Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

“PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)”

Oleh kelompok 4 :
Endang Hanisyah

Selvi Rahmayani

Khairannisa

Dosen Pembimbing : Aria Wahyuni, M. Kep,Ns. Sp. Kep. MB

STIKes Fort De Kock Bukittinggi

S1 Ilmu Keperawatan 3B

2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah dengan
judul “penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Fisiologi bu
Aria Wahyuni, M. Kep,Ns. Sp. Kep. MB yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bukittinggi , 12 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah sekelompok penyakt paru yang
mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar paru. Sekelompok penyakit paru
tersebut yaitu bronkhitis kronis, emfisema dan asma bronkhial. Prevalensi PPOK
berdasarkan wacana di Indonesia sebesar 3,7%, prevalensi PPOK lebih tinngi pada laki-
laki (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan Riskesdas (2013) prevalensi PPOK menurut provinsi Indonesia,


prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi
Tengah (8,0%), Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7%. Sedangkan,
menurut karekteristik prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan (3,3%), PPOK lebih tinggi di perdesaan (4,5%) dibanding perkotaan (3,0%),
prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah
(7,9%) dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (7,0%). Kegawatan yang terjadi apabila
klien dengan PPOK tidak tertangani adalah kematian. Beberapa penyakit serius yang
disebabkan oleh PPOK adalah serangan gagal nafas kronis, ateletaksis, pneumonia dan
hipertensi paru.

Berdasarkan data dan uraian di atas maka peran perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan sangat diperlukan. Peran perawat meliputi promotif yaitu dengan
memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dan keluarga tentang untuk tidak
merokok, makan-makanan yang bergizi dan ciptakan lingkungan yang sehat. Preventif
yaitu perawat dapat memberikan pencegahan penyakit dengan menganjurkan klien atau
keluarga untuk berhenti merokok, menjaga gizi dan pola makan, memakai masker jika
bepergian, menjaga lingkungan rumah tetap bersih. Upaya kuratif dengan cara perawat
berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat seperti antibiotik dan bronkodilator.
Rehabilitatif yaitu perawat menganjurkan agar klien segera ke rumah sakit jika sesak
nafas bertambah parah dan berikan imuno terapi bagi klien yang mempunyai riwayat
alergi.

Berdasarkan permasalahan tersebut penulis tertarik untuk mengangkat masalah


Asuhan Keperawatan pada klien dengan PPOK melalui pendekatan proses keperawatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Tinjauan teori tentang PPOK ?
2. Bagaimana patofisiologi pada PPOK?
3. Apa saja upaya farmakologi pada PPOK?
4. Bagaimana Program diet pada pasien PPOK?

C. TUJUAN PENUGASAN
1. Mengetahui tinjauan teori tentang PPOK
2. Mengetahui patofisiologi pada PPOK
3. Mengetahui upaya Farmakologi pada PPOK
4. Mengetahui bagaimana program diet pada pasien PPOK
BAB II

PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TEORI

1. DEFINISI PPOK

Istilah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstruktive Pulmonary
Disease (COPD) adalah penyakit yang ditandai oleh reaksi peradangan abnormal. Tercakup
di dalamnya penyakit seperti bronkitis kronis dan emfisema, dan paling sering karena
merokok. Gejala yang dominan pada PPOK adalah sesak napas yang sering kali dimulai saat
aktivitas. Seing kali terdapat batuk, yang mungkin produktif menghasilkan sputum, dan
mengi. Gejala umum bersifat progresif dengan sesak napas yang semakin berat dan
berkurangnya toleransi olah raga. Terdapat eksaserbasi, seringkali berhubungan dengan
infeksi, dimana terdapat sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi dan produksi sputum.
Biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45 tahun. (Bronkitis kronis = produum
hampiksi sputum hampir setiap hari selama 3 bulan atau 2 tahun berturut-turut). PPOK
memiliki prevalensi lebih dari 2.
Pada sebagian pasien, PPOK bisa menyebabkan kehilangan kekuatan kendali
pernafasan hiperkapnik sehingga mengandalkan stimulasi ventilasi oleh hipoksia dan
meningkatkan bahaya hiperkapnia (retensi karbon dioksida).
Biasanya ada riwayat merokok (jika tidak, diagnosis harus dipertanyakan dan/atau dicari
etiologi lain).

2. EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab utama


kematian pada tahun 1990. Hal ini diproyeksikan menjadi penyebab utama keempat
kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok dan
perubahan demografis di banyak negara.

PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga di Amerika Serikat dan beban
ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007 adalah 426 juta dollar dalam biaya perawatan
kesehatan dan kehilangan produktivitas.

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia.

3. FAKTOR RESIKO

Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Selain itu,


terdapat faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di
lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas
berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1. Di Indonesia defisiensi antitripsin alfa-1
sangat jarang terjadi.

Dalam pencatatan perlu diperhatikan riwayat merokok. Termasuk perokok aktif,


perokok pasif, dan bekas perokok. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),
yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun. Kategori ringan 0-200, sedang 200-600, dan berat >600.

4. ETIOLOGI
 Faktor lingkungan: merokok merupakan penyebab utama , disertai resiko tambahan
akibat polutan udama di tempat kerja atau didalam kota. Sebagian pasien memiliki
asma kronis yang tidak terdiagnosis dan tiga diobati.
 Genetik : defisiensi 1 –antitripsi n merupakan predisposisi untuk berkembangnya
PPOK dini.

5. PATOLOGI
Merokok menyebabkan hiperfitrofi dan meningkatkan produksi mukus bronkial dan
meningkatkan produksi mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis ( batuk
produktif 3bulan/tahun selama  2 tahun) perubahan awal terjadi pada saluran udara yang
kecil. Selain itu, ternyata destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga uadra distal
(emfisema), yang menyebabkan hilangnya elastic recoil , hiperinflasi, terperangkapnya udara
dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi sesak napas. Dengan berkembangnya
penyakit kadar karbondioksida meningkat dan dor mungkongan re pernapaspirasi bergeser
dari CO2 ke hipoksemia, dorongaan pernapasan juga mungkin akan hilang, sehingga memicu
terjadinya gagal napas.

