Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Oleh: NUR AMALIA PUTRI

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BAKTI INDONESIA BANYUWANGI
2021

1
2

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Menurut gleadle (2007). PPOK
merupakan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan nafas progresif
yang disebabkan oleh reaksi peradang ubnormal. Ketiga penyakit yang
membentuk satu kesatuan yang membentuk PPOK yaitu bronchitis kronis,
emfisima paru-paru dan asma (Manurung, 2016).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih menjadi ancaman
bagi masyarakat dunia (Quaderi & Hurst, 2018). PPOK akan berdampak
negatif terhadap kesehatan penderita (Silalahi & Siregar, 2019). Penyakit
ini memiliki prognosis yang akan terus memburuk seiring dengan
bertambahnya waktu, salah satu dampak yang akan dirasakan oleh pasien
adalah adanya batuk produktif yang terjadi terus menerus (Somantri,
2018). Batuk yang terjadi pada pasien PPOK merupakan akibat dari
menurun dan inflamasi bronkus, akibatnya aktivitas sillia terjadi i aktifasi
sel goblet (Masriadi, 2016) Aktifasi sel ini akan menyebabkan akimulasi
sekret sehingga terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas (Sari, 2016).
Diperkirakan 328 juta orang memiliki COPD di seluruh dunia.
Dalam 15 tahun, COPD diperkirakan menjadi penyebab utama kematian di
seluruh dunia (Quaderi & Hurst, 2018). PPOK menjadi urutan pertama
pada kelompok penyakit paru di Negara Indonesia dengan angka kesakitan
(35%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur
(10,0%) (Qamila et al., 2019) Prevalensi PPOK di Jawa Timur sebesar
3,5% (Hermanto, 2015). Pada tahun 2020 PPOK diprediksi sebagai
penyebab kematian keempat di dunia, dan menjadi tantangan bagi dunia
kesehatan untuk dapat dicegah dan diobati Data World Health
3

Organization (WHO), menunjukkan bahwa lebih dari 3 juta orang


meninggal karena PPOK pada tahun 2012, yakni sebesar 6% dari semua
kematian global tahun itu dan lebih dari 90% kematian PPOK terjadi di
negara berpenghasilan rendah dan menengah (Putra, 2017). Prevalensi
PPOK di negara-negara Asia Tenggara prevalensi tertinggi terdapat di
Vietnam(6,7%) dan China (6,5%) dari total penduduknya (Saftarina et al.,
2017). Sedangkan Dil Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai
penyakit penyebab kematian dan diperkirakan akan menduduki peringkat
ke-3 pada tahun 2020 mendatang (Susanti, 2015). Prevalensi PPOK di
Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, salah satunya disebabkan
oleh banyaknya jumlah perokok di Indonesia. Secara nasional konsumsi
tembakau di Indonesia cenderung meningkat dari 27% pada tahun 1995
menjadi 36.3% pada tahun 2013 (Kusumawandani et al., 2016)

B. Batasan Masalah
1. Ruang lingkup yang merupakan informasi seputar pasien dengan
masalah PPOK.
2. Informasi yang meliputi konsep asuhan keperawatan dan diagnosa
PPOK.
C. Rumusan Masalah
1. bagaimana asuhan keperawatan kepada pasien dengan keluhan
PPOK?
2. Apa penyebab pasien mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh
yang disertai dahak?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari asuhan keperawatan pada pasien PPOK
2. Tujuan Khusus
1. Mampu mendiskripsikan tentang diagnosa keperawatan pada
pasien dengan penyakit PPOK
4

2. Mampu mendiskripsikan asuhan keperawatan diagnosa pada pasien


PPOK
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi PPOK
PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua
penyakit paru terjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan
emfisenu. Asma kronis yang dikombinasikan dengan emfisema atau
bronkitis juga dapatmenyebabkan PPOK (Hurst, 2016).
PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara
yang tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya
bersifat progresif dan di kaitkan dengan respon inflamasi paru yang
abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas, hipersekresi mucus, dan perubahan pada
system pembuluh darah paru. Penyakit lain seperti kistik fibrosis,
bronkiektasis, dan asama yang sebelumnya diklasifikasikan dalam
jenis COPD kini di klasifikasikan paru kronis, meskipun gejala tupang
tindih dengan COPD lain. Merokok singaret, polusi udara, dan pajanan
di tempat kerja (batu bara, katun, biji-bijian padi) merupakan factor
penting yang menyebabkan terjadinya COPD, yang dapat terjadi dalam
rentang waktu 20-30 tahun (Suddarth, 2015).

