (-)
b. Pemeriksaan sistemik
Kulit
Mata
THT
Thoraks
Pe: sonor
A: bronkovesikuler normal, rhonki(+/-) di apeks paru, wheezing
(-/-), ekspirasi memanjang
Abdomen
I: distensi (-)
A: BU (+) Normal
Pa: Hepar dan lien tidak teraba
Pe: timpani
c. Pemeriksaan Penunjang
Hb
: 13,8 g/dl
Leukosit
: 11.200/mm3
Trombosit : 226.000/mm3
Ht
Assesment
: 39,5%
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 61 tahun di bangsal Paru RSUD Kota
Padang Panjang pada tanggal 24 April 2016. Dari anamnesis diketahui pasien mengalami
sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk RS. Sesak nafas tidak berbunyi menciut, tidak
dipengaruhi cuaca dan tidak dipengaruhi aktifitas. Demam ada, mual dan mutah tidak ada,
dan riwayat asma disangkal, riwayat PPOK ada sejak 2 tahun yang lalu. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak usia muda, sebanyak 2-3 bungkus perhari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran cmc. Dari pemeriksaan mulut di dapat
pursed- lips breathing, paru didapatkan sela iga melebar, barrel chest, ronki kasar di paru
apeks kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus yang normal. Pada
ekstremitas akral hangat dan perfusi baik.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka pasien
didiagnosis penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut. Hal ini didasari dari
pemeriksaan berupa adanya pursed lips breathing, sela iga melebar, barrel chest dan ronki
kasar di apeks paru kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus yang normal.
Pada ekstremitas akral hangat dan perfusi baik. Oleh sebab itu pasien didiagnosis penyakit
paru obstruksi kronik eksaserbasi akut.
Plan
Diagnosis klinis : Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut
Pengobatan IGD : IVFD RL 8 jam / kolf
Nebulizer Combivent 3x
Konsul dr. Yenny Muchtar Sp.P, advice :
-
Aminophylin 3 x 150 mg
Paracetamol 3x 500 mg
Cefoperazon 2x1 gr
Follow Up :
25 April 2016
S/ - Sesak nafas sudah berkurang
-
Demam ada
Thoraks: cor
ekpirasi memanjang
Abdomen: BU (+) Normal
Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik
A/ Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut (dalam perbaikan)
P/
-
Nebulizer Combiven 4x
Aminophylin 3 x 150 mg
Paracetamol 3x 500 mg
Cefoperazon 2x 1gr
26 April 2016
S/ - Sesak nafas berkurang
-
Nebulizer Combiven 4x
Aminophylin 3 x 150 mg
Cefoperazon 2x 1gr
27 April 2016
S/ - Sesak nafas tidak ada
-
Nebulizer Combiven 3x
Aminophylin 3 x 150 mg
Cefoperazon 2x 1gr
Pendidikan :
Kepada keluarga pasien dijelaskan mengenai cara pemberian obat di rumah. Selain itu
keluarga pasien diminta untuk rajin control rutin ke Poli Paru, dan segera bawa pasien
ke pelayanan kesehatan apabila ditemukan hal sebagai berikut:
-
Selain itu dijelaskan pula kepada keluarga upaya promotif/ preventif seperti:
-