Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumonia adalah infeksi atau peradangan akut pada parenkim atau jaringan paru
yang diakibatkan bakteri, virus, jamur atau parasit. Pneumonia dapat menyerang siapa
saja, baik anak, dewasa muda atau orang tua. Pneumonia menyerang manusia dan sekitar
450 juta kasus tiap tahunnya. Pneumonia dibagi menjadi 3 yaitu community acquired
pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas, hospital acquired pneumonia (HAP)
dan ventilator associated pneumonia (VAP).

Pneumonia yang sering terjadi dan bersifat serius adalah pneumonia komunitas,
berkaitan dengan penyebab kematian dan kesakitan terbayak di dunia. Angka kematian
sekitar 1.4 juta pertahunnya secara global (7% penyebab kematian didunia). Angka
kematian terbanyak pada usia anak-anak dan orang tua (> 75 tahun). Angka kejadian
pneumonia lebih sering terjadi negara berkembang dibandingkan negara maju. Di
Indonesia pada tahun 2010, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit dengan proporsi kasus 53.95% untuk laki-laki dan 46.05% untuk perempuan,
dengan crude fatality rate (CFR) 7.6%, paling tinggi bila dibandingkan penyakit lainnya.

Berdasarkan data RISKESDAS 2018 prevalensi pneumonia berdasarkan


diagnosis tenaga kesehatan (nakes) adalah sekitar 2,0% sedangkan pada tahun 2013
adalah 1.8%. Penyebab pneumonia komunitas terbanyak di Indonesia adalah kuman
Gram negatif yaitu Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumanii, Pseudomonas
aeruginosasedangkan penyebab pneumonia komunitas di negara lainnya adalah Gram
positif yaitu Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Haemophilus
influenza dll. (Pers Release PDPI,2018)

1.2 Tujuan Penulisan


Penyusunan referat ini bertujuan untuk mengetahui anatomi paru, mekanisme
pertahanan paru, definisi pneumonia, etiologi pneumonia, klasifikasi pneumonia,
penatalaksanaan pneumonia, diagnosa pneumonia, dan diagnosa banding pneumonia
serta sebagai syarat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu
Penyakit Dalam di RS Tk. II dr. Soepraoen Malang. Selain itu, diharapkan referat ini
dapat memberikan manfaat berupa informasi mengenai kasus pneumonia dan berguna
bagi pembaca lainnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Paru


Paru adalah organ pada sistem respirasi dan berhubungan dengan sistem
peredaran darah (sirkulasi). Berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dengan
karbonmonoksida. Paru merupakan organ yang lunak, seperti sponge, dan elastik.
Berbentuk kerucut atau konus, terletak di dalam thoraks diatas diafragma tepatnya
disamping kanan dan kiri mediastinum, diselubungi oleh membran pleura. Paru satu
dengan paru yang lainnya dipisahkan oleh jantung dan pembuluh darah besar serta
struktur lain di dalam mediastinum. Setiap paru memiliki apeks (bagian atas paru) yang
tumpul di cranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diaphragm di
kaudal. Pembuluh darah paru ,bronkus, saraf, dan pembuluh limfe memasuki tiap paru
pada bagian hilusnya.
Paru kanan dibagi oleh fissure oblique dan fissure horizontalis menjadi tiga lobus: lobus
superior, lobus medius, dan lobus inferior. Lobus superior dengan lobus medius
dipisahkan oleh fissure horizontalis. Lobus medius dengan lobus inferior dipisahkan
dengan fissure oblique. Lobus pada paru kiri adalah lobus superior dan lobus inferior
yang dipisahkan oleh fissure oblique.
Masing masing paru memiliki segmen, jumlah segmen pada paru sesuai dengan jumlah
bronchus segmentalis. Sejalan dengan percabangan bronchus segmentalis menjadi
cabang-cabang yang lebih kecil, segmen paru dibagi lagi menjadi sub segmen (Price SA,
2008).
Gambar 1.1 Anatomi Paru (Tortora, 2012)