2. Etiologi PPOK
Menurut Oemiati (2013) beberapa faktor risiko antara lain.
a. Pajanan dari partikel antara lain:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi
mucus dan obstruksi jalan napas kronik (Oemiati, 2013). Sejumlah
zat iritan yang ada di dalam rokok menstimulasi produksi mucus
berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan inflamasi,
6

serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus (Elsevier).


Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas
dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat
hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan
mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya (Oemiati, 2013)
2. Polusi indoor:
Memasak dengan bahan hiomass dengan ventilasi dapur yang
jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan
bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%.
Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah
(indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas,
mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2,
NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet,
dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan
peliharaan serta perokok pasip. WHO melaporkan bahwa polusi
indoor bertanggung jawab terhadap kematian dari 1,6 juta orang
setiap tahunya16. Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di
Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan
risiko tinggi PPOK (Oemiati, 2013).
3. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEPI, inhalan yang
paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zine dan debu.
Bahan asap pembakaran pabrik tambang Bagaimanapan
peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada
dekade terakhir ini, saat ini telah mengkhawatirkan sebagai
masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh
dunia. Pada negara dengan income rendah dimana sebagian besar
rumah tangga di masyarakat menggunakan cara masak tradisional
dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan
7

sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan


penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang
tidak merokok (Oemiati, 2013).
4. Polusi di tempat kerja
Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu
sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil
(debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia
pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19% (Oemiati,
2013).
b. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin):
Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1-3% pada pasien
PPOK (Oemiati, 2013).
c. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang:
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan
progresifitas PPOK Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi
jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi.
Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan
penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi
padasaatdewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat
menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian
infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya
hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor risiko pada
PPOK (PDPL, 2011).
d. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik:
Stadi pada orang dewasa di Cinal4 didapatkan risiko relative pria
terhadap wanita adalah 2.80 (95% CI: 264-2.98). Usia tua RR 2,71
(95% CI 2.53-2.89) Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI: 1,45-
2.15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI:2,34-3,02) (Oemiati,
2013).
8

3. Tanda dan gejala (PPOK)


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi dari tanpa gejala dan dengan
gejala dari ringan sampai berat, yaitu batuk kronis, berdahak, sesak
napas bila beraktifitas, sesak tidak hilang dengan pelega napas,
memburuk pada malam/dini hari, dan sesak napas episodic (Tana et
al., 2016). Untuk dapat menghindari kekambuhan PPOK, maka
pemahaman tentang penyakit dan cara mencegah kekambuhan PPOK
menjadi dasar yang sangat penting bagi seseorang khususnya penderita
PPOK Kekambuhan dapat terukur dengan meliputi skala sesak
berdasarkan skala MMRC (Modified Medical Research Counci).
Untuk mengeluarkan dahak dan memperlancar jalan pernapasan pada
penderita PPOK dapat dilakukan dengan cara batuk efektif (Faisal,
2017).
Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda umumnya setelah usia 50
tahun ke atas, paling tinggi pada laki-laki usia 55-74 tahun. Hal ini
dikarenakan keluhan muncul bila terpapar asap rokok yang terus
menerus dan berlangsung lama (Salawati, 2016).
Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
sebagai berikut Suddarth, (2015):
a. PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dyspnea
saat menggerakkan tenaga kerap memburuk seiring waktu.
b. Penurunan berat badan sering terjadi.
c. Gejala yang spesifik dengan penyakit. Lihat "Manifestasi Klinis"
pada "Asma", "Bronkicktasis", "Bronkitis", dan "Emfisema"
4. Patofisiologi (PPOK)
PPOK ditandai dengan obstruksi progresif lambat pada jalan nafas
Penyakit ini merupakan salah satu eksaserbasi periodic, sering kali
berkaitan dengan infeksi pernapasan, dengan peningkatan gejala
dyspnea dan produksi sputum. Tidak seperti proses akut yang
memungkinkan jaringan paru pulih, jalan napas dan parenkim para
9

tidak kembali ke normal setelah ekserhasi; Bahkan, penyakit ini


menunjukkan perubahan destruktif yang progresif (LeMone et al.
2016).
Meskipun salah satu atau lainya dapat menonjol PPOK hiasanya
mencakup komponen bronchitis kronik dan emfisema, dua proses yang
jauh berbeda. Penyakit jalan napas kecil, penyempitan bronkiola kecil,
juga merupakan bagian kompleks PPOK Melalui mekanisme yang
berbeda, proses ini menyebabkan jalan napas menyempit, resistensi
terhadap aliran udara untuk meningkat, dan ekpirasi menjadi lambat
dan sulit (LeMone et al., 2016).
PATHWAY (Muttaqin, 2009 dalam Rahayu, 2016)
Merokok 10

