Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan mulut merupakan faktor penting dalam terjadinya penyakit pernafasan


seperti pneumonia dan Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Kesehatan mulut
yang buruk telah dikaitkan sebagai faktor risiko independen terhadap perkembangan COPD,
namun hanya sedikit penelitian yang mengevaluasi hubungan antara kesehatan mulut dan
eksaserbasi COPD. Eksaserbasi COPD merupakan penyebab utama morbiditas, sangat
mengganggu kualitas hidup, dan dapat mengakibatkan hilangnya fungsi paru yang
ireversibel. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) adalah penyakit sistem
pernafasan yang berkembang karena aliran udara yang tidak mencukupi bersamaan dengan
perubahan jaringan paru-paru, saluran pernafasan, dan struktur alveolar, sebagai akibat dari
paparan partikel dan gas berbahaya.
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) memiliki faktor etiologi yang
kompleks, mencakup faktor genetik dan lingkungan seperti merokok, kesehatan mulut dan
populasi udara. COPD bersifat progresif, dengan gejala mulai dari batuk parah, terkadang
disertai produksi dahak, sesak napas, wheezing, hingga sesak di dada. Prevalensi global
COPD yang didefinisikan secara fisiologis pada orang dewasa berusia >40 tahun adalah
sekitar 9-10%. Pada tahun 2012, sebuah penelitian di India tentang epidemiologi asma, gejala
pernafasan, dan bronkitis kronis pada orang dewasa menunjukkan bahwa prevalensi
keseluruhan bronkitis kronis pada orang dewasa > 35 tahun adalah 3,49%. Prevalensi COPD
di Indonesia yaitu sebesar 3,7% dan prevalensi kejadian COPD di Indonesia didominasi oleh
laki – laki yaitu jumlah penderita COPD pada laki – laki sebanyak 242.256 orang dan jumlah
penderita COPD pada perempuan sebanyak 266.074 orang.
Bakteri pada mukosa mulut dianggap sebagai sumber potensial berkembangnya
infeksi paru-paru karena kedekatan anatomi. Pada beberapa artikel menyebutkan bahwa
sekitar setengah dari eksaserbasi COPD disebabkan oleh infeksi bakteri. Diketahui juga
bahwa pasien COPD kurang memiliki kesadaran terhadap kesehatan mulut, dan oleh karena
itu mereka rentan terhadap penyakit-penyakit periodontal dan kesehatan mulut yang buruk.
Oleh karena itu, mengurangi jumlah bakteri di mukosa mulut dan menjaga kesehatan mulut
pada pasien COPD sangat penting dalam pengobatan dan perawatan COPD. Bakteri pada
mulut dan hidung telah diidentifikasi dalam mikrobiota jaringan paru-paru COPD,
menunjukkan aspirasi sekresi mulut sebagai sumber utama mikroba paru-paru COPD.
Salah satu masalah terpenting yang mengganggu kelangsungan integritas mukosa
mulut pada pasien COPD adalah berkembangnya mukositis oral. Terapi oksigen merupakan
bagian penting dari perawatan medis pada COPD, potensi efek oral obat inhalasi dapat
menekan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kekeringan mulut, dan menurunnya
imunitas fisik serta ketidakmampuan yang terkait dengan proses penyakit yang menghalangi
pasien melakukan aktivitas sehari-hari seperti perawatan mulut meningkatkan kerentanan
terhadap kerusakan integritas mulut dan perkembangan dari infeksi oportunistik. Sebuah
studi oleh Kowalski dkk. menilai bahwa mukosa mulut kering dan karies gigi merupakan ciri
khas kasus COPD. Para penulis menyimpulkan bahwa sariawan merupakan penyakit mulut
yang paling sering terjadi pada kasus COPD.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesehatan mulut pada pasien COPD
seperti oral candidiasis, mukositis oral, karies gigi, penyakit periodontal, dry mouth, dan
refluks gastroesofageal dengan kandida.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut; bagaimana kesehatan mulut pada pasien COPD dan hubungannya dengan candida.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesehatan mulut pada pasien COPD
seperti oral candidiasis, mukositis oral, karies gigi, penyakit periodontal, dry mouth, dan
refluks gastroesofageal dengan kandida.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan bagi pendidikan khususnya kedokteran gigi mengetahui kesehatan mulut pada
pasien COPD seperti mukositis oral, karies gigi, penyakit periodontal, dry mouth, dan refluks
gastroesofageal dengan candida dan dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai hubungan dan
pentingnya menjaga kesehatan mulut pada pasien COPD menjadikan bahan informasi di
bidang kedokteran gigi mengenai bakteri candida.

1.5 Metodologi Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan metode studi literatur review yaitu Scoping review.

1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di rumah peneliti yaitu Kota Bandung. Waktu penelitian
dilakukan selama 1 bulan dimulai dari bulan November 2023–Desember 2023.

1.7 Kerangka Pemikiran


Penderita Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) mengalami gangguan pada
sistem pernapasan yang berkembang karena aliran udara yang tidak mencukupi bersamaan
dengan perubahan jaringan paru-paru, saluran pernafasan, dan struktur alveolar, sebagai
akibat dari paparan partikel dan gas berbahaya. Kesehatan mulut merupakan faktor penting
dalam terjadinya penyakit pernafasan seperti pneumonia dan Chronic obstructive pulmonary
disease (COPD). Bakteri pada mukosa mulut dianggap sebagai sumber potensial
berkembangnya infeksi paru-paru karena kedekatan anatomi. Pada beberapa artikel
menyebutkan bahwa sekitar setengah dari eksaserbasi COPD disebabkan oleh infeksi bakteri.
Pada beberapa artikel disebutkan bahwa pasien COPD kurang memiliki kesadaran
terhadap kesehatan mulut, dan oleh karena itu mereka rentan terhadap penyakit-penyakit
periodontal dan kesehatan mulut yang buruk. Oleh karena itu, mengurangi jumlah bakteri di
mukosa mulut dan menjaga kesehatan mulut pada pasien COPD sangat penting dalam
pengobatan dan perawatan COPD.
Terapi oksigen merupakan bagian penting dari perawatan medis pada COPD, potensi
efek oral obat inhalasi dapat menekan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kekeringan
mulut, dan menurunnya imunitas fisik serta ketidakmampuan yang terkait dengan proses
penyakit yang menghalangi pasien melakukan aktivitas sehari-hari seperti perawatan mulut
meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan integritas mulut dan perkembangan dari infeksi
oportunistik. Sebuah studi oleh Kowalski dkk. menilai bahwa mukosa mulut kering dan
karies gigi merupakan ciri khas kasus COPD. Para penulis menyimpulkan bahwa sariawan
merupakan penyakit mulut yang paling sering terjadi pada kasus COPD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

