Anda di halaman 1dari 29

PORTOFOLIO KASUS MEDIS

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK


EKSASASERBASI AKUT

OLEH:

dr. Romance De Astriella Sanjaya

PENDAMPING:

dr. Endayani T ,MPH

RSUD KOTA PADANG PANJANG


2016

PORTOFOLIO

Nama Peserta

: dr. Romance De Astriella Sanjaya

Nama Wahana

: RSUD Kota Padang Panjang

Topik

: Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut

Tanggal (kasus)

: 24 April 2016

Tanggal Presentasi

: 4 mei 2016

Nama Pendamping

: dr. Endayani T, MPH

Tempat Presentasi

: Ruang Konfrensi RSUD Kota Padang Panjang

Objektif Presentasi

: Keilmuan dan Diagnostik

Bahan Bahasan

: Kasus

Cara Membahas

: Presentasi dan Diskusi

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi PPOK
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran

udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya (GOLD, 2015). Istilah lebih umum bronkitis kronik
dan emfisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis PPOK (WHO,
2015).
Terminolgi PPOK telah mengalami beberapa kali perubahan sejak dicetuskan pertama kali
dalam forum internasional Ciba Guest Symposium 1959, semula dikenal sebagai Chronic
Airflow Obstruction (CAO), Chronic Aspecific Respiratory Affection (CARA), Chronic Non
Specific Lung Disease (CNSLD), dan saat ini lebih dikenal sebagai Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) (Alsagaff, 2005).
Penyakit paru obstruktif kronik meliputi bronkitis kronik dan emfisema yang sering terjadi
bersamaan (Ward et al., 2007). Bronkitis kronik adalah suatu sindrom klinis berupa batuk-batuk
kronis berdahak setiap hari paling sedikit selama 3 bulan dan berlangsung 2 tahun berturut-turut
(Danusantoso, 2013). Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai
oleh pelebaran rongga udara distal bronkhiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli
(PDPI, 2011).
2.2 Epidemiologi
WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat di dunia dan
memprediksi pada tahun 2020, PPOK akan meningkat dari peringkat 12 menjadi peringkat 5
penyakit terbanyak dan dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 penyebab kematian di seluruh dunia
(PDPI, 2011). Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK
sebesar (10,1%), pada laki-laki sebesar (11,8%), dan untuk perempuan (8,5%) (Oemiati, 2013).
Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan meningkat pada kelompok usia > 45
tahun. Hal ini dihubungkan dengan penurunan fungsi respirasi pada usia 30-40 tahun (Oemiati,
2013). Di negara Uni Eropa biaya total untuk penyakit pernapasan diperkirakan sekitar 6% dari

total biaya pelayanan kesehatan, dengan biaya PPOK sekitar 56% (38,6 miliar Euro) dari total
keseluruhan (GOLD, 2015).
Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Hasil survei penyakit
tidak menular oleh Rikesdas pada tahun 2013, diperoleh asma menempati urutan pertama
menyumbang angka kesakitan (4,5%), diikuti PPOK (3,7%), diabetes (2,1%), penyakit jantung
koroner (1,5%), kanker (1,4%), dan gagal ginjal (0,3%). Prevalensi tertinggi PPOK adalah
Provinsi Nusa Tenggara Timur 10% dan terendah adalah Provinsi Lampung 1,4%. Khusus untuk
provinsi Sumatera Barat prevalensinya adalah 3% (Balitbangkes, 2014). Prevalensi kasus PPOK
di Provinsi Jawa Tengah yaitu 0,08% pada tahun 2010 menjadi 0,09% pada tahun 2011. Data
tersebut menunjukkan bahwa kasus PPOK di Jawa Tengah meninggkat dalam dua tahun terakhir
(Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2013).
2.3 Faktor Risiko PPOK
Faktor risiko PPOK adalah

hal-hal

yang

berhubungan

dan

atau

yang

mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu.


