Oleh kelompok 4 :
Endang Hanisyah
Selvi Rahmayani
Khairannisa
S1 Ilmu Keperawatan 3B
2019/2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah dengan
judul “penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Fisiologi bu
Aria Wahyuni, M. Kep,Ns. Sp. Kep. MB yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah sekelompok penyakt paru yang
mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar paru. Sekelompok penyakit paru
tersebut yaitu bronkhitis kronis, emfisema dan asma bronkhial. Prevalensi PPOK
berdasarkan wacana di Indonesia sebesar 3,7%, prevalensi PPOK lebih tinngi pada laki-
laki (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan data dan uraian di atas maka peran perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan sangat diperlukan. Peran perawat meliputi promotif yaitu dengan
memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dan keluarga tentang untuk tidak
merokok, makan-makanan yang bergizi dan ciptakan lingkungan yang sehat. Preventif
yaitu perawat dapat memberikan pencegahan penyakit dengan menganjurkan klien atau
keluarga untuk berhenti merokok, menjaga gizi dan pola makan, memakai masker jika
bepergian, menjaga lingkungan rumah tetap bersih. Upaya kuratif dengan cara perawat
berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat seperti antibiotik dan bronkodilator.
Rehabilitatif yaitu perawat menganjurkan agar klien segera ke rumah sakit jika sesak
nafas bertambah parah dan berikan imuno terapi bagi klien yang mempunyai riwayat
alergi.
C. TUJUAN PENUGASAN
1. Mengetahui tinjauan teori tentang PPOK
2. Mengetahui patofisiologi pada PPOK
3. Mengetahui upaya Farmakologi pada PPOK
4. Mengetahui bagaimana program diet pada pasien PPOK
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TEORI
1. DEFINISI PPOK
Istilah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstruktive Pulmonary
Disease (COPD) adalah penyakit yang ditandai oleh reaksi peradangan abnormal. Tercakup
di dalamnya penyakit seperti bronkitis kronis dan emfisema, dan paling sering karena
merokok. Gejala yang dominan pada PPOK adalah sesak napas yang sering kali dimulai saat
aktivitas. Seing kali terdapat batuk, yang mungkin produktif menghasilkan sputum, dan
mengi. Gejala umum bersifat progresif dengan sesak napas yang semakin berat dan
berkurangnya toleransi olah raga. Terdapat eksaserbasi, seringkali berhubungan dengan
infeksi, dimana terdapat sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi dan produksi sputum.
Biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45 tahun. (Bronkitis kronis = produum
hampiksi sputum hampir setiap hari selama 3 bulan atau 2 tahun berturut-turut). PPOK
memiliki prevalensi lebih dari 2.
Pada sebagian pasien, PPOK bisa menyebabkan kehilangan kekuatan kendali
pernafasan hiperkapnik sehingga mengandalkan stimulasi ventilasi oleh hipoksia dan
meningkatkan bahaya hiperkapnia (retensi karbon dioksida).
Biasanya ada riwayat merokok (jika tidak, diagnosis harus dipertanyakan dan/atau dicari
etiologi lain).
2. EPIDEMIOLOGI
PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga di Amerika Serikat dan beban
ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007 adalah 426 juta dollar dalam biaya perawatan
kesehatan dan kehilangan produktivitas.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia.
3. FAKTOR RESIKO
4. ETIOLOGI
Faktor lingkungan: merokok merupakan penyebab utama , disertai resiko tambahan
akibat polutan udama di tempat kerja atau didalam kota. Sebagian pasien memiliki
asma kronis yang tidak terdiagnosis dan tiga diobati.
Genetik : defisiensi 1 –antitripsi n merupakan predisposisi untuk berkembangnya
PPOK dini.
5. PATOLOGI
Merokok menyebabkan hiperfitrofi dan meningkatkan produksi mukus bronkial dan
meningkatkan produksi mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis ( batuk
produktif 3bulan/tahun selama 2 tahun) perubahan awal terjadi pada saluran udara yang
kecil. Selain itu, ternyata destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga uadra distal
(emfisema), yang menyebabkan hilangnya elastic recoil , hiperinflasi, terperangkapnya udara
dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi sesak napas. Dengan berkembangnya
penyakit kadar karbondioksida meningkat dan dor mungkongan re pernapaspirasi bergeser
dari CO2 ke hipoksemia, dorongaan pernapasan juga mungkin akan hilang, sehingga memicu
terjadinya gagal napas.
6. TANDA-TANDA KLINIS
Tanda COPD : batuk, produksi sputum berlebihan (pada jenis bronkitis kronik),
dispnea, onstruksi saluran napas yang progresif. Pada pemeriksaan spirometri, FEV/FVC di
bawah predicted, perbaikan pada tes provokasi setelah pemberian bronkodilator 12.
Penyebab obstruksi saluran pernafasan adalah : radang mukosa sluran napas, edema,
bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mukus, dan hilang elastisitas recoil .