2.1.1 Definisi

COPD dapat didefinisikan sebagai ‘penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati

ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel karena kelainan

saluran napas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan signifikan terhadap

partikel atau gas berbahaya.1,2

2.1.2 Etiologi

COPD disebabkan oleh paparan partikel atau gas berbahaya dalam waktu lama. Merokok,

polusi udara, paparan okupasional(pekerjaan), infeksi pernafasan, dan faktor genetik seperti

defisiensi a1-antitripsin merupakan faktor risiko COPD. Asap rokok atau tembakau menjadi

kontributor terbesar terhadap perkembangan COPD, diikuti oleh polutan udara.3

1. Paparan asap tembakau

Merokok merupakan faktor risiko paling umum terjadinya COPD di Amerika Serikat dan

negara-negara berpendapatan tinggi. Namun, hal ini merupakan faktor risiko kedua yang

paling umum di seluruh dunia setelah polusi udara.4

2. Paparan Asap Rokok Sekunder

Dalam analisis tahun 2011, paparan terhadap perokok pasif diperkirakan secara global

menyebabkan hampir 600.000 penyebab kematian. Selama tahun 2011 hingga 2012,

sekitar 58 juta orang bukan perokok di Amerika Serikat, termasuk 47% orang Amerika
keturunan Afrika yang bukan perokok , terpapar asap rokok. Paparan asap rokok,

terutama pada masa kanak-kanak, merupakan faktor risiko penting terjadinya COPD di

seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.4

3. Polusi Udara Sekitar (luar ruangan).

Industri, rumah tangga, dan kendaraan bermotor mengeluarkan campuran polutan udara

yang kompleks, yang sebagian besar berbahaya bagi kesehatan. Dari semua polutan

udara, partikel halus dengan diameter aerodinamis kurang dari 2,5 mm (PM2.5) memiliki

pengaruh terbesar terhadap kesehatan pernapasan. Meskipun, di banyak negara Barat,

tingkat polusi udara telah membaik dengan penetapan batas atas dan perencanaan kota

yang lebih baik, polusi udara di negara-negara berkembang, dan khususnya negara-negara

dengan industrialisasi yang pesat, telah menjadi masalah global yang besar.4

4. Polusi Udara Rumah Tangga

Hampir 3 miliar orang di seluruh dunia menggunakan bahan bakar padat (misalnya kayu,

arang, sisa tanaman, kotoran hewan) untuk memasak dan lebih banyak lagi yang

menggunakan bahan bakar padat untuk menghangatkan rumah. Bahan bakar biomassa

inilah yang berkontribusi terhadap polusi udara rumah tangga. Pembakaran bahan bakar

padat yang tidak efisien, campuran kompleks partikel berbasis karbon, partikel anorganik,

dan gas pengiritasi dihasilkan di dalam ruangan, yang memiliki karakteristik yang sama

dengan asap tembakau.4

5. Eksposur Kerja

Paparan di tempat kerja terhadap uap, gas, debu, atau asap (VGDF) berhubungan dengan

COPD. Hubungan sebab akibat dengan debu batu bara, silika, debu konstruksi, debu

kapas, asbes, dan debu biji-bijian telah dilaporkan dalam berbagai literatur.4
2.1.3 Epidemiologi

Perbandingan prevalensi dan kematian COPD antar negara dan dari waktu ke waktu

sangatlah penting karena kemungkinan besar penyakit ini dapat dicegah. Mempelajari

prevalensi COPD secara global sebelumnya sulit dilakukan karena kurangnya data yang

mewakili populasi dunia dan kurangnya konsensus mengenai definisi kasus.

Dalam penelusuran sistematis studi berbasis populasi di 52 negara pada tahun 2015,

prevalensi COPD tertinggi diperkirakan terjadi di Amerika (15% pada tahun 2010), dan

terendah di Asia Tenggara (10%). Studi ini memperkirakan prevalensi global sebesar 12%,

setara dengan 384 juta kasus pada tahun 2010, jumlah yang jauh lebih tinggi dari perkiraan

studi GBD. Persentase peningkatan kasus COPD antara tahun 1990 dan 2010 adalah yang

tertinggi di wilayah Mediterania bagian timur (119%), diikuti oleh wilayah Afrika (102%),

sedangkan wilayah Eropa mencatat peningkatan terendah (23%). Pada tahun 2015, lebih dari

3 juta orang meninggal karena COPD di seluruh dunia, meningkat 12% dibandingkan tahun

1990. Peneliti lain juga melaporkan bahwa sebanyak 90% kematian akibat COPD di seluruh

dunia terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.4

2.1.4 Patogenesis

Tiga proses yang dianggap penting dalam patogenesis COPD: peradangan kronis di seluruh

saluran napas, parenkim, serta pembuluh darah paru, stres oksidatif, dan ketidakseimbangan

protease dan antiprotease di paru-paru. Perubahan patologis ini menyebabkan perubahan

fisiologis yang khas dari penyakit ini, termasuk hipersekresi mukus, disfungsi silia,

keterbatasan aliran udara, hiperinflasi paru, kelainan pertukaran gas, hipertensi pulmonal, dan

kor pulmonal.5
Tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada COPD dikaitkan dengan sejauh mana

jaringan paru diinfiltrasi oleh neutrofil, makrofag, dan limfosit. Pada COPD berat, limfosit

membentuk organ limfoid tersier, yang menunjukkan adanya respon imun adaptif. Emfisema,

kerusakan ruang udara alveolar, merupakan komponen penting lain dari COPD.