a) Asap Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK. Asap rokok dapat mengganggu
aktivitas bulu getar saluran pernapasan, fungsi makrofag dan mengakibatkan hipertrofi
kelenjar mukosa. Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada orang
yang tidak merokok. Risiko untuk menderita PPOK tergantung pada usia mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap per hari, dan berapa lama orang tersebut merokok (PDPI, 2011).
Pengidap PPOK yang merokok mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi (6,925) kali dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko PPOK yang diakibatkan oleh rokok
empat kali lebih besar dari pada bukan perokok. Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau

perokok pasif dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, karena
terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas.
Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor risiko kepada janin,
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru, perkembangan janin dalam
kandungan, dan dapat menurunkan sistem imun dari janin tersebut (PDPI, 2011).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
1. Riwayat merokok

Perokok aktif

Perokok pasif

Bekas perokok

2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah ratarata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

Ringan : 0-199

Sedang : 200-599

Berat : > 600

b) Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan.
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kurangnya alfa-1 antitripsin (AAT)
yang merupakan suatu serin protease inhibitor. Kerja dari alfa-1 antitripsin ini menetralkan
enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru, sehingga kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi

alfa-1 antitripsin ini merupakan suatu kelainan yang diturunkan secara autosomal resesif
(Tierney et al., 2002).

c) Pekerjaan
Peningkatan gangguan dan obstruksi saluran pernapasan juga bisa diakibatkan oleh
pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Hal ini berkaitan erat dengan seberapa besar
seseorang terkena polusi saat bekerja. Orang yang bekerja di daerah pertambangan biasanya
lebih rentan terkena PPOK. Pekerja yang kesehariannya berhubungan dengan asap kompor

dan pemanasan ruangan yang kurang baik juga bisa terkena PPOK, seperti koki dan
pekerja rumah tangga. Selain itu, ada beberapa pekerjaan yang pekerjanya sering
menyelingi waktunya dengan merokok yang merupakan faktor utama terjadinya PPOK,
seperti petani, nelayan, pekerja angkutan, pekerja bangunan dan lain-lain.
d) Tempat Tinggal
Orang yang tinggal di kota kemungkinan terkena PPOK lebih tinggi dibandingkan
orang yang tinggal di desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi tempat yang berbeda, yang
mana kota polusi udaranya lebih tinggi dibandingkan di desa.

e) Jenis Kelamin
PPOK lebih banyak pada laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan wanita.
f) Polusi udara

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam dan di luar ruangan. Polusi di dalam ruangan
seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap obat nyamuk bakar, asap kayu
bakar, dan lain-lain. Sedangkan polusi di luar ruangan seperti gas buang industri, gas buang
kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain.
Peran polusi di luar ruangan masih belum jelas terhadap PPOK, tetapi lebih kecil
prevalensinya jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Polusi di dalam ruangan yang
disebabkan oleh bahan bakar biomass yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga
merupakan salah satu faktor risiko PPOK. Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai
biomass dan batubara sebagai sumber energi utama untuk memasak, pemanas ruangan, dan
keperluan rumah tangga lainnya, sehingga populasi berisiko menjadi sangat banyak.
Populasi di dalam ruangan diperkirakan akan membunuh 2 juta perempuan dan anak-anak
setiap tahunnya (PDPI, 2011).
g) Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko PPOK belum dapat dijelaskan secara pasti,
namun ini lebih berhubungan dengan pajanan polusi di dalam dan di luar ruangan,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang menyebabkan seseorang
lebih mudah untuk terkena PPOK (PDPI, 2011).

h) Infeksi Saluran napas berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresivitas PPOK.
Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas yang dapat menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi

paru dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa. Seringnya kejadian infeksi berat pada
anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko PPOK (PDPI, 2011).
i) Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan
pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko
untuk terjadinya PPOK. Studi menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai

VEP1

pada masa anak (PDPI, 2011).


j) Usia
Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda, umumnya setelah usia 50 tahun ke atas.
Gejala klinis muncul karena terpajan asap beracun yang terus-menerus dalam waktu yang
lama. Pada orang yang terus merokok pada usia 45 tahun fungsi parunya akan menurun
dengan cepat dibandingkan yang tidak merokok dan pada usia di atas 60 tahun gejalagejala PPOK akan mulai muncul (WHO, 2007).
2.5

Patogenesis PPOK
Terjadinya pembatasan aliran udara progresif pada PPOK dikaitkan dengan respon

inflamasi abnormal dari partikel/gas beracun disepanjang saluran napas, parenkim, dan
pembuluh darah paru. Seiring waktu, proses tersebut menyebabkan terbentuknya jaringan parut
sehingga

lumen

saluran

napas

menyempit.