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
1. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan terbentuknya sputum
kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala yang
paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Orang dengan PPOK umumnya
menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa
mendapatkan cukup udara ".
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat
melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama
bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga
dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan
rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk
yang terjadi selama istirahat dan selalu muncul.
paru yang terkena dampak.4 Gejala cor pulmonale adalah edema perifer, dilihat sebagai
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan diagnosis,
untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai
tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang
dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC).
Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada
satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced
Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus
bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi
terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan
tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase dari
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji bronkodilator
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK
1. Stage I : Ringan
menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 diperkirakan ≥
Pada stage II, hasil rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1
Pada stage III, dengan rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1
Pada stage IV, rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari
3. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien mengalami kesulitan bernafas,
batuk kronis atau terbentuknya sputum dan riwayat terkena faktor resiko penyakit ini.
4. TATALAKSANA
hingga 5-10%. Terapi penggantian nikotin (permen karet nikotin, inhaler, patch
transdermal, tablet sublingual atau lozenge) dan juga obat dengan varenicline,
bupropion atau
membuat program dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan berulang.
Aktivitas fisik sangat berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus didorong untuk
tetap aktif.1
Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan
dapat dilakukan dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari atau mengurangi
polusi indoor berupa pembakaran bahan bakar biomass dan pemanasan atau memasak
pengumuman publik tentang tingkat polusi udara. Semua pasien PPOK mendapat
keuntungan yang baik dari aktivitas fisik dan disarankan untuk selalu aktif.1,6
terhadap setiap pasien, karena gejala dan keparahan dari keterbatasan aliran udara
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya gagal
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu
Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, terapi
gejala yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator inhalasi kerja lama lebih efektif
Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat
diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian pada
PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis β-2 kerja lama, durasi kerja
sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat
ini dipakai sebagai ganti agonis β-2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan
dosis tinggi atau dipakai dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki
FEV1 dan volume paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan
menurunkan kejadia eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan
besar penurunan faal paru. Agonis β-2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang ada
adalah indacaterol.1,2
meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan menurunkan frekuensi eksaserbasi.
direkomendasikan.
efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam peningkatan
fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai
direkomendasikan.
Vaksin Influenza bisa mengurangi penyakit serius dan kematian pada PPOK, virus
inaktif pada vaksin di rekomendasikan dan sebaiknya di berikan sekali setahun. Vaksin
Pengobatan lain
Pasien dari segala tingkat keparahan akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan
rehabilitasi pulmonari. Lama waktu minimum yang efektif untuk rehabilitasi adalah 6
Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK
derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada
waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis
LVRS (Lung Ventilation Reduction Surgery) dari pada terapi medis lainnya adalah
lebih signifikan hasilnya pada pasien dengan empidema pada lobus bawah dan pada
pasien dengan kapasitas aktifitas fisik rendah karena pengobatan. Pada beberapa pasien
dengan PPOK sangat parah, transplatasi paru menunjukkan peningkatan kualitas hidup
yang baik.
Manajemen Eksaserbasi
perburukan gejala respirasi yang biasanya lebih parah dari gejala normal dan biasanya
Menilai keparahan eksaserbasi secara garis besar ada 3 yang perlu dinilai yaitu
pengukuran gas darah arterial, foto torak berguna untuk mengeleminasi diagnosis lain,
Manajemen eksaserbasi pada PPOK diberikan oksigen dengan target saturasi 88-92%.
Beta2-agonist kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik kerja cepat lebih dipilih untuk
dan menurunkan resiko kekambuhan awal, kegagalan terapi dan lama dirumah sakit.
Dosis sebesar 30-40 mg prednisolone setiap hari selama 10-14 hari direkomendasikan.
Pemberian antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan tiga gejala jantung:
peningkatan purulence dari sputum dan gejala kardinal lain, dan membutuhkan ventilasi
mekanikal.
Terapi tambahan bergantung pada kondisi klinis dari pasien dan keseimbangan
Hubungan antara malnutrisi dan penyakit paru sudah lama diketahui. Malnutrisi mempunyai
pengaruh negatif terhadap struktur, elastisitas, dan fungsi paru; kekuatan dan ketahanan otot
pernafsan; mekanisme pertahanan imunitas paru; dan pengaturan nafas. Sebagai contoh,
defisiensi protein dan zat besi menyebabkan kadar Hb yang rendah, sehingga kemampuan
darah membawa oksigen menurun. Rendahnya kadar mineral yang lain, seperti kalsium,
magnesium, fosfor, dan kalium, menurunkan fungsi otot pada tingkat seluler.
Hipoproteinemia berperan terhadap udem pulmo dengan menurunkan tekanan osmotik,
sehingga cairan tubuh berpindah menuju ruang intersisial. Penurunan kadar surfaktan, suatu
komponen yang disintesis dari protein dan fosfolipid, berperan terhadap kolapsnya alveoli,
sehingga menaikkan kerja pernafasan. Jaringan supporting paru terbentuk dari kolagen, yang
membutuhkan vitamin C untuk sintesisnya. Mukus jalan nafas normal adalah suatu substrat
yang terdiri dari air, glikoprotein, dan elektrolit (Mueller, 2004).