Ketidakseimbangan antara aktivitas protease dan antiprotease karena infiltrasi paru-paru oleh

neutrofil yang teraktivasi, penurunan aktivitas antiprotease, atau keduanya. Contoh klasiknya

adalah defisiensi alfa1-antitripsin, pada awalnya dianggap sebagai mekanisme patogen utama

pada emfisema.6

Sistem imun bawaan berperan utama pada COPD. Meskipun dapat diperkirakan bahwa gas –

gas berbahaya akan menimbulkan respon imun, kekhasan COPD adalah bahwa COPD lebih

luas dan merusak serta bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan, sebagai

contoh, pada perokok tanpa COPD. Peradangan neutrofilik, seperti yang diamati pada respon

bawaan, sangat bergantung pada IL-1-alpha yang dilaporkan meningkat pada pasien COPD

dan juga lebih mudah diinduksi pada sel epitel saluran napas COPD. Dalam respon imun

adaptif pada COPD, sel dominan adalah sel T sitotoksik CD8. Kehadiran jenis sel ini di

saluran napas dan parenkim tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama, bahkan hingga 3

tahun setelah berhenti merokok.1

2.1.5 Klasifikasi

COPD dapat diklasifikasikan menjadi lima tahap: berisiko, ringan, sedang, berat/parah, dan

sangat parah. Tahap berisiko ditentukan oleh spirometri normal, namun pasien memiliki

gejala kronis berupa batuk dan produksi dahak. COPD ringan, sedang, dan berat mempunyai

bukti adanya peningkatan obstruksi jalan nafas pada spirometri pada setiap stadium progresif.

Terakhir, COPD yang sangat parah didefinisikan sebagai obstruksi jalan napas parah disertai

gagal napas kronis. Pasien dengan COPD berat mempunyai risiko lebih besar terkena
penyakit sistemik lainnya termasuk penyakit kardiovaskular, osteoporosis, kanker paru-paru,

dan depresi.5

2.1.6 Manifestasi Oral

Perbedaan yang signifikan ditemukan antara subjek yang tidak memiliki COPD dan subjek

yang memiliki COPD yang telah dikonfirmasi oleh dokter. Individu dengan COPD yang

dikonfirmasi memiliki indeks kebersihan mulut (OHI) yang jauh lebih besar dibandingkan

subjek tanpa penyakit pernapasan. Penelitian terkini mengindikasikan bahwa merokok

mungkin merupakan kofaktor dalam hubungan antara penyakit periodontal dan COPD.

Subyek dengan COPD rata-rata memiliki lebih banyak kehilangan perlekatan periodontal

(kehilangan perlekatan klinis [CAL]) dibandingkan subjek tanpa COPD. Studi epidemiologi

lebih lanjut dan uji klinis diperlukan untuk menentukan peran status kesehatan mulut pada

COPD.5

1. Periodontitis

Periodontitis dan COPD merupakan penyakit peradangan kronis yang progresif dan memiliki

faktor risiko yang sama seperti merokok, sehingga keduanya diasumsikan memiliki hubungan

sebab akibat, dan memiliki proses patofisiologis yang sama. Periodontitis mungkin

berkontribusi terhadap hampir seperempat risiko COPD pada populasi. Secara khusus, subjek

dengan periodontitis parah dibandingkan dengan periodontitis ringan/tanpa periodontitis

memiliki peningkatan risiko COPD sebesar 3,5 kali lipat, yang tidak bergantung pada

intensitas merokok dan karakteristik kesehatan penting lainnya. Selain itu, analisis gabungan

tingkat keparahan periodontitis dan intensitas merokok menunjukkan bahwa risiko COPD

pada subjek dengan periodontitis berat meningkat sesuai dengan intensitas merokok. Keadaan

klinis lainnya yang sering terjadi adalah perdarahan gingiva dan kedalaman poket,

berkurangnya jumlah gigi atau bahkan ompong, peningkatan insiden plak gigi 7,8
2. Pigmentasi Rongga Mulut

Tembakau yang digunakan dalam bentuk apapun menginduksi perubahan mukosa mulut

berupa pigmentasi yang terlihat pada subjek penelitian kelompok COPD. Berbagai penelitian

menyatakan bahwa panas yang dihasilkan saat merokok memicu aktivitas melanosit yang

berperan atas perubahan pigmen pada rongga mulut. Mukosa labial menunjukkan tingkat

pigmentasi yang tinggi diikuti oleh mukosa bukal.9

Penyakit ini umumnya muncul terkait dengan penyakit penyerta lain yang diperkirakan

memiliki proses inflamasi yang mendasarinya, baik sistemik atau spesifik organ, termasuk

penyakit inflamasi mulut kronis seperti periodontitis. Dikenal sebagai penyakit heterogen

dengan kontribusi berbeda dari kelainan saluran napas dan parenkim, diagnosis dan

pemantauan pasien saat ini dibuat menggunakan pengukuran aliran udara. Ini adalah kondisi

paru-paru kronis yang ditandai dengan penyumbatan saluran napas yang progresif dan

ireversibel

3. Leukoplakia

Pasien yang menggunakan steroid inhalasi untuk asma atau COPD berisiko terkena OHL

(OHL in patients)

Mekanisme dimana merokok mempromosikan OLK patogenesisnya tidak jelas. Secara

biokimia dan patologis, ada bukti kuat untuk sensitisasi saluran napas, hiperresponsif, dan

peradangan akibat paparan partikulat asap.