2.2 Mekanisme Pertahanan Paru


Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya infeksi
saluran napas. Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah bakteri agar
tidak masuk kedalam paru. Mekanisme pembersihan tersebut adalah:
2.2.1 Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi:
a. Repitelisasi saluran napas
b. Aliran lendir pada permukaan epitel
c. Bakteri alamiah atau ephitelial cell binding site analog
d. Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)
e. Komponen mikroba setempat
f. Sistem transpor mukosilier
g. Reflek bersin dan batuk

Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme pertahanan


melalui barier anatomi dan mekanisme terhadap masuknya mikroorganisme yang
patogen. Silia dan mukus mendorong mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan
atau ditelan. Bila terjadi disfungsi silia seperti pada Sindrome Kartagener's, pemakaian
pipa nasogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran sekret yang
telah terkontaminasi dengan bakteri patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi infeksi
nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia.

2.2.2. Mekanisme pembersihan di respiratory exchange airway, meliputi:


a. Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan
b. Sistem kekebalan humoral lokal (IgG)
c. Makrofag alveolar dan mediator inflamasi
d. Penarikan netrofil

Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru


(saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10 % dari total
protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki resiko untuk terjadi infeksi
saluran napas atas yan berulang. Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran
napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri gram negatif
(P.aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.penumoniae) mempunyai
kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan setiap komponen pertahan
saluran napas atas menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti terjadinya
infeksi saluran napas bawah.

2.2.3 Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik


Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik,
mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk
dari glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi
gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran napas bagian bawah
yang dalam keadaan normal steril. Tindakan pemasangan pipa Nasogastrik, alat
trakeostomi memudahkan masuknya bakteri patogen secara langsung ke saluran
napas bawah. Gangguan fungsi mukosiliar dapat memudahkan masuknya bakteri
patogen ke saluran napas bawah, bahkan infeksi akut oleh M.pneumoniae,
H.Influenzae dan virus dapat merusak gerakan silia.

2.2.4 Mekanisme pembersihan di respiratory gas exchange airway


Bronkiolus dan alveoli mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut:
Cairan yang melapisi alveoli:
a. Surfaktan
Suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen SP-
A,SP-B,SP-C,SP-D yang berfungsi memperkuat fagositosis dan killing
terhadap bakteri oleh makrofag.
b. Aktifiti anti bakteri (non spesifik): FFA, lisozim, iron binding protein.
c. IgG (IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai opsonin).
d. Makrofag Alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan
pertama.
e. Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi GNB, P.
aeruginosa).
f. Mediator biologi
Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a,
produksi dari makrofag alveolar, sitokin, leukotrien (Isselbacher, 2012).
2.3 Definisi Pneumonia
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang
disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi aspirasi bahan toksik, obat-
obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003) Pada pemeriksaan histologis
terdapat pneumonitis atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat
yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu
yang bervariasi (Setiati, 2014).

2.4 2.4.1 Etiologi


Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur, protozoa, namun sebagian besar banyak disebabkan oleh bakteri. Bakteri
penyebab tersering pneumonia adalah Streptococcus pneumonia. Kuman penyebab
pneumonia biasanya berbeda sesuai distribusi usia pasien dan keadaan klinis terjadinya
infeksi. Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV),
parainflueza virus, dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam
pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, Staphylococcus
aureus, Streptococcus grup B, serta kuman atipik klamidia, dan mikoplasma.

Pada orang dewasa bakteri yang sering ditemukan adalah : Clamydia


pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan Streptococcus pneumoniae. Dari
kepustakaan Penyebab pneumonia komunitas terbanyak di Indonesia adalah kuman Gram
negatif yaitu Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa
sedangkan penyebab pneumonia komunitas di negara lainnya adalah Gram positif
yaitu Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Haemophilus influenza yang.
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif,
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. (PDPI, 2003;
PDPI, 2014; pers release PDPI,2018).
2.4.2 Faktor risiko terjadinya pneumonia (pers release PDPI, 2018)
A. Kelompok imunokompeten (daya tahan tubuh menurun):
1. Usia
2. Gaya hidup: alkoholimse, merokok
3. Penyakit dasar: penyakit jantung kronik, penyakit ginjal kronik, penyakit
hati kronik, penyakit paru kronik, penyakit metabolik, penyakit susunan safaf
4. Riwayat penyakit pneumokokus invasif
5. Riwayat penyakit pneumonia
6. Lainnya: apirasi dan obat-obatan

