Oleh :
SALMA MAULIDIYAH
11151030000022
Pembimbing :
dr. Linda Nurdewati, Sp.P
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat-Nya dapat menyelesasikan makalah presentasi kasus dalam Kepaniteraan
Klinik Pulmonologi Program Studi Profesi Dokter FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di
RSUP Fatmawati. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta seluruh umat islam.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada para pengajar di
KSM Paru RSUP Fatmawati khususnya dr. Linda Nurdewati, Sp.P selaku pembimbing
dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa pemaparan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembaca nya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menjadi salah satu
bahan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, khususnya bagi kami yang sedang
menempuh pendidikan profesi dokter.
Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh
SALMA MAULIDIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau sering disebut juga chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) masih menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien PPOK dengan prevalensi 5,6%. Angka ini
bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah
perokok atau mantan perokok. Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan
meningkat pada kelompok umur > 45 tahun. Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan
fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun.1
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar pasien
merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien) dan
meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari. Walaupun demikian
keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan secara total.2
WHO melaporkan terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta
orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat, pada tahun 2002 PPOK adalah
penyebab utama kematian kelima dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga
kematian diseluruh dunia tahun 2030. Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal
akibat PPOK, jumlah ini sama artinya dengan 5% dari seluruh kematian dunia.3
Melihat besarnya masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para ahli terus berusaha
menyempurnakan pemahaman mengenai tatalaksana kondisi ini untuk dapat menangani dan
mencegah perburukan. Penyempurnaan paradigma mengenai inflamasi, eksaserbasi, serta
dampak sistemik PPOK, terutama yang selalu mengalami perubahan dari tahun ketahun
adalah paradigma mengenai terapi jangka panjang PPOK.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik atau sering disebut juga chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.4 Sedangkan menurut
guidline GOLD terbaru, PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan
hambatan aliran udara disaluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible.5
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.4
2.2 Epidemiologi
PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan
penyakit serebro vasc9ular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $ 24
milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Berdasarkan survey kesehatan
rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki
peringkat ke enam.6
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK
umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi
pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang
rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan
bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat
dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita
dengan proporsi sebesar 90,83%.7
Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan meningkat pada kelompok
umur > 45 tahun. Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur
30-40 tahun.1
2.4 Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai
hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.
Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah
distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat
gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume
ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP).8
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan.5,9
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps.5,9
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan
adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan
perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.9
4,5
2.5. Diagnosis PPOK
2.5.1. Anamnesis4,5
a. Faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya
riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan
apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya
adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600).
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan
pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini
tidak dikeluhkan
4
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti
tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup),
terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada
perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan
fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,
ronki, dan mengi.
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang 4,5
1. Pemeriksaan rutin.
a. Faal paru
• Spirometri
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%),
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk menilai batasan aliran udara
atau obstruksi. Spirometry mengukur volume udara yang dihembuskan secara paksa dari
titik maksimal inspirasi (kapasitas vital paksa atau KVP) dan volume udara yang
dihembuskan selama detik pertama ( Volume ekspirasi paksa dalam detik pertama atau
VEP1) dan rasio keduanya VEP1/KVP. Pengukuran spirometry ini diukur berdasarkan
usia, tinggi, jenis kelamain & ras.
Gambar 1. Perbedaan gambaran spirometry pada orang normal dan pasien dengan obstruksi saluran nafas
berdasarkan GOLD 2018
Meskipun sensitivitasya bagus, pucak aliran ekspirasi tidak bisa diandalkan
sebagai satu-satunya nilai diagnostic karena spesifitasnya lemah. Klasifikasi derajat
keparahan keterbatasan aliran udara pasien PPOK (VEP1 pasca-bronkodilator) Pada
pasien dengan VEP1/KVP <0,70 :
Berbeda dengan GOLD sebelumnya, GOLD revisi tahun 2017 dan 2018
mengelompokkan penderita PPOK stabil menjadi empat kelas berdasarkan pada riwayat
eksaserbasi dan penilaian gejala saja. Kriteria spirometri yang digunakan pada kriteria
terdahulu saat ini tidak dipergunakan lagi dalam pengelompokan karena pada berbagai
penelitian didapatkan bahwa FEV1 berkorelasi lemah dengan keberatan gejala. Selain itu
pada beberapa keadaan seperti keadaan emergensi atau rawat inap, kemampuan menilai
pasien berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi tanpa pemeriksaan spirometry
memberikan peluang pada klinisi untuk memulai terapi dini berdasarkan GOLD kelas
ABCD
Gambar 3. Pengelompokan Pasien PPOK berdasarkan GOLD 2018
Anamnesis:
Gejala Faktor Risiko
• Peningkatan sesak napas • Faktor pejamu
• Peningkatan produksi sputum • Rokok
• Perubahan warna sputum • Pekerjaan
• Batuk kronik • Polusi
indoor/outdoor
Mengancam jiwa
Tidak mengancam jiwa
(gagal napas akut)
1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya
2. PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit
serebro vascular.
3. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan
perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita
4. Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian.
5. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
6. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi
hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600)
7. Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi yaitu batuk dan sesak nafas
8. Dalam GOLD 2018 terjadi perubahan paradigma dalam pengobatan PPOK stabil
dimana LAMA/LABA baik tunggal ataupun kombinasi menjadi pilihan yang lebih
diutamakan menjadi pengobatan awal dalam sebagian besar kelas PPOK. LAMA
tunggal lebih unggul dibandingkan LABA dalam mengurangi risiko eksaserbasi pada
GOLD B. Kombinasi LABA/LAMA lebih dipilih daripada kombinasi LABA/ICS
sebagai terapi awal PPOK pada GOLD kelas C dan D, karena pertimbangan risiko
pneumonia lebih tinggi pada pasien dengan terapi ICS. Terapi kombinasi dengan ICS
diberikan terbatas pada pasien yang masih memiliki gejala setelah pemberian
LABA/LAMA, pasien dengan asma-COPD overlap, atau pasien dengan kadar
eosinofil tinggi ≥ 300 µg. Dengan perawatan dan pemilihan obat yang tepat, tidak
hanya akan terjadi perbaikan pada gejala dan fungsi paru namun juga pada status
kesehatan dan pengurangan risiko eksaserbasi.
9. Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong
(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi
biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan
fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,
ronki, dan mengi
10. Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
DAFTAR PUSTAKA