Gnetik: Defisiensi
antitrypsin alfa-1

Mengandung zat- Mengandung


Penurunan zat berbahaya radikal bebas
netralisasi Faktor lingkungan
elastse
Induksi aktivitas Peningkatan
Polusi udara
makrofag dan stres oksidatif
leukosit

Peningkatan
apoptosis dan
Peningkatan Pelepasan faktor Peningkatan
nekrosis dari sel
pelepasan elastase kemotaktif neutrofil pelepasan
yang terpapar
oksidan

Cedera sel Peningkatan jumlah neutrofil Cedera sel


didaerah yang terpapar

Respon inflamasi

Hipersekresi mukus Lisis dinding alveoli Fibrosa paru

bronkiris Kerusakan alveoli Obstruksi paru

Nyeri kronis
Penumpukan lendir dan Kolaps saluran nafas PPOK
sekresi berlebihan kecil saat ekspirasi
Kompensasi tubuh dengan
emfisema peningkatan RR
Merangsang Obstruksi
refleks batuk jalan napas
Gangguan
pertukaran O2 dan Etidakefektifan pola
CO2 dari dan ke paru napas
Ketidakefektifan
bersihan jalan Sesak napas Timbul reflek batuk
nafas
Penurunan asupan O2
Penurunan Tidur tidak efektif
nafsu makan
hipoksemia
Gangguan
Gangguan
pertukaran gas
pola tidur
Perfusi O2 kejaringan Penurun berat
Ngantuk lesu badan

keletihan Intoleran aktivitas Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang Dari


Kebutuhan tubuh
11

5. Klasifikasi
Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Jackson
(2014) :
a. Asma
Penyakit jalan nafas obstruktif intermien, reversible dimana trakea
dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimulasi
tertentu
(Brunner and Suddarth 2010).
b. Bronkhitis kronis
Bronkhitis Kronis merupakan batuk produktif dan menetap minimal 3
bulan secara berturut-turut dalam kurun waktu sekurang-kurangnya
selama 2 tahun. Bronkhitis Kronis adalah batuk yang hampir terjadi
setiap hari dengan disertai dahak selama tiga bulan dalam setahun
dan
terjadi minimal selama dua tahun berturut-turut (GOLD, 2010).
c. Emfisema
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang
ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta
destruksi dinding alveolar (Andini, 2015),.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis,
produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal.
b. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang)
12

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa


produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada
saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian.
Eksaserbasi lebih sering terjadi.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50% .
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik.
Disertai komplikasi korpulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.
6. Komplikasi
Menurut Somantri (2009) komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK
adalah:
1. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2
55 mmHg, dengan niat saturasi oksigen 85% Pada awalnya klien
akan mengalami perubahan mood. penurunan konsentrasi, dan
menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.
2. Asidosis respiratori
Timbul dari peningkatan nilai PaCO: (hiperkapnea) anda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan
takipnea
3. Infeksi respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mucus dan rangsangan otot polos fronchial serta oderna mukosa
Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja
nafas dan timbulnya dispnea.
4. Gagal jantung
13

Tenaama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit


pama). harus diobservasi terutama pada klien dispnea berat
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah
ini.
5. Kandiak distritmia
Timbal karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratori
6. Status asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
bronchial Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan dan seringkali tidak berespons terhadap terapi yang
biasa diberikan Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi
vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-
laki, tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan
perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari
paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar yang
digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017). Kebanyakan
penderita PPOK terjadi pada individu di atas usia 40 tahun (PDPL,
2011). Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi
pada umur 30-40 tahun (Oemiati, 2013).`
b. Status kesehatan saat ini
1) Keluhan Utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang
14

bertambah berat bila aktivitas, kadang kadang disertai mengi,


batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di
dada (PDPI, 2011).
2) Alasan Masuk Rumah Sakit
Biasanya alasan pasien masuk rumah sakit ialah pasien
mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh yang dapat
disertai dengan dahak, napas tersengal-sengal (Alodokter,
2020).
3) Riwayat penyakit sekarang
Menurut Oemiati (2013) Bahwa Perokok aktif dapat
mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas
kronik. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom
saluran napas dan dengan peningkatan kerusakan paru-paru
akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Kebiasaan
memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang
jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan
bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%
dapat memicu terjadinya PPOK.
Produsi mukus berlebihan sehingga cukup menimbulkan batuk
dengan ekspetorasi selama beberapa hari 3 bulan dalam
setahun dan paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut dapat
memicu terjadinya PPOK (Somantri, 2012).
c. Riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di
tempat kerja (PDPI, 2011). Dan memiliki riwayat penyakit
sebelumnya termasuk asama bronchial, alergi.memiliki riwayat
penyakit sebelumnya termasuk asama bronchial, alergi.
sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa kanak-
kanak dan penyakit respirasi lainya. Riwayat eksaserbasi atau
15

pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit respirasi (Socroto


& Suryadinata, 2014).
2) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (PDPI, 2011).
Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainya.
(Soeroto & Suryadinata, 2014). Riwayat alergi pada keluarga
(Mutaqqin, 2008).
3) Riwayat pengobatan
…………………………………………………………………
…………………………………………………………………
…………………………………………………………………
………...

