Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Limfoma adalah suatu proliferasi klonal pada sel-sel limfoid yang berasal
dari kelenjar getah bening atau jaringan limfoid lainnya. Limfoma merupakan
sekelompok gangguan yang heterogen (Hoffbrand, Mehta, 2006). Dua tipe utama
dari limfoma adalah Limfoma Hodgkin (LH) dan Limfoma Non Hodgkin (LNH).
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma
malignum. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, di mana
pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed Sternberg. Pada laporan referat ini
akan lebih lanjut membahas mengenai Limfoma Hodgkin.
Setiap tahun diperkirakan ada 7.900 kasus baru penyakit Hodgkin dengan
angka kematian sebanyak 1.600 (Otto, 1996). Tidak seperti limfoma lain yang
meningkat seiring bertambahnya usia, limfoma hodgkin memiliki kurva insiden
yang meningkat pada dua kelompok usia, yaitu pada dewasa muda sekitar usia
15–35 tahun dan yang kedua pada usia diatas 55 tahun. Terdapat predominansi
pria sebesar hampir 2:1, artinya limfoma hodgkin, umumnya terjadi pada laki–
laki, kecuali jenis sklerosis nodular yang insidensinya tinggi pada wanita.
Limfoma Hodgkin terjadi pada 1:25.000 orang, dan total penyakit ini kurang dari
1% dari seluruh kasus kanker di seluruh dunia. Insiden limfoma hodgkin
meningkat pada pasien dengan infeksi HIV.
Sebagian besar pasien penderita datang dengan pembesaran kelenjar getah
bening superifisial yang tidak nyeri, tidak nyeri tekan, asimetris, padat, berbatas
tegas, dan kenyal. Kelenjar getah bening leher terkena pada 60-70% pasien,
kelenjar aksila pada 10-15%, dan inguinal pada 6 – 12% (Rotter, 2011).
Survey yang dilakukan oleh National Cancer Institute menyatakan bahwa
sebanyak 13,13 % pasien yang mengidap Limfoma Hodgkin meninggal. Angka
kematiannya memang kecil, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bisa

1
meningkatnya angka tersebut. Etiologi utama dari penyakit ini adalah EBV
(Epstein-Barr Virus) dan kelainan genetik pada sel imun.

B. Tujuan
1. Mengetahui prevalensi limfoma hodgkin di dunia
2. Mengetahui penyebab dari penyakit Limfoma Hodgkin
3. Mengetahui tata laksana untuk penyakit Limfoma Hodgkin
4. Mengetahui hubungan penyakit limfoma Hodgkin dengan genetik dan faktor
lingkungan.

2
BAB II
ISI

A. Definisi
Limfoma Hodgkin sebelumnya disebut penyakit Hodgkin, adalah kanker
jaringan limfoid, biasanya kelenjar limfe dan limpa. Penyakit ini adalah salah
satu jenis kanker yang paling sering dijumpai pada dewasa muda, terutama pria
muda. Penyakit hodgkin merupakan gangguan klonal yang berasal dari satu sel
abnormal. Populasi sel abnormal diturunkan dari sel B atau yang lebih jarang,
dari sel T atau monosit. Sel-sel neoplastik pada penyakit Hodgkin disebut sel
Reed-Sternberg. Sel-sel ini terselip di antara jaringan limfoid normal yang
terdapat di organ limfoid (Corwin, 2009).
Analisis PCR menunjukan bahwa sel Reed-Sternberg berasal dari folikel
sel B yang mengalami gangguan struktur pada imunoglobulin, sel ini juga
mengandung suatu faktor transkripsi inti sel, kedua hal tersebut menyebabkan
gangguan apoptosis (Sumantri, 2009). Gambaran khas dari penyakit Hodgkin
yaitu adanya sel Reed-Sternberg yang merupakan sel berinti dua atau banyak,
besar, maligna yang mengandung dua atau lebih nukleoli besar (Baldy, 2005).

B. Epidemiologi
Terdapat 7.500 kasus baru Penyakit Hodgkin setiap tahunnya di Amerika.
Rasio kekerapan jumlah penderita menurut kelamin antara pria dan wanita adalah
1,3-1,4 berbanding 1. Lalu untuk usia, terdapat distribusi bimodal, yaitu usia 15-
34 tahun dan usia diatas 55 tahun (Sumantri, 2010). Saat ini di Amerika, tahun
2012 ini saja menurut National Cancer Institute sudah ditemukan kasus baru
sebanyak 9.060 dan kematian yang disebabkan penyakit ini sebanyak 1.190.
Limfoma Hodgkin penyakit yang relatif jarang dijumpai, jumlahnya
hanya sekitar 1% dari seluruh kanker. Di negara barat insidennya dilaporkan
3,5/100.000/tahun pada laki-laki, dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di
Indonesia, belum ada laporan angka kejadian limfoma Hodgkin. Berdasarkan