Lesi putih yang tidak dapat discrap dalam bentuk bercak keratotik sering berlokasi pada bibir

dengan pasien yang memiliki kebiasaan merokok. Hal ini lebih terlihat pada orang yang
memiliki kebiasaan menyimpan rokok atau cerutu di bibir dalam waktu lama. Lesi ini terlihat

pada permukaan mukosa bibir bawah dan atas di tempat puntung rokok. Bentuknya datar atau

sedikit meninggi, berwarna keputihan, dengan garis-garis merah dan dapat diklasifikasikan

sebagai jinak tanpa potensi pramaligna. Temuan serupa dilaporkan dalam penelitian lain pada

perokok dan tidak dapat dikorelasikan dengan ada atau tidaknya COPD.9

4. Oral Candidiasis

Kortikosteroid inhalasi (ICS) banyak digunakan dalam pengobatan asma dan COPD,

sebagian besar dosis yang diberikan tertinggal di daerah orofaringeal dan dikaitkan dengan

beberapa efek topikal: kandidiasis oral, disfonia, dermatitis perioral, faringitis, refleks batuk,

sensasi rasa haus, hipertrofi lidah.8 Kortikosteroid inhalasi (ICS) diresepkan sebagai

pengobatan utama pada COPD dan biasanya diberikan dalam kombinasi dengan agonis β2

kerja lama terutama pada pasien dengan keterbatasan aliran udara parah. Candidiasis oral

merupakan efek samping lokal yang berhubungan dengan kortikosteroid dan diketahui

mengurangi respon imun lokal yang mendorong pertumbuhan Candida oral. Candidiasis

menyebabkan gejala sementara seperti sensasi terbakar di rongga mulut dan intoleransi

terhadap makanan pedas yang signifikan secara klinis dan dapat mempengaruhi kualitas

hidup pasien dan kepatuhan terapi.9

Umumnya, OC adalah konsekuensi dari imunosupresi lokal yang disebabkan oleh

pengendapan partikel ICS di saluran pernapasan bagian atas. Pada pasien dengan gangguan

imun, infeksi lokal OC dapat memasuki aliran darah dan akhirnya berkembang menjadi

infeksi sistemik yang parah. Dosis ICS yang lebih tinggi untuk pengobatan PPOK diperlukan

untuk mengatasi ketidakresponsifan terhadap kortikosteroid, dan dengan demikian berkaitan

erat dengan tingginya risiko OC.(Incidence chinese patients)


Bronkodilator (agonis β2 kerja pendek dan panjang), obat antikolinergik, dan kortiko teroid

inhalasi (ICS) digunakan sebagai obat utama untuk mengobati COPD. Sebagai aturan, hanya

sekitar 10-20% dari obat mencapai target, sedangkan 80—90% disimpan di rongga mulut,

menyebabkan berbagai disfungsi pada sistem pertahanan kekebalan tubuh

2.2 Candidiasis Oral dan Kortikosteroid Inhalasi pada COPD

Candida adalah jamur dimorfik yang disajikan sebagai pembawa ragi komensal atau hifa

invasif. Fenotip hifa berhubungan dengan virulensi, infiltrasi epitel, kerusakan jaringan,

keratinisasi dan pembentukan biofilm. Dengan demikian, identifikasi hifa diperlukan dalam

mendeteksi transisi candidiasis oral (OC) dari Candida komensal. Dalam studi terkini,

pembentukan biofilm diasumsikan memiliki peran penting dalam OC selain transisi hifa.

Biofilm Candida terdiri dari ekosistem heterogen berbentuk sesil, yang mencakup

mikroorganisme Candida, matriks ekstraseluler, dan bakteri. Di rongga mulut, lidah

merupakan reservoir utama kolonisasi Candida.10

Terapi anti-inflamasi yang dievaluasi pada COPD termasuk kortikosteroid inhalasi (ICS),

glukokortikoid oral, inhibitor fosfodiesterase, antibiotik, statin, mukolitik, dan antibodi

monoklonal yang menargetkan mediator inflamasi seperti benralizumab dan mepolizumab

yang menargetkan IL-5, dan obat-obatan lainnya. Pendekatan yang paling baik dipelajari

adalah penggunaan ICS, baik digunakan tersendiri maupun dalam kombinasi dengan long-

acting beta-agonist (LABA) dan long-acting muscarinic antagonists (LAMA). Meskipun

menargetkan peradangan paru-paru dengan ICS dapat memberikan manfaat klinis, termasuk

mengurangi risiko eksaserbasi, hal ini juga dapat dikaitkan dengan efek yang tidak

diinginkan. Efek imunosupresif dan antiinflamasi steroid dianggap memiliki efek yang

signifikan pada patogenesis kandidiasis oral. 11


Candidiasis orofaringeal (OPC), disfonia, hipertrofi lingual, batuk, xerostomia, perubahan

persepsi rasa, gingivitis, halitosis, karies gigi, dan faringitis adalah beberapa efek samping

lokal yang umum dari ICS. Frekuensi OPC bervariasi menurut jenis dan dosis kortikosteroid

inhalasi (ICS) yang digunakan. ICS yang ideal memiliki deposisi minimal di orofaring dan

deposisi maksimal di paru-paru. Semua efek samping ini biasanya jarang terjadi dan

tampaknya bukan merupakan masalah besar, namun dapat menyebabkan ketidaknyamanan

klinis dan mengubah kepatuhan terhadap pengobatan.12

DAFTAR PUSTAKA (bab II)

1. Brandsma CA, Van den Berge M, Hackett TL, Brusselle G, Timens W. Recent

advances in chronic obstructive pulmonary disease pathogenesis: from disease

mechanisms to precision medicine. J Pathol. 2020;250(5):624–35.

2. Riley CM, Sciurba FC. Diagnosis and Outpatient Management of Chronic

Obstructive Pulmonary Disease: A Review. JAMA - J Am Med Assoc.

2019;321(8):745–6.