Faktor

lain

yang

berhubungan

adalah

ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase di paru-paru. Peradangan kronis mengaktifkan


proteinase dan zat lain (pelepasan mediator) yang dapat merusak parenkim paru. Perubahan
parenkim mungkin juga akibat paparan asap rokok/genetik (kekurangan alpha-1 antitripsin).
Perubahan vaskuler paru dicirikan dengan penebalan dinding lumen saluran napas yang pada

akhirnya menunjukkan adanya restriksi dan obstruksi. Parameter yang sering digunakan untuk
melihat gangguan restriksi adalah vital capacity (VC), sedangkan pada gangguan obstruksi
parameternya adalah Force Expiratory Volume 1 ( FEV 1 ) dan rasio

FEV 1

terhadap Force

Vital Capacity (FVC) (Sherwood, 2004).


Gangguan pada PPOK mencakup dua penyakit utama yaitu emfisema dan bronkitis
kronik. Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen rongga udara dibagian distal
bronkhiolus non-respiratorik terminal disertai dengan kerusakan dinding alveoli. Emfisema
menimbulkan obstruksi saluran napas karena hilangnya daya elastisitas yang disebabkan oleh
rusaknya dinding alveoli sehingga saluran napas perifer menyempit yang mengakibatkan
resistensi saluran napas, terperangkapnya udara, dan hiperinflasi. Perubahan patologik ini tidak
terjadi di seluruh paru. Ketidakseimbangan ventilasi/perfusi yang diakibatkannya menyebabkan
hipoksemia kronis. Menurut Huether & McCance (2007), diperkirakan 1-2 % kasus emfisema
disebabkan oleh defisiensi enzim alpha-1 antitripsin. Emfisema juga dapat diakibatkan oleh
merokok, yang mana zat-zat kimia yang terkandung dalam rokok akan merangsang aktivitas sel
inflamasi untuk memproduksi elastase yang dapat merusak alveoli.
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai produksi sputum dan batuk yang berlebihan
hampir setiap hari selama sekurang-kurangnya tiga bulan dalam dua tahun yang berurutan.
Bronkitis kronik disertai oleh radang, hiperplasia lendir dan metaplasia sel. Bronkitis kronik
menimbulkan obstruksi saluran napas dengan mengindukdi hiperplasia kelenjar lendir dan
radang peribronkial. Kelebihan sputum yang ditimbulkannya dan disertai dengan edema mukosa
mengakibatkan penyempitan saluran napas yang pada akhirnya menaikkan resistensi saluran
napas (Tjahjono, 2011).
2.6 Klasifikasi PPOK
Table 2.1 Derajat obstruktif paru (GOLD, 2015)
Klasifikasi Derajat Keparahan Keterbatasan Aliran Udara pada PPOK

(Berdasarkan paska-bronkodilator VEP1 )


GOLD 1:

Ringan

GOLD 2:

Sedang

GOLD 3:

Berat

GOLD 4:

Sangat Berat

VEP1 80% prediksi


50% VEP1 <80 prediksi
30% VEP1 <50 prediksi
VEP1 <30 prediksi

2.7 Diagnosis PPOK


Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan :
2.7.1 Gejala Klinis PPOK
1. Anamnesis

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok atau polusi
udara

Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tanpa kelainan

Inspeksi
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)

Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)


Penggunaan otot bantu napas
Hipertrofi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah

Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed-lips breathing.
Blue Bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed-lips Breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Faal Paru
a. Spirometri
Merupakan pemeriksaan faal paru yang terpenting untuk mendeteksi adanya
obstruksi jalan napas maupun derajat obstruktif. Hambatan aliran udara pernapasan pada
ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan perumusan nilai-nilai Volume Ekspirasi
Paksa detik pertama.

(VEP 1)

merupakan parameter yang paling banyak digunakan

untuk menentukan obstruksi, derajat obstruktif, bahkan dapat menilai prognosis.


b. APE meter
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter dapat
digunakan sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih
dari 20%.

c. Kapasitas difusi
d. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik.