Penurunan berat badan karena asupan diet yang tidak adekuat berkorelasi secara
bermakna dengan buruknya prognosis PPOK. Malnutrisi menyebabkan gangguan imunitas,
sehingga pasien berisiko tinggi terkena infeksi paru. Pasien dengan PPOK yang dirawat di
rumah sakit dan mengalami malnutrisi cenderung untuk mempunyai masa rawat yang lebih
lama dan rentan terhadap kenaikan morbiditas dan mortalitas (Mueller, 2004).
Dampak penyakit paru terhadap status gizi
Penyakit paru (termasuk PPOK) secara substansial meningkatkan kebutuhan energi. Faktor
ini yang menjelaskan alasan untuk melibatkan parameter komposisi tubuh dan berat badan
pada hampir semua penelitian medis, pembedahan, farmakologis dan nutrisional pada pasien
dengan penyakit paru. Komplikasi penyakit paru atau terapinya dapat menyebabkan asupan
dan pencernaan diet yang cukup menjadi sulit, serta menimbulkan masalah pada absorpsi,
sirkulasi, utilisasi seluler, penyimpanan, dan ekskresi. Beberapa efek samping penyakit paru
terhadap status gizi disajikan pada Tabel 1 (Mueller, 2004).
Tabel 1. Efek Samping Penyakit Paru pada Status Gizi (Mueller, 2004)
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Battaglia et al. (2010) terhadap pasien lansia dengan PPOK
stabil yang dirawat jalan (n=460, ♂/♀: 376/84, usia 75 ± 5,9 tahun), menggunakan MNA sebagai
skrining status gizi dan menghitung 3 domain status gizi, yaitu: komposisi tubuh, asupan energi, dan
skor fungsional tubuh. Didapatkan hasil stadium GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease) berhubungan negatif dengan MNA, mobilitas dan persepsi pasien terhadap status
gizi dan kesehatannya sendiri, lingkar lengan, dan lingkar betis. GOLD secara independen
berhubungan dengan komposisi tubuh dan skor fungsional tubuh. Usia berhubungan negatif dengan
nafsu makan, asupan cairan, mobilitas dan kemandirian. Usia secara independen berhubungan
dengan skor fungsi tubuh. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PPOK berat dan penuaan merupakan
kondisi independen dan mungkin bersamaan dengan malnutrisi.
Asesmen gizi pada pasien lansia merupakan salah satu elemen dari asesmen geriatri. Asesmen
geriatri, seperti dikutip dari Hadi-Martono (2009), didefinisikan sebagai suatu analisis multi-disiplin
yang dilakukan oleh seorang geriatris atau suatu tim interdisipliner geriatri atas seorang penderita
lansia untuk mengetahui kapabilitas medis, fungsional, dan psiko-sosial agar dapat dilakukan
penatalaksanaan. Prosedur asesmen geriatri tersebut meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan tambahan, dan pemeriksaan fungsi, serta asesmen lingkungan.
Kejadian malnutrisi pada PPOK tergantung dari tingkat keparahan penyakit. Malnutrisi sering
terjadi pada pasien dengan PPOK derajat sedang hingga berat. Malnutrisi karena PPOK dapat
memperlemah otot pernafasan, mengakibatkan perubahan ventilasi, kekuatan otot menjadi jelek,
dan gangguan fungsi imun. Asesmen gizi yang lengkap penting untuk mengidentifikasi pasien
dengan risiko gizi. Asesmen sebaiknya meliputi evaluasi pengukuran antropometri, dan riwayat
terkait makanan/nutrisi, pemakaian suplementasi obat atau herbal (jamu), dan aktivitas fisik (Tabel
2). Pengukuran massa tubuh bebas lemak (fat free mass/FFM) merupakan indikator prognostik yang
lebih baik daripada pengukuran kehilangan berat badan atau IMT (Indeks Massa Tubuh) pada
pasien malnutrisi. Berdasar asesmen ini, masalah gizi dapat diidentifikasi dan tujuan terapi gizi
untuk pasien individu dapat ditentukan (Bergman & Hawk, 2010).
Tabel 2. Asesmen Gizi untuk Sistem Pernafasan (Bergman & Hawk, 2010)
Beberapa faktor diet, terutama antioksidan, mempengaruhi kesehatan dan berperan kunci
dalam memproteksi PPOK. Penelitian prospektif telah membuktikan bahwa diet kaya buah, sayur,
dan ikan dapat menurunkan insiden PPOK. Sebaliknya, diet kaya karbohidrat sederhana, daging
merah dan olahan, desserts, dan kentang goreng dapat meningkatkan risiko PPOK. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa perokok mempunyai asupan vitamin antioksidan yang rendah,
terutama vitamin C, A, dan E, serta b-karoten. Individu dengan PPOK mengalami kerusakan
oksidatif, baik selama masa eksaserbasi maupun masa stabil. Selama masa eksaserbasi, konsentrasi
vitamin A dan E serum menurun. Meskipun demikian suplementasi vitamin E tidak berhubungan
dengan kenaikan fungsi paru. Demikian juga dengan asam lemak omega-3, tidak memproteksi
terhadap penurunan FEV1 pada pasien PPOK (Bergman & Hawk, 2010).