3
jenis kelamin, limfoma Hodgkin lebih banyak di jumpai pada laki-laki dengan
perbandingan laki-laki : wanita = 1,2 : 1. Penyakit ini terutama ditemukan pada
orang dewasa antara usia 18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun
(Handayani, 2008).
Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di
Indonesia belum ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan
bahwa di bagian penyakit dalam RS. Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1963-
1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana 81 di antaranya adalah
limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII
tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam
RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah
limfoma malignum dan semuanya adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-
laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih
banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada wanita.
Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear
seiring dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan
di negara-negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur
berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun)
dan puncak kedua setelah 50 tahun.
Penyakit Hodgkin prevalen pada pria dan bila kurva insidensi spesifik
umur dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan
prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda.
Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok
dengan lebih dari 80% pasien adalah laki-laki.
Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan
kerentanan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal.
Faktor risiko penyakit ini adalah infeksi virus. Infeksi virus onkogenik diduga
berperan menimbulkan lesi genetik, lalu virus memperkenalkan gen asing ke sel
target. Virus-virus tersebut adalah virus Epstein-Barr, HIV, Sitomegalovirus, dan
Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor risiko lain yaitu keluarga dari pasien

4
hodgkin (adik-kakak). Kemudian defisiensi imun juga merupakan suatu faktor
risiko, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat
imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang (Sumantri, 2010).
Hodgkin dapat dibedakan dengan non hodgkin dikarenakan adanya sel
Reed-Sternberg pada Hodgkin. Namun tempat sel ini berasal masih belum jelas
diketahui (di sumber lain disebutkan sel Reed-Sternberg berasal dari germinal-
centre limfosit B). Sel Reed-Sternberg merupakan sel yang besar dan binukleat
(di sumber lain disebutkan sel Reed-Sternberg memiliki banyak inti). Setiap
nukleusnya menampakkan nukleolus yang menonjol sehingga terlihat seolah-
olah seperti owl’s eyes.

Gambar 2.1 Owl’s eyes (University of Virginia, 2010)

C. Etiologi
Penyebab penyakit Hodgkin masih belum dapat dipastikan. Namun ada
beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan penyakit ini. Berikut ini adalah
hal-hal yang memiliki kaitan dengan penyakit Hodgkin. Adanya kemungkinan
penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Epstein-Barr. Sebab beberapa dari
penderita Hodgkin diketahui telah terinfeksi virus ini. Orang-orang yang telah
terinfeksi HIV, biasanya cenderung lebih mudah menderita penyakit Hodgkin.
Orang-orang yang menerima terapi obat imunosupresan setelah transplantasi
organ juga berpeluang menderita penyakit ini.
Penelitian belakangan ini telah menetapkan adanya hubungan pasti antara
malfungsi sistem imun dengan insidensi penyakit Hodgkin. Contohnya, beberapa

5
penelitian terhadap orang dengan infeksi HIV dan AIDS yang memiliki
penurunan sistem imun menunjukkan adanya peningkatan insidensi limfoma
Hodgkin sebesar 10 kali lipat dibandingkan populasi umum (Rotter, 2011).
Sementara itu pada penggunaaan obat, terutama obat imunosupresan
untuk kasus transplantasi menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan
terhadap limfoma Hodgkin. Obat yang digunakan untuk pengobataan arthritis
rheumtoid juga dicurigai memperbesar faktor risiko (Rotter, 2011).
Selain faktor penurunan dan riwayat konsumsi obat, beberapa pendapat
menyatakan adanya hubungan antara Limfoma Hodgkin dengan genetik.
Beberapa pendapat ilmiah berbeda mengenai mengenai hal ini. Studi pada
pasangan kembar, menunjukkan adanya kerentanan genetik yang signifikan
terhadap limfoma hodgkin pada usia dewasa muda. Studi tersebut mempelajari
366 pasang kembar dimana salah satu dari kembar telah didiagnosis Limfoma
Hodgkin. Pada kembar fraternal tidak satu pun dari 187 kembar menunjukkan
tanda–tanda Hodgkin. Pada kembar identik, sepuluh dari 179 kembar
menunjukkan adanya Limfoma Hodgkin (Rotter, 2011).
Ahli lain percaya genetik tidak mempengaruhi limfoma hodgkin. Menurut
Dr Alan C. dari Departemen Hematologi dan Onkologi, Massachusetts General
Hospital, Limfoma Hodgkin sama seperti jenis kanker lainnya. Dia berpendapat
sekitar empat sampai lima kali lipat peningkatan limfoma hodgkin pada kembar
identik lebih menunjukkan adanya faktor lingkunga, bukan faktor genetik
(Rotter, 2011).
Pendapat lain mengatakan paparan terhadap karsinogen, khususnya di
tempat kerja, dapat meningkatkan risiko limfoma Hodgkin. Polutan lingkungan
lainnya seperti pestisida, herbisida dan berbagai virus juga memiliki peran dalam
peningkatan insidensi limfoma hodgkin (Rotter, 2011).