2. Elektrokardiogram
Hipertensi pulmonal pada derajat lanjut PPOK dapat diketahui dengan EKG.
Gambaran abnormal EKG antara lain:
a. P pulmonal deviasi aksis ke kanan
b. Low Voltage sering pada emfisema
3. Radiologi
Pada emfisema terlihat gambaran:
a. Hiperinflasi
b. Hiperlusen
c. Ruang retrosternal melebar
d. Diafragma mendatar
e. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik:
a. Pada foto toraks PA dan lateral terlihat normal
b. Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus

2.8 Diagnosis Banding


Tabel 2.4 Diagnosis banding penyakit paru obstrukrif kronik (PDPI, 2011)
Diagnosis
1. Asma

Gambaran Klinis
Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam/dini hari lebih

menonjol
Dapat ditemukan alergi, rhinitis dan atau
eksim
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara umumnya reversible
2. Gagal Jantung Kongestif

Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru
Gambaran foto pembesaran jantung dan
edema paru
Pemeriksaan faal paru retriksi, bukan
obstruksi

3. Bronkiektasis

Sputum purulen dalam jumlah banyak


Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
Ronki basah kasar dan jari tabuh
Gambaran foto toraks tampak honeycomb
appearance dan penebalan dinding bronkus

4. Tuberkulosis

Onset semua usia


Gambaran foto toraks infiltrat
Konfirmasi mikrobiologi (basil
asam/BTA)

tahan

5. Sindrom Obstruktif Pasca TB Riwayat pengobatan antituberkulosis adekuat


Gambaran foto toraks bekas TB: fibrotik dan
kalsifikasi minimal
Pemeriksaan
faal
paru
menunjukkan
obstruksi yang reversible
6. Bronkiolitis Obliterasi

Usia muda
Tidak merokok
Mungkin ada riwayat arthritis rheumatoid
CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens

7. Diffuse panbrochiolitis

Sering pada perempuan tidak merokok


Sering kali berhubungan dengan sinusitis
Ronsen dan CT paru resolusi tinggi
memperlihatkan bayangan difus nodul opak
sentrilobular dan hiperinflasi

2.9 Pencegahan PPOK


2.9.1

Pencegahan Primer

a. Edukasi terhadap penderita dan keluarganya.


Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Karena PPOK merupakan penyakit yang irreversibel dan progresif. Inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan faal paru.
Tujuan edukasi pada pasien dan keluarga adalah agar mereka mengetahui faktor-faktor
yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang dapat memperburuk keadaannya. Ini
perlu peranan aktif pasien beserta keluarga untuk usaha pencegahan.

b. Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi lain yang bersifat iritasi.


Rokok merupakan faktor utama PPOK dan dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Penderita harus berhenti merokok serta menghindar dari zat-zat yang bersifat iritasi.
Karena zat itu menimbulkan eksaserbasi atau memperburuk penyakitnya (PDPI, 2011).

2.9.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini (pemeriksaan penyakit) dan pengobatan yang
tepat.
a. Diagnosis dini
Diagnosis PPOK ditentukan dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan rutin serta
pemeriksaan penunjang.
b. Pengobatan

Menurut Barnet (2006), pengobatan PPOK berfokus pada penurunan atau


penghilangan gejala, mengurangi frekuensi eksaserbasi, meningkatkan kualitas hidup dan
aktifitas sehari-hari serta pencegah progresifitas penyakit. Hal yang perlu dievaluasi terkait
dengan pengobatan pasien diantaranya kemampuan bernapas pasien, penurunan gejala
setelah pengobatan, peningkatan melakukan aktivitas atau mengerjakan sesuatu,
peningkatan kualitas atau kuantitas tidur.
b.1

Bronkodilator
Bronkodilator terdiri dari beta-agonis (salbutamol 2,5-5 mg; saltamerol atau
formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium bromide 20 mg atau 40 mg;
tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari) dan teofilin 10-20 mg/l atau 100-600 per oral).
Pemberian bronkodilator dapat membantu pasien mengurangi sesak serta meningkatkan
toleransi latihan/aktifitas dengan menggunakan air-trapping dan meningkatkan efisiensi
otot pernapasan. Kombinasi dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala yang muncul
pada pasien. Efek samping yang dilaporkan meliputi sakit kepala, insomnia, tremor,
hipertensi, aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah (Deglin.J.H & Vallerand.A.H, 2005).