3. Duan RR, Hao K, Yang T. Air pollution and chronic obstructive pulmonary

disease. Chronic Dis Transl Med. 2020;6(4):260–9. Available from:

https://doi.org/10.1016/j.cdtm.2020.05.004

4. Ruvuna L, Sood A. Epidemiology of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Clin Chest Med [Internet]. 2020;41(3):315–27. Available from:

https://doi.org/10.1016/j.ccm.2020.05.002

5. Glick, M. (2015). Burket's oral medicine. PMPH USA.


6. Agustí A, Hogg JC. Update on the Pathogenesis of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease. N Engl J Med. 2019;381(13):1248–56.

7. Takeuchi K, Matsumoto K, Furuta M, Fukuyama S, Takeshita T, Ogata H, et al.

Periodontitis Is Associated with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. J Dent

Res. 2019;98(5):534–40.

8. Cojocaru D-C, Georgescu A, Negru RD. Oral Manifestations in Pulmonary

Diseases – Too Often a Neglected Problem. Int J Med Dent. 2015;5(2):117–23.

9. Shenoy N, Idris A. Correlation of Oral Health Status With Chronic Obstructive

Pulmonary Disease in a Tertiary Care Hospital, India. Oral Surg Oral Med Oral

Pathol Oral Radiol. 2021;132(1):e44.

10. Cho E, Jung Park Y, Kim KY, Han D, Kim HS, Kwon JS, et al. Clinical

characteristics and relevance of oral Candida biofilm in tongue smears. J Fungi.

2021;7(2):1–13.

11. Mkorombindo T, Dransfield MT. Inhaled corticosteroids in COPD: Benefits and

risks. Clin Chest Med. 2020;41(3):475.

12. Erdoğan T, Karakaya G, Kalyoncu AF. The frequency and risk factors for

oropharyngeal candidiasis in adult asthma patients using inhaled corticosteroids.

Turkish Thorac J. 2019;20(2):136–9.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur atau literature review.

Penelitian ini menggunakan metode scoping review yang mengidentifikasi, memberikan

karakteristik, memetakan dan mencakup temuan penelitian dari desain serta metode yang

berbeda.1, 2 Tahapan dari scoping review yaitu identifikasi masalah, mengidentifikasi sumber

literatur, seleksi literatur, pemetaan dan mengumpulkan literatur, menyusun dan melaporkan

hasil.3, 4

3.2 Kriteria Kelayakan Literatur

Jurnal atau artikel yang digunakan sebagai kriteria kelayakan literatur pada skripsi ini

adalah jurnal yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria PCC (Population, Concept, Context)

Penggunaan kriteria PCC dilakukan untuk merumuskan pertanyaan dan memudahkan

pencarian, serta membingkai pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini format kriteria yang

digunakan adalah sebagai berikut :

Population : Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Patient

Concept : Kandida oral pada Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Patient

Context : Original research article dan review article

b. Kriteria Inklusi

1. Artikel full-text berbahasa Indonesia maupun Inggris,


2. Artikel yang dipublikasikan terhitung dari tahun 2013-2023,

3. Artikel yang membahas mengenai oral candidiasis pada pasien

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

c. Kriteria Eksklusi

1. Artikel tanpa full text,

2. Artikel yang tidak membahas mengenai oral candidiasis pada pasien

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan adalah :

1. Alat yang digunakan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:

a. Laptop dan smartphone,

b. Alat tulis,

c. Software Microsoft Excel dan Microsoft Word

2. Bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber literatur baik

berupa jurnal atau artikel ilmiah yang ditemukan melalui database PubMed,

ScienceDirect, Wiley Online Library, dan Google Scholar.

3.4 Strategi Pencarian

Penelitian ini menggunakan data-data kepustakaan yang berasal dari artikel ilmiah

pada situs database jurnal PubMed, ScienceDirect, Wiley Online Library, dan Google

Scholar. Pencarian artikel dalam penelitian ini menggunakan “Boolean Operators” berupa

metode pencarian yang menggabungkan persamaan kata menggunakan “OR” dan “AND”
dengan tujuan memudahkan pencarian artikel spesifik. Pencarian dimulai dengan

memasukkan kata kunci berupa (((COPD) AND (Chronic Obstructive Pulmonary Diseases))

AND (oral candida) AND (candidiasis oral)).

3.5 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian menggunakan skema alur PRISMA ScR (Preferred Reporting

Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses extension for Scoping Reviews). Langkah

yang dilakukan untuk menyeleksi literatur yaitu :

1. Menentukan topik dan membuat pertanyaan penelitian.

2. Menentukan kriteria PCC, inklusi dan, eksklusi.

3. Mencari artikel ilmiah menggunakan database pencarian jurnal dengan memasukan

kata kunci

4. Melakukan penyaringan pertama pada jurnal yang diterbitkan pada tahun 2013-2023.

5. Melakukan penyaringan kedua dengan mengecek duplikasi dari hasil pencarian setiap

database. Artikel ganda akan dihilangkan.

6. Melakukan penyaringan ketiga dengan menyeleksi judul dan abstrak yang relevan.

Artikel yang tidak relevan akan dieksklusikan.

7. Membaca keseluruhan isi artikel untuk meninjau kembali relevansinya sesuai kriteria

inklusi. Artikel yang tidak relevan akan dieksklusikan.

8. Artikel-artikel yang telah diperoleh kemudian dianalisis dan dilanjutkan ke tahap

ekstraksi data serta penyajian data.


Bagan III-1 Alur seleksi studi berdasarkan PRISMA-ScR

3.6 Ekstraksi Data

Ekstraksi data dilakukan terhadap artikel-artikel yang termasuk ke dalam

kriteria inklusi. Data yang akan diambil dari setiap artikel meliputi nama penulis,

tahun publikasi, jenis desain studi, judul, sampel, metode, hasil, dan kesimpulan.

3.7 Penyajian Data

Penyajian data sumber penelitian yang akan disajikan dalam bentuk dummy table

menggunakan format seperti pada: Tabel III-1.