B. Kelompok immunokompromais (daya tahan tubuh normal)


1. Pasien dengan keadaan immunosupresi: pneyakit autoimun yang
mendapatkan steroid atau terapi immunosupresif atau pengobatan biologis
2. Kanker dengan pengobatan imunosupresi
3. Calon transplantasi organ (dengan atau tanpa pengobatan imunosupresi)
4. Status imunokompromais: disfungsi limpa atau asplenia
5. HIV

C. Rekomendasi intervensi gaya hidup untuk mengurangi risiko

1. Berhenti merokok
2. Mengurangi atau berhenti konsumsi alkohol
3. Gizi seimbang dan adekuat
4. Memeriksakan kesehatan gigi secara regular
5. Vaksinasi

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Berdasarkan sifatnya
2.5.1.1 Pnumonia primer
Keradangan paru yang menyerang orang yang tidak mempunyai faktor
resiko tertentu. Kuman penyebab utama Staphylococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, juga virus penyebab infeksi pernafasan seperti:
Influenza, Parainfluenza, RSV. Selain itu juga bakteri pneumonia yang
tidak khas (atipikal), yaitu : Mikoplasma, Chlamydia, dan Legionella.

2.5.1.2 Pneumonia sekunder:


Keradangan paru yang menyerang orang yang memiliki faktor
predisposisi,seperti penyakit paru lainnya, contohnya COPD. Penyakit
menahun seperti diabetes mellitus, HIV, AIDS, dll (Price SA, 2008).

2.5.2 Berdasarkan penyebab


2.5.2.1 Pneumonia bakterial / tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
2.5.2.2 Pneumonia atipikal
disebabkan Mycoplasma pneumoniae, Legionella spp dan Chlamydia
pneumonia. Penyebab lainnya Chlamydia psittasi,Coxiella burntti,virus
Influenza tipe A dan B,Adenovirus,dan Respiratory Syncitial Virus.
1. Gejalanya adalah tanda infeksi saluran nafas yaitu demam, batuk
non produktif,dan gejala sistemik berupa nyeri kepala dan mialgia.
2. Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah tersebar.
3. Gambaran radiologis berupa infiltrate interstitial,jarang terjadi
konsolidasi.
4. Laboratorium menunjukan leukositosis ringan,sediaan hapusan
Gram,biakan sputum atau darah tidak ditemukan bakteri.
5. Laboratorium untuk menemukan bakteri atipik
a. Isolasi biakan sensitifitasnya sangat rendah
b. Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA)
c. Polymerase Chain Reaction (PCR)
d. Uji Serologi
1. Cold agglutinin
2. Uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk
diagnosis M. pneumonia
3. Micro immunofluorescence (MIF),merupakan standar
diagnosis untuk serologi untuk C. pneumonia
4. Antigen dari urine untuk standar pemeriksaan diagnosis
Legionella
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk
pneumonia atipikal. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.
pneumoniae, C. pneumoniae dan Legionella adalah golongan:
a. Makrolid baru : Azitromisin, Klaritromisin, Roksitromisin
b. Flurokuinolon respirasi : Levofloksasin, Moksifloksasin (PDPI, 2014)

Tabel 1.1 Perbedaan klinik pneumonia atipikal dan tipikal (PDPI, 2014).

Tanda dan gejala P. atipikal P.tipikal


Onset Gradual Akut
Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil
Batuk Non produktif Produktif
Sputum Mukoid Purulen
Gejala lain Nyeri kepala, mialgia, sakit Jarang
tenggorokan, suara parau,
nyeri telinga
Gejala di luar paru Sering Lebih jarang
Apusan paru Flora normal atau spesifik Kokus gram (+)
atau (-)
Radiologis Patchy atau normal Konsolidasi lobar
Laboratorium Leukosit normal kadang Lebih tinggi
rendah
Gangguan fungsi hati Sering Jarang

