Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Oleh :
SALMA MAULIDIYAH
11151030000022

Pembimbing :
dr. Linda Nurdewati, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI


RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat-Nya dapat menyelesasikan makalah presentasi kasus dalam Kepaniteraan
Klinik Pulmonologi Program Studi Profesi Dokter FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di
RSUP Fatmawati. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta seluruh umat islam.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada para pengajar di
KSM Paru RSUP Fatmawati khususnya dr. Linda Nurdewati, Sp.P selaku pembimbing
dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa pemaparan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembaca nya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menjadi salah satu
bahan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, khususnya bagi kami yang sedang
menempuh pendidikan profesi dokter.
Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 12 Maret 2019

SALMA MAULIDIYAH
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau sering disebut juga chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) masih menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien PPOK dengan prevalensi 5,6%. Angka ini
bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah
perokok atau mantan perokok. Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan
meningkat pada kelompok umur > 45 tahun. Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan
fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun.1
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar pasien
merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien) dan
meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari. Walaupun demikian
keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan secara total.2
WHO melaporkan terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta
orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat, pada tahun 2002 PPOK adalah
penyebab utama kematian kelima dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga
kematian diseluruh dunia tahun 2030. Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal
akibat PPOK, jumlah ini sama artinya dengan 5% dari seluruh kematian dunia.3
Melihat besarnya masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para ahli terus berusaha
menyempurnakan pemahaman mengenai tatalaksana kondisi ini untuk dapat menangani dan
mencegah perburukan. Penyempurnaan paradigma mengenai inflamasi, eksaserbasi, serta
dampak sistemik PPOK, terutama yang selalu mengalami perubahan dari tahun ketahun
adalah paradigma mengenai terapi jangka panjang PPOK.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik atau sering disebut juga chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.4 Sedangkan menurut
guidline GOLD terbaru, PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan
hambatan aliran udara disaluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible.5
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.4

2.2 Epidemiologi
PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan
penyakit serebro vasc9ular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $ 24
milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Berdasarkan survey kesehatan
rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki
peringkat ke enam.6
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK
umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi
pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang
rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan
bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat
dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita
dengan proporsi sebesar 90,83%.7
Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan meningkat pada kelompok
umur > 45 tahun. Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur
30-40 tahun.1

2.3. Faktor Risiko4


1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia.

2.4 Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai
hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.
Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah
distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat
gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume
ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP).8
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan.5,9
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps.5,9
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan
adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan
perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.9
4,5
2.5. Diagnosis PPOK

Gambar 1. Alur Diagnosis PPOK menurut GOLD 2018

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

2.5.1. Anamnesis4,5
a. Faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya
riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan
apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya
adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600).
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan
pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini
tidak dikeluhkan

4
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti
tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup),
terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada
perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan
fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,
ronki, dan mengi.
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang 4,5
1. Pemeriksaan rutin.
a. Faal paru
• Spirometri
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%),
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk menilai batasan aliran udara
atau obstruksi. Spirometry mengukur volume udara yang dihembuskan secara paksa dari
titik maksimal inspirasi (kapasitas vital paksa atau KVP) dan volume udara yang
dihembuskan selama detik pertama ( Volume ekspirasi paksa dalam detik pertama atau
VEP1) dan rasio keduanya VEP1/KVP. Pengukuran spirometry ini diukur berdasarkan
usia, tinggi, jenis kelamain & ras.