D. Patomekanisme
Limfoma hodgkin terjadi akibat adanya sel B yang menjadi abnormal
karena adanya Virus Epstein-Barr yang mengandung banyak NF-κB. NF-κB

6
merupakan salah satu faktor transkrip yang bisa merangsang proliferasi sel B
terus menerus terjadi. Selain itu, NF-κB juga melindungi sel B dari sinyal
apoptotik, sel abnormal ini miripsel raksasa neoplastik khas yang disebut sel
Reed-sternberg (Robbins, 2011).
$

Gambar 2.2 Mekanisme pembentukan limfoma Hodgkin

Sel Reed-Sternberg merupakan sel ganas yang masih belum jelas asalnya
dari mana. Sel tersebut diperkirakan berasal dari early lymphoid cell atau
histiosit. Penelitian terakhir menyebutkan dengan melihat rearrangement gen
imunoglobulin, sel Reed-Sternberg bersifat B-lymphoid lineage. Akan tetapi, ada
yang mengatakan sel Reed-Sternberg berasal dari sel B dari germinal centre.
Penyakit ini disusun dalam suatu setting yang terdiri atas sel ganas (sel Reed-
Sternberg) yang dikelilingi oleh sel radang pleomorf. Perbandingan jumlah sel
ganas dengan sel radang bergantung pada derajat respon imunologik penderita.
Jika terjadi respon sel radang yang kuat sehingga sel-sel limfosit lebih dominan
dibandingkan dengan sel Reed-Sternberg maka orang itu memiliki status
imunologik yang baik, sedangkan orang yang memiliki status imunologik yang

7
kurang baik akan memberikan respon imunologik yang rendah sehingga sel-sel
limfosit tidak terlalu banyak (depleted). Perbandingan sel Reed-Sternberg dengan
limfosit ini akan menentukan klasifikasi histologik penyakit Hodgkin dan akan
berpengaruh terhadap prognosis (Bakta, 2007).
Sel Reed-Sternberg menjadi tanda patologi yang khas untuk limfoma
hodgkin dimana pada limfoma non hodgkin tidak diketemukan sel tersebut
(Kuppers, 2009).

E. Patofisiologi
Limfoma hodgkin dibagi menjadi 5 tipe. 4 diantaranya digolongkan pada
limfoma hodgkin klasik. Golongan yang ke 5, penyakit predominan limfosit
hodgkin, menunjukkan tanda klinis unik dan butuh treatmen yang berbeda. Pada
limfoma hodgkin klasik, sel neoplasma yaitu sel Reed-Sternberg (RS). Sel Reed-
Sternberg hanya sekitar 1 – 2% total sel tumor. Peningkatan pada berbagai
variasi reaktif, dan sel inflammatori seperti limfosit, plasma sel, neutrofil,
eosinofil, dan histosit. (Bradley, 2012)
Umumnya Sel Reed-Sternberg adalah sel B original, derivat dari sentrum
germinativum limfenodi namun tidak lagi mampu menghasilkan antibodi.
Beberapa kasusk Limfoma Hodgkin teridentifikasi keberadaan sel Reed-
Sternberg berasal dari sel T original, tapi kasus seperti ini termasuk langka,
terhitung sekitar 1 -2% dari kasus Limfoma Hodgkin klasik (Bradley, 2012).
Sel Reed-Sternberg mengekspresikan antigen CD-30 dan CD-15. CD-30
merupakan marker aktivasi limfosit yang diekspresikan oleh sel limfoid reaktif
dan malignant, dan khusus diekspresikan oleh sel Reed-Sternberg. CD-15 adalah
marker bagi granulosit akhir, monosit, dan sel T teraktivasi yang secara normal
di ekspresikan oleh sel B (Bradley, 2012).
1. Nodular Sclerosis Hodgkin disease
Pada nodular sclerosis hodgkin disease (NSHD), 60 – 80% dari seluruh
kasus Limfoma Hodgkin, morfologinya menunjukkan adanya nodular. NSHD

8
umumnya muncul pada remaja dan dewasa muda. Biasanya terlokasi di
mediastinum dan lokasi supradiaphragmatic lainnya (Bradley, 2012).