2.5.2.3 Pneumonia virus


Disebabkan oleh virus Influenza (H5N1, H1N1, H7N9, H3N2, dll),
Parainfluenza,Respiratory Synctitial Virus (RSV),dan Middle East Respiratory
Syndrome Corona Virus (MERS CoV), Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS).
Kelainan yang mungkin ditimbulkan adalah sebagai berikut:
a. Demam suhu > 38ᴼC, batuk dan sesak, ditanyakan pula riwayat
bepergian dari negara timur tengah 4 hari sebelum onset.
b. Pemeriksaan fisik sesuai dngan gambaran pneumonia.
c. Pada foto toraks dapat ditemukan infiltrate, konsolidasi sampai
gambaran Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
d. Laboratorium: ditentukan dari pemeriksaan PCR dari swab tenggorok
dan sputum.
Untuk pasien yang terinfeksi virus influenza (H5N1, HN1, H7N9, H3N2)
antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama):
a. Dewasa atau anak > 13 tahun diberikan Oseltamivir 2x75 mg
per hari slama 5 hari.

Tabel 1.2 Dosis Oseltamivir (PDPI, 2014).

Berat badan Dosis


>40 kg 75 mg 2x/hari
>23-40 kg 60 mg 2x/hari
>15-23 kg 45 mg 2x/hari
< 15 kg 30 mg 2x/hari

2.5.2.4 Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama


pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised) (PDPI
2003; PDPI 2014).

2.5.3 Berdasarkan predileksi infeksi


2.5.3.1 Pneumonia lobaris: Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :
pada aspirasi benda asing atau proses keganasan. Terjadi pada seluuh atau
satu bagian besar dari lobus paru. Pada foto thorax PA tampak infiltrate di
parenkim paru yang semiopak, homogeny tipis seperti awan,berbatas
tegas, bagian perifer lebih opak di banding bagian sentral. Konsolidasi
parenkim paru tanpa melibatkan jalan udara mengakibatkan timbulnya air
bronkogam. Tampak pelebaran dining bronkhiolus. Tidak ada volume
loss pada pneumonia tipe ini.

Gambar 1.2 Gambaran radiologis pneumonia lobaris (Radiopedia, 2012).

2.5.3.2 Bronkopneumonia: Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering


pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
Gambaran radiologis pneumonia: mempunyai bentuk difus bilateral
dengan peningkatan corakan bronkhovaskuler dan infiltrat kecil dan
halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering
terlihat pada lobus bawah. Tampak infiltrat peribronkial yang semi opak
dan inhomogen di daerah hilus yang menyebabkan batas jantung
menghilang (silhouette sign). Tampak juga air bronkogram, dapat terjadi
nekrosis dan kavitas pada parenkim paru. Pada keadaan yang lebih lanjut
dimana semakin banyak alveolus yang terlihat maka gambaran opak
terlihat homogen.
Gambar 1.3 Gambaran radiologis bronkopneumonia (Radiopedia, 2012)

2.5.3.3 Pneumonia interstisial: Terutama terjadi pada jaringan penyangga,


yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil. Peradangan dapat ditemukan
pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga
edema jaringan interstitial prebronkial (PDPI, 2003). Pada gambaran radiologis
ditandai dengan pola linear atau retikuler pada parenkim paru. Pada tahap akhir,
dijumpai penebalan jaringan interstitial sebagai densitas noduler yang kecil.
Infiltrat interstitial,ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,
peribronkhial cuffing dan hiperaerasi (PDPI,2003; Palmer, 2010; Rasad, 2008).
Gambar 1.4 Gambaran radiologis pneumonia interstitial (Radiopedia, 2012)

2.5.4 Berdasarkan klinis dan epidemiologis :


2.5.4.1 Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
Pneumonia komuniti adalah peradangan akut pada parenkim paru yang
didapat di masyarakat. Merupakan penyakit yang sering terjadi dan
bersifat serius, berhubungan dengan angka kesakitan dan angka kematian,
khususnya umur lanjut dan pasien dengan komorbid.
Penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif
dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di
Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan
dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat / air
bronchogram, ditambah dengan beberapa gejala dibawah ini :
a. Batuk
b. Perubahan karakteristik sputum atau purulen
c. Suhu tubuh lebih dari 38ᴼC (aksila) atau riwayat demam
d. Nyeri dada
e. Sesak
f. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda tanda konsolidasi,
suara napas bronchial, dan ronki
g. Leukosit lebih dari 10.000 atau kurang dari 4500