No. Penulis Judul Sampel Oral Candida Manifestasi Oral
(tahun) Load / Persentase
/ Mean
1. Arevalo et Prevalence 10 pasien Kandida oral Kandida oral
al (2023) of Oral COPD dari 67 teramati pada yang
Candidiasis pasien 5,97% pengguna berhubungan
in Asthma keseluruhan ICS dengan
and yang penggunaan ICS
COPD menggunakan terlihat berwarna
Patients inhaled putih, plak lunak
Using corticosteroid dengan
Inhaled (ICS) permukaan
Corticostero eritema, erosi,
ids dan ulseratif.
in the Berada pada
Philippine permukaan
General mukosa bukal.
Hospital orofaring, dan
Department bagian lateral
of Out- lidah
patient
Services
2. Khijmatgar Oral n Kelompok Pertumbuhan Dry mouth, plak
et al (2021) Candidal Uji= 112 kandida supra dan
Load and pasien COPD ditemukan pada subgingiva,
Oral Health 21,42% (n = 24) bleeding on
Status in n Kelompok kelompok uji dan probing,
Chronic Kontrol= 100 1,1% (n = 11) kedalaman poket
Obstructive pasien kelompok kontrol antara 3.5 dan
Pulmonary (p <0.05) 5.5 mm
Disease
(COPD)
Patients: A
Case-Cohort
Study
3. Kısacık et Investigation 147 pasien 61,9% dari total Dry mouth dan
al (2023) of the COPD yang 147 pasien penipisan
Prevalence dipantau ditemukan mukosa oral
of Oral selama 7 hari mukositis oral
Mucositis sejak masuk dengan infeksi
and ke klinik kandida oral
Associated penyakit dada
Risk Factors di rumah sakit
in Chronic universitas
Obstructive antara Januari
Pulmonary 2021 - Januari
Disease 2022.
Patients: A
Prospective
Cross-
Sectional
Study
4. Raj et al The effect of 170 pasien Pada kelompok Dry mouth,
(2018) 6 months or berusia 20-45 uji didapatkan kandidiasis
longer tahun dengan 6.00 ± 11.56 orofaringeal,
duration of riwayat (p<0.001) pasien karies, plak, dan
chronic penggunaan dengan oral kalkulus
obstructive medikasi candida spesies
respiratory penyakit dibandingkan
disease pernapasan dengan kelompok
medication kronis selama kontrol 0.56 ±
on the oral 6 bulan atau 1.35 (p<0.001)
health lebih
parameters
of adults
5. Dekhuijzen Incidence of n= 2,4 juta Pada periode Dry mouth,dan
et al (2016) oral thrush pasien berusia outcome, kandidiasis
in patients 40 tahun dari kejadian orofaringeal
with COPD lebih dari 550 kandidiasis mulut
prescribed praktik lebih tinggi pada
inhaled perawatan pasien yang
corticosteroi primer Inggris diberi inhaled
ds: Effect of di Inggris, corticosteroids
drug, dose, Skotlandia, (456 pasien
and device Wales, dan [5,5%])
Irlandia dibandingkan
Utara. Data dengan pasien
diambil dari yang diberi terapi
Optimum non-ICS (227
Patient Care pasien [2,7%])
Research
Database Di antara total
pasien dengan
kandidiasis oral,
493 (72,2%) dan
118 (17,3%)
masing-masing
mengalami satu
episode dan dua
episode
kandidiasis oral.

1. Bishop A. Role of oxygen in wound healing. J Wound Care. 2008;17(9):399–402.


2. Pham MT, Rajić A, Greig JD, Sargeant JM, Papadopoulos A, Mcewen SA. A scoping
review of scoping reviews: Advancing the approach and enhancing the consistency.
Res Synth Methods. 2014;5(4):371–85.
3. Widiasih R, Susanti RD, Sari CWM, ... Menyusun Protokol Penelitian dengan
Pendekatan SETPRO: Scoping Review. J Nurs … [Internet]. 2020;3(3):171–80.
Available from: http://journal.unpad.ac.id/jnc/article/view/28831
4. Lockwood C, dos Santos KB, Pap R. Practical Guidance for Knowledge Synthesis:
Scoping Review Methods. Asian Nurs Res (Korean Soc Nurs Sci) [Internet].
2019;13(5):287–94. Available from: https://doi.org/10.1016/j.anr.2019.11.002
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Artikel didapat dari pencarian database PubMed, ScienceDirect, Wiley Online

Library, dan Google Scholar sebanyak 12. Pencarian dilakukan dengan menggabungkan kata

kunci Oral candida, dan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) pada judul

maupun abstrak. Total artikel yang dibahas pada penelitian ini sebanyak 5 artikel.

