Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian pasien


di seluruh dunia dan penyakit ini memiliki peringkat resiko kematian lebih tinggi
dibandingkan HIV/AIDS. Pada tahun 2015 dilaporkan terdapat 6,1 juta kasus TB, lalu naik
menjadi 6,3 juta kasus pada tahun 2016. Terdapat 476,774 kasus dengan TB HIV-positif
dengan menjalani terapi antiretroviral. Pada tahun 2016 terdapat perkiraan 1,3 juta
kematian dengan TB HIV-negatif. Lalu terdapat 374.000 kasus kematian dengan HIV-
positif. Diperkirakan terdapat 10,4 juta orang jatuh sakit dengan TB pada tahun 2016,
menjadikan beban penyakit tertinggi di 5 negara yaitu India, Indonesia, Cina, Filipina dan
Pakistan.3
Penyakit tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi dapat terjadi pada semua organ namun paling sering
ditemukan pada paru. Organ lain yang dapat terinfeksi antara lain, ginjal, tulang belakang
dan juga dapat mengenai kulit. Jenis tuberkulosis kutaneus yang sering ditemukan
bervariasi antar studi, tergantung pada daerah tempat dilakukan studi. Sedang di Indonesia
jenis yang tersering ditemukan adalah jenis Skrofuloderma (84%) dan tuberkulosis ktis
verukosa (13%). 1
Tuberkulosis kulit adalah suatu manifestasi klinis yang jarang terjadi. Gambaran
klinis tuberculosis kulit tergantung dari sumber infeksi dan keadaan imunitasnya.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan berdasarkan pada manifestasi klinis, analisis
histopatologis, ditemukannya Mycobacterium yang relevan dalam jaringan atau dalam
kultur, serta adanya reaksi inang terhadap antigen M. Tuberculosis. 3
Salah satu manifestasi klinis tuberkulosis kulit adalah Skrofuloderma, ini
merupakan bentuk tuberkulosis kulit yang paling umum di seluruh dunia. Skrofuloderma
terjadi akibat invasi basil tuberkulosis ke dalam kulit dari fokus tuberkulosa yang
berdekatan. Dalam suatu laporan yang terdiri dari 23 pasien dengan skrofuloderma,
skrofuloderma paling sering terjadi pada infeksi kelenjar serviks, epitrochlear, dan
retroauricular. Skrofuloderma paling sering terjadi pada anak-anak dan pada orang dewasa
diawal usia 30 tahun. 5
Terapi lini pertama dari skrofuloderma adalah obat anti tuberculosis.
Penyembuhan spontan dapat terjadi, tetapi perjalanannya sangat lama dan meninggalkan
bekas luka khas (Cord-like scar). 5
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI
Skrofuloderma disebut juga dengan Tuberulosis Colliquativa Cutis. Skrofuloderma
berasal dari bahasa latin yaitu Scrofula yang berarti pembengkakan kelenjar.2
Skrofuloderma merupakan akibat dari invasi basil tuberkulosis ke dalam kulit dari
fokus tuberkulosa yang berdekatan. 4

II.2. EPIDEMIOLOGI

Di Rumah Sakit Dr. Cipto mangunkusumo (RSCM) Skrofuloderma merupakan


bentuk dari manifestasi tuberculosis kutis yang tersering (84%), disusul tuberkulosis kutis
verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. 2
Skrofuloderma sering didapatkan pada anak-anak terutama di negara-negara
berkembang. 1

II.3 ETIOLOGI

Tuberkulosis kutaneus dapat disebabkan oleh M. Tuberculosis, M. Bovis dan dalam


keadaan khusus Basil Calmette-Guerin, sebuah vaksin berasal dari strain M.bovis yang
dilemahkan. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-
0,5/µ, tahan asam, tidak bergerak, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan suhu optimal
pertumbuhannya 37ºC. Pada dinding bakteri mengandung glikolipid rantai panjang yang
kaya dengan asam mikolat dan fosfolipoglikan yang akan melindungi sel mikobakterium
dari serangan lisosomal sel, juga mempertahankan warna dasar merah fuschsin pada
perwarnaan tahan asam. Kuman berkembang biak interselular dan dapat ditemukan dalam
jumlah besar pada jaringan. 1