Menurut IDSA/ATS (American Thoracic Sociaty) kriteria pneumonia


berat bila dijumpai alah satu atau lebih kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
a. Frekuensi napas > 30/menit
b. Pa02/FiO2 < 250 mmHg
c. Foto toraks menunjukan infiltrate multilobus
d. Kesadaran menurun/disorientasi
e. Uremia (BUN > 20 mg/dl)
f. Leukopenia (leukosit < 4000 sel/mm³)
g. Trombositopenia (trombosit < 100.000 sel/mm³)
h. Hipotermia (suhu < 36ᴼC)
i. Hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif

Kriteria mayor adalah sebagai berikut :


a. Membutuhkan ventilasi mekanik
b. Syok septik yang membutuhkan vasopresor

Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi


rawat inap pneumonia komuniti adalah :
1. Skor PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team) lebih dari
70
2. Bila skor PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team)
kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai
salah satu dari kriteria dibawah ini :
a. Frekuensi napas > 30/menit
b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
e. Tekanan sistolik < 90 mmHg
f. Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA (pdpi)
Pasien dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan tempat
perawatannya (rawat jalan, rawat inap, perawatan di unit intensif /
ICU) ,yaitu : adanya penyakit penyerta kardiopulmonal (PPOK
,payah jantung), adanya faktor perubah yaitu faktor resiko oleh
pneumokokkus resisten, faktor resiko infeksi bakteri gram negatif,
dan adanya faktor resiko Pseudomonas aeruginosa ,terutama pada
pasien perawatan di ICU. Berdasarkan faktor-faktor tersebut 4
kelompok pasien di definisikan sebagai berikut:
1. Kelompok I Rawat jalan yang tidak disertai riwayat
penyakit kardiopulmonal ataupun faktor perubah
2. Kelompok II Rawat jalan yang tidak disertai riwayat
penyakit kardiopulmonal dan atau faktor perubah (faktor
untuk DRSP atau bakteri gram negatif)
3. Kelompok III Rawat inap RS non ICU, yang disertai
riwayat kardiopulmonal dan atau faktor perubah
4. Kelompok IV Rawat di ICU yang disertai resiko P.
aeruginosa, maupun disertai resiko P. aeruginosa (PDPI,
2014).
Tabel 1.3 Alur Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti

Penatalaksanaan pneumonia komuniti sesuai engan ATS/IDSA 2007, perlu


diperhatikan: pasien tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya, dan pasien
dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya.
Dibagi menjadi :
I. Pasien rawat jalan
1. Pengobatan suportif/simptomatik :
A. Istirahat di tempat tidur
B. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
C. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
D. Bila perlu dapat diberikan mukolitik atau ekspektoran
2. Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
A. Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian
antibiotik 3 bulan sebelumnya
a. Golongan ß lactam ditambah ß lactamase atau
b. Makrolid baru (Klaritromisin, azitromisin)
B. Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian
antibiotik 3 bulan sebelumnya
a. Flurokuinolon respirasi (levofloksasin 750mg,
moksifloksasin) atau
b. Golongan ß lactam ditambah anti ß laktamase, atau
c. ß lactam ditambah makrolid
II. Pasien rawat inap di ruang rawat biasa
1. Pengobatan suportif/simptomatik
2. Pemberian terapi oksigen
3. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
4. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
A. Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
a. Flurokuinolon respirasi levofloksasin 750mg, moksifloksasin, atau
b. Golongan ß lactam ditambah makrolid
III. Pasien rawat inap di ruang intensif
1. Pengobatan suportif/simptomatik
A. Pemberian terapi oksigen
B. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
C. Pemberian obat simptomatik antara lain, antipiretik, mukolitik
2. Pengobatan antibiotik diberikan sesegera mungkin
A.Tidak ada faktor resiko pseudomonas :
a. ß lactam (cefotaxim, ceftriaxone, atau ampicilin sulbaktam)
ditambah makrolid baru atau flurokuinolon respirasi intravena (IV)
B. Bila ada faktor resiko infeksi pseudomonas:
a. Antipneumokokal,antipseudomonas ß lactam (piperaculin-
tazobaktam,sefepime,imipenem,atau meropenem) ditambah
levofloksasin 750mg atau ß lactam seperti tersebut diatas
ditambah aminoglikosida dan azitromicin,atau
b. ß lactam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida dan
antipneumokokal flurokuinolon (untuk pasien yang aergi
penisilin,ß lactam diganti dengan aztreonam)
C. Bila curiga disertai infeksi MRSA Tambahkan vankomisin atau
linezolid
3. Bila ada indikasi, pasien dipasang ventilasi mekanis
Jika diagnosis pneumonia telah ditegakkan harus secepatnya
diberikan antibiotika, setelah sebelumnya diambil spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan antibiotik dievaluasi secara
klinis dalam 72 jam pertama
1. Jika didapatkan perbaikan klinis terapi dapat dilanjutkan
2. Jika perburukan maka antibiotik harus diganti sesuai hasil
biakan atau pedoman empiris