6. TANDA-TANDA KLINIS
Tanda COPD : batuk, produksi sputum berlebihan (pada jenis bronkitis kronik),
dispnea, onstruksi saluran napas yang progresif. Pada pemeriksaan spirometri, FEV/FVC di
bawah predicted, perbaikan pada tes provokasi setelah pemberian bronkodilator 12.

Penyebab : merokok, lapangan kerja berdebu, polusi udara, defisiensi -1-antitripsin

Penyebab obstruksi saluran pernafasan adalah : radang mukosa sluran napas, edema,
bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mukus, dan hilang elastisitas recoil .

7. MENILAI DERAJAT SESAK NAPAS PENDERITA PPOK

Sesak napas pada PPOK DAPAT DIUKUR DERAJATNYA DENGAN :

 Mrc Dyspnea Scale


 Baseline Dyspnea Index
 Trransition Dyspnea Index

B. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENSIS

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

 Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,


terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
 Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
 Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
1. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan terbentuknya sputum
kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala yang
paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Orang dengan PPOK umumnya
menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa
mendapatkan cukup udara ".

Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat
melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama
bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga
dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan
rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk
yang terjadi selama istirahat dan selalu muncul.

Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini


terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam darah
dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu
komplikasi dari PPOK parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung karena
pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah melalui paru-

paru yang terkena dampak.4 Gejala cor pulmonale adalah edema perifer, dilihat sebagai

pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.

2. Uji Faal Paru

Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan diagnosis,

melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting

untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai

tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang

dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC).

Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada

satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced

Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus

dilakukan (FEV1/FVC). Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan


dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes

bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi

terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan

parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau

perjalanan penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan

tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase dari

nilai prediksi normal (Gambar 2).

Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji bronkodilator

juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah dengan memberikan

bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan

nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan

pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK

dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).

Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator juga dapat


menentukan klasifikasi penyakit PPOK. Klasifikasi tersebut adalah:

1. Stage I : Ringan

Pada stage I, hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator

menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 diperkirakan ≥

80% dari nilai prediksi.

Pada stage II, hasil rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1

diantara 50-80% dari nilai prediksi.

3. Stage III : Berat

Pada stage III, dengan rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1

diantara 30-50% dari nilai prediksi


4. Stage IV : Sangat Berat

Pada stage IV, rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari

30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.

3. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien mengalami kesulitan bernafas,

batuk kronis atau terbentuknya sputum dan riwayat terkena faktor resiko penyakit ini.

Spirometri dibutuhkan untuk diagnosis klinis PPOK; adanya postbronchodilator

FEV1/FVC<0.70 mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara dan PPOK.

4. TATALAKSANA

Penghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi riwayat dari


PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk berhenti merokok.

Konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti

merokok, konseling selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti merokok

hingga 5-10%. Terapi penggantian nikotin (permen karet nikotin, inhaler, patch

transdermal, tablet sublingual atau lozenge) dan juga obat dengan varenicline,

bupropion atau

nortriptyline dengan baik meningkatkan penghentian merokok jangka panjang dan

pengobatan ini lebih efektif daripada placebo.1,6

Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari pemerintah dan

membuat program dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan berulang.

Aktivitas fisik sangat berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus didorong untuk

tetap aktif.1
Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan

mengeleminasi atau menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan sekunder

dapat dilakukan dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari atau mengurangi

polusi indoor berupa pembakaran bahan bakar biomass dan pemanasan atau memasak

diruangan yang ventilasinya buruk, sarankan pasien untuk memperhatikan

pengumuman publik tentang tingkat polusi udara. Semua pasien PPOK mendapat

keuntungan yang baik dari aktivitas fisik dan disarankan untuk selalu aktif.1,6

5. Terapi Farmakologis untuk PPOK yang stabil


Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi keparahan

eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan harus spesifik

terhadap setiap pasien, karena gejala dan keparahan dari keterbatasan aliran udara

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya gagal

nafas dan status kesehatan secara umum.1

Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu

disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada Gambar 4, disajikan panduan umum

terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.1

Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, terapi

inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai pencegahan/ mengurangi

gejala yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator inhalasi kerja lama lebih efektif

dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat.1,6,9

Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat

diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian pada

PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis β-2 kerja lama, durasi kerja

sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat

ini dipakai sebagai ganti agonis β-2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan
dosis tinggi atau dipakai dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki

FEV1 dan volume paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan

menurunkan kejadia eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan

besar penurunan faal paru. Agonis β-2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang ada

adalah indacaterol.1,2

Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1<60%,

pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala,

meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan menurunkan frekuensi eksaserbasi.

Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan dengan peningkatan pneumonia. Penghentian tiba-

tiba terapi dengan kortikosteroid inhalasi bisa menyebabkan eksaserbasi di beberapa

pasien. Terpai monoterm jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak

direkomendasikan.

Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja lama lebih

efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam peningkatan

fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai

sangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak

direkomendasikan.

Phosphodiesterase-4 inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan

riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis, phosphodiesterase-4 inhibitor roflumilast ini

mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan kortikosteroid oral.

Pengobatan Farmakologis yang lain

Vaksin Influenza bisa mengurangi penyakit serius dan kematian pada PPOK, virus

inaktif pada vaksin di rekomendasikan dan sebaiknya di berikan sekali setahun. Vaksin

pneumococcal polusaccharide direkomendasikan untuk pasien diatas 65 tahun.


Penggunaan antibiotik tidak direkomendasikan kecuali untuk pengobatan eksaserbasi

infeksius dan infeksi bakteri lainnya.

Pengobatan lain
Pasien dari segala tingkat keparahan akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan

rehabilitasi. Peningkatan kondisi pasien bisa dilihat setelah melakukan program

rehabilitasi pulmonari. Lama waktu minimum yang efektif untuk rehabilitasi adalah 6

minggu, semakin lama program semakin bagus buat pasien.

Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK

derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan

pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada

waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis

oksigen tidak lebih dari 2 liter.

Terapi pembedahan pada PPOK memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan dari

LVRS (Lung Ventilation Reduction Surgery) dari pada terapi medis lainnya adalah

lebih signifikan hasilnya pada pasien dengan empidema pada lobus bawah dan pada

pasien dengan kapasitas aktifitas fisik rendah karena pengobatan. Pada beberapa pasien

dengan PPOK sangat parah, transplatasi paru menunjukkan peningkatan kualitas hidup

yang baik.

Manajemen Eksaserbasi

Eksaserbasi dari PPOK didefinisikan sebagai kejadian akut dengan karakteristik

perburukan gejala respirasi yang biasanya lebih parah dari gejala normal dan biasanya

akan merubah pengobatan.

Menilai keparahan eksaserbasi secara garis besar ada 3 yang perlu dinilai yaitu

pengukuran gas darah arterial, foto torak berguna untuk mengeleminasi diagnosis lain,

dan pada elektrokardiograpi bisa membantu diagnosis masalah jantung pada


eksaserbasi. Tes spirometrik tidak direkomendasikan selama eksaserbasi karena sulit

dilakukan dan pengukurannya bisa tidak akurat.1

Manajemen eksaserbasi pada PPOK diberikan oksigen dengan target saturasi 88-92%.

Beta2-agonist kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik kerja cepat lebih dipilih untuk

pengobatan eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan fungsi paru FEV1

dan menurunkan resiko kekambuhan awal, kegagalan terapi dan lama dirumah sakit.

Dosis sebesar 30-40 mg prednisolone setiap hari selama 10-14 hari direkomendasikan.

Pemberian antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan tiga gejala jantung:

peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, peningkatan purulence dari sputum,

peningkatan purulence dari sputum dan gejala kardinal lain, dan membutuhkan ventilasi

mekanikal.

Terapi tambahan bergantung pada kondisi klinis dari pasien dan keseimbangan

cairan dengan perhatian spesial pada pelaksanaan diuretik, antikoagulan, pengobatan

komorbiditas, dan aspek nutrisional harus diperhatikan.

Dampak malnutrisi terhadap sistem pulmoner

Hubungan antara malnutrisi dan penyakit paru sudah lama diketahui. Malnutrisi mempunyai
pengaruh negatif terhadap struktur, elastisitas, dan fungsi paru; kekuatan dan ketahanan otot
pernafsan; mekanisme pertahanan imunitas paru; dan pengaturan nafas. Sebagai contoh,
defisiensi protein dan zat besi menyebabkan kadar Hb yang rendah, sehingga kemampuan
darah membawa oksigen menurun. Rendahnya kadar mineral yang lain, seperti kalsium,
magnesium, fosfor, dan kalium, menurunkan fungsi otot pada tingkat seluler.
Hipoproteinemia berperan terhadap udem pulmo dengan menurunkan tekanan osmotik,
sehingga cairan tubuh berpindah menuju ruang intersisial. Penurunan kadar surfaktan, suatu
komponen yang disintesis dari protein dan fosfolipid, berperan terhadap kolapsnya alveoli,
sehingga menaikkan kerja pernafasan. Jaringan supporting paru terbentuk dari kolagen, yang
membutuhkan vitamin C untuk sintesisnya. Mukus jalan nafas normal adalah suatu substrat
yang terdiri dari air, glikoprotein, dan elektrolit (Mueller, 2004).

Penurunan berat badan karena asupan diet yang tidak adekuat berkorelasi secara
bermakna dengan buruknya prognosis PPOK. Malnutrisi menyebabkan gangguan imunitas,
sehingga pasien berisiko tinggi terkena infeksi paru. Pasien dengan PPOK yang dirawat di
rumah sakit dan mengalami malnutrisi cenderung untuk mempunyai masa rawat yang lebih
lama dan rentan terhadap kenaikan morbiditas dan mortalitas (Mueller, 2004).
Dampak penyakit paru terhadap status gizi

Penyakit paru (termasuk PPOK) secara substansial meningkatkan kebutuhan energi. Faktor
ini yang menjelaskan alasan untuk melibatkan parameter komposisi tubuh dan berat badan
pada hampir semua penelitian medis, pembedahan, farmakologis dan nutrisional pada pasien
dengan penyakit paru. Komplikasi penyakit paru atau terapinya dapat menyebabkan asupan
dan pencernaan diet yang cukup menjadi sulit, serta menimbulkan masalah pada absorpsi,
sirkulasi, utilisasi seluler, penyimpanan, dan ekskresi. Beberapa efek samping penyakit paru
terhadap status gizi disajikan pada Tabel 1 (Mueller, 2004).
Tabel 1. Efek Samping Penyakit Paru pada Status Gizi (Mueller, 2004)

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Battaglia et al. (2010) terhadap pasien lansia dengan PPOK
stabil yang dirawat jalan (n=460, ♂/♀: 376/84, usia 75 ± 5,9 tahun), menggunakan MNA sebagai
skrining status gizi dan menghitung 3 domain status gizi, yaitu: komposisi tubuh, asupan energi, dan
skor fungsional tubuh. Didapatkan hasil stadium GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease) berhubungan negatif dengan MNA, mobilitas dan persepsi pasien terhadap status
gizi dan kesehatannya sendiri, lingkar lengan, dan lingkar betis. GOLD secara independen
berhubungan dengan komposisi tubuh dan skor fungsional tubuh. Usia berhubungan negatif dengan
nafsu makan, asupan cairan, mobilitas dan kemandirian. Usia secara independen berhubungan
dengan skor fungsi tubuh. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PPOK berat dan penuaan merupakan
kondisi independen dan mungkin bersamaan dengan malnutrisi.