Gambar 2.3 nodular sclerosis hodgkin disease


(University of Virginia, 2010)

Gambar 2.4 Gambaran histologis nodular sclerosis hodgkin disease


(University of Virginia, 2010)

2. Mixed-cellularity Hodgkin disease


Pada Hodgkin penyakit tipe campuran (MCHD), dengan angka kejadian
15 – 30%, infiltrasi biasanya berupa difuse. Sel Reed sternberg juga memiliki
ciri tipe klasik, besar, bilobate, ganda atau multiple nukleus, dan eosinofilic
nukleus. MHCD umumnya terjadi pada limfenodi di abdominal dan spleen.
Pasien dengan tipe histologi seperti itu berada pada stadium akhir dengan
sistemik simptoms. MCHD merupakan tipe histologi yang umumnya ada pada

9
pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Bradley,
2012).

Gambar 2.5 Gambaran histologis mixed cellularity Hodgkin disease


(University of Virginia, 2010)

3. Lymphocyte-depleted Hodgkin disease


Kejadian kasus Lymphocyte-depleted Hodgkin disease (LDHD) hanya
berkisar 1% dari semua kasus. Infiltrasi pada penyakit ini berupa difusi dan
sering menunjukkan hiposelular. Sejumlah banyak dari Reed-Sternberg cells
and jenis jenis sarkoma aneh kadang terlihat. LDHD berhubungan dengan usia
lanjut dan status positif HIV. Pasien kadangkala muncul dengan gejala
stadium lanjut. Epstein-Barr virus (EBV) proteins diekspresikan oleh banyak
sel tumor ini. Mayoritas penyakit yang terdeteksi di masa lampau adalah
limfoma yang golongan non Hodgkin biasanya merupakan pembesaran sel
anaplastik (Bradley, 2012).

10
(A) (B)
Gambar 2.6 Gambaran histologi Lymphocyte-depleted Hodgkin disease. (A) Limfosit
kecil tidak ada/ non Lymphoma Hodgkin. (B) Gambaran variasi diffuse fibrosis.
(University of Virginia, 2010)

4. Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease


Kejadian kasus Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease (LDHD)
berkisar 5 % dari semua kasus Dalam LRHD, Reed-Sternberg sel dari jenis
klasik atau lacunar diamati, dengan latar belakang infiltrasi limfosit. Hal ini
membutuhkan diagnosis imunohistokimia. Beberapa kasus mungkin memiliki
pola nodular. Secara klinis, pola presentasi dan pola survival mirip dengan
MCHD (Bradley, 2012).

Gambar 2.7 Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease


(University of Virginia, 2010)

11
5. Nodular lymphocyte-predominant Hodgkin disease
Kasus nodular dominan limfosit-Hodgkin disease (NLPHD) merupakan
5% dari total kasus. Berbeda dengan subtipe histologis lain, sel Reed-
Sternberg tidak selalu ada di NLPHD. Sebaliknya, limfositik dan histiocytic
(L & H) sel, atau "sel popcorn" (inti mereka menyerupai popcorn) terlihat
dalam latar belakang sel inflamasi, yang didominasi limfosit jinak. Tidak
seperti Reed-Sternberg sel, L & H sel positif untuk B-sel antigen, seperti
CD19 dan CD20, dan negatif untuk CD15 dan CD30.

Gambar 2.8 Popcorn cell pada Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease


(University of Virginia, 2010)

Diagnosis NLPHD harus didukung oleh penelitian imunohistokimia,


karena dapat muncul kemiripan dengan LRHD atau bahkan dengan beberapa
non-Hodgkin limfoma (Bradley, 2012).

F. Penegakan Diagnosis
1. Prosedur penentuan derajat penyakit
a. Evaluasi awal, terdiri atas:
i. Anamnesis dan pemeriksaan fisik;
ii. Laboratorium: darah rutin, faal hati, faal ginjal, dan fosfatase alkali;
iii. Aspirasi atau biopsi sumsum tulang.
b. Evaluasi toraks, terdiri atas:
i. Foto toraks PA dan lateral;
ii. Tomografi paru atau CT scan otak.

12
c. Evaluasi abdomen, terdiri atas:
i. Bipedal lymphangiography; atau
ii. CT scan abdomen;
iii. Staging laparatomi.
d. Prosedur-prosedur pemeriksaan hematologis:
i. Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis;
ii. Pemeriksaan LED;
iii. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang.
e. Prosedur biokimiawi:
i. Tes faal hati
ii. Serum albumin, LDH, Ca
f. Prosedur untuk hal-hal khusus:
i. Laparatomi (diagnostic dan staging)
ii. USG abdomen
iii. MRI
iv. Gallium Scanning
v. Technetium Bone Scan
vi. Scan hati dan limpa
2. Diagnosis klinik
a. Klinis (Anamnesis)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di
leher, aksila atau pun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan
kadang-kadang disertai demam, keringat dan gatal (Tohar, 2007).
b. Pemeriksaan Fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama
supraklavikular, aksiler dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba
membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan
kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat, perlu
diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama (Tohar,
2007).