d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat pada pasien dengan PPOK menurut
Wahid & suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
1) Pernafasan
a. Inspeksi
Terlihat adany apeningkatan usaha dan frekuensi
pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas. Bentuk
dada barrel chest (akibat udara yang tertangkap) atau bisa
juga normo chest. Penipisan masa otot, dan pernafasan
dengan bibir di rapatkan. Pernafasan abnormal tidak
efektif dan penggunaan otot-otot bantu nafas
(sternocleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea
terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan
sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen dosertai demam
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi
pernafasan.
16

b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus
biasanya menurun.
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor
sedangkan diafrgama menurun.
d. Aukultasi
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan
wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif pada
bronkiolus. Pada pengkajian lain didapatkan kadar
oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar
karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada
tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakkan
ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikat
tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan
(dispnea eksersorial). Paru yang mengalami
emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan
bronkiolus tidak di kosongkan secara efektif dari sekresi
yang dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi
inflemasi dan infeksi akibat pengumpilan sekresi ini.
Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi.
2) Kardiovakuler
Sering di dapatkan adanya kelemahan fisik secara umum.
Denyut nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal.
Batas jantung tidak mengalami pergeseran. Vena jugularis
mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Kepala dan
wajah jarang dilihat adanya sianosis.
3) Persyarafan
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada
komplikasi penyakit yang serius.
17

4) Perkemihan
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada
keluhan pada sistem perkemihan. Namun peraat perlu
memonitor adanya oliguria yang merupakan salah satu
tanda awal dari syok.
5) Pencernaan
Pasien biasanya mual, nyeri lambun dan me nyebabkan
pasien tidak nafsu makan. Kadang di sertai penurunan berat
badan.
6) Tulang, otot danintegument
Karen penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien
terlihat ke letihan, sering didapatkan intoleransi aktivitas
dan gangguan pemenuhan ADL (Activity day living)
7) Psikososial
Pasien biasanya cemas dengan rasa sakitnya.
1. Keadaan umum
Secara umum keadaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis meliputi
ringan. cukup berat, dan berat.
2. Kesadaran
a. Secara kualitatif
1. Composmentis (comcions), yaitu kesadaran normal, safar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya
2. Apatis, yaitu keadaan yang segan untuk berhubungan dengan
sekiranya, sikapnya acuh tak acuh
3. Delirium, yaitu gelisah disorientasi (orang, tempat waktu)
Memberontak. berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi) yani kesadaran menunin,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
18

5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap,


tetapi ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bias dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon komea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya)

3. Tanda-tanda vital
a. Suhu pada klien Penyakit Paru Obstruktif Kronis yaitu hipotermi
b. Nadi pada klien Penyakit Paru Obstruktif Kronis yaitu
takipnea
c. Tekanan darah pada klien Penyakit Paru Obstruktif Kronis
yaitu hipertensi
d. Pernafasan biasanya mengalami peningkatan
e. Kepala
Wajah dan kulit kepala Bentuk muka, ekspresi wajah gelisah
dan puca, rambut, bersih/tidak dan rontok/tidak, ada/tidak
nyeri tekan.
f. Mata
Mata kanan dan kiri simetris / tidak mata cekung/tidak
konjungtiva anemis/ tidak, selera ikerit/tidak ada/tidak sektet.
gerakan bola mata normal/tidak, ada benjolan/tidak ada/tidak
nyeri tekan, fungsi penglihatan menurun/tidak
g. Hidung
Hidung ada tidak polip, ada/tidak sekret, ada tidak radang.
ada/tidak benjolan, fungsi pembau buik/bark Canalis
bersih/kotor. pendengaran baik/menurun.
h. Telinga
Canalis bersih/kotor, pendengaran baik/menurun, ada/tidak
benjolan pada daun telinga, ada tidak memakai alat bantu
pendengaran
19