Fosfat penting untuk sintesis ATP (adenosine triphosphate) dan DPG (2,3-
diphosphogylcerate), dimana keduanya penting untuk fungsi paru. Pada pasien PPOK, penyimpanan
fosfat pada otot pernafasan dan otot perifer menurun. Terapi medikamentosa yang sering digunakan
untuk pasien PPOK, termasuk kortikosteroid, diuretika, dan bronkodilator, berhubungan dengan
hipofosfatemia dan berkontribusi pada penurunan simpanan fosfat. Kadar fosfat serum perlu
dimonitor ketat pada pasien dengan penyakit paru atau gagal nafas untuk memastikan kadar yang
cukup (Bergman & Hawk, 2010).
Osteoporosis, yang dapat mengakibatkan patah tulang, telah terbukti menjadi masalah yang
signifikan pada pasien PPOK lanjut. Beberapa faktor risiko terkait patofisiologi osteoporosis
terdapat pada pasien PPOK, antara lain merokok, supresi kadar estrogen atau testosteron, defisiensi
vitamin D, IMT rendah, FFM rendah, dan penurunan mobilitas. Berat badan berkaitan erat dengan
densitas mineral tulang (bone mineral density/BMD). Kehilangan berat badan dan malnutrisi sering
terlibat dalam patogenesis IMT rendah pada pasien PPOK. Kadar 25-hidroksivitamin D serum yang
rendah juga tercatat pada pasien PPOK, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D karena asupan
yang rendah dan berkurangnya paparan sinar matahari berperan dalam penyakit tulang. Asupan
kalsium dan vitamin D sebaiknya dievaluasi, terutama pada pasien dengan asupan yang kurang.
Menurut rekomendasi terkini, asupan kalsium sebaiknya 1200-1500 mg/hari dan vitamin D minimal
400 IU (Bergman & Hawk, 2010).
Diagnosis gizi
Seperti halnya pada pasien penyakit lain, deskripsi diagnosis gizi meliputi bagaimana status
gizinya, status metaboliknya, status gastrointestinal, status asam/basa, serta status cairan dan
elektrolit (PDGKI, 2008). Diagnosis gizi yang umum terjadi pada PPOK antara lain asupan energi
yang tidak adekuat, asupan makanan/minuman oral yang tidak adekuat, asupan cairan yang tidak
adekuat, asupan protein-energi yang tidak adekuat, dan kesulitan makan sendiri, sehingga status gizi
dapat menurun (Mueller, 2004). Contoh penulisan diagnosis gizi pada pasien PPOK disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Contoh diagnosis gizi pada pasien PPOK (Sumber: PDGKI, 2008)
PEMBAHASAN
Intervensi gizi pada pasien PPOK ditujukan untuk mengendalikan anoreksia, memperbaiki
fungsi paru, dan mengendalikan penurunan berat badan (PDGKI, 2008). Berikut akan diuraikan
tentang kebutuhan energi, makro dan mikronutrien, serta cairan pada pasien lansia dengan PPOK.
Apabila asupan diet peroral tidak optimal, maka perlu dipertimbangkan pemberian dukungan gizi
berupa nutrisi enteral dan/ atau parenteral.
Pada Tabel 3 tercantum faktor-faktor yang dapat membuat pemenuhan kebutuhan energi
menjadi sulit (Mueller, 2004). Otot pernafasan pasien PPOK membutuhkan kekuatan yang lebih
besar untuk mengembangkan dada. Meskipun hal ini meningkatkan energi yang dikeluarkan untuk
bernafas, dan sering disebut sebagai faktor utama dalam meningkatkan REE, namun bukan
merupakan satu-satunya penyebab hipermetabolisme. Kenaikan inflamasi sistemik juga disebut
sebagai penyebab hipermetabolisme dengan kenaikan TNF-a (tumor necrosis factor). Selain itu,
efek termogenesis dari obat, termasuk bronkodilator, juga mempunyai peran. Memelihara
keseimbangan energi optimal pada pasien PPOK penting untuk mempertahankan berat badan, FFM,
dan kesehatan tubuh secara umum. Prevalensi IMT <20 kg/m2 terjadi pada 30% pasien PPOK.
Fungsi otot pernafasan sangat dipengaruhi oleh penurunan status gizi dan sangat terkait dengan
berat badan dan massa tubuh bebas-lemak (Bergman & Hawk, 2010).
Penting untuk diingat bahwa keseimbangan energi dan keseimbangan nitrogen saling terkait.