13
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan
bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi
keterangan tentang luas penyakit atau keterlibatan organ spesifik. Pada
pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik
lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat
sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat
besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum
tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada
pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada
pasien yang menderita priritus, juga dijumpai monositosis absolute
limfositopenia absolut (<1000 sel per milimeter kubik) biasanya terjadi
pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi
terhadap banyak pemeriksaan sebagai indikator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, LED masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun
masih terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah
peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali,
lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam
serum (Tohar, 2007).
d. Sitologi Biopsi Aspirasi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut
seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma
dan limfoma malignum. Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsi
aspirasi LH atau pun LNH adalah adanya negatif palsu dianjurkan
melakukan biopsi aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan
tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan

14
gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi
(Tohar, 2007).
e. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi
subtype histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas LH ataupun
LNH. Biopsi dilakukan bukan sekadar mengambil jaringan, namun harus
diperhatikan apakah jaringan biopsi tersebut dapat memberi informasi
yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar
getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submadibular tidak
dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi dilakukan di
bawah anastesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik lokal
terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan
jaringan (Tohar, 2007).
f. Radiologi
Termasuk di dalamnya:
i. Foto toraks untuk menentukan keterlibatan kelenjar getah bening
(KGB) mediastinal.
ii. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan kelenjar getah
bening (KGB) di daerah iliaka dan pasca aortal.
iii. Ultrasonography (USG) banyak digunakan melihat pembesaran
KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum
halus untuk konfirmasi sitologi.
iv. Computerized Tomography (CT-scan) sering dipergunakan untuk
diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH (Tohar, 2007).
v. Laparotomil aparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat
kondisi KGB pada iliaka para aortal dan mesenterium dengan
tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiologi
misalnya USG dan CT-scan ditambah sitologi biopsi aspirasi
jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-
kurangnya diminimalisasi (Tohar, 2007).

15
3. Pemeriksaan penunjang
a. Secara patologi anatomi didapatkan gambaran khas yang merupakan
gambaran sel keganasan.
i. Sel Reed-Sternberg: merupakan sel berukuran besar, berinti banyak,
dan polipoid. Ciri khas limfoma Hodgkin adalah adanya sel datia
Reed-Sternberg, meskipun kadang-kadang tidak dijumpai. Sel lain
yang juga merupakan ciri khas adalah sel lakunar (menyerupai sel
datia Reed-Sternberg, tetapi lebih kecil) dan sel mononuklear Hodgkin.
Sel datia Reed Sternberg mempunyai gambaran khas, tampak besar
dengan 2 inti yang saling berhadapan atau disebut mirror image,
karena letak kedua inti sel seperti bayangan objek pada cermin.
Kadang-kadang ditemukan sel tumor yang dikelilingi oleh zona halo
dan nukleus yang jelas sehingga dinamakan owl’s eye (Sudiono et al.,
2001).
ii. Sel Hodgkin: H-cell yang merupakan sel pre-Sternberg lacunar.
1) Varian L dan H
2) Varian pleomorf
b. Pada pemeriksaan darah didapatkan anemia yang bersifat normositer
normokromik, leukositosis moderat yang disebabkan oleh netrofilia,
eosinofilia, limfopenia, LED meningkat, serta Lactate Dehydrogenase
serum (LDH) meningkat (Sudiono et al., 2001).
Pemeriksaan terhadap limfonodi dilakukan untuk mendeteksi dan mendiagnosa
penyakit Limfoma Hodgkin pada orang dewasa.
Pengujian dan prosedur yang dapat digunakan:
a. Pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit: pemeriksaan ini dilakukan untuk
memeriksa tanda umum keadaan kesehatan, termasuk memeriksa tanda
penyakit seperti bengkak atau segala sesuatu yang terlihat abnormal.
Riwayat penyakit terdahulu pasien dan perawatan yang akan digunakan.
b. Complete Blood Count (CBC ): prosedur ini dilakukan pada sampel darah
yang tergambar dengan disertai pemeriksaan:

16
i. Jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.
ii. Banyaknya hemoglobin (protein yang membawa oksigen) dalam sel
darah merah.
iii. Porsi sampel yang terbuat dari sel darah merah.
c. Studi kimia darah: prosedur di mana sampel darah diperiksa untuk
mengukur jumlah substansi yang dilepaskan ke darah oleh organ dan
jaringan di tubuh. Jumlah abnormal (lebih tinggi atau lebih rendah dari
nilai normal) substansi dapat menjadi tanda penyakit pada organ atau
jaringan yang memproduksinya.
d. Kecepatan sedimentasi: prosedur di mana sample darah digambarkan dan
diperiksa untuk mengetahui kecepatan sel darah merah menuju dasar
tabung yang digunakan untuk memeriksa.
e. Biopsi limfonodi: pembersihan seluruh bagian limfonodi. Beberapa tipe
pemeriksaan yang dapat dilakukan:
i. Biopsi penghilangan (Excisional biopsy): pembersihan seluruh
limfonodi.
ii. Biopsi irisan (Incisional biopsy): pembersihan beberapa bagian
limfonodi.
iii. Biopsi inti (Core biopsy): pembersihan bagian limfonodi
menggunakan jarum yang lebar.
Pemeriksaan berikut dapat dilakukan pada jaringan yang telah dibersihkan:
Immunofenotip (Immunophenotyping): pemeriksaan terhadap sel yang ada di
dalam sampel darah atau sumsum tulang yang dilihat di bawah mikroskop
untuk mencari limfosit maligna (kanker) mulai dari Limfosit B atau Limfosit
T (NCI, 2012).
4. Diagnosis Banding
Diagnosis banding serupa dengan dijelaskan untuk limfoma non-
Hodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya
faringitis bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis
harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya Limfoma Non Hodgkin, kanker

17
nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher lokal.
Adenopati ketiak harus dibedakan dengan Limfoma Non Hodgkin dan kanker
payudara (Tohar, 2007).
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan
tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan
mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Mediastinis
reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma,
karena penyakit tersebut timbul pada pasien simtomatik. Penyakit abdomen
primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang
ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama Limfoma Non Hodgkin
harus disingkirkan dalam keadaan ini (Tohar, 2007).

G. Penatalaksanaan
Pasien dengan penyakit tahap awal (IA atau IIA) secara efektif diobati
dengan terapi radiasi atau kemoterapi. Pilihan pengobatan tergantung pada usia,
jenis kelamin, massal dan subtipe histologis penyakit. Pasien dengan penyakit
tahap lanjut (III, IVA, atau IVB) diobati dengan kombinasi kemoterapi saja.
Pasien dengan massa besar di dada biasanya diobati dengan kombinasi
kemoterapi dan terapi radiasi.
Tabel 2.1 Penatalaksanaan Limfoma Hodgkin

ABVD Stanford V BEACOPP


Saat ini, ABVD rejimen Bentuk lain dari pengobatan yang Bentuk lain dari pengobatan
kemoterapi adalah standar emas lebih baru adalah Stanford V diatas tahap II adalah BEACOPP.
untuk pengobatan penyakit rejimen, yang hanya setengah Tingkat penyembuhan dengan
Hodgkin. ABVD merupakan selama ABVD tetapi yang escudo BEACOPP. rejimen
singkatan untuk Adriamycin, obat melibatkan jadwal kemoterapi sekitar 10-15% lebih tinggi
empat bleomycin, vinblastine, lebih intensif dan dibandingkan dengan ABVD
dan dacarbazine. Dikembangkan menggabungkan terapi radiasi. standar dalam stadium lanjut.
di Italia pada 1970-an, Meskipun hal ini ditunjukkan
pengobatan ABVD biasanya dalam The New England Journal
memakan waktu antara enam dan of Medicine (Diehl et al.), Para
delapan bulan, meskipun dokter AS masih mendukung

18
pengobatan mungkin diperlukan ABVD, yang mungkin karena
lagi. beberapa dokter berpikir bahwa
menginduksi BEACOPP
menginduksi leukimia. Namun,
hal ini diabaikan dibandingkan
dengan tingkat kesembuhan lebih
tinggi. BEACOPP juga lebih
mahal karena kebutuhan untuk
pengobatan bersamaan dengan
GCSF untuk meningkatkan
produksi sel darah putih. Saat ini,
Kelompok Studi Jerman Hodgkin
mendapati bahwa terdapat tes 8
siklus (8x) BEACOPP yaitu
BEACOPP esc esc BEACOPP 6x
vs vs 8x BEACOPP-14 awal
(HD15-sidang).
Doksorubisin Doksorubisin Doksorubisin
Bleomycin Bleomycin Bleomycin
Vinblastine Vinblastine, vincristine Vincristine
Dacarbazine Mechlorethamine Cyclophosphamide, prokarbazin
Etoposid Etoposid
Prednisone Prednisone