i. Mulut
Gigi bersilykotor, ada/tidak karies gigi, ada/tidak memakai
pigi pulsu, gusi ada tidak peradangan, lidah bersihkotor, bibir
kering/lembab.
j. Leher
Leher adutidak pembesaran kelenjar thyroid, ada/tidak nyeri
tekan ada/tidak bendungan vena jugularis dan ada/tidak
pembesaran kelenjar limpa
k. Thorax dan paru
Palpasi: Pada palpasi ekspansi meningkat dan taktil fremitus
biasanya menurun.
Perkusi: Pada perkusi didapatkan suam normal sampai
hipersonor sedangkan diafragma mendata/menurun Inspeksi
Pada klien dengan PPOK, terlibat adanya peningkatan usaha
dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas
(sternokleidomastoid) Fada saat inspeksi, biasanya dapat
terlihat klien mempunyai bentuk dafa barrel chest akibat udara
yang terperangkap, penipisan penipisan massa otot, bernapas
dengan bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang
tidak efektif Pada tahap lanjut, dispnea terjadi pada saat
beraktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari
seperti makan dan mandi Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen disertai dengan demam mengindikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
Auskultasi: Sering didapurkan adanya bunyi napas ronchi dan
wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada benkiolus.
l. Jantung
Nyeri/ketidaknyamanan dada, palpitasi, sesak nafas, dispnea
pada aktivitas dispnea nocturnal paroksimal, orthopnea,
murmur. edema, varises, kaki timpang, oarestesia, perubahan
wama kaki. periksa adanya pembekakan vena jugularis.
20

m. Abdomen
Konstipusi, konsisten feses, frekuensi eliminasi askultasi
bising usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri tekan
abdomen.
n. Genetalia
Meliputi disuria (nyeri saat berkemih), frekuensi, kencing
menetes hematuria, poliuria, oliguria, nokturia, inkontinensia,
batu, infeksi saluran kemih. Pengkajian pada genctalia pria
antara lain : lesi. rahas, nyeri testikuler, massa testikuler,
masalah prostat, penyakit kelamin, perubahan hasrat sexual,
impotensi, masalah aktivitas social. Sedangkan pengkajian
pada genetalia wanita antara lain: lesi, rabus, dispareunia,
perdarahan pasca senggama, nyeri pelvis.
sistokeVrektokel/prolaps, penyakit kelamin, infeksi salah
aktivitas seksual, riwayat menstruasi (menarche, tanggal
periode menstruasi terakhir), tanggal dan hasil pap smear
terakhir.
o. Ekstremitas atas dan bawah
Ekstremisas atas simetris/tidak, ada/tidak edema atau lesi.
ada/tidak nyeri sekan
7. Body System
a) Sistem pernafasan
Pada sistem pernafasan kaji bentuk dada, gerakan
pernafasan, adanya nyeri tekan atau tidak, adanya
penummpukan cairan atau tidak dan bunyi khas napas serta
bunyi paru-paru (Mutaqqin, 2010: 149-155)
b) Sistem kardiovaskuler
Pada sistem kardiovakuler kaji adanya sianosis atau tidak,
oedema pada ektremitas, adanya peningkatan JVP atau
tidak, bunyi jantung (Mataqqin, 2010:173)
c) Sistem persarafan
21

Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada


komplikasi penyakit yang serius.
d) Sistem perkemihan
kaji adanya nyeri atau tidak adanya keluahan saat miski,
adanya oedema atau tidak, adanya masa atau tidak pada
ginjal (Mutaqqin, 2010:269)
e) Sistem pencernaan
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan
pasien tidak nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat
badan.
f) Sistem integument
Pada sistem integument dilakukan secara anemnesis pada
klien untuk menentukan permasalahan yang dikeluhkan
oleh klien meliputi : warna kulit, tekstur kulit, turgo kulit,
suhu tubuh, apakanada oedema atau adanya trauma kulit
(Mutaqqin, 2010:77)
g) Sistem muskuloskeletal
Kaji adanya deformitas atau tidak, adanya keterbatasan
gerak atau tidak (Mutaqqin, 2010:287)

h) Sistem endokrin

i) Sistem reproduksi

j) Sistem penginderaan

k) Sistem imun

e. Pemeriksaan penunjang
1. Uji fungsi paru
Uji fungsi paru dapat menunjukkan keterbatasan aliran udara yang
merupakan hal yang paling penting secara diagnostik Hal ini
22