Asesmen dan diagnosis gizi

Asesmen gizi pada pasien lansia merupakan salah satu elemen dari asesmen geriatri. Asesmen
geriatri, seperti dikutip dari Hadi-Martono (2009), didefinisikan sebagai suatu analisis multi-disiplin
yang dilakukan oleh seorang geriatris atau suatu tim interdisipliner geriatri atas seorang penderita
lansia untuk mengetahui kapabilitas medis, fungsional, dan psiko-sosial agar dapat dilakukan
penatalaksanaan. Prosedur asesmen geriatri tersebut meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan tambahan, dan pemeriksaan fungsi, serta asesmen lingkungan.

Kejadian malnutrisi pada PPOK tergantung dari tingkat keparahan penyakit. Malnutrisi sering
terjadi pada pasien dengan PPOK derajat sedang hingga berat. Malnutrisi karena PPOK dapat
memperlemah otot pernafasan, mengakibatkan perubahan ventilasi, kekuatan otot menjadi jelek,
dan gangguan fungsi imun. Asesmen gizi yang lengkap penting untuk mengidentifikasi pasien
dengan risiko gizi. Asesmen sebaiknya meliputi evaluasi pengukuran antropometri, dan riwayat
terkait makanan/nutrisi, pemakaian suplementasi obat atau herbal (jamu), dan aktivitas fisik (Tabel
2). Pengukuran massa tubuh bebas lemak (fat free mass/FFM) merupakan indikator prognostik yang
lebih baik daripada pengukuran kehilangan berat badan atau IMT (Indeks Massa Tubuh) pada
pasien malnutrisi. Berdasar asesmen ini, masalah gizi dapat diidentifikasi dan tujuan terapi gizi
untuk pasien individu dapat ditentukan (Bergman & Hawk, 2010).
Tabel 2. Asesmen Gizi untuk Sistem Pernafasan (Bergman & Hawk, 2010)

Riwayat terkait makanan/nutrisi

Merencanakan perawatan gizi membutuhkan identifikasi penyebab yang mungkin dari


berkurangnya asupan. Asupan oral pasien PPOK seringkali tidak adekuat karena beberapa faktor,
yaitu anoreksia, cepat kenyang, sesak, kembung, dan lemah. Asupan diet rendah, kehilangan berat
badan, dan kakeksia terjadi pada individu dengan PPOK derajat sedang atau berat karena gejala
sesak, lemah, dispepsia, dan cepat kenyang. Persepsi rasa dapat berubah dengan pernafasan mulut
yang lama dan nafsu makan menurun dapat menurun lebih lanjut karena depresi. Sementara itu,
bahkan individu dengan asupan diet yang cukup pun dapat kehilangan berat badan karena kenaikan
REE dan TEE (total energy expenditure) pada pasien PPOK (Bergman & Hawk, 2010).

Beberapa faktor diet, terutama antioksidan, mempengaruhi kesehatan dan berperan kunci
dalam memproteksi PPOK. Penelitian prospektif telah membuktikan bahwa diet kaya buah, sayur,
dan ikan dapat menurunkan insiden PPOK. Sebaliknya, diet kaya karbohidrat sederhana, daging
merah dan olahan, desserts, dan kentang goreng dapat meningkatkan risiko PPOK. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa perokok mempunyai asupan vitamin antioksidan yang rendah,
terutama vitamin C, A, dan E, serta b-karoten. Individu dengan PPOK mengalami kerusakan
oksidatif, baik selama masa eksaserbasi maupun masa stabil. Selama masa eksaserbasi, konsentrasi
vitamin A dan E serum menurun. Meskipun demikian suplementasi vitamin E tidak berhubungan
dengan kenaikan fungsi paru. Demikian juga dengan asam lemak omega-3, tidak memproteksi
terhadap penurunan FEV1 pada pasien PPOK (Bergman & Hawk, 2010).

Fosfat penting untuk sintesis ATP (adenosine triphosphate) dan DPG (2,3-
diphosphogylcerate), dimana keduanya penting untuk fungsi paru. Pada pasien PPOK, penyimpanan
fosfat pada otot pernafasan dan otot perifer menurun. Terapi medikamentosa yang sering digunakan
untuk pasien PPOK, termasuk kortikosteroid, diuretika, dan bronkodilator, berhubungan dengan
hipofosfatemia dan berkontribusi pada penurunan simpanan fosfat. Kadar fosfat serum perlu
dimonitor ketat pada pasien dengan penyakit paru atau gagal nafas untuk memastikan kadar yang
cukup (Bergman & Hawk, 2010).

Osteoporosis, yang dapat mengakibatkan patah tulang, telah terbukti menjadi masalah yang
signifikan pada pasien PPOK lanjut. Beberapa faktor risiko terkait patofisiologi osteoporosis
terdapat pada pasien PPOK, antara lain merokok, supresi kadar estrogen atau testosteron, defisiensi
vitamin D, IMT rendah, FFM rendah, dan penurunan mobilitas. Berat badan berkaitan erat dengan
densitas mineral tulang (bone mineral density/BMD). Kehilangan berat badan dan malnutrisi sering
terlibat dalam patogenesis IMT rendah pada pasien PPOK. Kadar 25-hidroksivitamin D serum yang
rendah juga tercatat pada pasien PPOK, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D karena asupan
yang rendah dan berkurangnya paparan sinar matahari berperan dalam penyakit tulang. Asupan
kalsium dan vitamin D sebaiknya dievaluasi, terutama pada pasien dengan asupan yang kurang.
Menurut rekomendasi terkini, asupan kalsium sebaiknya 1200-1500 mg/hari dan vitamin D minimal
400 IU (Bergman & Hawk, 2010).