b.2

Mukolitik
Sebagian besar pasien PPOK mengalami batuk kronis dan memproduksi sputum.
Pemberian kodein 15 mg (5 ml) 3-4x/hari dapat mengurangi gangguan tidur pada pasien
akibat batuk. Mukolitik semacam carbocisteine dengan dosis 750 mg 3x/hari dan
mecisteine hidrochloride 200 mg 4x/hari adalah obat-obat yang dapat mengencerkan dan
memudahkan pengeluaran sputum. Efek samping meliputi mual, muntah, stomatitis, diare

b.3

dan nyeri lambung (Deglin.J.H & Vallerand.A.H, 2005).


Kortikosteroid
Peradangan yang nampak pada jalan napas pasien PPOK berbeda dengan peradangan
dan respon terhadap kortikosteroid pada pasien asma. Meskipun belum terdapat banyak

bukti yang menyarankan pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat ringan, namun
pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat sedang sampai berat dengan nilai

FEV 1

kurang dari 50% dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Pemberian kortikosteroid oral tidak disarankan untuk jangka waktu yang lama,
mengingat hal tersebut bisa memberikan efek yang buruk terhadap kejadian osteoporosis.
Prednison oral 40-60 mg dapat diberikan sebagai dosis harian tunggal di pagi hari untuk
kasus yang tidak begitu berat. Beklometason, 100 g (2 isapan) 4 kali sehari, dapat
diberikan sementara prednison dikurangi secara perlahan-lahan. Efek samping dari
pemberian obat ini diantaranya depresi, anoreksia, ulkus peptikum, supresi adrenal,
penurunan berat badan dan kerentanan terhadap infeksi (Deglin.J.H & Vallerand.A.H,
b.4

2005).
Inhaler
Alat ini sangat mudah digunakan, perawat dan tenaga kerja kesehatan profesional
yang lain sebaiknya perlu mengajarkan dengan benar penggunaan dan perawatannya secara
teratur. Beberapa pasien kesulitan menggunakan berkaitan dengan gangguan kognitif
sehingga pemilihan dan penggunaan alat ini perlu dipertimbangkan. Multiple-dose inhalers

b.5

(MDI) adalah yang paling efektif digunakan (NCCCC, 2004).


Nebulizer
Nebulizer perlu diberikan kepada pasien yang kesulitan bernapas dan tetap sesak
meskipun telah diberikan inhaler dengan dosis maksimal. Jika memang pasien diberikan
terapi ini, pasien harus dilengkapi dengan peralatan seperti tubing, penyambung nebulizer,
masker atau mouthpieces dan harus dipastikan aman untuk digunakan (NCCCC, 2004).

b.6

Ansiolitik, Anti depresan dan Sedasi


Ansiolitik seperti benzodiazepin dapat membantu mengurangi kecemasan dan
diindikasi pada penggunaan jangka pendek atau jika diperlukan saja. Lorazepam 1-4

mg/hari memiliki waktu paruh yang pendek dan sangat bermanfaat diberikan sublingual
pada kondisi panik pernapasan. Diazepam 2-5 mg diberikan 3x/hari mungkin juga
memberikan keuntungan pada pasien. Obat-obat ini perlu mendapatkan perhatian khusus
pada pemberiannya karena telah diketahui sebagai depresan pernapasan. Pemberian
buspiron 5 mg/hari merupakan non-sedasi juga dapat menekan pernapasan. Efek samping
obat ini meliputi mual, pusing, sakit kepala dan tremor. Pemilihan serotonin reuptake
inhibitor seperti sertraline 50 mg/hari, paroxetin 20 mg/hari diberikan pagi atau citalopram
20 mg diberikan 1x/hari memiliki sedikit anti kolinergik dan non-sedasi.

b.7

Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ lainnya.
Indikasi terapi oksigen :

PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi O2 < 90%

PaO2

diantara 55-59 mmHg atau Saturasi

O2

> 89% disertai kor pulmonal,

perubahan P pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea,
dan penyakit paru lain
Terapi oksigen dapat diberikan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di
rumah diberikan kepada pasien PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan kepada pasien PPOK eksaserbasi akut di unit
gawat darurat, ruang rawat, ataupun ICU.