biasanya dilakukan menggunakan laju aliran ekspresi puncak (peak


expiratory flow PEF). Pada beberapa kasus diamant PPOK
dicurigai perlu dipertimbangakan untuk menggunakan peak
expiratory flow pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat volume
keluaran yang lebih kecil dengan menyediakan skala tepat untuk
akurasi yang lebih baik. Hal ini sangat berguna jika sebelumnya
peak expiratory flow dewasa menunjukkan angka lebih rendah dan
berubah-ubah atau jika pasien mengalami kesulitan mendapatkan
mulut disekitar mouthpiece pada peak expiratory flow dewasa.
Penting untuk dicatat bahwa, sementara nilai laga aliran ekspirasi
puncak yang normal saja tidak dapat menyingkirkan diagnosis
PPOK, nilai FEVI normal yang diukur dengan spirometer akan 3)
Pengukuran menyingkirkan diagnosis PPOK (Francis, 2008).
fungsi paru pada pasien PPOK diantaranya akan terdapat kapasitus
inspirasi manunun, volume resalu meningkat pada emfisema.
bronchitis kronis, dan asma, FEVI selahi menurun. FCV awal
normal dan menunin pada bronchitis serta asma (Muttaqin, 2014)
2. Spirometri
Merupakan alat kuantitatif yang kuat saat iji reversibilitas
digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat rebedian dapat
dibuat dengan membandingkan diagnosis yang tepat. Perbedaan
dapat dibuat dengan membandingkan hasil spirometri yang didapat
setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus asma uji reversibilitas
akan menunjukkan bahwa terjadi perbaikan setelah pemulihan.
data numeric yang diperoleh dapat berada diantara batas normal
atas dan bawah. Hal ini tidak khas pada PPOK dimana akan
menunjukkan terjadinya sedikit perbaikan (Francis, 2008).
3. Analisa gas darah
Analisa gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur
keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah.
23

meliputi PO₂. PCO₂. Ph. HCO', dan saturasi oksigen (Muwami,


2012)
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien
PPOK menurut Muttaqin (2014), antara lain:
a) (Hb) dan hematokrit (H) meningkat pada polisitemia sekunder.
b) Jumlah sel darah merah meningkat.
c) Eosinofil dan total IgE serum meningkat.
d) Pulse oksimetri: SaO2 oksigenasi menurun.
e) Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretic.
5. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman atau kultur adanya infeksi campuran
Kuman pathogen yang biasa ditemukan adalah Strepcocus
pneumoniae, Haemophylus influenza, dan Moraxella catarrhalis
(Muttaqin, 2014) Pewarnaan dan biakan sputum berguna untuk
mendiagnosis bronchitis kronis dan untuk mengevaluasi
eksaserbasi akut PPOK (Brashers, 2007).
6. Pemeriksaan radiologi thoraks foto
Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan
bendungan area pani. Pada emfisema puru didapatkan diafragma
dengan letak yang rendah dan mendatar ruang udara retrosternal
lebih besar (foto lateral), jantung tampak bergantung memanjang
dan menyempit (Muttaqin, 2014). Menurut Murwani (2012) pada
foto thorak pasien PPOK akan tampak bayangan lobus, corakan
Paru bertambah (Rronk hitis kronis), defisiensi arterial corakan
paru bertambah (Emfisema).
f. Penatalaksanaan
Menurut Black (2014) penatalaksanaan non medis Penyakit
Obstruktif Kronik (PPOK) meliputi:
a. Membersihkan sekret bronkus
24

Kebersihan paru diperlukanan untuk mengurangi resiko infeksi,


Cara untuk membersihkan sekret adalah dengan mengeluarkannya,
dengan cara:
1. Batuk efektif
Batuk membantu memecah sekret dalah paru-paru sehingga lendir
dapat dikeluarkan atau diludahkan. Caranya pasien diposisikan
duduk tegak dan menghirup nafas dalam lalu setelah 3 kali nafas
dalam, pada ekspirasi ketiga nafas dihembuskan dan dibatukkan
2. Fisioterapi dada
Tindakan fisioterapi dada menurut Pangastuti, HS dkk (2019)
meliputi: perkusi, vibrasi, dan postural drainase. Tujuan dari
intervensi ini adalah untuk membantu pasien bernafas dengan lebih
bebas dan membantu dalam pembersihan paru dari sekret yang
menempel di saluran nafas. Tindakan ini dilakukan bersamaan
dengan tindakan lain untuk lebih mempermudah keluarnya sekret,
contoh: suction, batuk efektif, pemberian nebulizer dan pemberian
obat ekspektoran. Sebelum pasien dilakukan fisioterapi, terlebih
dahulu evalusai kondisi pasien dan tentukan letak dimana sekret
yang tertahan untuk mengetahui bagian mana yang akan dilakukan
fisioterapi dada.
b. Bronkodilator
Bronkidilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan
FEVI dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja
dengan mengubah tonus otot polos pada saluran pernafasan dan
meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi
dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator
berkerja dengan menurunkan hiperventilasi saat istirahat dan
beraktivitas, serta akan memperbaiki toleransi tubuh terhadap
aktivitas. Pada kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
kategori berat atau sangat berat sulit untuk memprediksi perbaikan
FEVI yang diukur saat istirahat.
25

