Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

Pembimbing:
dr. Moh. Muchson, Sp. A

Disusun oleh :

Rachmat Aminullah 1710221081

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA

2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal Februari 2018

Disusun oleh:

Rachmat Aminullah 1710221081

Purwokerto, Februari 2018


Pembimbing,

dr. Moh. Muchson, Sp. A


1

I. PENDAHULUAN

Autoimun Hemolitik Anemia (AIHA) merupakan salah satu jenis anemia

yang masih jarang terjadi di Indonesia dibanding anemia-anemia yang lain.

Umumnya anemia di Indonesia adalah jenis anemia akibat kekurangan zat gizi

tertentu seperti anemia defisiensi besi, anemia defisiensi asam folat, dll.

Karena jarang terjadi di Indonesia, maka AIHA juga tidak terlalu diperhatikan

di Indonesia, padahal AIHA merupakan penyakit yang jika terjadi dan

mengenai pada pasien khususnya anak-anak akan berakibat fatal pada diri

tubuh anak tersebut. AIHA adalah suatu kelainan yang dicirikan oleh anemia

akibat destruksi eritrosit yang premature yang diakibatkan oleh sistem imun

(Taroeno dan Pardjono, 2014)

Insidensi AIHA di Amerika serikat tidak terlalu tinggi, terjadinya AlHA

di Amerika Serikat yaitu 1 per 80.000 sampai 2,6 per 100.000 tiap tahunnya,

dengan rata-rata insidensi 3400 orang terkena AIHA di Arnerika (Zanella dan

Barcellini, 2014). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013

melaporkan insiden anemia di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik

mewakili sekitar 5% dari semua anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per

100.000 orang per tahun, dengan prevalensi 17/100.000 orang pertahun.

Angka kematian AIHA berkisar antara 20-50%, bergantung kepada penyakit

yang mendasari munculnya penyakit AIHA (Zanella dan Barcellini, 2014).


2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) atau autoimmune hemolytic


anemia adalah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya
autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi
(hemolisis) eritrosit dan sebagian referensi ada yang menyebutkan anemia
hemolitik autoimun ini merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi
terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek. Tapi sebenarnya
kedua defenisi dari beberapa referensi diatas sama yakni karena terbentuknya
autoantibodi oleh eritrosit sendiri dan akhirnya menimbulkan hemolisis.
Hemolisis yakni pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya,
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Kadang-kadang tubuh mengalami
gangguan fungsi dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru
mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi
autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik
autoimun (Gleadle, 2005).
AIHA dimediasikan oleh antibodi, pada kasus yang dimediasi oleh
antibodi IgG maka merupakan AIHA tipe hangat, karena IgG bekerja paling
baik pada suhu normal tubuh, sedangkan AIHA tipe dingin dimediasi oleh IgM
dengan suhu kerja antibodi maksimal ≤37oC (Deloughery, 2013). AIHA
merupakan suatu keadaan dimana antibodi pada tubuh seseorang menyerang
sel-sel eritrosit pada suhu ≥37oC (AIHA tipe hangat) atau ≤37oC
(AIHA tipe dingin) (Lichtin. 2011).

B. Epidemiologi

Anemia hemolitik terjadi kira-kira 5% dari seluruh kasus anemia.


Insidensi dari AIHA 1-3 kasus per 100.000 populasi per tahun. AIHA sendiri
tidak spesifik terjadi pada suatu ras. Sedangkan menurut jenis kelamin tidak
begitu menunjukkan perbedaan spesifik antara pria dan wanita. Tetapi lebih
3

sering dijumpai pada wanita dibanding pria. Mengenai rentang umur terjadi
AIHA, sering ditemukan kasus pada usia middle aged dan pada pasien yang
sudah tua (Schick, 2015)
Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi
di USA. AIHA tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti
AIHA tipe dingin yangseringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) yang melibatkan usia kanak
(Mansjoer, et al., 2008)

C. Manifestasi Klinis

Informasi yang bisa diperoleh dari kecurigaan terhadap pasien dengan


gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu :
Gejala Umum anemia atau sindrom anemia (Bakta, 2000).
1. Sistem kardiovaskuler
Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina
pectoris, dan gagal jantung
2. Sistem saraf
Sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas
3. Sistem urogenital
Gangguan haid dan libido menurun
4. Epitel
Warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut
tupis dan halus
5. Tanda perdarahan
seperti ptekia dan purpura

Gejala anemia hemolitik autoimun (Bakta, 2000; Packman, 2010).


