PENDAHULUAN
1
perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara keduanya terdapat
ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. Manifestasi klinik
perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa beragam tergantung lama,
kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan
berlangsung terus menerus atau tidak. Kemungkinan pasien datang dengan:
l). anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung
lama
2). hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau
tanpa gangguan hemodinamik; derajat hipovolemi menentukan tingkat
kegawatan pasien.
Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti
perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.
Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan
resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap
lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang
lebih tinggi. Adapun langkah-langkah praktis pengelolaan perdarahan SCBA
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik;
2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik;
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain
yang diperlukan;
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau "bagian
bawah;
5. Menegakkan diagnosis pasti penyebab pedarahan;
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab
perdarahan, mencegah perdarahan ulang.
Tegaknya diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi
yang diambil.
2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari review ini adalah agar kita khususnya penyusun
dapat lebih memahami tentang tukak gaster , pengelolaan perdarahan saluran
cerna atas, anatomi gaster, patogenesis, klasifikasi, gambaran klinis,
penegakkan diagnosis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tukak Gaster
2.1.1. Definisi
Ulkus Gaster atau Tukak gaster jinak adalah suatu gambaran bulat atau semi
bulat/oval, ukuran > 5 mm kedalaman sub mukosal pada mukosa lambung
akibat terputusnya kontinuitas/ integritas mukosa lambung. Tukak gaster
merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar
tukak ditutupi debris.
2.1.2. Anatomi
Epitel gaster terdiri dari rugae yang mengandung gastric pits atau
lekukan yang berukuran mikroskopis. Setiap rugae bercabang menjadi empat
atau lima kelenjar gaster dari sel-sel epitel khusus. Susunan kelenjar
tergantung letak anatominya. Kelenjar di daerah cardia terdiri < 5 % kelenjar
gaster mengandung mukus dan sel-sel endokrin. Sebagian terbesar kelenjar
gaster (75%) terletak didalam mukosa oksintik mengandung sel-sel leher
mukosa, parietal, chief, endokrin dan sel enterokromafin. Kelenjar pilorik
mengandung mukus dan sel-sel endokrin (termasuk sel-sel gastrin) dan
didapati di daerah antrum. Sel parietal juga dikenal sebagai sel oksintik
biasanya didapati di daerah leher atau isthmus atau kelenjar oksintik. Sel
parietal yang tidak terangsang, mempunyai sitoplasma dan kanalikuli
intraseluler yang berisi mikrovili ukuran pendek sepanjang permukaan atas.
Enzim H⁺, K⁺-ATPase didapati didaerah membran tubulovesikel. Bila sel
dirangsang, membran ini dan membran atas/apikal lainnya diubah menjadi
jaringan padat dari kanalikuli intraseluler apikal yang mengandung mikrovili
ukuran panjang (Tarigan, 2016)
4
.
2.1.4. Etiologi
Menurut Sam LK (1994) ada beberapa faktor etiologi terjadinya tukak
gaster yaitu infeksi Helicobacter pylori, penggunaan NSAID, merokok, dan
kebiasaan makanan.
5
1. Helicobacter pylori
Telah lama diketahui tukak gaster mempunyai hubungan dengan infeksi
kuman Helicobacter pylori (H. pylori). H. pylori merupakan penyebab utama
terjadi tukak gaster. Infeksi kuman H.pylori akut dapat menimbulkan pan
gastritis kronik diikuti atrofi sel mukosa korpus dan kelenjar, metaplasia
intestinal dan hipoasiditas. Proses ini dipengaruhi oleh faktor host, lamanya
infeksi (lokasi, respon inflamasi, genetik), bakteri (virulensi, strukfur, adhesin,
porins, enzim (urease vac A, cag A, dll) dan lingkungan (asam lambung,
OAINS, empedu dan faktor iritan lainnya) dan terbentuklah gastritis kronik
tukak gaster, Mucosal Associated Lymphoid Tissue (MAII) limfoma dan
Kanker Lambung.
Prevalensi infeksi H. pylori dalam ulserasi komplek misalnya
perdarahan dan perforasi, sangat rendah jika dibandingkan penemuan dalam
penyakit ulserasi yang tidak komplek. (Anand et al, 2011). Menurut suatu
penelitian, 70% tukak gaster adalah karena infeksi kuman H. pylori
(Wannmacher, 2011).