Gambar 1 Hasil Seleksi Studi dengan Prisma SCR


Tabel 1. Hasil Identifikasi Artikel

No. Penulis Judul Sampel Oral Candida Manifestasi Oral


(tahun) Load / Persentase
/ Mean
1. Arevalo et Prevalence 10 pasien Kandida oral Kandida oral
al (2023) of Oral COPD dari 67 teramati pada yang
Candidiasis pasien 5,97% pengguna berhubungan
in Asthma keseluruhan ICS dengan
and yang penggunaan ICS
COPD menggunakan terlihat berwarna
Patients inhaled putih, plak lunak
Using corticosteroid dengan
Inhaled (ICS) permukaan
Corticostero eritema, erosi,
ids dan ulseratif.
in the Berada pada
Philippine permukaan
General mukosa bukal.
Hospital orofaring, dan
Department bagian lateral
of Out- lidah
patient
Services
2. Khijmatgar Oral n Kelompok Pertumbuhan Dry mouth, plak
et al (2021) Candidal Uji= 112 kandida supra dan
Load and pasien COPD ditemukan pada subgingiva,
Oral Health 21,42% (n = 24) bleeding on
Status in n Kelompok kelompok uji dan probing,
Chronic Kontrol= 100 1,1% (n = 11) kedalaman poket
Obstructive pasien kelompok kontrol antara 3.5 dan
Pulmonary (p <0.05) 5.5 mm
Disease
(COPD)
Patients: A
Case-Cohort
Study
3. Kısacık et Investigation 147 pasien 61,9% dari total Dry mouth dan
al (2023) of the COPD yang 147 pasien penipisan
Prevalence dipantau ditemukan mukosa oral
of Oral selama 7 hari mukositis oral
Mucositis sejak masuk dengan infeksi
and ke klinik kandida oral
Associated penyakit dada
Risk Factors di rumah sakit
in Chronic universitas
Obstructive antara Januari
Pulmonary 2021 - Januari
Disease 2022.
Patients: A
Prospective
Cross-
Sectional
Study
4. Raj et al The effect of 170 pasien Pada kelompok Dry mouth,
(2018) 6 months or berusia 20-45 uji didapatkan kandidiasis
longer tahun dengan 6.00 ± 11.56 orofaringeal,
duration of riwayat (p<0.001) pasien karies, plak, dan
chronic penggunaan dengan oral kalkulus
obstructive medikasi candida spesies
respiratory penyakit dibandingkan
disease pernapasan dengan kelompok
medication kronis selama kontrol 0.56 ±
on the oral 6 bulan atau 1.35 (p<0.001)
health lebih
parameters
of adults
5. Dekhuijzen Incidence of n= 2,4 juta Pada periode Dry mouth,dan
et al (2016) oral thrush pasien berusia outcome, kandidiasis
in patients 40 tahun dari kejadian orofaringeal
with COPD lebih dari 550 kandidiasis mulut
prescribed praktik lebih tinggi pada
inhaled perawatan pasien yang
corticosteroi primer Inggris diberi inhaled
ds: Effect of di Inggris, corticosteroids
drug, dose, Skotlandia, (456 pasien
and device Wales, dan [5,5%])
Irlandia dibandingkan
Utara. Data dengan pasien
diambil dari yang diberi terapi
Optimum non-ICS (227
Patient Care pasien [2,7%])
Research
Database Di antara total
pasien dengan
kandidiasis oral,
493 (72,2%) dan
118 (17,3%)
masing-masing
mengalami satu
episode dan dua
episode
kandidiasis oral.
4.2 Pembahasan

The Global Burden of Disease Study baru-baru ini melaporkan bahwa Chronic

obstructive pulmonary disease (COPD) merupakan penyebab kematian nomor 3 di seluruh

dunia, dan mencapai ambang batas ini sekitar sepuluh tahun lebih awal dari perkiraan.(1,2)

COPD merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara progresif

serta kerusakan jaringan yang berkaitan dengan perubahan struktural pada paru-paru akibat

peradangan kronis dari paparan partikel atau gas berbahaya dalam waktu lama. Peradangan

kronis menyebabkan penyempitan saluran napas dan penurunan recoil paru. Penyakit ini

sering muncul dengan gejala batuk, sesak napas, dan produksi dahak.(1)

Tujuan utama pengobatan COPD adalah untuk mengendalikan gejala, meningkatkan

kualitas hidup, dan mengurangi eksaserbasi dan kematian. Pendekatan non farmakologi

meliputi penghentian merokok dan rehabilitasi paru. Sementara itu, untuk pengobatan

farmakologi golongan obat yang umum digunakan pada COPD meliputi bronkodilator

(beta2-agonists, antimuscarinics, methylxanthines), kortikosteroid inhalasi (ICS),

glukokortikoid sistemik, phosphodiesterase-4 (PDE4), dan antibiotik.(3) ICS sering

digunakan dalam kombinasi dengan LABA dan LAMA untuk mengurangi peradangan.

Kombinasi ICS dan LABA telah terbukti lebih bermanfaat dibandingkan obat mana pun bila

digunakan sendiri.(4,5) Terapi inhalasi ini merupakan metode yang paling banyak digunakan

untuk mengobati kasus COPD. Namun, penelitian mengungkapkan bahwa obat inhalasi yang

digunakan dalam pengobatan COPD mempunyai efek buruk pada kesehatan mulut yang

didasarkan pada dosis, frekuensi paparan, dan durasi penggunaan. Beberapa kondisi seperti

xerostomia, karies, kandidiasis, ulserasi mukosa, gingivitis, periodontitis, dry mouth, dan

perubahan rasa telah dikaitkan dengan terapi inhalasi.(6)

Hasil identifikasi 5 artikel pada penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan terapi

inhalasi kortikosteroid bagi penderita COPD memiliki efek samping berupa manifestasi oral
seperti oral candidiasis, dan dry mouth. Penelitian Arevalo et al (2023) menjelaskan kandida

oral teramati pada 5,97% pengguna ICS yang terlihat seperti plak berwarna putih dengan

permukaan eritema, erosi, dan ulseratif di permukaan mukosa bukal, orofaring, dan bagian

lateral lidah.(7) Dekhuijzenet al (2016) dalam penelitiannya mengungkapkan kandidiasis oral

lebih tinggi pada pasien yang telah diberi inhaled corticosteroids (456 pasien [5,5%])

dibandingkan dengan pasien yang diberi terapi non-ICS (227 pasien [2,7%]), dengan

manifestasi oral berupa dry mouth,dan kandidiasis orofaringeal.(8) Deposisi ICS di rongga

orofaring dapat menyebabkan oropharyngeal candidiasis. Hal ini terjadi karena penurunan

imunitas lokal yang melibatkan penghambatan fungsi pertahanan tubuh yang normal

(neutrofil, makrofag, dan limfosit T) pada permukaan mukosa mulut atau karena peningkatan

kadar glukosa air liur yang kemudian dapat merangsang pertumbuhan candida albicans.(9)