Dibagi menjadi 2 jenis :
1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA adalah tipe hangat, di mana
autoantibodi yang diperantarai IgG bereaksi secara optimal pada suhu
4

37ºC. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
Onset gejala biasanya lambat dan berjalan kronik selama berbulan-bulan,
tapi kadang-kadang pasien memiliki onset mendadak berupa gejala anemia
berat dan penyakit kuning disertai nyeri abdomen selama beberapa hari.
Dalam AIHA sekunder, gejala dan tanda-tanda penyakit yang mendasari
dapat menutupi gejala AIHA dan fitur terkaitnya.
Pada AIHA tipe hangat idiopatik yang ringan, hasil pemeriksaan
fisik mungkin normal. Pasien dengan anemia hemolitik yang relatif berat,
50-60% datang dengan splenomegali, 30% disertai hepatomegali, dan 25%
dengan limfodenopati. Dalam kasus yang sangat parah, terutama yang dari
onset akut, pasien mungkin hadir dengan demam, pucat, ikterus,
hemoglobinuria, hepatosplenomegali, hiperpnea, takikardia, angina, atau
gagal jantung.
Klinis AIHA tipe hangat dapat diperburuk atau makin jelas selama
kehamilan. Kebanyakan kasus bersifat ringan dan prognosis untuk janin
umumnya baik, asalkan mendapat tatalaksana segera.

2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin


Udara dingin dapat memicu hemolisis yang diperantai oleh
antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer
sehingga menyebabkan hemolisis diinduksi-dingin atau Fenomena
Raynaud yang iskemianya menyebabkan pucat dan baal pada tangan jika
terpajan dingin, diikuti sianosis, kemerahan (hiperemia reaktif), nyeri
berdenyut, dan kesemutan. Anemia yang terjadi biasanya ringan dengan
Hb : 9-12 g/dl, maka gejala umum seperti rasa lemah, lesu, cepat lelah,
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin,
sesak nafas, dan dispepsia.
Terdapat Akrosianosis, yaitu warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit
pada kedua tangan dan kaki (lebih jarang) yang bersifat menetap, biasanya
lebih sering terjadi pada wanita. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan
anemia juga dapat menimbulkan hal tersebut, Oleh karena gejala yang
timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
maka perlu menyingkirkan penyakit-penyakit yang menyebabkan anemia
5

tersebut seperti infeksi cacing tambang dengan gejala antara lain sakit
perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.
Selain itu juga anemia akibat penyakit kronik seperti artritis reumatoid
perlu ditanyakan. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia sangat
memerlukan pemeriksaan laboratorium
Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin.
Hemolisis berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering
juga terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan
menimbulkan meningkatnya penghancuran sel darah merah, memperburuk
nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak
kebiruan) pada tangan dan lengan

PEMERIKSAAN FISIK (Bakta, 2000)


Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematik dan menyeluruh
Perhatian khusus diberikan pada
1. Keadaan umum pasien : tampak sakit ringan atau berat
2. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti
jerami
3. Kuku : koilonychias (kuku sendok)
4. Mata : ikterus, konjugtiva pucat, perubahan pada fundus
5. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, atrofi papil lidah
6. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali
7. Proporsi tubuh : adakah kelainan fisik pada pasien

D. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit hemolitik autoimun memang belum jelas
kemungkinan terjadi kerena gangguan central tolerance dan gangguan
pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. Terkadang sistem
kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan selnya
sendiri karena keliru mengenalinya sebagain bahan asing (reaksi autoimun)
(Price & Wilson, 2006).
6

Pada penyakit herediter terdapat beberapa penyebab yang


menyebabkan abnormalitas membran eritrosit, defek enzim dan
abnormalitas hemoglobin. Beberapa yang termasuk yaitu (Schick, 2014):

1.Defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)


2.Sferositosis herediter
3.Anemia sel sabit/sickle cell anemia
4.Evan’s Syndrome
5.Hemolytic Uremic Syndrome
Adapun etiologi penyebab hemolitik pada kasus yang didapat (acquired):

1. Gangguan imunitas
2. Obat dan bahan kimia toksik
3. Agen antiviral
4. Kerusakan fisik
5. Infeksi

E. Klasifikasi
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120
hari (umur eritrosit normal). Hemolisis mungkin asimptomatik, tapi bila
eritropoesis tidak dapat mengimbangi kecepatan rusaknya sel darah merah
dapat terjadi anemia.
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi dimana
imunoglobulin atau kompine dari sistem komplemen terikat pada antigen
permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel darah merah
melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas pada AIHA
antara lain IgG,IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang berbeda-beda. AIHA
tipe hangat diperantarai IgG, yang mengikat sel darah merah secara
maksimal pada suhu 37oC. Pada AIHA tipe dingin diperantarai oleh IgM
(coldaglutinin), yang mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0
sampai 4oC). AIHA tipe hangat lebih sering dijumpai dari pada tipe dingin.
Wanita lebih sering terkena daripada laki-laki
Adapun klasifikasi anemia hemolitik autoimun berdasarkan sifat
reaksi antibodi, AHA dibagi 2 golongan sebagai berikut:
1. Anemia Hemolitik Autoimun Hangat atau warm AHA (yang sering
terjadi), Anemia Hemolitik Autoimun Hangat (warm AHA) yakni suatu
7

keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel


darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi melapisi sel darah merah, yang
kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak
dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang.Dan suhu badan
pasien pada anemia hemolitik aotuimun hangat ini >37oC.
Warm reactive antibodies :
a. Primer (idiopatik)
b. Sekunder :
1) Infeksi mononukleosis.
2) Sindroma evand.
3) HIV
4) Terkait dengan gangguan limfoproliferatif (misalnya limfoma
Hodgkin)
5) Terkait dengan gangguan rematik, terutama sytemic lupus
erythematous (SLE)
6) Terkait dengan neoplasma non-limfoid tertentu (misalnya tumor
ovarium)
7) Terkait dengan penyakit peradangan kronis tertentu
(misalnya, kolitis ulserativa)
8) Terkait dengan konsumsi obat-obatan tertentu (misalnya, α-
metildopa) (Packman, 2010)
2. Anemia Hemolitik Dingin atau cold AIHA
Anemia Hemolitik Autoimun Dingin (cold AIHA) yakni suatu
keadaandimana tubuh membentuk aotoantibodi yang beraksi terhadap sel
darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Dan
suhu tubuh pasien pada anemia hemolitik aotuimun dingin ini <37oC.
Cold reactive antibodies:
a.Idiopatik (Cold agglutinin diseases)
b.Sekunder :
1). Atipikal atau pneumonia mikoplasma
2).Kelainan limfoproliferatif sel B
3).Infeksi mononukleosi (Packman, 2010).
8

F. Patogenesis
AIHA disebabkan oleh autoantibodi terhadap antigen eritrosit.
Autoantibodi tersebut berikatan dengan eritrosit. Begitu eritrosit dilapisi oleh
antibodi, maka ia akan dihancurkan mealui satu mekanisme atau lebih
(Luzzato, 2008). Peristiwa destruksi eritrosit yang diperantarai oleh sistem
imun terjadi melalui aktivasi sistem komlemen, mekanisme seluler, maupun
kombinasi keduanya (Taroeno, Pardjono, 2014).
1. Aktivasi komplemen
Sistem komplemen terdiri dari sekitar 20 protein yang hadir dalam
serum manusia normal (dan hewan lainnya). Istilah "komplemen" mengacu
pada kemampuan protein ini untuk meningkatkan efek kerja komponen
lain dalam sistem kekebalan tubuh, misalnya, antibodi. Komplemen
merupakan komponen penting dari pertahanan host bawaan kita (Levinson,
2008).
Ada tiga efek utama dari aktivasi komplemen, yaitu: (1) lisis
sel, seperti pada bakteri, allografts, dan sel-sel tumor; (2) menghasilkan
mediator yang berpartisipasi dalam proses inflamasi (anafilaktosin) dan
menarik neutrofil (kemoatraktan); dan (3) opsonisasi, yaitu peningkatan
fagositosis (Levinson, 2008).
Secara keseluruhan, aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri (Luzzato, 2008).
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun
jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan
jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, dan IgG3. IgM disebut aglutinin tipe
dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada
permukaan eritrosit pada suhu di bawah suhu tubuh (<37ºC dan optimal
pada suhu 20-25ºC). Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena
bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh (Taroeno,
Pardjono, 2014; Luzzato, 2008).
9

Hasil akhir dari jalur komplemen adalah terbentuknya


membrane attack complex dalam jumlah besar. Akibatnya eritrosit dapat
dihancurkan secara langsung, yang dikenal sebagai hemolisis intravaskular
(Luzzato, 2008)

Gambar 1. Jalur aktivasi komplemen (Levinson, 2008)

2. Aktivasi Mekanisme seluler


Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen, atau berikatan dengan komponen komplemen, namun tidak
terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka eritrosit tersebut akan
dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immunoadherence ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai seluler.
Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan
menyebabkan fagositosis (Taroeno, Pardjono, 2014).
10

Dalam kebanyakan kasus bagian Fc dari antibodi akan dikenali oleh reseptor
Fc Makrofag, dan ini akan memicu eritrofagositosis. Dengan demikian
penghancuran eritrosit akan terjadi di mana sel makrofag berlimpah-yaitu di limpa,
hati, dan sumsum tulang. Karena anatomi khusus yang dimiliki limpa, organ
ini sangat efisien dalam sekuestrasi eritrosit yang terlapisi antibodi, dan sering
menjadi situs utama destruksi eritrosit. Meskipun dalam kasus yang parah,
bahkan monosit pun dapat mengambil bagian dalam proses ini, sebagian besar
kerusakan eritrosit dimediasi fagositosis terjadi di limpa dan hati, dan karena itu
disebut hemolisis ekstravaskular (Luzzato, 2008).