Akibatnya, memelihara keseimbangan energi yang optimal penting untuk mempertahankan protein
visceral (albumin, transferin, protein pengikat-retinol, dan immunoglobulin) dan massa protein
somatik (jaringan dan otot pulmoner). Pada pasien PPOK, kebutuhan terhadap air, protein, lemak,
dan karbohidrat ditentukan oleh penyakit paru yang mendasari, terapi oksigen, obat-obatan, berat
badan, dan flutuasi cairan akut (Mueller, 2004).
Pasien PPOK penting untuk mendapatkan energi dan protein yang cukup untuk
mempertahankan berat badan, FFM, dan status gizi yang cukup. Asupan energi 125-156% (rata-rata
140%) diatas basal energy expenditure (pengeluaran energi basal) dan asupan protein 1,2-1,7
g/kgBB (rata-rata 1,2 g/kg) cukup untuk mencegah kehilangan protein pada pasien eksaserbasi
PPOK yang dirawat di rumah sakit. Pasien malnutrisi membutuhkan tambahan energi dan protein
untuk replesi. Karena estimasi REE menggunakan formula Harris-Benedict sering menghasilkan
angka REE yang lebih kecil 10-15% pada pasien PPOK, maka metode terbaik adalah dengan
kalorimetri indirek. Apabila kalorimetri indirek tidak tersedia, pemberian 25-30 kkal/kg BB
nampaknya sesuai, dengan protein sekitar 20% dari kalori total (1,2-1,7 g/kgBB), tergantung dari
kebutuhan individu dan dengan perhatian khusus pada derajat inflamasi dan aktivitas (Bergman &
Hawk, 2010). Sumber lain menyebutkan bahwa apabila perhitungan energi digunakan sebagai
prediktor, kenaikan untuk stress fisiologik harus disertakan. Kebutuhan kalori bervariasi antara
94%-146% dari prediksi telah diteliti (Mueller, 2004).
Pada pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit, tertama pada pasien dengan fungsi paru yang
menurun, mungkin diperlukan dukungan ventilator menggunakan ventilasi mekanik. Pada pasien
ini, overfeeding merupakan perhatian utama karena berhubungan dengan kenaikan produksi CO2,
yang dapat lebih lanjut memperburuk ventilasi. Meskipun glukosa dan protein telah terbukti
menstimulasi ventilasi, kelebihan pemberian glukosa (0,5 mg/kg/menit) meningkatkan produksi
CO2 dan membuatnya sulit untuk lepas dari ventilasi mekanik. Meskipun demikian, ketika kalori
total diberikan dalam jumlah yang sedang (sekitar 30% diatas kebutuhan basal), komposisi
makronutien dari makanan mempunyai pengaruh kecil terhadap produksi CO2. Produksi CO2 yang
berlebih terjadi ketika pasien overfed (>1,5 REE) (Bergman & Hawk, 2010).
Keseimbangan rasio protein (15%-20% dari kalori) dengan lemak (30%-45% dari kalori) dan
karbohidrat (40% -55% dari kalori) penting untuk menjaga Respiratory Quotient (RQ) yang cukup
dari utilisasi substrat. Replesi, bukan overfeeding, adalah prinsip penting dari rumatan nutrisi.
Penyakit lain dapat terjadi bersamaan, seperti penyakit ginjal atau kardiovaskular, kanker, atau
diabetes mellitus. Kondisi tersebut mempengaruhi jumlah total, rasio, dan jenis protein, lemak, dan
karbohidrat yang diberikan (Mueller, 2004).
Peran mineral, seperti magnesium dan kalsium, pada kontraksi otot dan relaksasi mungkin
penting untuk pasien PPOK. Asupan setara dengan DRI (Dietary Reference Intakes) sebaiknya
diberikan. DRI magnesium untuk usia >30 tahun (termasuk juga lansia) sebesar 420 mg/hari untuk
laki-laki dan 320 mg/hari untuk perempuan. DRI kalsium untuk usia >50 tahun sebesar 1200
mg/hari untuk laki-laki dan perempuan. Pasien yang menerima dukungan nutrisi progresif sebaiknya
dimonitor kadar magnesium dan fosfat secara rutin, karena peranannya sebagai kofaktor
pembentukan ATP. Penurunan BMD dapat terjadi pada pasien PPOK, sehingga nutrisi dan latihan
fisik terkait osteoporosis sebaiknya diberikan. Tergantung hasil BMD, juga riwayat asupan diet dan
penggunaan kortikosteroid, tambahan vitamin D dan K juga mungkin diperlukan (Mueller, 2004).
Beberapa pasien dengan cor pulmonale dan retensi cairan membutuhkan restriksi natrium dan
cairan. Tergantung pada diuretika yang diberikan, peningkatan asupan kalium mungkin dibutuhkan
(Mueller, 2004).