Sebagian besar ICS dihirup dalam bentuk aktif secara farmakologis (fluticasone propionate,

budesonide), sedangkan ICS lainnya (ciclesonide dan beclomethasone dipropionate) dihirup

sebagai senyawa tidak aktif dan diaktifkan oleh esterase di paru-paru. Aktivasi di tempat

tersebut penting untuk mengurangi potensi efek samping lokal ICS dengan membatasi

ketersediaan obat aktif di luar jaringan target.(10) Selain itu penelitian pada penderita asma

yang menggunakan ICS menjelaskan bahwa berkumur pada tenggorokan ditentukan sebagai

variabel yang paling efektif terhadap terjadinya kolonisasi candida di orofaring dengan

analisis regresi logistik multivariat. Berkumur setelah menghirup sebelumnya juga telah

dianjurkan oleh dokter dan produsen, namun tidak diketahui seberapa baik hal ini diikuti oleh

pasien. Hal ini penting karena dosis dan durasi ICS mungkin tidak dapat dikurangi pada

kelompok pasien tertentu karena kebutuhan pengobatan. Oleh karena itu, berkumur secara

teratur harus sering diingatkan terutama pada pasien yang telah menggunakan ICS dosis

tinggi dan pada mereka yang menggunakan obat tersebut dalam jangka waktu yang lama.(11)
SUMBER:

1. Singh D, Agusti A, Anzueto A, et al. Global strategy for the diagnosis, management,

and prevention of chronic obstructive lung disease: the GOLD science committee

report 2019. European Respiratory Journal. 2019;53(5). [PubMed] [Google Scholar]

2. Collaborators GBDCRD. Global, regional, and national deaths, prevalence, disability-

adjusted life years, and years lived with disability for chronic obstructive pulmonary

disease and asthma, 1990–2015: a systematic analysis for the Global Burden of

Disease Study 2015. Lancet Respir Med. 2017;5(9):691–706. [PMC free article]

[PubMed] [Google Scholar]

3. Agarwal AK, Raja A, Brown BD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. [Updated

2023 Aug 7]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;

2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559281/

4. Nannini LJ, Lasserson TJ, Poole P. Combined corticosteroid and long-acting beta(2)-

agonist in one inhaler versus long-acting beta(2)-agonists for chronic obstructive

pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2012 Sep 12;2012(9):CD006829.

[PMC free article] [PubMed]

5. Nannini LJ, Poole P, Milan SJ, Kesterton A. Combined corticosteroid and long-

acting beta(2)-agonist in one inhaler versus inhaled corticosteroids alone for chronic

obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2013 Aug

30;2013(8):CD006826. [PMC free article] [PubMed]

6. D. C. Cojocaru, A. Georgescu, and R. D. Negru, “Oral manifestations in pulmonary

diseases-too often a neglected problem,” International Journal of Medical Dentistry,

vol. 5, no. 2, p. 117,2015.


7. Arevalo, J. C., & Buban, E. R. D. (2023). Prevalence of Oral Candidiasis in Asthma

and COPD Patients Using Inhaled Corticosteroids in the Philippine General Hospital

Department of Out-patient Services. Acta Medica Philippina, 57(12).

8. Dekhuijzen, P. R., Batsiou, M., Bjermer, L., Bosnic-Anticevich, S., Chrystyn, H.,

Papi, A., ... & Price, D. B. (2016). Incidence of oral thrush in patients with COPD

prescribed inhaled corticosteroids: effect of drug, dose, and device. Respiratory

Medicine, 120, 54-63.

9. Buhl R. Local oropharyngeal side effects of inhaled corticosteroids in patients with

asthma. Allergy. 2006;61:518–26. doi: 10.1111/j.1398-9995.2006.01090.x. [PubMed]

[CrossRef] [Google Scholar] [Ref list]

10. Asthma Diagnosis and Treatment Guideline 2014. Turkish Thoracic Society; [Google

Scholar] [Ref list]

11. Kurt, E., Yildirim, H., Kiraz, N., Orman, A., Metintas, M., Akgun, Y., & Erginel, S.

(2008). Oropharyngeal candidiasis with dry-powdered fluticasone propionate: 500

μg/day versus 200 μg/day. Allergologia et immunopathologia, 36(1), 17-20.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Tujuan utama pengobatan COPD adalah untuk mengendalikan gejala, meningkatkan

kualitas hidup, dan mengurangi eksaserbasi dan kematian. Pengobatan farmakologi yang

umum digunakan pada COPD yaitu kortikosteroid inhalasi (ICS). Namun, ICS memiliki efek
buruk pada kesehatan mulut yang didasarkan pada dosis, frekuensi paparan, dan durasi

penggunaan. Beberapa kondisi seperti xerostomia, karies, kandidiasis, ulserasi mukosa,

gingivitis, periodontitis, dry mouth, dan perubahan rasa telah dikaitkan dengan terapi ICS.

Hal ini terjadi karena penurunan imunitas lokal yang melibatkan penghambatan fungsi

pertahanan tubuh yang normal (neutrofil, makrofag, dan limfosit T) pada permukaan mukosa

mulut atau karena peningkatan kadar glukosa air liur yang kemudian dapat merangsang

pertumbuhan candida albicans. Penggunaan ICS yang dihirup sebagai senyawa tidak aktif

seperti ciclesonide dan beclomethasone dipropionate dapat mengurangi potensi efek samping

lokal ICS, selain itu beberapa tindakan seperti berkumur setelah menghirup ICS dan

berkumur tenggorokan sangat dianjurkan pada pengguna ICS jangka panjang sehingga dapat

mengurangi kolonisasi bakteri, hal ini penting karena dosis dan durasi ICS mungkin tidak

dapat dikurangi pada kelompok pasien tertentu.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis menyarankan agar

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis penggunaan kortikosteroid pada ICS yang

lebih kompatibel namun tetap memiliki efek yang optimal bagi penderita COPD. Penulis juga

menyarankan penelitian yang lebih lanjut mengenai manifestasi oral pada penderita COPD

sehingga dokter gigi di masa depan akan lebih mengetahui etiologi penyakit mulut yang

terjadi sebagai efek samping perawatan inhalasi, sehingga lebih mudah menegakkan

diagnosis.

Anda mungkin juga menyukai