Penguji :
dr. Gopas Simanjuntak, Sp.PD
Disusun Oleh :
1
Telah dibacakan tanggal :
Nilai :
Dokter Penguji
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas berkat dan rahmat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh
rangkaian proses penyusunan referat yang berjudul: “Konfusio Akut Pada
Usia Lanjut“ sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSU HKBP Balge..
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing atas bimbingan dan arahannya
selama mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departeman Ilmu Penyakit Dalam di
RSU HKBP Balige.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, kritik
dan sarannya yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan guna
perbaikan case ini di kemudian hari. Harapan penulis semoga referat ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam
mengimplementasikan ilmu di klinis dan masyarakat.
Penulis
3
DAFTAR ISI
2.4. Patofisiologi..................................................................................... 7
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Konfusio akut adalah suatu problem pada lansia yang ditandai
dengan penurunan derajat kesadaran yang terjadi secara tiba-tiba, sering
merupakan tanda awal dari penyakit-penyakit berat yang ditandai lansia,
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi dan sering
mengakibatkan cacat atau imobilitas.4
2.2. Epidemiologi
Konfusio akut (delirium) sering ditemukan pada lansia. Menurut
data dari Departemen Kesehatan pada tahun 2005 didapatkan bahwa 23,75%
dari keseluruhan jumlah penduduk lansia di Indonesia mengalami konfusio
akut. Dalam kurun waktu usia 65-75 tahun didapatkan kemunduran pada
beberapa kemampuan kesadaran serta intelektual baru menurun di usia 80
tahun2.
2.3. Etiologi
Penyebab umum konfusio akut2:
6
Tiga penyebab utama dari konfusio pada lansia yaitu keadaan
patologik intra serebral, keadaan patologik ekstraserebral, dan penyebab
iatrogenik. Depresi juga dapat memicu terjadinya konfusio.
• Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik intraserebral
Oedem serebral, hifrosefalus, defisiensi vitamin B12, meningitis, dan
serangan iskemik otak yang disebabkan akibat adanya penurunan
pasokan nutrisi serebral.
• Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik ekstraserebral
Penyebab toksik (endocarditis, bakterialis subakut, alkoholisme),
kegagalan mekanisme homeostatic (DM, gagal hati, gagal ginjal,
dehidrasi, gangguan elektrolit), depresi dan gangguan sensori persepsi
(pendengaran dan penglihatan).
• Konfusio yang disebabkan oleh iatrogenic terdiri atas obat-obatan yang
di hubungkan dengan gangguan memori seperti : anti kolonergik, anti
konvulsan tertentu, kortikosteroid, benzo-diazepin, fenotiazin, obat
psikotropik dan sedative.
2.4. Patofisiologi
Patofisiologi dari konfusio tidak sepenuhnya dipahami, dan keadaan
ini dapat muncul dari berbagai mekanisme aspek. Saat ini bukti menunjukan
bahwa toksisitas obat , peradangan dan stress akut semua dapat memberikan
pengaruh terhadap gangguan neurotransmitter, dan akhirnya dapat
menyebabkan delirium.5
7
justru terlewatkan adalah bila terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau
autonamnesis yang sulit dipahami; kadang-kadang pasien terlihat seperti
mengomel terus atu terdapat ideide pembicaraan yang melompat-lompat.
Gejala lain meliputi perubahan aktifitas psikomotor baik hipoaktif(25%),
hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya (35%); sebagian pasien (15%)
menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan siklus tidur (siang hari
tertidur sedangkan malam hari terjaga). Rudolph dan marcantonio (2003)
memasukkan gejala perubahan aktifitas psikomotor ke dala klelompok
perubahan kesadaran, yakni setiap kondisi kesadaran selain compos mentis,
.termasuk didalamnya keadaan hipoaktivitas dan hiperaktivitas.6
2.6. Klasifikasi
Klasifikasi delirium dapat berdasarkan DSM IV. DSM IV
mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut7:
2.7. Diagnosis
Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM IV,
yaitu7:
a) Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran
terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan fokus,
mempertahankan atau mengubah perhatian.
b) Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa
jam hingga hari dan cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
c) Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam kondisi demensia.
8
d) Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan
neurokognitif lain yang telah ada, terbentuk ataupun sedang
berkembang dan tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat
kesadaran berat, seperti koma.
e) Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium
yang mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi
fisiologik langsung suatu kondisi medik umum, intoksikasi atau
penghentian substansi (seperti penyalahgunaanobat atau
pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau karena etiologi
multipel.
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya.
Identifikasi penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu
dilakukan. Pasien dengan gangguan medis umum yang disertai dengan
delirium akan menjalani masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada
yang tidak mengalami delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan
komplikasi lain yang banyak terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti
jatuh dan infeksi. Pasien dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan
perawatan di institusi. Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari,
kecuali bila sumber deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif
atau ketika agitasi yang berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik.
Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat memperburuk delirium.
Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi
yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien
itu sendiri. Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat
yang sering dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol
digunakan karena profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat
diberikan secara aman melalu jalur oral maupun parenteral. Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra muscular
maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu
jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien
lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka
9
haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari
sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit
menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.
Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin
juga membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan
bukti yang mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium
belum terbukti jelas sehingga obat-obat tersebut tidak dapat digunakan
sebagai terapi lini pertama. Akan tetapi, obatobatan ini dihubungkan dengan
lebih sedikitnya gangguan pergerakan akibat obat dibandingkan penggunaan
haloperidol. Oleh karena itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan obat
pilihan untuk pasien dengan penyakit Parkinson dan gangguan
neuromuskular yang berhubungan, serta pasien dengan riwayat adanya
gejala ektrapiramidal pada penggunaan antipsikotik lama.
Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu
minggu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi
20mg sehari. Quetiapin diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat
ditingkatkan menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai
tercapai target 300-400 mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon
diberikan 1-2 mg per oral pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan
1 mg tiap 2-3 harus sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral).
Quetiapin adalah obat antipsikotik baru yang paling menimbulkan sedasi
dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium yang agitasi3
2.9. Prognosis
Berbagai studi menunjukan hampir setengah pasien delirium keluar
dari kondisi rawatan akut rumah sakit dengan gejala persisten dan 20-40%
di antaranya masih mengalami delirium hingga 12 bulan. Prognosis jamgka
panjang lebih buruk dibandingkan pasien yang mengalami perbaikan
sempurna pada akhir rawatan. Pasien sindrom delirium memiliki risiko
kematian lebih tinggi jika komorbiditasnya tinggu, penyakitnya lebih berat,
dan jenis kelamin laki-laki. Episode delirium juga lebih panjang pada
kelompok pasien demensia.2
10
BAB III
KESIMPULAN
Konfusio akut pada usia lanjut atau sering disebut sebagai delirium
bukanlah sebuah penyakit, keadaan ini dapat dikatakan suatu keadaan
dimana pasien yang sudah lanjut usia mengalami penurunan kesadaran dan
kehilanngan konsentrasi. Keadaan ini sering tidak disadari oleh tenaga
medis sehingga keadaaan ini di keluhkan pada saat pasien sudah berada di
rumah.
11
DAFTAR PUSTAKA
12