Tingkat kesembuhan yang tinggi dan kelangsungan hidup yang panjang


banyak pasien dengan limfoma Hodgkin telah menyebabkan perhatian tinggi,
termasuk penyakit jantung dan keganasan kedua seperti leukemia akut, limfoma,
dan tumor padat dalam bidang terapi radiasi. Kebanyakan pasien dengan
penyakit tahap awal sekarang diobati dengan kemoterapi dan melibatkan terapi
radiasi, bukan dengan terapi radiasi saja. Penelitian klinis sedang mengeksplorasi
pengurangan durasi, dosis kemoterapi, dan volume dari terapi radiasi dalam
upaya untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akhir pengobatan dengan
mempertahankan tingkat kesembuhan tinggi (Anonim, 2012).
Pemberian terapi pada penyakit Limfoma Hodgkin ini tergantung dari
clinical staging penderita dan faktor risikonya. Untuk stadium I atau II dengan

19
faktor risiko secara inisial harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan
penyinaran. Dewasa ini terapi kombinasi kemoterapi dan penyinaran juga
dilakukan untuk stadium I dan II penderita tanpa faktor risiko tambahan.Alasan
untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel
sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah
kardial.
Faktor risiko menurut German Hodgkin’s Lymphoma Study Group
(GHSG) antara lain (Sum antri, 2009):
a. Massa mediastinal yang besar
b. Ekstranodal
c. Peningkatan laju endap darah ≥ 50 untuk penderita tanpa gejala, dan ≥30
jika dengan gejala.
d. Tiga atau lebih regio yang terkena
Stadium IIIA: Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi
memang mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada
laparotomi terdapat perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus
terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi total node).
Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita
ini diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB ± IV. Stadium IIIB ± IV:
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990). Skema
moppyang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema
MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai
obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan
penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja. Pada penderita yang lebih
tua juga digunakan skema chlvpp, yang pada umumnya lebih baik ditoleransi.
Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi (misalnya
nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus
diperhatikan efek samping yang timbul kemudian.

20
Untuk saat ini, terapi yang masih diteliti adalah imunoterapi dengan
antibodi monoklonal anti CD 20, imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal
antibodi 16/CD 30 bispesifik antibodi, dan radio immunoconjugates.

H. Prognosis
Penyakit ini awalnya meragukan untuk terobati. Tetapi semakin dapat
diatasi dengan obat yang lebih efektif, De Vita, dan rekan NCL mempelopori
pengobatan yang baru menunjukkan 50% pasien yang level yang sudah parah
dengan menggunakan kombinasi MOPP (Mechlorethamine, Oncovin,
Procarbazine, Prednisone). Pengobatan dengan C-MOPP, seperti chemotherapy
dapat menyebabkan azoospermia pada 50-100% pria. Sedangkan pada wanita
akan menyebabkan amenorrhea ke 50% jumlah wanita. Tetai pada terapi ABVD
hanya sedikit dan sementara menyebabkan toksisitas pada sel induk di pria dan
jarang menyebabkan amenorrhea (Michael, 2009).
Ada tujuh faktor acuan untuk prognosis penyakit ini, yaitu:
1. Albumin≤ 4 gr/dl
2. Hemoglobin ≤ 10,5 gr/dl
3. Leukosit> 15.000/mm3
4. Lymphopenia≤ 600/mm3
5. Jenis kelamin
6. Umur ≥ 45 tahun
7. Penyakit sudah masuk stadium IV
Skor prediksi dalam 5 tahun yang rata-rata bebas dari peningkatan pada
level penyakit ini ada 84% yang tidak ada, 77% untuk satu faktor risiko, 67%
untuk dua faktor risiko, 60% untuk tiga faktor risiko, 51% untuk empat faktor
risiko, dan 42% untuk lima atau lebih faktor risiko (Michael, 2009).
Sedangkan pada wanita hamil, prognosis ditentukan oleh:
1. Harapan dari pasien
2. Umur fetus

21
Limfoma Hodgkin pada orang dewasa biasanya dapat disembuhkan jika
tidak telat ditemukan dan diobati (NCI, 2012)

Tabel 2.2
Regimen Kemoterapi Penyakit Hodgkin

Dosis Siklus
Regimen 2
Pemberian Jadwal (hari)
(mg/m ) (hari)
MOPP 21
Mechloretamine 6 IV 1,8
Oncovin 1,4 IV 1,8
Procarbazine
100 PO 1-14