Infeksi oleh Mikobakterium ini dapat terjadi melalui hirupan, tertelan maupun
inokulasi langsung. Setelah terjadi infeksi oleh Mikobakterium, sel limfosit T akan
berinteraksi dengan antigen Mikobakterium yang disajikan pada permukaan Antigen
Presenting Cell (APC) dan kemudian mengeluarkan limfokin, interleukin dan interferon.
Sitokinin-sitokini akan mengaktivasi dan mengekspresikan atigen MHC kelas II dan IL-2
pada limfosit T. Pada daerah terinfeksi akan terdapat akumulasi makrofag dan

2
menghasilkan pembentukan granuloma. Sel T memori yang terbentuk pada fase sensitasi
awal akan menetap dalam sirkulasi dan organ limfoid dalam waktu lama.1

II.4. PATOFISIOLOGI

Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis tuberkulosis, berupa


pembesaran KGB tanpa tanda–tanda radang akut, selain tumor. Mula–mula hanya
beberapa KGB yang di serang, lalu makin banyak dan sebagian berkonfluensi. Selain
limfadenitis juga terdapat periadenitis yang menyebabkan perlekatan KGB tersebut dengan
jaringan di sekitarnya. Kemudian kelenjar–kelenjar tersebut mengalami perlunakan yang
tidak serentak, mengakibatkan konsistensinya kenyal dan lunak (abses dingin). Abses
dingin akan memecah dan membentuk fistel, kemudian muara fistel meluas hingga
menjadi ulkus, yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya memanjang dan tidak teratur,
disekitarnya berwarna merah kebiru–biruan (livid), dinding bergaung, jaringan
granulasinya tertutup oleh pus seropurulen, jika mengering menjadi krusta berwarna
kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh secara sepontan menjadi sikatriks-sikatriks
yang juga memanjang dan tidak teratur, kadang–kadang sikatriks tersebut terdapat
jembatan kulit (skin bridge), bentuknya seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada
sikatrik tersebut. 2

II.5. GAMBARAN KLINIS

Skrofuloderma paling sering terjadi di daerah parotis, submandibular, dan


supraklavikula dan kemungkinan bisa bilateral. Pertama-tama muncul sebagai nodul
subkutan yang berbatas tegas, biasanya teridentifikasi dengan baik, bisa digerakkan, dan
asimptomatis. Saat lesi membesar, lesi akan melunak. Setelah berbulan-bulan terjadi
pencairan disertai perforasi yang menyebabkan ulkus dan sinus. Ulkus tersusun linier atau
serpiginosa dengan tepi kebiruan dan dasar granulasi yang lunak. Traktus sinusoidal
menutupi kulit. Jaringan parut berkembang dan menjembatani area ulseratif atau bahkan
merenggangkan kulit normal. 3

3
Gambar II.5.1: Skrofuloderma pada Regio Clavicula 4

Gambar II.5.2: Skrofuloderma pada dinding dada bagian lateral 4

4
Gambar II.5.3: skrofuloderma. (a) Tuberkulosis dkelenjar aksila yang terjadi pada pria kulit putih
usia 74 tahun sebelum terapi antituberkulosis. (b) Tuberkulosis sternum pada pria Pakistan usia 62
tahun. (c) Melibatkan kelenjar serviks. (d) Tuberkulosis tulang belakang. (gambar a dan b dari
British Journal of Dermatology). 5

II.6 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis pada skrofuloderma dapat ditegakkan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanye
keluhan berupa adanya bejolan pada daerah yang terkena, adanya luka yang tidak sembuh-
sembuh dan luka yang mengeluarkan cairan terus-menerus. Keluhan dapat timbul

5
mermacam-macam sesuai dengan tahap yang sedang muncul. Selain itu dapat juga
ditemukan adanya keluhan subjektif seperti adanya rasa lemah, berkeringat pada malam
hari dan menurunnya nafsu makan. Dapat juga ditanyakan adanya tanda-tanda tuberkulosis
paru seperti riwayat batuk lama, dahak, sesak nafas maupun batuk darah.1