Gambar 1. Perbedaan gambaran spirometry pada orang normal dan pasien dengan obstruksi saluran nafas
berdasarkan GOLD 2018
Meskipun sensitivitasya bagus, pucak aliran ekspirasi tidak bisa diandalkan
sebagai satu-satunya nilai diagnostic karena spesifitasnya lemah. Klasifikasi derajat
keparahan keterbatasan aliran udara pasien PPOK (VEP1 pasca-bronkodilator) Pada
pasien dengan VEP1/KVP <0,70 :

b. Radiologi (Foto toraks)


Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada kelainan, dapat
juga ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar,
corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar.
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan
tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.5.
c. Laboratorium Darah Rutin
2. Pemeriksaan Khusus (tidak rutin)
a. Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d. Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg perhari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP pasca bronkodilator > 20% dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya
tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
e. Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
f. Analisis gas darah Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
g. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
h. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel
kanan.
i. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
2.5.4 Penilaian PPOK5
Tujuan dari assessment pasien PPOK adalah menentukan derajat keparahan penyakit
sehingga mempengaruhi status kesehatan pasien dan berisiko terjadinya kejadian ke
depannya (eksaserbasi, rawat inap, hingga kematian) dalam rangka untuk pemilihan terapi
yang sesuai. Hal ini dapat dinilai melalui beberapa aspek, yaitu:
1. Penilaian Gejala PPOK6
mMRC (modified British Medical Research Council)
mMRC Grade 0 Saya hanya susah bernapas jika
aktivitas berat

mMRC Grade 1 Napas saya menjadi pendek jika naik


tangga dengan bergegas atau berjalan
ke tanjakan

mMRC Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dibanding


teman sebaya karena susah bernapas,
atau saya harus berhenti untuk
mengambil napas ketika berjalan di
tangga

mMRC Grade 3 Setelah berjalan 100 meter atau


beberapa menit di tangga, saya harus
berhenti untuk mengambil napas

mMRC Grade 4 Saya tidak bisa keluar rumah karena


susah bernapas atau tidak bisa
mengganti baju karena susah
bernapas
COPD Assesment Test

Berbeda dengan GOLD sebelumnya, GOLD revisi tahun 2017 dan 2018
mengelompokkan penderita PPOK stabil menjadi empat kelas berdasarkan pada riwayat
eksaserbasi dan penilaian gejala saja. Kriteria spirometri yang digunakan pada kriteria
terdahulu saat ini tidak dipergunakan lagi dalam pengelompokan karena pada berbagai
penelitian didapatkan bahwa FEV1 berkorelasi lemah dengan keberatan gejala. Selain itu
pada beberapa keadaan seperti keadaan emergensi atau rawat inap, kemampuan menilai
pasien berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi tanpa pemeriksaan spirometry
memberikan peluang pada klinisi untuk memulai terapi dini berdasarkan GOLD kelas
ABCD
Gambar 3. Pengelompokan Pasien PPOK berdasarkan GOLD 2018

2. Penilaian Risiko Eksaserbasi


Eksaserbasi pada PPOK diartikan sebagai kejadian akut akibat gejala
pernapasan yang memburuk dibanding biasanya sehingga menyebabkan perubahan tata
laksana. Eksaserbasi dikatakan sering jika terjadi >2x/tahun. Kriteria eksaserbasi PPOK
anatara lain sputum berubah warna, peningkatan produksi sputum, dan sesak yang
memberat. Gejala dapat disertai dengan batuk semakin sering, keterbatasan aktivitas, gagal
napas acute on chronic, hingga penurunan kesadaran.5,10
Eksaserbasi akut dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 gejala kardinal diatas :
1. Eksaserbasi berat : terdapat 3 gejala kardinal
2. Eksaserbasi sedang : terdapat 2 dari 3 gejala kardinal
3. Eksaserbasi ringan : terdapat 1 dari 3 gejala kardinal ditambah salah satu dari kriteria
tambahan, antara lain infeksi saluran napas atas> 5 hari, demam tanpa sebab lainnya,
peningkatan batuk, mengi, peningkatan laju pernapasan atau frekuensi nadi > 20% nilai
dasar.
2.6 Diagnosis Banding5
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru,
namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik

2.7 Tata laksana


2.7.1 Edukasi
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah.
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat – obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu10
2.7.2 Tata Laksana PPOK Stabil
Tujuan utama penatalaksanaan PPOK stabil adalah mengurangi gejala
(menghilangkan gejala, memperbaiki toleransi latihan, memperbaiki kualitas hidup),
mencegah ekserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru.
Penatalaksanaan PPOK stabil secara umum meliputi edukasi, program berhenti merokok,
obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, dan nutrisi.
Kriteria PPOK stabil adalah sebagai berikut :10
o Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
o Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah
menunjukkan pH normal, PCO2 > 60 mmHg, dan PO2< 60 mmHg.
o Dahak tidak berwarna atau jernih
o Aktivitas terbatas tidak disertai sesak
o Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
o Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tata Laksana Farmakologi PPOK Stabil
Kelas pengobatan yang sering digunakan untuk menerapi PPOK stabil adalah golongan
bronkodilator, antiinflamasi, serta obat-obatan penunjang lain.
1. Poin penting penggunaan bronkodilator menurut GOLD 2018.5
- LABA/LAMA lebih dipilih dari SABA/SAMA kecuali pada pasien yang sangat jarang
sesak.
- Pasien dapat memulai terapi dengan monoterapi long acting bronkodilator atau
kombinasi dual long acting bronkodilator.
- Pada pasien dengan sesak persisten, monoterapi sebaiknya dieskalasi menjadi
kombinasi dua terapi
- Bronkodilator inhalasi lebih direkomendasikan daripada bronkodilator oral.
- Terapi jangka panjang dengan teofilin tidak direkomendasikan kecuali terapi
jangka panjang dengan bronkodilator yang lain tidak tersedia

2. Poin penting penggunaan antiinflamasi menurut GOLD 2018.5


o Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi (ICS) pada penderita
PPOK tidak direkomendasikan.
-
o Terapi jangka panjang dengan ICS dipertimbangkan bersamaan dengan LABA
untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi walaupun sudah diberikan terapi adekuat
dengan LABA.
o Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak
direkomendasikan.
o Pada penderita dengan eksaserbasi walaupun telah menggunakan LABA/ICS atau
LABA/LAMA/ICS, penderita bronkitis kronik, dan hambatan jalan napas berat
sampai sangat berat, penambahan PDE-4 inhibitor harus dipertimbangkan.
o Pada perokok/mantan perokok dengan eksaserbasi walaupun terapi adekuat,
pemberian makrolide dapat dipertimbangkan.
o Terapi statin tidak direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi. Antioksidan
dan mukolitik direkomendasikan hanya pada pasien tertentu.