Prednisone
40 PO 1-14

COPP 28
Cyclophosphamide 650 IV 1,8
Oncovin 1,4 IV 1,8
Procarbazine 100 PO 1-14
Prednisone 40 PO 1-14
ABVD 28
Adriamycin 25 IV 1,15
Bleomycin 10 IV 1,15
Vinblastine 6 IV 1,15
Dacarbazine 375 IV 1,15
Stanford V 12 minggu
Mechlorethamine 6 IV Minggu 1,5,9

Adriamycin
25 IV Minggu 1,3,5,9,11

Vinblastine
6 IV Minggu 1,3,5,9,11

Vincristine Minggu
1,4 IV
2,4,6,8,10,12

22
Bleomycin
Minggu
5 IV
2,4,6,8,10,12

Etoposide
60 x 2 IV Minggu 3,7,11

Prednisone Minggu 1-9,


40 PO
tapering
G-CSF - SC Minggu 10-12

Tabel. 2.3
Rekomendasi Terapi Untuk Limfoma Hodgkin Relaps dan Progresif Primer

Relaps Terapi
Relaps setelah radioterapi Kemoterapi
Nodal relaps CS I-II tanpa gejala
Radioterapi salvage
B, tanpa radioterapi sebelumny
Progresif primer High dose chemotherapy (HDCT)
Relaps dini diikuti transplantasi sel asal
Relaps lanjut “Autologous Stem Cell
Transplantation” (ASCT)

23
BAB III
KESIMPULAN

1. Limfoma hodgkin jarang ditemukan pada daerah Indonesia, hal ini disebabkan
karena etiologi utama dari limfoma Hodgkin jarang ditemukan di Indonesia.
2. Penelitian terbaru menjelaskan bahwa penyakit Limfoma Hodgkin disebabkan
tidak hanya oleh kelainan genetik tetapi juga karena adanya invasi dari EBV
(Epstein-Barr Virus) yang menyebabkan abnormalitas dari sel limfosit B.
3. Pada Limfoma Hodgkin stadium I dan II, tatalaksana kombinasi kemoterapi
dan penyinaran harus diberikan dengan mempertimbangkan faktor risiko
secara inisial. Saat ini terapi kombinasi kemoterapi dan penyinaran juga
dilakukan untuk penderita stadium I dan II tanpa faktor risiko tambahan.
4. Sampai saat ini, hubungan antara genetik dan penyakit limfoma Hodgkin
masih menjadi perdebatan, karena pada kembar fraternal tidak satu pun dari
187 kembar menunjukkan tanda–tanda Hodgkin, sedangkan pada kembar
identik, sepuluh dari 179 kembar menunjukkan adanya limfoma Hodgkin.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Pengobatan Limfoma Hodgkin. Available at: http://www.news-


medical.net/health/Hodgkins-Lymphoma-Treatment-(Indonesian).aspx
(diakses pada 18 September 2012)

Anonim. 2012. Hodgkin Lymphoma. Available at:


http://www.cancer.gov/cancertopics/types/hodgkin (diakses pada 16
september 2012)

Baldy, Catherine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:


EGC

Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiogi. Jakarta: EGC

Handayani, Wiwik, Andi Sulistyo Haribowo. 2008. Buku Ajar Asuhan


Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta:
Salemba Medika

Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie, et al. 2000. HARRISON : Prinsip- prinsip


Ilmu Penyakit Dalam.Volume 4. Edisi 13. Jakarta : EGC

Kupper. 2009. Epidemiology Principles and Quantitative Methods. New York : Van
Nostrand Reunhold Company Inc.

Lash, Bradley W. 2012. Hodgkin Lymphoma:Pathophysiology. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview#a0104 (diakses pada
25 september 2012)

Mehta Atul, Hoffbrand Victor. 2006. At a Glance Hematologi Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga

NCI (National Cancer Institute). 2012. General Information About Adult Hodgkin
Lymphoma. USA: National Institute of Health.

Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, et all. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi 3. FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

O’Dell, Michael, dan Michael Stubblefield. 2009. Cancer Rehabilitation: Principles


and Practice. US: Demos Medical Publishing.

Otto, Shirley E. 1996. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: ECG

25
Rotter, Kimberly. 2011. Hodgkin's Disease Causes: Genetic & Viral. Available at:
http://www.news-medical.net/health/Hodgkins-Lymphoma-History.aspx
(diakses pada 25 September 2012)

Robbins, Stanley L, Cotran, Ramzi S., and Kumay V. 2011. Buku Ajar Patologi.
Jakarta: EGC

Tohar, Billy A. 2007. Limfoma Hodgkin. Available at:


http://www.scribd.com/doc/24025699/Limfoma-Hodgkin (diakses pada 24
September 2012)

Sudoyo, Aru. et all. 2010. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta : Interna
Publishing.

Sumantri Rachmat. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna
Publishing

26

Anda mungkin juga menyukai