2. NSAID
Penggunaan NSAID merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.
Penggunaan obat ini mengganggu peresapan mukosa, menghancurkan mukosa
dan menyebabkan kerusakan mukosa Sebanyak 30% orang dewasa yang
menggunakan NSAID mempunyai GI yang kurang baik. Selain itu adalah
faktor usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari
NSAID, penggunaan NSAID dalam jangka waktu yang lama, penggunaan
disertai antikoagulan dan severe comorbid illness.
Sebuah kajian prospektif jangka panjang mendapati pasien dengan arthritis
yang usia diatas 65 tahun yang secara teratur menggunakan aspirin pada dosis
rendah berisiko terjadi dispepsia apabila berhenti menggunakan NSAID. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan NSAID harus dikurangkan.Walaupun
prevalensi penggunaan NSAID pada anak tidak diketahui, tetapi sudah
menampakkan peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis kronik yang
dirawat dengan NSAID. Laporan menunjukkan terjadi ulserasi pada
6
penggunaan ibuprofen dosis rendah, walau hanya 1 atau 2 dosis (Anand et al,
2011).
Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster,
tetapi penggunaan bersama NSAID mempunyai potensi untuk terjadi tukak
gaster. Risiko perdarahan saluran cerna bagian atas dapat terjadi dengan
penggunaan spironolactone diuretic atau serotonin reuptake inhibitor (Anand et
al,2011).
3. Genetik
Lebih dari 20% pasien mempunyai sejarah keluarga tukak gaster (Anand et
al, 2011).
2.1.5. Patogenesis
Menurut Shay and Sun dalam Balance Theory 1974, Tukak terjadi bila
terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/asam & pepsin dengan
defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG ), bisa faktor agresif meningkat
atau faktor defensif menurun. (Tarigan, 2016).
Tukak gaster terjadi akibat multifaktor yang menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Faktor agresif
tebagi menjadi faktor endogen (HCl, pepsinogen/pepsin) dan faktor agresif
eksogen (obat-obatan, alkohol, infeksi). Faktor defensive meliputi mukus
7
bikarbonat dan prostaglandin. Keadaan dan lingkungan individu juga
memberikan kontribusi dalam terjadinya tukak yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan sekresi asam lambung atau melemahnya barier mukosa. H. pylori
hidup di lapisan dalam mukosa terutama mukosa antrum menyebabkan
kelemahan pada sistem pertahanan mukosa dengan mengurangi ketebalan
lapisan mukosa dengan melepaskan berbagai macam enzim seperti urease,
lipase, protease dan posfolipase dan mengeluarkan berbagai macam sitotoksin
(vacuolating cytotoxin/ Vac A gen) yang dapat menyebabkan vakuolisasi sel-sel
epitel. Urease dapat memecah urea dalam lambung menjadi ammonia yang
toksik terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan
sekresi mukus yang menyebabkan daya tahan mukosa menurun, lalu merusak
lapisan kaya lipid pada apikal sel epitel dan melalui kerusakan sel-sel ini asam
lambung berdifusi balik menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga terjadi
tukak gaster (Tarigan, 2016).
8
tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik (pointing sign) akhirnya difus
bisa menjalar kepunggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah
berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pancreas.
Walaupun demikian rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis tukak
gaster karena dyspepsia nonilkus juga bisa menimbulkan rasa sakit yang sama,
juga tidak dapat digunakan lokasi sakit sebelah kiri atau kanan tengah perut.
Adapun tukak akibat obat OAINS dan tukak pada usia lanjut/manula biasanya
tidak menimbulkan keluhan, hanya diketahui melalui komplikasinya berupa
perdarahan dan perforasi. Muntah kadang timbul pada tukak peptik disebabkan
edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik (obstruksi gastic outlet). Tukak
prepilorik an dudodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui
terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme. (Tarigan, 2016)
9
sedemikian maju dalam bidang diagnostik dan terapi endoskopi maka untuk
diagnostic tukak peptik lebih dianjurkan pemeriksaan endoskopi. Di samping
itu untuk memastikan diagnosa keganasan tukak gaster harus dilakukan
pemeriksaan histopatologi, sitology brushing dengan biopsi melalui endoskopi.