3. Poin penting penggunaan penggunaan obat lainnya menurut GOLD 2018.5


- Pasien dengan defisiensi berat alpha-1-antitripsin dan mengalami emfisema dapat
merupakan kandidat pemberian alpha-1-antitripsin augumentation therapy.
- Pemberian antitusif tidak direkomendasikan pada penderita PPOK. Obat yang
digunakan untuk mengobati hipertensi pulmonal primer tidak direkomendasikan
untuk digunakan pada pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder akibat
PPOK.
Grup A : Semua pasien grup A sebaiknya ditawarkan untuk terapi bronkodilator
sebagai terapi jangka panjang berdasarkan efeknya terhadap sesak napas baik short
acting maupun long acting bronkodilator. Terapi sebaiknya diteruskan jika secara
klinis memberikan manfaat.
Grup B : terapi inisial sebaiknya terdiri dari long acting bronkodilator. Pemilihan
bronkodilator berdasarkan perbaikan gejala pada persepsi pasien. Untuk pasien sesak
persisten dengan monoterapi maka penggunaan kombinasi dua bronkodilator
direkomendasikan. Untuk pasien yang dari awal memang sudah sesak berat terapi
inisial dengan dua bronkodilator dapat dipertimbangkan. Jika dengan dua
bronkodilator tidak memperbaiki gejala maka pertimbangkan step down menjadi
monotorapi, Pasien grup B memiliki komorbiditas yang harus diinvestigasi karena
memiliki pengaruh pada gejala dan prognosis.
Grup C : Inisial terapi pada grup ini terdiri dari single long acting bronkodilator. Pada
perbandingan antara LAMA dan LABA monoterapi didapatkan bahwa LAMA lebih
superior dibanding LABA untuk mencegah eksaserbasi, oleh karena itu
direkomendasikan memulai terapi dengan LAMA pada grup ini. Pasien dengan
eksaserbasi persisten dapat diberikan kombinasi terapi dengan LABA/LAMA atau
LABA/ICS. Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia maka pilihan utama adalah
LABA/LAMA.
Grup D : pada grup D direkomendasikan memulai terapi dengan LABA/LAMA karena
kombinasi LABA/LAMA lebih superior dibandingkan terapi bronkodilator tunggal.
Kombinasi LABA/LAMA lebih superior dari LABA/ICS dalam mencegah eksaserbasi
pada pasien grup D. Pasien Grup D lebih rentan mengalami pneumonia ketika
menerima terapi dengan ICS. Pada beberapa pasien terapi inisial dengan LABA/ICS
adalah pilihan utama yaitu pada pasien yang memiliki gejala asma-COPD overlap.
Jumlah eosinophil darah yang tinggi juga dipertimbangkan sebagai parameter untuk
mendukung penggunaan ICS. Untuk pasien yang tetap eksaserbasi dengan penggunaan
LABA/LAMA maka lakukan eskalasi menggunakan LABA/LAMA/ICS. Jika pasien
yang sudah diterapi dengan LAMA/LABA/ICS tetap mengalami eksaserbasi maka
pertimbangkan penambahan roflumilast (PDE4 Inhibitor) untuk pasien bronkitis
kronik. Tambahkan makrolide pada mantan perokok atau stop ICS karena terbukti tidak
berguna.
Pertimbangan Terapi Antibiotik Pada PPOK Stabil5
Dalam GOLD 2018 disebutkan bahwa pada studi terbaru menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik secara teratur dapat mengurangi tingkat eksaserbasi. Azitromicin (250mg/hari atau 500
mg 3 kali/minggu) atau eritrmicin (500mg 2 kali/minggu) dapat mengurangi resiko eksaserbasi
dalam kurung waktu 1 tahun masa perawatan. Selain itu penggunaan azitrmicin dikaitkan dengan
peningkatan insidensi resistensi bakteri dan membuat gangguan pendengaran. Hasil analisis juga
menunjukkan kurangnya manfaat pengguaan antibiotik pada pasien perokok, dan belum ada data
yang menunjukkan keefektifitan penggunaan antibiotic pada perawatan tahun kedua pasien PPOK
untuk mencegah eksaserbasi.

Rehabilitasi PPOK Stabil10


Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi
adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri
dari 3 komponen yaitu: latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan. Ditujukan untuk
memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan
menghasilkan:
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan meningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
2.7.3 Tata Laksana PPOK Ekserbasi5,10
Penatalaksanaan yang dilakukan yaitu :
- Penilaian awal ( derajat, kesadaran)
- Pemeriksaan penunjang : AGD, darah perifer lengkap, foto thoraks, EKG Pemberian
oksigen
- Bronkodilator :
2 agonis kerja cepat dengan / tanpa antikolinergik kerja cepat -Xantin IV (bolus dan
drip)
- Kortikosteroid sistemik
Pemberian ini akan mempercepat waktu pemulihan; meningkatkan fungsi paru
dan hipoksemia arteri. Dianjurkan pemberian prednisone 30-40 mg selama 10-14 hari.
Diberikan PO untuk eksaserbasi ringan sedang dan IV untuk eksaserbasi berat.
Pemberian kortikosteroid sebaiknya < 2 minggu untuk mencegah efek samping.
- Antibiotik
Antibiotik diindikasikan jika terdapat salah satu gejala kardinal atau pada
pasien dengan ventilasi mekanik. Pemilihan regimen antibiotic tergantung dengan data
prevalensi bakteri setempat. Dianjurkan untuk menggunakan antibiotic spektrum sempit
jika belum memiliki riwayat penggunaan antibiotic sebelumnya (amoksisilli 500 mg
3x/hari PO 3-14 hari atau Doksisiklin 100 mg 2x/hari PO 3-14 hari) atau spectrum luas
jika diketahui terdapat resistensi antibiotic (amoksisilin klavulanat 875 mg 2x/hari atau
500 mg 3x/hari PO 5 hari atau levofloksasin 500 mg 1x/hari PO 5 hari).
2.7.4 Tata Laksana Rumah Sakit 4,10