Kebutuhan cairan
Status hidrasi merupakan komponen yang penting pada asesmen awal dan lanjutan pada
semua usia. Kebutuhan cairan dipengaruhi oleh banyak variasi pada aktivitas fisik, IWL (insensible
water loss), obat-obatan, dan urin. Secara umum, kebutuhan cairan sekitar 30-35 ml/kgBB aktual,
dengan minimum 1500 ml/hari atau 1-1,5 ml/kkal yang dikonsumsi (Harris, 2004). Sedangkan
PDGKI (2008) menyebutkan kebutuhan cairan pada dewasa sekitar 25-40 ml/kgBB/ hari. Dengan
bertambahnya usia, jumlah cairan total menurun. Pada lansia sekitar 50% dari berat badan atau
menurun 10% dibandingkan pada dewasa muda. Penurunan ini berhubungan dengan penurunan lean
body mass. Menurunnya rasa haus dan asupan cairan, keterbatasan akses terhadap air, gangguan
fungsi ginjal, dan inkontinensia urin, semuanya meningkatkan risiko terhadap dehidrasi. Dehidrasi
lebih sering tidak diketahui. Tanda dehidrasi antara lain gangguan keseimbangan elektrolit,
konstipasi, nyeri kepala, haus, hilangnya elastisitas kulit, berat badan menurun, gangguan status
kognitif, perubahan jumlah dan warna urin (Harris, 2004).
Strategi pemberian makanan dan/atau zat gizi
Formula enteral komersial yang khusus dirancang untuk pasien dengan penyakit pernafasan
mengandung karbohidrat yang lebih rendah (30%) dan lemak yang lebih tinggi (50%).
Dibandingkan dengan makronutrien lain, dan lemak pada khususnya, karbohidrat menghasilkan
CO2 terbesar. Uji klinis terkontrol menggunakan formula ini telah membuktikan penurunan
produksi CO2 ketika dibandingkan dengan formula standar dengan kalori yang sama tapi lebih
tinggi kandungan karbohidratnya. Meskipun demikian, perbaikan keluaran klinis dengan
penggunaan formula ini belum konsisten. Satu dampak negatif yang berpotensi terjadi karena diet
tinggi lemak adalah melambatnya pengosongan lambung, yang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan perut (abdominal discomfort), kembung, atau cepat kenyang (Mueller, 2004).
Penelitian menunjukkan bahwa pasien PPOK yang menerima konseling diet dan saran terkait
fortifikasi makanan, mengonsumsi lebih banyak energi dan protein, dan mempunyai berat badan
lebih baik daripada mereka yang tidak menerima edukasi gizi. Menyarankan pasien untuk
beristirahat sebelum makan untuk mencegah kelelahan, dapat membantu. Makan dengan porsi kecil
dan sering dapat membantu mengurangi rasa kenyang dan kembung. Penggunaan suplementasi
nutrisi untuk menyediakan kalori dan protein menunjukkan hasil yang berbeda, sehingga dikatakan
suplementasi nutrisi saja tidak cukup untuk meningkatkan status gizi (Bergman & Hawk, 2010).
Pada banyak pasien, penggunaan ekspektoran di luar waktu makan, menggunakan oksigen
ketika waktu makan, makan perlahan, mengunyah makanan dengan baik, dan berinteraksi sosial,
semuanya dapat meningkatkan asupan makanan, metabolisme zat gizi, dan pengalaman yang
menyenangkan. Untuk mencegah aspirasi, perhatian khusus harus diberikan pada saat pergantian
antara bernafas dan menelan makanan, juga posisi duduk yang sesuai selama makan. Pasien dengan
keterbatasan fisik dapat dibantu dalam hal belanja makanan dan penyiapan masakan. Dukungan
masyarakat, seperti pengiriman makanan (misal Meals on Wheels program) dapat membantu
(Mueller, 2004).