Pemberian oksigen pada pasien PPOK yang dirawat di rumah dapat dibedakan
menjadi pemberian oksigen jangka panjang, pemberian oksigen pada waktu aktivitas, dan
pemberian oksigen pada timbul sesak mendadak. Terapi oksigen jangka panjang diberikan
di rumah pada keadaan stabil terutama pada keadaan tidur atau sedang aktivitas, lama
pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi
oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang terjadi bila pasien tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oxsimetry. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90% (PDPI,
2011).
2.9.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini berupa rehabilitasi, disebabkan pasien cenderung menemui kesulitan
bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosial yang terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah:
a.

Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan
efisiensi batuk, mengatasi gangguan pernapasan pasien, memperbaiki gangguan
perkembangan toraks, meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan, dan mengurangi
spasme otot leher.
b. Rehabilitasi psikis
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan
mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.
c. Rehabilitasi pekerjaan

Berguna untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan


kemampuan fisiknya. Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam
melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur (PDPI, 2011).
2.10 Komplikasi
1. Gagal napas
Terdiri dari gagal napas kronik dan gagal napas akut pada gagal napas kronik. Gagal
napas kronik ditentukan dengan hasil analisis gas darah

PO2

< 60 mmHg dan

PCO2

> 60 mmHg dengan pH normal. Sedangkan gagal napas akut pada gagal napas kronik
ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen,
deman, dan kesadaran menurun.
2. Kor Pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.
3. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman. Hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah (PDPI, 2011).
2.11 Prognosis PPOK
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara
permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu satu tahun,
95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas
akut, embolus paru, dan aritmia jantung (Ward et al., 2007).
2.12 Eksaserbasi Pada PPOK

Eksaserbasi pada PPOK adalah suatu keadaan akut ditandai dengan memburuknya gejala
respirasi pasien di luar dari variasi normal sehari-hari dan menyebabkan perubahan dalam
pengobatan (GOLD, 2015). Eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi atau faktor lainnya seperti
polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi (PDPI, 2011).
Gejala eksaserbasi

Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat
Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)

Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga tipe :

Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala


Tipe II (eksserbasi sedang), memiliki 2 gejala
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas atas lebih
dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar
(PDPI, 2011).

BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIS


No. ID dan Nama Peserta
dr. Romance De Astriella Sanjaya
No. ID dan Nama Wahana
RSUD Kota Padang Panjang
Topik
Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut
Tanggal (kasus)
24 April 2016
Nama Pasien
Tn. A
No. RM
855712
Tanggal Presentasi
4 Mei 2016
Pendamping
dr. Endayani T, MPH
Tempat Presentasi
Ruang Konfrensi RSUD Kota Padang Panjang
Objektif Presentasi
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi
Laki-laki usia 61 tahun dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari SMRS
Tujuan
Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Tinjauan
Bahan Bahasan
Riset
Kasus
Audit
Pustaka

Presentasi
dan
Cara Membahas Diskusi
E-mail
Pos
Diskusi
Data Pasien
No. Registrasi : 836804
Nama RS : RSUD Kota Padang Panjang
Telp :
Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1

Diagnosis/ Gambaran Klinis : Penyakit Paru Obstrusi Kronik Eksaserbasi Akut

2
3
4
5

Riwayat Pengobatan: Ada


Riwayat Kesehatan/ Penyakit : Ada riwayat PPOK sejak 2 tahun yang lalu
Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama
Riwayat Pekerjaan : -

Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal di lingkungan perumahan, sumber air dari sumur

7 Lain-lain : Daftar Pustaka :


1. Danusantoso, H., 2013. Bronkitis kronik dan PPOM. In d.Y.J. Suyono, ed. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.
2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.206.
2. Deglin.J.H & Vallerand.A.H, 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta: EGC.
3. Departemen Kesehatan RI, 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015. Pocket Guide to COPD Diagnosis,
Management, and Prevention . [Online] Available at: www.goldcopd.org/guidelines-pocket-guide-to-copd-

diagnosis.html [Accessed 21 Oktober 2015].