II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Biopsi kulit harus diambil dari tepi sinus atau ulkus. Tuberkulum dari basil
biasanya dapat dengan mudah diidentifikasi pada spesimen biopsi atau sitologi dari
aspirasi dengan jarum, yang digunakan sebagai pemeriksaan penunjang lini pertama.
Kultur mikobakterium harus dilakukan jika memungkinkan. Tes Mantoux biasanya positif.
Infeksi HIV dan penyebab imunosupresi lainnya perlu disingkirkan. 5

II.7 DIAGNOSIS BANDING


Paling mungkin:
 Hidradenitis Suppurative
 Sporotrichosis

Dapat dipertimbangkan:
 Sporotrichosis
 Mycobacterium scrofulaceum infection
 Actinomycosis
 Syphilitic gummas

II.8 TERAPI
Prinsip penatalaksanaan skrofuloderma yaitu obat harus dikonsumsi secara teratur,
menggunakan kombinasi dengan minimal 3 (tiga) macam obat anti-TB dan perbaikan
keadaan umum.
Obat-obat anti-TB yang antara lain:
1. Isoniazid

Merupakan anti-TB yang bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosidal.

Dosis : 5- 10 mg/kg BB/ hari, dosis maksimal 400 mg.

Efek samping : demam, erupsi kulit, neuritis perifer, hepatotoksik dan komplikasi
hematologi ( agranulositosis, eosinofilia, anemia dan trombositopenia).
6
2. Rifampisin

Merupakan salah satu obat anti-TB yang paling efektif namun cepat mengalami
resistensi.

Dosis : 10 mg/ kg BB, dosis maksimal 600 mg/hari.

Efek samping : ekskresi saliva dan urin akan berwarna jingga sampai kemerahan,
gangguan hepar (hepatotoksik).

3. Pyrazinamid

Dosis : 20-35 mg/kg BB, dosis maksimal 2 gram/ hari

Efek samping : gangguan hepar (hepatotoksik).1

4. Ethambutol

Merupakan anti-TB yang bersifat bakteriostatik dan paling sering dikombinasi


dengan rifampisin dan isoniazid.

Dosis : 15-25 mg/kg BB

Efek samping : gangguan nervus II.

Sebaiknya tidak diberikan pada penderita berusia dibawah 13 tahun.

5. Streptomycin

Merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal.

Dosis : 25 mg / kg BB, intramuskular. Dikombinasi dengan 2 (dua) obat anti-TB


lainnya. Tidak dapat digunakan dalam jangka panjang oleh karena efek
sampingnya yaitu : gangguan vestibular dan gangguan pendengaran, disfingsi
nervus optikus, dermatitis eksfoliatif dan diskrasia darah.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di


indonesia adalah:
 Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2

7
Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet
OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu
(1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan
dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
• Pasien TB paru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstra paru

Tabel II.8.1: Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel II.8.2: Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

8
b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Tabel II.8.3: Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tabel II.8.4: Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

II.9 PROGNOSIS

Prognosa skrofuloderma secara umum baik. Penyembuhan spontan dapat terjadi,


tetapi perjalanannya sangat lama dan meninggalkan bekas luka khas (Cord-like scar). 5

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki S. Skrofuloderma. In: Sinta M, Suci P, Lita S editors. Intisari Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2018. Pp 129-142.

2. Djuanda A. Tuberkulosis Kutis. In: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W


editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2018. pp. 78-86

3. Sethi A. Tuberculosis and infections with atypical mycobacteria. In: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS editors. Fitzpatrick's
Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill Education; 2019. pp. 2858–2875

4. Wolff, K., Johnson, R.A. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, Sixth Edition. New York: McGrawHill; 2009.

5. Yates VM, Walker SL. Mycobacterial infections. In: Barker J, Blelker T, Chalmers R,
Griffiths C, Creamer D editors. Rook's Textbook of Dermatology. 9th ed. London:
Blackwell Science Limited; 2016. pp. 27.1–27.45.

10

Anda mungkin juga menyukai