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, PPOK mempunyai pengaruh terhadap status gizi dan
metabolisme energi. Antara 25%-40% pasien PPOK lanjut mengalamai malnutrisi. Sebaliknya,
kehilangan berat badan dan FFM yang rendah merupakan faktor independen yang berhubungan
dengan buruknya prognosis pasien. Pada pasien dengan asupan oral yang tidak adekuat, dapat
dipertimbangkan pemberian dukungan nutrisi berupa enteral nutrisi (EN) dan/atau parenteral nutrisi
(PN). Menurut ESPEN (European Society for Parenteral and Enteral Nutrition), evidens tentang
keuntungan pemberian EN dan/atau PN pada pasien PPOK masih terbatas, meskipun demikian
kombinasi dengan latihan fisik dan farmakoterapi anabolik berpotensi untuk meningkatkan status
gizi (Anker et al., 2006; Anker et al., 2009). Dibandingkan PN, pemberian EN lebih
direkomendasikan, dengan alasan tidak didapatkan evidens terkait gangguan funsi pencernaan pada
pasien PPOK. Selain itu pemberian EN lebih murah, serta lebih sedikit dan lebih ringan dalam
menimbulkan komplikasi dibandingkan pemberian PN (Anker et al., 2009). Meskipun penurunan
berat badan berkorelasi dengan kenaikan morbiditas dan mortalitas, namun, karena keterbatasan
penelitian terkait efek dari EN atau PN, maka tidak memungkinkan untuk menyusun rekomendasi
yang jelas (Anker et al., 2006; Anker et al., 2009) dan tidak dapat dikatakan jika prognosis
dipengaruhi oleh pemberian PN (Anker et al, 2009). Untuk jenis formula yang diberikan, ESPEN
berpendapat bahwa pada pasien dengan PcxPOK stabil, tidak ada keuntungan tambahan dari
suplementasi nutrisi oral (oral nutritional supplement/ONS) berupa rendah karbohidrat-tinggi
lemak dibandingkan ONS standar atau tinggi protein atau tinggi energi. Pemberian ONS dengan
porsi kecil lebih disukai untuk menghindari sesak nafas setelah makan dan untuk memperbaiki
kepatuhan pasien (Anker et al., 2006). Ringkasan pernyataan ESPEN untuk pemberian EN dan PN
pada pasien PPOK dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Ringkasan Pernyataan ESPEN untuk Enteral Nutrisi pada PPOK (Anker et al.,
2006)
Tabel 5. Ringkasan Pernyataan ESPEN untuk Parenteral Nutrisi pada PPOK (Anker et al.,
2009)
Koordinasi perawatan nutrisi: Latihan fisik
Latihan fisik juga diperlukan pasien PPOK. Dukungan nutrisi dikombinasi dengan latihan fisik
sebagai bagian dari program rehabilitasi telah menunjukkan dampak yang baik pada peningkatan
berat badan, massa bebas-lemak, dan kekuatan otot pernafasan pada pasien PPOK stabil. Jenis
latihan fisik disesuaikan dengan derajat PPOK (Bergman & Hawk, 2010)R.
FARMAKOLOGI
Mengobati PPOK dengan perubahan gaya hidup
Dalam kasus PPOK yang ringan, kebanyakan dokter akan menganjurkan perubahan gaya hidup.
Bahkan dengan kondisi yang sedang atau parah, Anda akan masih harus menata kembali gaya hidup
Anda. Perubahan pertama adalah berhenti merokok.
Jika Anda tidak merokok, jangan memulainya. Cobalah untuk menghindari asap rokok dan iritan
lainnya di udara seperti debu, asap pembakaran, dan bahan kimia beracun lainnya. Pastikan udara
yang Anda hirup bersih dan bebas dari pemicu PPOK. Anda dapat mempelajari cara-cara untuk
membuat rumah Anda lebih ramah PPOK.
Perubahan kedua adalah perihal olahraga. Anda pasti akan dianjurkan oleh dokter untuk
menghindari atau membatasi olahraga karena Anda tidak dapat bernapas dengan sangat baik dengan
PPOK. Anda memang harus membatasi jumlah olahraga yang Anda lakukan, tetapi Anda tidak
boleh berhenti berolahraga sepenuhnya. Olahraga dapat memperkuat diafragma (otot di antara paru-
paru dan perut yang membantu Anda bernapas). Konsultasikan pada dokter mengenai aktivitas fisik
yang tepat bagi Anda.
Perubahan ketiga adalah perihal diet. Anda mungkin merasa kesulitan untuk menelan makanan
keras, atau kelelahan bisa membuat makan menjadi sulit. Anda dapat mendapatkan nutrisi dengan
makan dalam porsi lebih kecil dan menggunakan vitamin dan suplemen mineral. Beristirahat
sebelum makan mungkin juga bisa membantu.
PPOK merusak kemampuan Anda untuk bernapas. Terapi oksigen dapat membuat napas Anda
menjadi lebih mudah dan memasok cukup oksigen bagi paru-paru. Anda bisa mempelajari lebih
lanjut mengenai terapi oksigen di sini.
Rehabilitasi paru (rehabilitasi pernapasan) adalah program khusus bagi para penderita penyakit
paru. Anda bisa mempelajari cara untuk mengendalikan pernapasan melalui olahraga, nutrisi dan
pikiran positif.
Mengobati PPOK dengan obat-obatan
Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat untuk membuka saluran bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru dari
jalan napas). Inhaler atau nebulizer dapat digunakan dengan obat ini. Jika Anda tidak tahu cara
untuk menggunakan perangkat ini, berikut panduan cara penggunaan inhaler dan cara penggunaan
nebulizer. Perangkat ini akan menghantarkan obat secara langsung ke paru-paru dan jalan napas.
β-agonis bisa berbentuk kerja cepat (misalnya albuterol) atau kerja lambat (misalnya
salmeterol). β-agonis kerja cepat sering disebut sebagai “inhaler penyelamat” karena dapat
digunakan untuk memperbaiki pernapasan dengan cepat saat terjadi flare-up PPOK. β-
agonis kerja lambat, yang digunakan dua kali sehari, merupakan bagian dari terapi
pemeliharaan.
Obat-obatan antikolinergik, seperti Atrovent, bekerja dengan memblokir bahan kimia
acetylcholine, yang menyebabkan penyempitan saluran napas. Anda dapat menggunakan
obat ini setiap 6 jam.