5. Huether, S.E. & McCance, K.L., 2007. Understanding Phatophysiology. Missouri: Mosby.
6. Kemenkes RI, 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
7. Maranatha, D., 2010. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). In M.J. Wibisono, Winariani & S. Hariadi,
eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. 1st ed. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR-RSUD
Dr.Soetomo. p.37.
8. Oemiati, R., 2013. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). [Online] Available at:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id [Accessed 11 November 2015].
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011. PPOK, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: PDPI.
10. Sherwood, 2004. Human Physiology: From Cells to System. 6th ed. USA: Thomson.
11. WHO, 2015. Burden of COPD. [Online] Available at: http:/www.who.int/respiratory/copd/burden/en/
[Accessed 27 Agustus 2015].
12. WHO, 2015. Chronic respiratory disease. [Online] Available at: www.who.int/respiratory/copd/definition
[Accessed 12 Agustus 2015].

Hasil Pembelajaran :
1 Diagnosis Penyakit Paru Obstrusi Kronik Eksaserbasi Akut
2 Tata laksana pasien PPOK EA
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif

Sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk RS, sesak memberat sejak 30 menit SMRS,
sesak nafas tidak bebunyi menciut dan tidak dipengaruhi aktifitas.

Batuk berdahak sejak 2 hari SMRS, dahak warna putih

Deman ada sejak 2 hatri yang lalu, demam hilang timbul, tidak berkeringat, tidak
menggigil.

Mual dan muntah tidak ada

Nafsu makan menurun

BAB dan BAK tidak ada kelainan.

Riwayat asma disangkal

Riwayat PPOK ada sejak 2 tahun yang lalu

Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia muda, kurang lebih 2 sampai 3 bungkus
perhari.

Riwayat konsumsi obat paru 6 bulan tidak ada.


Objektif
a. Vital sign

KU : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Frekuensi nadi: 82 x/menit

Frekuensi nafas: 30 x /menit

Suhu : 37,8 0C

Berat badan : 55 kg

Sianosis (-)

Edema (-)

Ikterik (-)

b. Pemeriksaan sistemik

Kulit

Kepala : dalam batas normal

Mata

: teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis

: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks

cahaya +/+ normal

THT

Mulut : pursed- lips breathing (+)

Thoraks

: tidak ada kelainan

Jantung I: iktus tak terlihat


Pa: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Pe: batas jantung normal
A: irama murni, teratur, bising (-)
Paru

I: sela iga melebar. Barrel chest (+).


Pa: fremitus kiri = kanan

Pe: sonor
A: bronkovesikuler normal, rhonki(+/-) di apeks paru, wheezing
(-/-), ekspirasi memanjang

Abdomen
I: distensi (-)
A: BU (+) Normal
Pa: Hepar dan lien tidak teraba
Pe: timpani

Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik

c. Pemeriksaan Penunjang
Hb

: 13,8 g/dl

Leukosit

: 11.200/mm3

Trombosit : 226.000/mm3
Ht
Assesment

: 39,5%

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 61 tahun di bangsal Paru RSUD Kota
Padang Panjang pada tanggal 24 April 2016. Dari anamnesis diketahui pasien mengalami
sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk RS. Sesak nafas tidak berbunyi menciut, tidak
dipengaruhi cuaca dan tidak dipengaruhi aktifitas. Demam ada, mual dan mutah tidak ada,
dan riwayat asma disangkal, riwayat PPOK ada sejak 2 tahun yang lalu. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak usia muda, sebanyak 2-3 bungkus perhari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran cmc. Dari pemeriksaan mulut di dapat
pursed- lips breathing, paru didapatkan sela iga melebar, barrel chest, ronki kasar di paru
apeks kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus yang normal. Pada
ekstremitas akral hangat dan perfusi baik.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka pasien
didiagnosis penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut. Hal ini didasari dari

pemeriksaan berupa adanya pursed lips breathing, sela iga melebar, barrel chest dan ronki
kasar di apeks paru kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus yang normal.
Pada ekstremitas akral hangat dan perfusi baik. Oleh sebab itu pasien didiagnosis penyakit
paru obstruksi kronik eksaserbasi akut.
Plan
Diagnosis klinis : Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut
Pengobatan IGD : IVFD RL 8 jam / kolf
Nebulizer Combivent 3x
Konsul dr. Yenny Muchtar Sp.P, advice :
-