Pasien pneumonia yang di rawat melalui IGD pemberian antibiotik


segera diberikan sejak di IGD dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah
sakit (< 4 jam akan menurunkan level kematian) (PDPI,2003; PDPI,
2014).
2.5.4.2 Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/ nosokomial
pneumonia)
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi
setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua
infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated
pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam
setelah pemasangan intubasi endotrakeal. Patogen penyebab
pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi
drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae,
Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR
misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin
Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial
yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.

Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan


pneumonia komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke
saluran napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya mikroba
tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu:
1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu
seperti kasus neurologis dan usia lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang
digunakan pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi
mempunyai risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah
bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian
bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan
inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi
pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari
luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran
napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab
pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus
aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di
saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik
awal yang penting untuk terjadi pneumonia.
Tabel 1.4 Patofisiologi Pneumonia Nosokomial (PDPI, 2003)

Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta),


diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah
sakit
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
A. Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
B. Ditambah 2 diantara kriteria berikut:
a. Suhu tubuh > 38oC
b. Sekret purulen
c. Leukositosis
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS
1. Dirawat di ruang rawat intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 %
untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %
3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau
kafitas dari infiltrat paru
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau
disfungsi organ yaitu :
a. Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
b. Memerlukan vasopresor > 4 jam
c. Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
c. Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis
Terapi pneumonia nosokomial :

Tabel 1.5 Ringkasan Terapi Pneumoni Nosokomial


Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin
sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan
dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang
maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada
pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang
baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons
klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian
antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah
mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.
Tabel 1.5 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor
risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA
2004)

Tabel 1.6 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat
penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR
(mengacu ATS / IDSA 2004)
Tabel 1.7 Dosis antibiotik intravena awal secara empiric untuk HAP dan VAP pada pasien
dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada
ATS/IDSA 2004)

Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi
resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau
3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan
Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 – 21 hari.
2.5.4.3 Pneumonia aspirasi
2.5.4.4 Pneumonia pada penderita Immunocompromised (PDPI, 2003)

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Terapi Sulih (Switch Theraphy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi
biaya pengobatan dan infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral yang
efektifitasnya mampu mengimbangi efektifitas antibiotik IV yang telah
digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama,potensi
sama), switch over (obat berbeda,potensi sama) dan step down (obat sama atau
berbeda,potensi lebih rendah)
a. Contoh terapi sekuensial : levofloksasin,moksifloksasin
b. Contoh switch over : seftasidim IV ke ciprofloksasin oral
c. Contoh step down : amoksisilin,sefuroksim,cefotaxime IV ke cefixime oral

Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari,paling aman 3 hari,kemudian pada


hari ke 4 diganti obat oral dan pasien dapat berobat jalan. Pada pasien yang
dirawat di ruangan pemberian intravena dapat di suih terapi oral setelah 3 hari dan
pasien di ICU dapat diberikan sulih terapi ke oral setelah 7 hari.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komunitas :
a. Hemodinamik stabil
b. Gejala klinis membaik
c. Dapat minum obat oral
d. Fungsi gastrointestinal normal
Kriteria klinis stabil :
a. Suhu < 37,8ᴼC
b. Frekuensi nadi < 100x/menit
c. Frekuensi nafas <24x/menit
d. Tekanan darah sistolik >90 mmHg
e. Saturasi oksigen arteri >90% atau PO₂ > 60mmHg
Pasien harus dipulangkan secepatnya jika klinis stabil,tidak ada lagi masalah
medis dan keadaan lingkungannya aman untuk melanjutkan perawatan di rumah
(PDPI, 2014).

2.7 Diagnosis
2.7.1 Gambaran Klinis
2.7.1.1 Anamnesa
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat sampai > 40ᴼC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang kadang disertai darah, sesak nafas, dan nyeri dada.
2.7.1.2 Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal saat bernafas, pada palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi meredup, pada auskultasi dapat terdengar
suara nafas (bronkvesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronkhi basah halus,
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.

2.7.2 Pemeriksaan penunjang


2.7.2.1 Gambaran radiologis
Foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltral sampai
konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran bronkogenik dan interstitial
serta gambaran kaviti. Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk kearah predileksi infeksinya.
2.7.2.2 Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah lekosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul. Pada hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke
kiri sert terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan etiologinya, diperlukan
pemeriksaan sputum, kultur darah, dan serologi. Kultur darah positif pada 20-
25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukan hipoksemia
dan hipokarbia, dan pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik
(Wibisono, 2010).

2.7.2.3 Pemeriksaan bakteri penyebab dari dahak (pemeriksaan Gram dan kultur
mikroorganisme)
2.8 Diagnosis Banding
2.8.1 Tuberkulosis Paru (TB)
Suatu penyakit infeksi paru yang menular, disebabkan oleh M.tuberculosis. Jalan
masuknya melalui saluran pernafasan. Gejala klinis TB antara lain: Batuk lama
yang produktif, nyeri dada, hemoptisis, dan gejala sistemik yang meliputi demam,
menggigil, keringat malam, lemas, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan (Uyainah, 2014).
2.8.2 Ateletaksis
Pengembangan paru yang tidak sempurna, alveolus pada bagian paru yang
terserang mengalami kolaps. Memberikan gambaran yang mirip dengan
pneumonia tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan jantung, trakea, dan
mediastinum kearah yang sakit karena adanya pengurangan volume interkostal
space menjadi lebih sempit dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru paru
yang terserang sehingga tampak thoraks asimetris
2.8.3 Efusi Pleura
Memberikan gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air
bronchogram. Terdapat penambahan volume pada paru sehingga terjadi
pendorongan jantung, trakea, dan mediastinum. Rongga thoraks akan tampak
membesar. Pada efusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda khas
pada efusi pleura (Wibisono, 2010).

2.9 pencegahan
berdasarkan (Pers Release PDPI,2018) Terdapat tiga jenis vaksin untuk pencengahan
pneumonia yaitu pneumococcal polysaccharide vaccine, inactivated influenza
vaccine dan live attenuated influenzavaccine.

1. Pemberian vaksinasi sebagai usaha pencegahan pada orang usia 50 tahun, berisiko
terjadi komplikasi akibat pneumonia, kontak erat dengan pasien risiko tinggi
pneumonia dan petugas kesehatan, terutama yang bekerja di pelayanan rawat jalan,
rawat inap dan fasilitas kesehatan perawatan kronik sebaiknya rutin mendapatkan
vaksinasi influenza tahunan
2. Vaksin pneumococcal polyscchasaride direkomendasikan untuk orang usia 65 tahun,
usia 2-64 tahun dengan risiko tinggi pneumonia dan perokok. Kelompok risiko tinggi
dimaksud adalah penyakit kardiovaskular kronik, penyakit paru kronik, diabetes
mellitus, alkoholisme, aspkenia, kondisi atau status imunokompromais dan penghuni
panti (fasilitas pelayanan jangka Panjang)