Diagnosis gizi

Seperti halnya pada pasien penyakit lain, deskripsi diagnosis gizi meliputi bagaimana status
gizinya, status metaboliknya, status gastrointestinal, status asam/basa, serta status cairan dan
elektrolit (PDGKI, 2008). Diagnosis gizi yang umum terjadi pada PPOK antara lain asupan energi
yang tidak adekuat, asupan makanan/minuman oral yang tidak adekuat, asupan cairan yang tidak
adekuat, asupan protein-energi yang tidak adekuat, dan kesulitan makan sendiri, sehingga status gizi
dapat menurun (Mueller, 2004). Contoh penulisan diagnosis gizi pada pasien PPOK disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 3. Contoh diagnosis gizi pada pasien PPOK (Sumber: PDGKI, 2008)

PEMBAHASAN

Intervensi gizi pada pasien PPOK ditujukan untuk mengendalikan anoreksia, memperbaiki
fungsi paru, dan mengendalikan penurunan berat badan (PDGKI, 2008). Berikut akan diuraikan
tentang kebutuhan energi, makro dan mikronutrien, serta cairan pada pasien lansia dengan PPOK.
Apabila asupan diet peroral tidak optimal, maka perlu dipertimbangkan pemberian dukungan gizi
berupa nutrisi enteral dan/ atau parenteral.

Kebutuhan energi dan makronutrien

Pada Tabel 3 tercantum faktor-faktor yang dapat membuat pemenuhan kebutuhan energi
menjadi sulit (Mueller, 2004). Otot pernafasan pasien PPOK membutuhkan kekuatan yang lebih
besar untuk mengembangkan dada. Meskipun hal ini meningkatkan energi yang dikeluarkan untuk
bernafas, dan sering disebut sebagai faktor utama dalam meningkatkan REE, namun bukan
merupakan satu-satunya penyebab hipermetabolisme. Kenaikan inflamasi sistemik juga disebut
sebagai penyebab hipermetabolisme dengan kenaikan TNF-a (tumor necrosis factor). Selain itu,
efek termogenesis dari obat, termasuk bronkodilator, juga mempunyai peran. Memelihara
keseimbangan energi optimal pada pasien PPOK penting untuk mempertahankan berat badan, FFM,
dan kesehatan tubuh secara umum. Prevalensi IMT <20 kg/m2 terjadi pada 30% pasien PPOK.
Fungsi otot pernafasan sangat dipengaruhi oleh penurunan status gizi dan sangat terkait dengan
berat badan dan massa tubuh bebas-lemak (Bergman & Hawk, 2010).

Penting untuk diingat bahwa keseimbangan energi dan keseimbangan nitrogen saling terkait.
Akibatnya, memelihara keseimbangan energi yang optimal penting untuk mempertahankan protein
visceral (albumin, transferin, protein pengikat-retinol, dan immunoglobulin) dan massa protein
somatik (jaringan dan otot pulmoner). Pada pasien PPOK, kebutuhan terhadap air, protein, lemak,
dan karbohidrat ditentukan oleh penyakit paru yang mendasari, terapi oksigen, obat-obatan, berat
badan, dan flutuasi cairan akut (Mueller, 2004).

Pasien PPOK penting untuk mendapatkan energi dan protein yang cukup untuk
mempertahankan berat badan, FFM, dan status gizi yang cukup. Asupan energi 125-156% (rata-rata
140%) diatas basal energy expenditure (pengeluaran energi basal) dan asupan protein 1,2-1,7
g/kgBB (rata-rata 1,2 g/kg) cukup untuk mencegah kehilangan protein pada pasien eksaserbasi
PPOK yang dirawat di rumah sakit. Pasien malnutrisi membutuhkan tambahan energi dan protein
untuk replesi. Karena estimasi REE menggunakan formula Harris-Benedict sering menghasilkan
angka REE yang lebih kecil 10-15% pada pasien PPOK, maka metode terbaik adalah dengan
kalorimetri indirek. Apabila kalorimetri indirek tidak tersedia, pemberian 25-30 kkal/kg BB
nampaknya sesuai, dengan protein sekitar 20% dari kalori total (1,2-1,7 g/kgBB), tergantung dari
kebutuhan individu dan dengan perhatian khusus pada derajat inflamasi dan aktivitas (Bergman &
Hawk, 2010). Sumber lain menyebutkan bahwa apabila perhitungan energi digunakan sebagai
prediktor, kenaikan untuk stress fisiologik harus disertakan. Kebutuhan kalori bervariasi antara
94%-146% dari prediksi telah diteliti (Mueller, 2004).
Pada pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit, tertama pada pasien dengan fungsi paru yang
menurun, mungkin diperlukan dukungan ventilator menggunakan ventilasi mekanik. Pada pasien
ini, overfeeding merupakan perhatian utama karena berhubungan dengan kenaikan produksi CO2,
yang dapat lebih lanjut memperburuk ventilasi. Meskipun glukosa dan protein telah terbukti
menstimulasi ventilasi, kelebihan pemberian glukosa (0,5 mg/kg/menit) meningkatkan produksi
CO2 dan membuatnya sulit untuk lepas dari ventilasi mekanik. Meskipun demikian, ketika kalori
total diberikan dalam jumlah yang sedang (sekitar 30% diatas kebutuhan basal), komposisi
makronutien dari makanan mempunyai pengaruh kecil terhadap produksi CO2. Produksi CO2 yang
berlebih terjadi ketika pasien overfed (>1,5 REE) (Bergman & Hawk, 2010).
Keseimbangan rasio protein (15%-20% dari kalori) dengan lemak (30%-45% dari kalori) dan
karbohidrat (40% -55% dari kalori) penting untuk menjaga Respiratory Quotient (RQ) yang cukup
dari utilisasi substrat. Replesi, bukan overfeeding, adalah prinsip penting dari rumatan nutrisi.
Penyakit lain dapat terjadi bersamaan, seperti penyakit ginjal atau kardiovaskular, kanker, atau
diabetes mellitus. Kondisi tersebut mempengaruhi jumlah total, rasio, dan jenis protein, lemak, dan
karbohidrat yang diberikan (Mueller, 2004).

Kebutuhan vitamin dan mineral


Sebagaimana makronutrien, kebutuhan vitamin dan mineral pasien PPOK stabil tergantung
patofisiologi penyakit paru yang mendasari, penyakit lain yang terjadi bersamaan, terapi medis,
status gizi, dan BMD. Untuk perokok, tambahan vitamin C mungkin diperlukan. Penelitian
menunjukkan bahwa orang merokok 1 bungkus sehari membutuhkan lebih vitamin C 16 mg sehari,
sedangkan yang merokok 2 bungkus memerlukan 32 mg sebagai pengganti (Mueller, 2004).