IVFD drip Aminophylin 5cc dalam RL 8 jam / kolf

Inj. Metyl Prednisolon 2 x 62,5 mg

Nebulizer Combiven 6x per hari

Asetil sistein 3x1tab

Aminophylin 3 x 150 mg

Paracetamol 3x 500 mg

Cefoperazon 2x1 gr

Follow Up :
25 April 2016
S/ - Sesak nafas sudah berkurang
-

Batuk berdahak (+)

Demam ada

Makan dan tidur kurang

BAB dan BAK biasa

O/ Nadi: frekuensi 87x/ menit, kuat angkat


Napas: 26x/ menit
Suhu: 37,70C
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thoraks: cor

: dalam batas normal


pulmo : barrel chest, sela iga melebarVesikuler, Rh (+/-), Wh(-/-),

ekpirasi memanjang
Abdomen: BU (+) Normal
Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik
A/ Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut (dalam perbaikan)
P/
-

IVFD drip Aminophylin 5cc dalam RL 8 jam / kolf

Inj. Metyl Prednisolon 2 x 62,5 mg

Nebulizer Combiven 4x

Asetil sistein 3x1 tab

Aminophylin 3 x 150 mg

Paracetamol 3x 500 mg

Cefoperazon 2x 1gr

26 April 2016
S/ - Sesak nafas berkurang
-

Batuk berdahak (+)

Demam tidak ada

Makan dan tidur kurang

BAB dan BAK biasa

O/ Nadi: frekuensi 85x/ menit, kuat angkat


Napas: 24x/ menit
Suhu: 37 0C
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thoraks: cor

: dalam batas normal

pulmo :barrel chest, sela iga melebar, Vesikuler, Rh (-/-), Wh(-/-)


Abdomen: BU (+) Normal
Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik

A/ Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut (dalam perbaikan)


P/
-

IVFD drip Aminophylin 5cc dalam RL 8 jam / kolf

Inj. Metyl Prednisolon 2 x 62,5 mg

Nebulizer Combiven 4x

Asetil sistein 3x1

Aminophylin 3 x 150 mg

Cefoperazon 2x 1gr

27 April 2016
S/ - Sesak nafas tidak ada
-

Batuk berdahak (+)

Demam tidak ada

Makan dan tidur kurang

BAB dan BAK biasa

O/ Nadi: frekuensi 79x/ menit, kuat angkat


Napas: 20x/ menit
Suhu: 37 0C
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thoraks: cor

: dalam batas normal

pulmo :barrel chest, sela iga melebar, Vesikuler, Rh (-/-), Wh(-/-)


Abdomen: BU (+) Normal
Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik
A/ Penyakit Paru Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut (dalam perbaikan)
P/
-

IVFD drip Aminophylin 5cc dalam RL 8 jam / kolf

Inj. Metyl Prednisolon 2 x 62,5 mg

Nebulizer Combiven 3x

Asetil sistein 3x1

Aminophylin 3 x 150 mg

Cefoperazon 2x 1gr

Pendidikan :
Kepada keluarga pasien dijelaskan mengenai cara pemberian obat di rumah. Selain itu
keluarga pasien diminta untuk rajin control rutin ke Poli Paru, dan segera bawa pasien
ke pelayanan kesehatan apabila ditemukan hal sebagai berikut:
-

Nafas bertambah sesak

Disertai batuk berdahak

Dahak berubah menjadi warna kuning kehijauan

Selain itu dijelaskan pula kepada keluarga upaya promotif/ preventif seperti:
-

Membatasi pekerjaan pasien yang dapat memperberat faal paru

Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi lain yang bersifat iritasi.

Makan makanan bergizi

Anda mungkin juga menyukai