Gambaran endoskopi suatu tukak gaster dapat berupa luka terbuka
dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai lipatan yang teratur
keluar dari pinggiran tukak (Cohen, 2007).
10
Gambar 3. Gambaran endoskopi tukak gaster (Shah et al.,2010)
11
perforasi : dekompresi, pemasangan nasogastrlk tube, aspirasi cairan
lambung terus menerus, pasien dipuasakan, diberi nutrisi parenteral total
dan pemberian antibiotika diikuti tindakan operasi.
3. Stenosis pilorik/Gastric Outlet Obstruction
Insidensi l-2 % dai pasien tukak. Keluhan pasien akibat obstruksi
mekanik berupa cepat kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna,
mual, sakit perut setelah makanipost prandial, berat badan turun.
Kejadian obstruksi bisa temporer akibat peradangan daerah peri pilorik
timbul odema, spasme. Ini akan membaik bila keradangan sembuh.
2.1.9. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah Menghilangkan keluhan/simtom (sakit atau dispepsia),
Menyembuhkan atau memperbaiki kesembuhan tukak, mencegah
kekambuhan/rekurensi tukak, Mencegah komplikasi Walaupun tukak gaster
atau tukak duodeni sedikit berbeda dalam patofisiologi tetapi respon
terhadap terapi sama.
Tukak gaster biasahya ukurannya lebih besar, akibatnya memerlukan waktu
terapi yang lebih lama. Untuk pengobatan tukak gaster sebaiknya dilakukan
biopsi untuk menyingkirkan adanya suatu keganasan/kanker lambung.
Terapi terdiri dari non medikamentosa, medikamentosa, dan tindakan
operasi.
a. Non Medikamentosa
Yang pertama adalah dengan cara Istirahat. Secara umum pasien
tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil atau ada
komplikasi baru dianjurkan rawat inap di rumah sakit. Penyembuhan
akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum
jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam istirahat berkurangnya
refluks empedu, stres dan penggunaan analgetik. Stres dan kecemasan
memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan penyakit tukak.
Walaupun masih ada silang pendapat mengenai hubungan stres dengan
asam lambung, sebaiknya pasien hidup tenang dan menerima stress
12
dengan wajar. Yang selanjutnya adalah diet. Makanan lunak apalagi
bubur saring, makanan yang mengandung susu tidak lebih baik daripada
makanan biasa, karena makanan halus dapat merangsang pengeluaran
asam lambung. cabai, makanan merangsang, makanan mengandung asam
dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien tukak dan dispepsia
non tukak, walaupun belum didapat bukti keterkaitannya. Pasien
kemungkinan mengalami intoleransi terhadap beberapa jenis makanan
tertentu atau makanan tersebut mempengaruhi motilitas gaster. Dalam hal
ini dianjurkan pemberian makanan dalam jumlah yang moderat atau
menghindari makanan tersebut.
Obat-obatan. OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral
(supositoria dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Pemakaian aspirin
dosis kecil untuk pasien kardiovaskular belum menjamin tidak terjadi
kerusakan mukosa lambung. Penggunaan parasetamol atau kodein
sebagai analgetik dapat dipertimbangkan. Garis besar pengobatan tukak
gaster saat ini dengan melakukan eradikasi HP dan
pencegahan/pengobatan OAINS.
b. Medikamentosa
Antasida.
Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Pada
masa lalu sebelum kita kenal adanya ARH2 yg dapat memblokir
pengeluaran asam, antasida adalah obat satu satunya untuk tukak
peptik. Preparat yang mengandung magnesium dapat menyebabkan
BAB/tidak berbentuk/loose, tidak dianjurkan pada gagal ginjal
karena menimbulkan hipermagnesemia dan kehilangan fosfat
sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan neurotoksik tapi
bila kombinasi kedua komponen saling menghilangkan efek
samping sehingga tidak terjadi diare, ataupun konstipasi. Dosis: 3 x
1 tablet,4 x 30 cc (3 kali sehari dan sebelum tidur 3 jam setelah
makan). Efek samping berinteraksi dengan obat digitalis, INH,
13
barbiturat, salisilat dan kinidin. Antasida yang mengandung calcium
carbonat menimbulkan MAS /Milk Alkaline syndrome
(hiperkalsemia, hipefosfatemia, renal calcinosis) dan progresi kearah
gagal ginjal.