Peran mineral, seperti magnesium dan kalsium, pada kontraksi otot dan relaksasi mungkin
penting untuk pasien PPOK. Asupan setara dengan DRI (Dietary Reference Intakes) sebaiknya
diberikan. DRI magnesium untuk usia >30 tahun (termasuk juga lansia) sebesar 420 mg/hari untuk
laki-laki dan 320 mg/hari untuk perempuan. DRI kalsium untuk usia >50 tahun sebesar 1200
mg/hari untuk laki-laki dan perempuan. Pasien yang menerima dukungan nutrisi progresif sebaiknya
dimonitor kadar magnesium dan fosfat secara rutin, karena peranannya sebagai kofaktor
pembentukan ATP. Penurunan BMD dapat terjadi pada pasien PPOK, sehingga nutrisi dan latihan
fisik terkait osteoporosis sebaiknya diberikan. Tergantung hasil BMD, juga riwayat asupan diet dan
penggunaan kortikosteroid, tambahan vitamin D dan K juga mungkin diperlukan (Mueller, 2004).

Beberapa pasien dengan cor pulmonale dan retensi cairan membutuhkan restriksi natrium dan
cairan. Tergantung pada diuretika yang diberikan, peningkatan asupan kalium mungkin dibutuhkan
(Mueller, 2004).

Kebutuhan cairan

Status hidrasi merupakan komponen yang penting pada asesmen awal dan lanjutan pada
semua usia. Kebutuhan cairan dipengaruhi oleh banyak variasi pada aktivitas fisik, IWL (insensible
water loss), obat-obatan, dan urin. Secara umum, kebutuhan cairan sekitar 30-35 ml/kgBB aktual,
dengan minimum 1500 ml/hari atau 1-1,5 ml/kkal yang dikonsumsi (Harris, 2004). Sedangkan
PDGKI (2008) menyebutkan kebutuhan cairan pada dewasa sekitar 25-40 ml/kgBB/ hari. Dengan
bertambahnya usia, jumlah cairan total menurun. Pada lansia sekitar 50% dari berat badan atau
menurun 10% dibandingkan pada dewasa muda. Penurunan ini berhubungan dengan penurunan lean
body mass. Menurunnya rasa haus dan asupan cairan, keterbatasan akses terhadap air, gangguan
fungsi ginjal, dan inkontinensia urin, semuanya meningkatkan risiko terhadap dehidrasi. Dehidrasi
lebih sering tidak diketahui. Tanda dehidrasi antara lain gangguan keseimbangan elektrolit,
konstipasi, nyeri kepala, haus, hilangnya elastisitas kulit, berat badan menurun, gangguan status
kognitif, perubahan jumlah dan warna urin (Harris, 2004).
Strategi pemberian makanan dan/atau zat gizi
Formula enteral komersial yang khusus dirancang untuk pasien dengan penyakit pernafasan
mengandung karbohidrat yang lebih rendah (30%) dan lemak yang lebih tinggi (50%).
Dibandingkan dengan makronutrien lain, dan lemak pada khususnya, karbohidrat menghasilkan
CO2 terbesar. Uji klinis terkontrol menggunakan formula ini telah membuktikan penurunan
produksi CO2 ketika dibandingkan dengan formula standar dengan kalori yang sama tapi lebih
tinggi kandungan karbohidratnya. Meskipun demikian, perbaikan keluaran klinis dengan
penggunaan formula ini belum konsisten. Satu dampak negatif yang berpotensi terjadi karena diet
tinggi lemak adalah melambatnya pengosongan lambung, yang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan perut (abdominal discomfort), kembung, atau cepat kenyang (Mueller, 2004).

Penelitian menunjukkan bahwa pasien PPOK yang menerima konseling diet dan saran terkait
fortifikasi makanan, mengonsumsi lebih banyak energi dan protein, dan mempunyai berat badan
lebih baik daripada mereka yang tidak menerima edukasi gizi. Menyarankan pasien untuk
beristirahat sebelum makan untuk mencegah kelelahan, dapat membantu. Makan dengan porsi kecil
dan sering dapat membantu mengurangi rasa kenyang dan kembung. Penggunaan suplementasi
nutrisi untuk menyediakan kalori dan protein menunjukkan hasil yang berbeda, sehingga dikatakan
suplementasi nutrisi saja tidak cukup untuk meningkatkan status gizi (Bergman & Hawk, 2010).

Pada banyak pasien, penggunaan ekspektoran di luar waktu makan, menggunakan oksigen
ketika waktu makan, makan perlahan, mengunyah makanan dengan baik, dan berinteraksi sosial,
semuanya dapat meningkatkan asupan makanan, metabolisme zat gizi, dan pengalaman yang
menyenangkan. Untuk mencegah aspirasi, perhatian khusus harus diberikan pada saat pergantian
antara bernafas dan menelan makanan, juga posisi duduk yang sesuai selama makan. Pasien dengan
keterbatasan fisik dapat dibantu dalam hal belanja makanan dan penyiapan masakan. Dukungan
masyarakat, seperti pengiriman makanan (misal Meals on Wheels program) dapat membantu
(Mueller, 2004).