Anamnesis:
Gejala Faktor Risiko
• Peningkatan sesak napas • Faktor pejamu
• Peningkatan produksi sputum • Rokok
• Perubahan warna sputum • Pekerjaan
• Batuk kronik • Polusi
indoor/outdoor

Nilai berat gejala


(kesadaran, frekuensi napas, • Cek Analisa Gas Darah
Pemeriksaan Fisik) • Foto Toraks

Sambil menunggu hasil pemeriksaan penunjang :


1. Terapi Oksigen
2. Bronkodilator :
• Inhalasi : agonis B2, antikolinergik
• Intravena : metal xantin, bolus & drip
3. Antibiotik
4. Kortikosteroid sistemik

Mengancam jiwa
Tidak mengancam jiwa
(gagal napas akut)

ICU Ruang rawat


2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada
gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh
hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal.
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis,
volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P
pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan.10
BAB III
KESIMPULAN

1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya
2. PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit
serebro vascular.
3. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan
perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita
4. Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian.
5. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
6. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi
hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600)
7. Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi yaitu batuk dan sesak nafas
8. Dalam GOLD 2018 terjadi perubahan paradigma dalam pengobatan PPOK stabil
dimana LAMA/LABA baik tunggal ataupun kombinasi menjadi pilihan yang lebih
diutamakan menjadi pengobatan awal dalam sebagian besar kelas PPOK. LAMA
tunggal lebih unggul dibandingkan LABA dalam mengurangi risiko eksaserbasi pada
GOLD B. Kombinasi LABA/LAMA lebih dipilih daripada kombinasi LABA/ICS
sebagai terapi awal PPOK pada GOLD kelas C dan D, karena pertimbangan risiko
pneumonia lebih tinggi pada pasien dengan terapi ICS. Terapi kombinasi dengan ICS
diberikan terbatas pada pasien yang masih memiliki gejala setelah pemberian
LABA/LAMA, pasien dengan asma-COPD overlap, atau pasien dengan kadar
eosinofil tinggi ≥ 300 µg. Dengan perawatan dan pemilihan obat yang tepat, tidak
hanya akan terjadi perbaikan pada gejala dan fungsi paru namun juga pada status
kesehatan dan pengurangan risiko eksaserbasi.
9. Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong
(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi
biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan
fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,
ronki, dan mengi
10. Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.


Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. LITBANG
DEPKES RI. Jakarta. 2013.
2. Rasional Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan Indonesia
Volume 4, Nomor 2 September 2006 ISSN 1411 – 8742 dan Volume 4, Nomor
3 Desember 2006 ISSN 1411 – 8742v 

3. WHO. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Geneva: WHO Press
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta; 2004.
5. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018. Global
Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. p. 8-12 

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Profil Kesehatan Indonesia
2001. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
7. Setiyanto, H., Yunus, F., Soepandi, P.Z., Wiyono, W.H., Hartono, S., dan
Karuniawati, A., 2008. Pola dan Sensitivitas Kuman PPOK Eksaserbasi Akut
yang Mendapat Pengobatan Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin.
Dalam: Wiyono, W.H. (eds). 2008. Jurnal Respirologi Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Jakarta 28 (3):107-125.
8. Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem
edisi 2. Jakarta: EGC, 410-460.
9. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Edisi IV Jilid III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.

10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2016. PPOK (penyakit Paru Obstruktif
Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press).p. 7-14.

Anda mungkin juga menyukai