c. Mendorong olahraga
Semua pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mendapat
keuntungan dengan program olahraga, yaitu meningkatkan
toleransi tubuh terhadap aktvitas, menurunnya dypunea dan
kelelahan. Olahraga tidak memperbaiki fungsi paru, tetapi olahraga
dapat memperkuat otot pernafasan.
d. Meningkatkan kesehatan secara umum
Cara lain adalah dengan memperbaiki pola hidup pasien Penyakit
Paru obstruksi kronik (PPOK). Yaitu dengan menghindari
rokok,debu, dan bahan kimia akibat pekerjaan, serta polusi udara,
serta didukung dengan asupan nutrisi yang kuat.
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas.
1. Definisi,
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran
nafas guna mempertahankan jalan nafas yang bersih (Wilkinson,
2017).
2. Batasan Karakteristik.
Batasan karakteristik yang dapat ditemukan pada ketidakefektifan
bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai
berikut:
a. Subjektif:
Dispnea.
b. Objektif:
1. Suara nafas tambahan (misalnya, crackle, ronki, dan mengi)
2. Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
3. Sianosis
4. Kesulitan untuk bicara
5. Penurunan suara napas
Definisi: Suaranya lembut dengan pitch rendah
26

Cara mengkaji: Teknik mendeng arkan suara nafas menggunakan


stetoskop dikenal dengan teknik auskultasi. Teknik auskultasi
merupakan teknik dasar yang digunakan oleh dokter untuk
mengevaluasi suara nafas. Teknik ini cukup sederhana dan murah,
namun memilikikelemahan yaitu hasil analisisny a yang subjektif
(Kiyokawaet al. 2013 dalam Syafria et al., 2014).
6. Batuk tidak efektif atau tidak ada
7. Ortopnea
Definisi: Posisi klien duduk diatas tempat tidur dengan badan
sedikit menelung-kup di atas meja disertai bantuan dua buah
bantal Masing-masing posisi diberlakukan selama 15menit, lalu
dicatat nilai fungsi ventilasi parunyayang terdiri dari frekuensi
nafas dan arus puncak ekspirasi (Ritianingsih et al., 2011)
8. Gelisah
9. Mata terbelalak.
3. Faktor yang Berhubungan:
Faktor yang berhubungan dengan terjadinya ketidakefektifan bersihan
jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan: Merokok, menghirup asap rokok, dan perokok
pasif.
b. Obstruksi Jalan Nafas: Spasme jalan nafas, retensi sekret,
mukus berlebih, adanya jalan nafas buatan, terdapat benda
asing di jalan napas, sekret di bronki, dan eksudat di alveoli.
c. Fisiologis: Disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding
bronkial, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), Infeksi,
Asma, Jalan nafas alergik (trauma).
d. Gangguan Pola Tidur Berhubungan Dengan
Ketidaknyamanan Fisik.
e. Intoleransi Aktivitas Berhubungan Dengan
Ketidakseimbangan Antara Suplei dan Kebutuhan Oksigen
3. Intervensi
27

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan


ketidakefektifan bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017),
adalah sebagai berikut:
Hasil NOC:
a. Pencegahan Aspirasi: Tindakan personal untuk mencegah
masuknya cairan dan partikel padat ke dalam paru.
b. Respon Ventilasi Mekanik: Orang Dewasa: Perubahan alveolar
dan perfusi jaringan disokong secara efektif oleh ventilasi
mekanik.
c. Status Pernapasan: Ventilasi: Kepatenan Jalan Napas: Jalan
trakeobronkial terbuka dan bersih untuk pertukaran gas.
d. Status Pernapasan: Ventilasi: Pergerakkan udara masuk dan keluar
paru. Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a) Menunjukkan pembersihan jalan napas yang efektif, yang
dibuktikan oleh Pencegahan Aspirasi: Status Pernapasan;
Kepatenan Jalan Napas; dan Status Pernapasan: Ventilasi
tidak terganggu.
b) Menunjukkan Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas,
yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau
tidak ada gangguan):
1) Frekuensi dan irama pernapasan
2) Kedalaman inspirasi
3) Kemampuan untuk membersihkan sekresi
c) Pasien akan:
1) Batuk efektif.
2) Mengeluarkan sekret secara efektif.
3) Mempunyai jalan napas yang paten.
4) Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang
jernih.
28

5) Mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang


normal.
6) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal.
7) Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di
rumah.
Intervensi
a. Manajemen jalan napas: Memfalisitasi kepatenan jalan
udara.
b. Pengisapan jalan napas : mengeluarkan sekret dari jalan
napas dengan memasukkan sebuah kateter pengisap ke jalan
napas oral dan/atau trakea.
Hasil NIC:
Menurut Nanda (2015) Nursing Outcome Classification (NIC)
(2013).
Manajemen jalan nafas
a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
b. Lakukan fisiotrapi dada sebagai mana mestinya
c. Buang secret dengan memotivasi pasien untuk melakukan
batuk atau menyedot lender.
d. Instruksikan bagaimana agar biasa melakukan batuk efektif
e. Aukultasi suara napas
f. Posisikan untuk meringankan sesak napas.
Penghisapan lendir pada jalan napas
a. Gunakan alat pelindung
b. Tentukan perlunya suksion mulut atau trachea
c. Aukultasi suara napas sebelum dan setelah tindakan suction
d. Instrusikan kepada pasien untuk menarik napas dalam
sebelum dilakukan suction
e. Monitor adanya nyeri
f. Monitor status oksigenasi pasien
g. Monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi secret
29

Monitor Pernafasan
a. Monitor kecepatan irama, kedalam dan kesulitan ber napas
b. Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, pengguna
otot bantu per napasan dan retraksi otot.
c. Monitor suara napas tambahan
d. Monitor pola napas
e. Aukultasi suara napas, catat area dimana terjadi penurunan
atau tidak adanya ventilasi dan keberadaan suara napas
tambahan
f. Kaji perlunya penyedotan pada jalan napas dengan aukultasi
suara napas ronki di paru
g. Monitor kemampuan batuk efektif pasien
h. Berikan bantuan terapi napas jika diperlukan (misalnya
nebulizer)
Manajemen Asam Basa
a. Pertahankan kepatenan jalan napas
b. Posisikan klien untuk mendapatkan ventilasi yag adekuat
c. Monitor kecendrungan pH arteri, PaCO2 dan HCO2 dalam
rangka mempertimbangkan jenis kesimbangan yang terjadi
(misalnya respiratorik atau metabolic) dan kopensasi
mekanisme fisiologis yang terjadi (misalnya kopensasi paru
atau ginjal dan penyangga fisiologis)
d. Pertahankan pH arteri dan plasma elektrolit untuk membuat
perencanan perawatan yang akurat
e. Monitor gas darah arteri, level serum serta urin elektrolit jika
diperlukan
f. Monitor pola pernafasan
g. Monitor penentuan oksigen ke jaringan (misalnya rendahnya
PaO2)
h. Monitor intake dan output
30

i. Monitor status hemodinamik, meliputi level


CVP,MAP,PAP, dan PCWP jika tersedia
Terapi Oksigen
a. Pertahankan kepatenan jalan napas
b. Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui sistem
humidifier
c. Berikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
d. Monitor aliran oksigen
e. Monitor efektifitas terapi oksigen
f. Amati tanda-tanda hipoventilasi induksi oksigen
g. Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai
penggunaan oksigen tambahan selama kegiatan dan atau
tidur.
Monitor Tanda-tanda Vital
a. Monitor tekanan darah, nadi, suhu dan status pernafasan
dengan tepat
b. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring, duduk dan
berdiri sebelum dan setelah perubahan posisi
c. Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipotermia dan
hipertemia
d. Monitor keberadaan nadi dan kualitas nadi
e. Monitor irama dan tekanan jantung
f. Monitor suara paru-paru
g. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
h. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tanda-tanda
vital.
31

DAFTAR PUSTAKA

Gleadle, Jonathan. 2007 Anamnesis dan pemeriksaan fisik : Erlangga

Manurung, Nixson. 2016 Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


pernafasan : Selemba Medika

Hurst, M.,2016. Belajar Mudah keperawatan Medikal-Bedah, Vol.1 Jakarta:Egc.

Suddarth, B.&.,2015. Keprawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,Ed.12.


Jakarta:EGC.

Ismail, L., Sahrudin & ibrahim, K, 2017. Analisis Faktor Resiko Kejadian
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) di Wilayah Kerja Pskesmas
Lepo-Lepo Kota Kendari Tahun 2017, Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, Vol 2,. No 6

PDPI, 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosa


Penatalaksanaan . Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Somantri, I., 2016. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Siatem
Pernapasan, Edisi 2. Jakarta: Selembang Medika.

Wilkinson, J.M., 2017. Diagnosis Keperawatan Dignosis NANDA-1, Intervensi


NIC, NOC Ed.10. Jakarta :EGC.

Manurung, Nixson 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory.


Jakarta : Trans Info Medika

Quaderi, S.A., & Hurst, J.R. (2018). The Unmet Global Burden of COPD. Global
Health, Epidemiology and Genomics, 3, 9-11.

Nanda (2015). Nursing Outcome Classification (NIC)(2013)

Anda mungkin juga menyukai