Dukungan nutrisi enteral dan parenteral

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, PPOK mempunyai pengaruh terhadap status gizi dan
metabolisme energi. Antara 25%-40% pasien PPOK lanjut mengalamai malnutrisi. Sebaliknya,
kehilangan berat badan dan FFM yang rendah merupakan faktor independen yang berhubungan
dengan buruknya prognosis pasien. Pada pasien dengan asupan oral yang tidak adekuat, dapat
dipertimbangkan pemberian dukungan nutrisi berupa enteral nutrisi (EN) dan/atau parenteral nutrisi
(PN). Menurut ESPEN (European Society for Parenteral and Enteral Nutrition), evidens tentang
keuntungan pemberian EN dan/atau PN pada pasien PPOK masih terbatas, meskipun demikian
kombinasi dengan latihan fisik dan farmakoterapi anabolik berpotensi untuk meningkatkan status
gizi (Anker et al., 2006; Anker et al., 2009). Dibandingkan PN, pemberian EN lebih
direkomendasikan, dengan alasan tidak didapatkan evidens terkait gangguan funsi pencernaan pada
pasien PPOK. Selain itu pemberian EN lebih murah, serta lebih sedikit dan lebih ringan dalam
menimbulkan komplikasi dibandingkan pemberian PN (Anker et al., 2009). Meskipun penurunan
berat badan berkorelasi dengan kenaikan morbiditas dan mortalitas, namun, karena keterbatasan
penelitian terkait efek dari EN atau PN, maka tidak memungkinkan untuk menyusun rekomendasi
yang jelas (Anker et al., 2006; Anker et al., 2009) dan tidak dapat dikatakan jika prognosis
dipengaruhi oleh pemberian PN (Anker et al, 2009). Untuk jenis formula yang diberikan, ESPEN
berpendapat bahwa pada pasien dengan PcxPOK stabil, tidak ada keuntungan tambahan dari
suplementasi nutrisi oral (oral nutritional supplement/ONS) berupa rendah karbohidrat-tinggi
lemak dibandingkan ONS standar atau tinggi protein atau tinggi energi. Pemberian ONS dengan
porsi kecil lebih disukai untuk menghindari sesak nafas setelah makan dan untuk memperbaiki
kepatuhan pasien (Anker et al., 2006). Ringkasan pernyataan ESPEN untuk pemberian EN dan PN
pada pasien PPOK dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Ringkasan Pernyataan ESPEN untuk Enteral Nutrisi pada PPOK (Anker et al.,
2006)

Tabel 5. Ringkasan Pernyataan ESPEN untuk Parenteral Nutrisi pada PPOK (Anker et al.,
2009)
Koordinasi perawatan nutrisi: Latihan fisik
Latihan fisik juga diperlukan pasien PPOK. Dukungan nutrisi dikombinasi dengan latihan fisik
sebagai bagian dari program rehabilitasi telah menunjukkan dampak yang baik pada peningkatan
berat badan, massa bebas-lemak, dan kekuatan otot pernafasan pada pasien PPOK stabil. Jenis
latihan fisik disesuaikan dengan derajat PPOK (Bergman & Hawk, 2010)R.

FARMAKOLOGI
Mengobati PPOK dengan perubahan gaya hidup

Dalam kasus PPOK yang ringan, kebanyakan dokter akan menganjurkan perubahan gaya hidup.
Bahkan dengan kondisi yang sedang atau parah, Anda akan masih harus menata kembali gaya hidup
Anda. Perubahan pertama adalah berhenti merokok.

Jika Anda tidak merokok, jangan memulainya. Cobalah untuk menghindari asap rokok dan iritan
lainnya di udara seperti debu, asap pembakaran, dan bahan kimia beracun lainnya. Pastikan udara
yang Anda hirup bersih dan bebas dari pemicu PPOK. Anda dapat mempelajari cara-cara untuk
membuat rumah Anda lebih ramah PPOK.

Perubahan kedua adalah perihal olahraga. Anda pasti akan dianjurkan oleh dokter untuk
menghindari atau membatasi olahraga karena Anda tidak dapat bernapas dengan sangat baik dengan
PPOK. Anda memang harus membatasi jumlah olahraga yang Anda lakukan, tetapi Anda tidak
boleh berhenti berolahraga sepenuhnya. Olahraga dapat memperkuat diafragma (otot di antara paru-
paru dan perut yang membantu Anda bernapas). Konsultasikan pada dokter mengenai aktivitas fisik
yang tepat bagi Anda.

Perubahan ketiga adalah perihal diet. Anda mungkin merasa kesulitan untuk menelan makanan
keras, atau kelelahan bisa membuat makan menjadi sulit. Anda dapat mendapatkan nutrisi dengan
makan dalam porsi lebih kecil dan menggunakan vitamin dan suplemen mineral. Beristirahat
sebelum makan mungkin juga bisa membantu.

Mengobati PPOK dengan terapi

PPOK merusak kemampuan Anda untuk bernapas. Terapi oksigen dapat membuat napas Anda
menjadi lebih mudah dan memasok cukup oksigen bagi paru-paru. Anda bisa mempelajari lebih
lanjut mengenai terapi oksigen di sini.

Terapi oksigen dapat membantu Anda:

 mengurangi gejala PPOK


 memasok oksigen bagi darah dan organ lainnya
 memudahkan untuk tidur
 mencegah gejala dan memperpanjang masa hidup

Mengobati PPOK dengan rehabilitasi paru

Rehabilitasi paru (rehabilitasi pernapasan) adalah program khusus bagi para penderita penyakit
paru. Anda bisa mempelajari cara untuk mengendalikan pernapasan melalui olahraga, nutrisi dan
pikiran positif.
Mengobati PPOK dengan obat-obatan

Berbagai jenis obat-obatan bisa digunakan untuk mengobati gejala PPOK.

Bronkodilator

Bronkodilator adalah obat untuk membuka saluran bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru dari
jalan napas). Inhaler atau nebulizer dapat digunakan dengan obat ini. Jika Anda tidak tahu cara
untuk menggunakan perangkat ini, berikut panduan cara penggunaan inhaler dan cara penggunaan
nebulizer. Perangkat ini akan menghantarkan obat secara langsung ke paru-paru dan jalan napas.

Berikut dua kelas bronkodilator: β-agonis dan antikolinergik.

 β-agonis bisa berbentuk kerja cepat (misalnya albuterol) atau kerja lambat (misalnya
salmeterol). β-agonis kerja cepat sering disebut sebagai “inhaler penyelamat” karena dapat
digunakan untuk memperbaiki pernapasan dengan cepat saat terjadi flare-up PPOK. β-
agonis kerja lambat, yang digunakan dua kali sehari, merupakan bagian dari terapi
pemeliharaan.
 Obat-obatan antikolinergik, seperti Atrovent, bekerja dengan memblokir bahan kimia
acetylcholine, yang menyebabkan penyempitan saluran napas. Anda dapat menggunakan
obat ini setiap 6 jam.