3. Vaksin inactivated influenza direkomendasikan pada usia 50 tahun, orang dengan


penyakit kardiovaskular kronik, penyakit paru kronik (termasuk asma), penyakit
metabolik termasuk DM, gangguan fungsi ginjal, hemoglobulinopati, keadaan atau
status imunokompromias, gangguan fungsi paru termasuk peningkatan risiko aspirasi,
kehamilan, penghuni panti

4. Vaksin live attenuated influenza direkomendasikan untuk orang usia 5-49 tahun dan
tidak diberikan pada kelompok risiko tinggi

5. Pasien pneumonia yang masih merokok harus berhenti merokok

6. Perokok sebaiknya dilakukan vaksinasi baik pneumokokal maupun influenza

7. Memperhatikan pencegahan dan pengendalian infeksi kebersihan pernapasan yaitu:


cuci tangan dengan handrub atau air mengalir setelah kontak dengan pasien influenza,
pasien menggunakan masker (Pers Release PDPI,2018).
BAB III
KESIMPULAN

Pneumonia adalah infeksi atau peradangan akut pada parenkim atau jaringan paru yang
diakibatkan bakteri, virus, jamur atau parasit. Pneumonia dibagi menjadi 3 yaitu community
acquired pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas, hospital acquired pneumonia (HAP)
dan ventilator associated pneumonia (VAP). Pneumonia yang sering terjadi dan bersifat serius
adalah pneumonia komunitas, berkaitan dengan penyebab kematian dan kesakitan terbayak di
dunia. Penyebab pneumonia komunitas terbanyak di Indonesia adalah kuman Gram negatif
yaitu Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosasedangkan
penyebab pneumonia komunitas di negara lainnya adalah Gram positif yaitu Streptococcus
pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Haemophilus influenza dll.

Apabila seseorang dicurigai sebagai pneumonia maka dilakukan wawancara medis atau
anamnesis, pemeriksaan fisis umum dan paru serta pemeriksaan penunjang yaitu foto ronsen
dada, pemeriksaan darah dan pemeriksaan bakteri penyebab dari dahak (pemeriksaan Gram dan
kultur mikroorganisme). Diagnosis pneumonia komunitas adalah berdasarkan foto ronsen dada
dan berdasarkan gejala klinis yaitu batuk, perubahan warna dahak, suhu tubuh 38 C, nyeri dada,
sesak napas. Dari pemeriksaan fisik paru ditemukan tanda konsolidasi atau perubahan bunyi
napas dan dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah ditemukan jumlah sel darah putih
10.000 uL atau < 4.500 uL. Apabila sseorang didiagnosis sebagai pneumonia maka tindak lanjut
berikutnya adalah menentukan apakah pasien dirawat inap atau dapat rawat jalan.

Tatalaksana adekuat meliputi pemberian antibiotik dan tatalaksana non-farmakologis lainnya


seperti nutrisi, resusitasi cairan, pemberian antipiretik bila demam dan lainnya. Pemberian
antibiotik awal adalah bersifat empiris artinya antibiotik diberikan berdasarkan pola kuman
penyebab terbanyak dan tersering. Sebelum antibiotik diberikan specimen dahak harus diambil
untuk ditumbuhkan dan menjadi panduan antibiotik selanjutnya apabila pasien mengalami
perburukan. Pemberian antibiotik empiris berdasarkan riwayat pemakaian antibiotik dalam 3
bulan sebelumnya dan pasien dengan penyakit peserta atau komorbid. Apabila pasien mengalami
pneumonia berat atau perburukan sehingga memerlukan pengawasan lebih ketat atau
memerlukan alat bantu napas maka pasien memerlukan perawatan intensif di RICU atau ICU.
Pada umumnya prognosis baik, tergantung dari faktor pasien, bakteri penyebab dan penggunaan
antibiotik yang tepat serta adekuat. Terdapat tiga jenis vaksin untu pencengahan pneumonia
yaitu pneumococcal polysaccharide vaccine, inactivated influenza vaccine dan live attenuated
influenzavaccine

Anda mungkin juga menyukai