Kortikosteroid
Kortikosteroid, seperti (prednisone) adalah obat yang terkenal untuk mengurangi peradangan di
paru-paru yang disebabkan oleh infeksi atau iritan seperti asap rokok, suhu udara yang ekstrem, atau
asap yang berbahaya. Kortikosteroid dapat digunakan dalam inhaler, nebulizer, tablet, atau injeksi.
Antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi PPOK. Terkena infeksi saat menderita PPOK bisa
membuat bernapas, yang awalnya sudah merupakan pekerjaan berat, menjadi lebih sulit. Antibiotik
hanya bekerja pada bakteri dan tidak pada virus. Untuk mencegah infeksi virus, Anda harus
menjalankan vaksinasi untuk penyakit seperti (flu) atau (pneumonia).
Berhati-hatilah terhadap efek antibiotik pada kesehatan anda. Penggunaan antibiotik yang
berlebihan dapat menyebabkan resistensi antibiotik. Anda hanya boleh menggunakan antibiotik jika
dibutuhkan.
Jika Anda kesulitan untuk berhenti, Anda dapat menggunakan obat untuk berhenti merokok. Obat-
obatan ini bertujuan untuk menggantikan nikotin dalam batang rokok dengan bahan kimia lain yang
tidak begitu berbahaya bagi tubuh. Pengobatan pengganti nikotin bisa tersedia dalam bentuk permen
karet, patch, dan bahkan inhaler.
Dalam beberapa kasus, antidepresan dapat membantu pasien berhenti merokok, tetapi Anda harus
menanyakan pada dokter tentang efek samping sebelum menggunakannya. Dokter mungkin juga
akan memberikan tips untuk berhenti merokok, seperti mengunyah permen karet, atau
memperkenalkan kelompok rehabilitasi untuk Anda.
Opioid
Opioid, disebut juga obat-obatan narkotik atau anti nyeri. Obat-obatan ini memiliki kegunaan lain
yaitu mengurangi kebutuhan oksigen (atau “lapar udara”) dengan memblokir sinyal dari tubuh ke
otak. Opioid sering diberikan hanya untuk PPOK tingkat lanjut karena bisa jadi adiktif.
Opioid paling sering diberikan dalam bentuk cairan dan diserap melalui selaput di mulut.
Selama menderita PPOK, Anda mungkin perlu menambahkan atau menyingkirkan obat tertentu dari
resep Anda. Anda dan dokter harus berdiskusi obat apa yang terbaik untuk kebutuhan Anda dan
yang paling efektif dalam mengurangi gejala yang menyusahkan dan memperlambat perkembangan
penyakit ini. Dokter dapat memberi tahu Anda lebih lanjut mengenai kombinasi obat-obatan yang
mungkin tepat bagi Anda.
Beberapa kasus PPOK bisa memanfaatkan operasi. Tujuan pengobatan dengan operasi adalah untuk
membantu paru-paru bekerja dengan lebih baik. Secara umum ada tiga jenis operasi:
Bullectomy
Jika mengalami kerusakan, paru-paru bisa meninggalkan kantung udara di area dada. Kantung udara
ini disebut bulla. Prosedur untuk mengangkat kantung udara ini disebut bullectomy. Operasi ini
dapat membuat paru-paru berfungsi dengan lebih baik.
Sesuai namanya, prosedur ini mengurangi ukuran paru-paru dengan mengangkat bagian yang rusak.
Operasi ini mengandung banyak risiko dan tidak selalu efektif. Meskipun begitu, pada beberapa
pasien, operasi ini dapat meningkatkan pernapasan dan kualitas hidup.
Transplantasi paru
Dalam PPOK yang parah, Anda mungkin membutuhkan transplantasi paru untuk dapat bernapas
dan hidup. Operasi ini mengandung banyak risiko. Anda bisa terkena infeksi. Tubuh Anda bisa
menolak paru yang baru. Kedua risiko tersebut bisa jadi fatal. Ketika berhasil, operasi ini dapat
meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup.
Meskipun tidak pernah ada jaminan bahwa setiap pengobatan akan efektif, kebanyakan
menunjukkan hasil positif pada pasien. PPOK Anda unik dan memerlukan pengobatannya sendiri.
Diskusikan dengan dokter terlebih dahulu mengenai apa yang terbaik bagi Anda, dan lanjutkan
dengan follow-up untuk membuat perubahan seiring waktu.
DAFTAR PUSTAKA
https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/ppok/pengobatan-penyakit-paru-obstruktif-kronis-
ppok/ : diakses pada tanggal 12 September 2019
Jurnal dari Minidian Fasitasari : Terapi Gizi pada Lanjut Usia dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK)
Jurnal dari IGN Paramartha Wijaya Putra*, I Dewa Made Artika** : Diagnosis Dan Tata
Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Jurnal dari Nia Permatasari, Azizman Saad, Erwin Christianto : Gambaran Status Gizi
Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Yang Menjalani Rawat Jalan Di Rsud
Arifin Achmad Pekanbaru