Kortikosteroid

Kortikosteroid, seperti (prednisone) adalah obat yang terkenal untuk mengurangi peradangan di
paru-paru yang disebabkan oleh infeksi atau iritan seperti asap rokok, suhu udara yang ekstrem, atau
asap yang berbahaya. Kortikosteroid dapat digunakan dalam inhaler, nebulizer, tablet, atau injeksi.

Antibiotik dan vaksin

Antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi PPOK. Terkena infeksi saat menderita PPOK bisa
membuat bernapas, yang awalnya sudah merupakan pekerjaan berat, menjadi lebih sulit. Antibiotik
hanya bekerja pada bakteri dan tidak pada virus. Untuk mencegah infeksi virus, Anda harus
menjalankan vaksinasi untuk penyakit seperti (flu) atau (pneumonia).

Berhati-hatilah terhadap efek antibiotik pada kesehatan anda. Penggunaan antibiotik yang
berlebihan dapat menyebabkan resistensi antibiotik. Anda hanya boleh menggunakan antibiotik jika
dibutuhkan.

Obat yang membantu berhenti merokok

Jika Anda kesulitan untuk berhenti, Anda dapat menggunakan obat untuk berhenti merokok. Obat-
obatan ini bertujuan untuk menggantikan nikotin dalam batang rokok dengan bahan kimia lain yang
tidak begitu berbahaya bagi tubuh. Pengobatan pengganti nikotin bisa tersedia dalam bentuk permen
karet, patch, dan bahkan inhaler.

Dalam beberapa kasus, antidepresan dapat membantu pasien berhenti merokok, tetapi Anda harus
menanyakan pada dokter tentang efek samping sebelum menggunakannya. Dokter mungkin juga
akan memberikan tips untuk berhenti merokok, seperti mengunyah permen karet, atau
memperkenalkan kelompok rehabilitasi untuk Anda.

Anxiolitik (obat anti-kecemasan)


PPOK adalah penyakit kronis. Seiring perkembangannya, Anda bisa
mengalami (kecemasan) atau (depresi) akibat gejalanya. Obat-obatan untuk mengatasi
kecemasan seperti diazepam (valium) dan alprazolam (Xanax) telah terbukti menenangkan pasien
pada stadium akhir dan terminal PPOK, sehingga menghasilkan peningkatan kualitas hidup.

Opioid

Opioid, disebut juga obat-obatan narkotik atau anti nyeri. Obat-obatan ini memiliki kegunaan lain
yaitu mengurangi kebutuhan oksigen (atau “lapar udara”) dengan memblokir sinyal dari tubuh ke
otak. Opioid sering diberikan hanya untuk PPOK tingkat lanjut karena bisa jadi adiktif.

Opioid paling sering diberikan dalam bentuk cairan dan diserap melalui selaput di mulut.

Selama menderita PPOK, Anda mungkin perlu menambahkan atau menyingkirkan obat tertentu dari
resep Anda. Anda dan dokter harus berdiskusi obat apa yang terbaik untuk kebutuhan Anda dan
yang paling efektif dalam mengurangi gejala yang menyusahkan dan memperlambat perkembangan
penyakit ini. Dokter dapat memberi tahu Anda lebih lanjut mengenai kombinasi obat-obatan yang
mungkin tepat bagi Anda.

Mengobati PPOK dengan operasi

Beberapa kasus PPOK bisa memanfaatkan operasi. Tujuan pengobatan dengan operasi adalah untuk
membantu paru-paru bekerja dengan lebih baik. Secara umum ada tiga jenis operasi:

Bullectomy

Jika mengalami kerusakan, paru-paru bisa meninggalkan kantung udara di area dada. Kantung udara
ini disebut bulla. Prosedur untuk mengangkat kantung udara ini disebut bullectomy. Operasi ini
dapat membuat paru-paru berfungsi dengan lebih baik.

Operasi pengurangan volume paru (LVRS)

Sesuai namanya, prosedur ini mengurangi ukuran paru-paru dengan mengangkat bagian yang rusak.
Operasi ini mengandung banyak risiko dan tidak selalu efektif. Meskipun begitu, pada beberapa
pasien, operasi ini dapat meningkatkan pernapasan dan kualitas hidup.

Transplantasi paru

Dalam PPOK yang parah, Anda mungkin membutuhkan transplantasi paru untuk dapat bernapas
dan hidup. Operasi ini mengandung banyak risiko. Anda bisa terkena infeksi. Tubuh Anda bisa
menolak paru yang baru. Kedua risiko tersebut bisa jadi fatal. Ketika berhasil, operasi ini dapat
meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup.

Meskipun tidak pernah ada jaminan bahwa setiap pengobatan akan efektif, kebanyakan
menunjukkan hasil positif pada pasien. PPOK Anda unik dan memerlukan pengobatannya sendiri.
Diskusikan dengan dokter terlebih dahulu mengenai apa yang terbaik bagi Anda, dan lanjutkan
dengan follow-up untuk membuat perubahan seiring waktu.
DAFTAR PUSTAKA

https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/ppok/pengobatan-penyakit-paru-obstruktif-kronis-
ppok/ : diakses pada tanggal 12 September 2019

Jurnal dari Minidian Fasitasari : Terapi Gizi pada Lanjut Usia dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK)
Jurnal dari IGN Paramartha Wijaya Putra*, I Dewa Made Artika** : Diagnosis Dan Tata
Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Jurnal dari Nia Permatasari, Azizman Saad, Erwin Christianto : Gambaran Status Gizi
Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Yang Menjalani Rawat Jalan Di Rsud
Arifin Achmad Pekanbaru

E-Book : Respirologi (patofisiologi PPOK)

E-Book : At a Glance Medicine ( patofisiologi PPOK)

Anda mungkin juga menyukai