Koloid Bismuth
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan
penangkal bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya
terhadap pengaruh asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin
sendiri, merangsang sekresi PG bikarbonat, mukus. Efek samping
jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro toksik. Obat ini
mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta
adanya efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga
kemungkinan relaps berkurang. Dosis : 2 x 2 tablet sehari. Efek
samping tinja berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan
dengan perdarahan.
Sukralfat
Suatu komplek garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti dengan
aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan
melalui pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan
dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan
fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari
pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu sintesa
prostaglandin, kerjasama dengan EGF, menambah sekresi bikarbonat
dan mukus, meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal.
Efek samping konstipasi, tidak dianjurkan pada gagal ginjalkronik.
Dosis :4x 1 gram sehari.
Prostaglandin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah
sekresi mukus, bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa
serta pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi
asam lambung kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya
14
digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien
yang menggunakan OAINS. PGE,/misoprostol yang telah diakui
oleh FDA. Dosis 4 x 200 mg atau x 400 mg pagi dan malam hari.
Efek samping diare, mual, muntah dan menimbulkan kontraksi otot
uterus/ perdarahan sehingga tidak dianjurkan pada perempuan yang
bakal hamil dan yang menginginkan kehamilan.
Antagonis reseptor H2/ARH2
(simetidin, ranitidine, famotidine, Nizatidine), struktur homolog
dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir efek histamin
pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel. yaitu
sekresi nokturnal lebih dominan dalam rangka penyembuhan dan
kekambuhan tukak/sikardian. Dosis terapeutik :
Simetidin : dosis 2 x 400 mg atau 800 gr malam hari
Ranitidin : 300 mg malamhari.
Nizatidine : I x300 mg malam hari
Famotidin : l x40 mg malam hari
Roksatidin : 2 x 75 mg atau 150 mg malam hari
Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam
dalam potensi yang hampir sama, tapi efek samping Simetidin lebih
besar dari Famotidin karena dosis terapeutik lebih besar. Dosis
pemeliharaan: simetidin 400 mg dan ranitidine 150 mg, Nizatidine
150 mg, roks alidini 5 mg malam hari. Efek samping sangat kecil
antara lain agranulositosis, pansitopenia, neutropenia, anemia dan
trombositopenia (0,01 s/d 0,2 %), ginekomastia, konfusi mental
khusus pada usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dijumpai
terutama pemberian simetidin.
15
(Omeprazol, Lansoprazol, Pantoprazol Rabeprazol, Esomesoprazol).
Omeprazol dan Lansoprazol obat terlama digunakan, keasaman labil
dalam bentuk enterik coated granules, dipecah dalam usus dengan
pH 6. Rabeprazole dan Pantoprazole enterik coated tablet, lipofilik
terperangkap kedalam system tubolovesikular dan kanalikuli.
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+- ATPase
yang akan memecah K+H+- ATP menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeluarkan asam HCI dari kanalikuli sel parietal
kedalam lumen lambung. Esomeprazol adalah sangat potensial
karena punya isomir optikal S dan R. Efek penekan sekresi asam PPI
maksimal 2 - 6 jam dam lamanya efek kerja 72 -96 jam. PPI
menggangu absorpsi dari obat ampisilin, ketonazole, besi dan
oksigen. Dosis:
Omeprazole 2 x20 mg / standard dosis atau I x 40 mg I double dosis
Lansoprazole/Parfioprazol 2 x40 m (standard dosis atau I x 60
mg/double dosis.
Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin
darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan
belum terbukti pada manusia. Rabeprazol, Esomesoprazol
pantoprazole sebaiknya jangan dikombinasi dengan penggunaan
walfarin, penitoin dan diazepam. PPI mencegah pengeluaran asam
lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit
pasien tukak, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan
pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen
Regimen Terapi
Terapi Tripel. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama
digunakan adalah: Bismuth, Metronidazol, Tetrasiklin. Regimen
tripel terapi (PPI 2x I , Amoxicilin 2x I 000, Klaritromisin 2x500,
Metonidazol 3x500, Tetrasiklin 4x500) yang banyak digunakan saat
ini:
a. Proton pump inhibitor (PPI) 2xI +Amoksisilin 2 x 1 000 +
16
b. Klaritromisin 2x500 regimen terbaik
c. PPI 2xl + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2 x 500 (bila alergi
penisilin)
d. PPI 2xl + Metronidazol 3x500 + amoksisilin 2 x 1000:
(kombinasi yang termurah)
e. PPI 2xl + Metronidazo l3x500 + Tetrasiklin 4 x 500 (bila
f. alergi terhadap klaritromisin dan penisilin)
17
2.2 Perdarahan Gastrointestinal atau Saluran Cerna Bagian Atas
2.2.1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan
saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinik
dibedakan perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara
keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya.
Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa
beragam tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang,
dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak. Kemungkinan
pasien datang dengan, anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi
yang berlangsung lama, hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa
anemia, dengan atau tanpa gangguan hemodinamik; derajat hipovolemi
menentukan tingkat kegawatan pasien. Penyebab perdarahan SCBA yang
sering dilaporkan adalah pecahnya varises esofagus, gashitis erosif, tukak
peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan keganasan.
Perbedaan di antara laporan-laporan penyebab perdarahan SCBA terletak
pada urutan penyebab tersebut.
2.2.2. Epidemiologi
Upper gastrointestinal tract bleeding (“UGI bleeding”) atau lebih
dikenal perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75
% hingga 80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna.
Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut
saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan
selam 50 tahun terakhir. Tidak berubahnya angka kematian ini kemungkinan
besar berhubungan dengan bertambahnya usia pasien yang menderita
perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya kondisi comorbid.
Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan
saluran cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus. Penyebab lainnya
seperti erosi gastric (15 % - 25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25
% dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 % - 15 % dari kasus). Penggunaan
18
aspirin ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari
keseluruhan kasus perdarahan akut.
Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui.
Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik
menempati urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura
varises gastroesofagei merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%,
gastritis erosif hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15% dan
karena sebab lainnya < 5%. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu
sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60%
sedangkan kematian pada perdarahan non varises sekitar 9-12%. Sebahagian
besar penderita perdarahan SCBA meninggal bukan karena perdarahannya
itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang ada secara bersamaan seperti
penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati kronis,
pneumonia dan sepsis.
Ulkus peptikum yakni ulkus gaster dan duodenum masuk dalam 5
besar penyebab dispepsia. Angka kejadian lebih tinggi pada pria dan usia
lanjut. Hal ini dapat dijelaskan oeh karena berbagai penyebab, mulai dari
perbedaan definisi perdarahan SCBA, karakteristik populasi, prevalensi obat
– obatan penyebab ulkus dan Helicobacter pylori. Mortalitas dikaitkan
dengan usia lanjut dan adanya komorbiditas berat. Mortalitas juga meningkat
dengan perdarahan berulang yang merupakan parameter mayor.
Etiologi perdarahan, lebih sering pada perdarahan variseal dan jarang
pada lesi mukosal kecil seperti robekan Mallory – Weiss. Perdarahan ulkus
peptikum merupakan penyebab tersering perdarahan SCBA berkisar 31 – 67
% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif, perdarahan variceal,
esofagitis, keganasan dan robekan. Di Indonesia 70 % penyebab perdarahan
SCBA adalah karena varises esofagus yang pecah. Namun demikian,
diperkirakan oleh karena semakin meningkatnya pelayanan terhadap
penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi perdarahan oleh karena
ulkus peptikum akan meningkat.
19
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yaitu 9:
1. Duodenal ulcer
3. Varices
4. Gastric ulcer
6. Erosive esophagitis
7. Angioma
8. Arteriovenous malformation
20
Pada gagal hepar seperti sirosis hepatis kronis, kematian sel dalam hepar
mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran
kolateral dalam submukosa esophagus dan rektum serta pada dinding abdomen
anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan
meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang
dan membesar (dilatasi) oleh darah dan timbul varises. Varises bisa pecah,
mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan
kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung dan penurunan
curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan
penurunan perfusi jaringan.
Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan
mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini
merangsang tanda-tanda dan gejala utama yang terlihat. Jika volume darah tidak
digantikan, penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan
berubah menjadi metabolisme anaerob dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran
darah akan mengakibatkan/ memberi efek pada seluruh sistem tubuh dan tanpa
suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.10
Gambar 2. (http://asus10.wordpress.com/hematemesis-melena)
Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis
erosif, tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan
21
pemakaian obat anti inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan
stres. Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.
Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses
penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang
dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik.
Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari
penggunaan NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau
kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama,
penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness. Walaupun prevalensi
penggunaan NSAIDs pada anak tidak diketahui, tetapi sudah tampak adanya
peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan
NSAIDs. Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak
gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan
tukak gaster.11
Gambar 3. (http://physrev.physiology.orgcontentphysrev8841547F2.large.jpg)
22
dapat menyebabkan hematemesis (muntah darah). Laserasi seringkali juga
menyebabkan perdarahan arteri submukosa. Perdarahan muncul ketika luka sobekan
telah melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi
portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan dibandingkan dengan pasien
hipertensi non-portal. Sindrom Mallory-Weiss biasanya sekunder terhadap
peningkatan mendadak tekanan intraabdominal. Faktor pencetus meliputi muntah,
mengedan saat buang air besar, mengangkat beban, batuk, kejang epilepsi, cegukan
di bawah anestesi, dada tertekan, trauma abdomen, preparat kolonoskopi dan
gastroskopi.12
Gambar 4. (http://medicinembbs.blogspot.com/2010_12_01_archive.html)
23
bagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan
dapat juga menjadi sumber lainnya.
Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope,
instabilitas hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari
komorbid seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit
ginjal.
2.2.5. Diagnosis
Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana
dalam melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis
yang sangat cermat dan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang
diutamakan adalah penanganan A - B – C ( Airway – Breathing – Circulation )
terlebih dahulu. Bila pasien dalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah
resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih seksama.7
a. Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis,
riwayat dispepsia,riwayat mengkonsumsi NSAID,obat rematik,alkohol,jamu –
jamuan,obat untuk penyakit jantung,obat stroke. Kemudian ditanya riwayat
penyakit ginjal,riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya.
Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung
kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.
24
b. Pemeriksaan Fisik
Adanya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan perdarahan di tempat
lain, tanda – tanda Langkah awal menentukan beratnya perdarahan dengan
memfokuskan status hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi :
Tekanan darah dan nadi posisi baring
Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin )
Kelayakan nafas
Tingkat kesadaran
Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular
akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda
sebagai berikut:
hipotensi (< 90/60 mm Hg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100/menit
tekanan diastolik ortostatik turun > l0 mm Hg atau sistolik turun > 20 mm
Hg
frekuensi nadi ortostatik meningkat > l5l menit
akral dingin
kesadaran menurun
Anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam).
25
mempunyai nilai prognostik. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat
aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh
menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan
perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya warna feses
maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun
demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan
adanya aspirat yang jernih pada NGT.7
c. Pemeriksaan penunjang
2) Angiography
26
tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun
bawah.7
2.2.6. Penatalaksanaan
1. Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan Saluran Cerna
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
(misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat dengan menggunakan dua
jarum berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous
pressure); tujuannya memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap
stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali
pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk
menentukan darah golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,
leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik pelu ditindaklanjuti dengan
27
melakukan test rumple-leed, pemeriksaan waktu perdarahn, waktu pembekuan,
retraksi bekuan darah, PPT dan aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual tergantung dengan jumlah
darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan
berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah dapa
perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini :
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10
gr% atau hematokrit kurang dari 30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun
2. Non-Endoskopis
a. Kumbah lambung
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah
kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini
diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik,
namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti.
Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan
endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah
perdarahan. Berdasarkan percobaan hewan, kumbah lambung dengan air es
kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang,perfusi
dinding lambung menurun dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
b. Pemberian vitamin K
28
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberiaan tersebut
tidak merugikan dan relatif murah.
c. Vasopressin
29
e. Obat-obatan golongan antisekresi asam
f. Balon tamponade
3. Endoskopis
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau
tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe)
2) Noncontact thermal laser
3) Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,
cyanoacrylate, atau pemakain klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan
ahli endoskopi yang termapil dna berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat
diterapkan pada 90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan sisanya 10% sisanya tidak
30
dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga
pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80%
perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan
arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.
Terapi endoskopi yang relatif murah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah
penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan menggunakan adrenalin 1 :
10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol
absolut (98%) tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan sepert alkohol
absolut atau polidoklonal umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak
atau perforasi akibat nekrosis jaringan dilokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi
endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa
terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%.
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises
esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan
varises esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat
pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi
dilakukan mulai distal mendekati kardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan
pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami
perdarahan seperti bekuan yang melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik, vena
pada vena. Skleroterapi endoskopi sebagai alternative bila ligasi endoskopi sulit
dilakukan karena perdarahan yang massif, terus berlangsung, atau teknik tidak
memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antarla lain campuran sama banyak
polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum
skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati
kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5cm. Pada perdarahan
varises lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises
lambung kurang baik.13
4. Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu pertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan
belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan
pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan
31
penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontra
indikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan
TIPS (Trans Jugular Intrahepatic Porto Systemic Shunt). 13
5. Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan
radiologi dinilai gagal. Ahli bedah sayangnya dilibatkan sejak awal dalam bentuk
tim multi disipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan
waktu yang tepat kapan tindakan bedah baiknya dilakukan. 13
32
2.2.7. Prognosis
Identifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting dalam
pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat secara
langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak
perdarahan yang tepat telah sangat meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari
pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan
sumber perdarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan
evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus perdarahan
saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.
Dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA banyak faktor yang berperan
terhadap hasil pengobatan. Ada beberapa prediktor buruk dari perdarahan SCBA
antara lain, umur diatas 60 tahun, adanya penyakit komorbid lain yang bersamaan,
adanya hipotensi atau syok, adanya koagulopati, onset perdarahan yang cepat,
kebutuhan transfusi lebih dari 6 unit, perdarahan rekurens dari lesi yang sama.
Setelah diobati dan berhenti, perdarahan SCBA dapat berulang lagi atau rekurens.
Secara endoskopik ada beberapa gambaran endoskopik yang dapat memprediksi
akan terjadinya perdarahan ulang antara lain tukak peptik dengan bekuan darah yang
menutupi lesi, adanya visible vessel tak berdarah, perdarahan segar yang masih
berlangsung.
33
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ulkus Gaster atau Tukak gaster jinak adalah suatu gambaran bulat
atau semi bulat/oval, ukuran > 5 mm kedalaman sub mukosal pada mukosa
lambung akibat terputusnya kontinuitas/ integritas mukosa lambung.
Pasien tukak peptic memberikan ciri ciri keluhan seperti nyeri ulu
hati, rasa tidak nyaman discomfort disertai muntah. Pada tukak duodeni rasa
sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa membangunkan pasien
tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat antasida
(Hunger Pain Food Relle/: HPFR).
Tujuan terapi adalah menghilangkan keluhan/simtom (sakit atau
dispepsia), Menyembuhkan atau memperbaiki kesembuhan tukak, mencegah
kekambuhan/rekurensi tukak, Mencegah komplikasi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan
saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinik
dibedakan perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara keduanya
terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. Manifestasi
klinik perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa beragam tergantung
lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan
berlangsung terus menerus atau tidak. Kemungkinan pasien datang dengan,
anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama,
hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa
gangguan hemodinamik; derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan
pasien. Identifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting
dalam pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan
dibuat secara langsung dan kuratif.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Pengarapen, T. Tukak Gaster : dalam PAPDI (Buku Ajar Penyakit Dalam) jilid
I. Jakarta: EGC. 2015: 340-346
2. Akil, H.A.M. Tukak Duodenum dalam PAPDI (Buku Ajar Penyakit Dalam)
jilid I. Jakarta: EGC. 2015:347-350
3. Setyohadi, B. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas: dalam
PAPDI (Buku Ajar Penyakit Dalam) jilid I. Jakarta: EGC. 2015: 289 - 92
4. Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan: dalam
Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta: EGC. 2014: 259 – 62.
5. Guyton, AC dan Hall. 2013. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-12 .
Jakarta: EGC
6. Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical
Aspect. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
7. Price S. Wilson L.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Ed 6. Vol 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam:
Friedman, S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology 2
ed. USA: McGraw-Hill Companies, 53 – 67.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
35