Gambar 2. Patogenesis anemia hemolitik autoimun (Luzzato,


2008)

G. Teknik Diagnostik
Diagniosis ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis:
1. Lelah
2. Mudah mengantuk
3. Sesak nafas
4. Cepatnya perlangsungan gejala
5. Riwayat pemakaian obat
6. Riwayat penyakit sebelumnya
11

Pemeriksaan Fisik:
1. Hb rendah (7-20 g/dL)
2. MCV normal atau meningkat
3. Bilirubin indirek meningkat
4. Hemoglobinuri
5. LDH meningkat
6. Retikulosis

AIHA Tipe panas


Pada AIHA tipe panas ini dijumpai kelainan laboratarium sebagai berikut:
1. Darah tepi
Anemia ini juga dijumpai kelainan diantaranya, pada darah tepi terdapat
mikrosferosit, pliikromasia, normoblast dalam darah tepi.
Morfologianemia ini pada umumnya ialah normokoromik normositer dan
juga didapat terjadinya peningkatan retikulosit.
2. Bilurubin serum meningkat 2-4 mg/dl, dengan bilurubin indirek lebih
tinggi dari bilurubin direk.
3. Tes Coombs direk (DAT) positif.
Direct Coomb’s tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen
pada permukaan sel darah merah dan merupakan tanda dari autoimun
hemolisis.

Gambar 3. Tes Coombs


Sumber : http://www.scribd.com/doc/69691421/Anemia-Hemolitik-Autoimun
12

Gambar 4. apusan darah tepi penderita AHA: Menunjukan eritrosit


normokromik normositer, mikrosferosit, fragmentosit dan sebuah normoblast
(panah).
Sumber : http://www.scribd.com/doc/41384272/Anemia-Hemolitik-Autoimun

4. Hemoglobin dibawah 7gr/dl.


5. Yang paling menonjol pada pemeriksaan darah tepi pada tipe hangat ini yakni
ditemukan sferositosis yang menonjol dalam darah tepi

Gambar 5. Menunjukkan sedian apus darah tepi pada anemia hemolitik autoimun
tipe hangat, terdapat banyak mikrosferosit dan sel polikromatik yang lebih besar
(retikulosit)
Sumber: http://www.scribd.com/doc/41384272/Anemia-Hemolitik-Autoimun

AHA Tipe dingin


Tes aglutitinasi dingin dijumpai titer tinggi dan tes Coombs direk positif. Dan
juga tes darah tepi yakni menghitung jumlah lekosit yang kadangsampai >50
rb/mmk yang biasanya dijumpai pada yang akut, sealin itu juga menghitung
jumlah trombosit meningkat.
13

Gambar 6. Sedian apus darah pada anemia hemolitik autoimun tipe


dingin.Aglutinasi eritrosit yang jelas terdapat pada sediaan apus darah yang dibuat
pada suhu ruangan. Latar belakangnya disebabkan oleh kosentrasi protein plasma
yang meningkat

Sumber : http://www.scribd.com/doc/41384272/Anemia-Hemolitik-Autoimun

H. Tatalaksana (Sudino, et al., 2009; Lawrence, 2003)


1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat:
a. Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari per oral. Bila ada respon
terhadap steroid (hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, coomb
direk positif lemah, coomb indirek negatif). Dosis diturunkan tiap
minggu hingga mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis <30
mg/hari dapat diberikan selang sehari. Beberapa pasien memerlukan
terapi rumatan steroid dosis rendah, namun perlu dipertimbangkan
modalitas terapi lain apabila dosis telah >15 mg/hari untuk
mempertahankan kadar hematokrit.
b. Splenektomi, bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa
dilakukan penurunan dosis selama 3 bulan.
c. Rituximab dan alemtuzumab. Rituximab 100mg/minggu
selama 4 minggu.
d. Imunosupresi, Azathriopin 50-200 mg/Hari, Siklofosfamid 50-
150 mg/hari
e. Danazol 600-800 mg/hari, biasanya dipakai bersama steroid, bila
terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis
danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari.
14

f. Transfusi dilakukan pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb


<3 g/dl). Jenis transfusi yang diberikan berupa washed packed red
cells.

2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin:


a. Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis
b. Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu
c. Chlorambucil 2-4 mg/hari dapat diberikan
d. Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa
mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal ini sukar dilakukan

PENCEGAHAN

1. Belum ada obat-obatan yang dapat mencegah anemia hemoltítik


autoimun
2. Sebaiknya konseling genetik sebelum memiliki anak, jika salah satu
pasangan memiliki riwayat anemia hemolitik
3. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik
pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin
4. Hindari transfusi darah yang tidak perlu

I. Komplikasi (Jhon, 2011)


1. Deep vein thrombosis (DVT)
adalah bekuan darah yang terbentuk di vena dalam, biasanya di
tungkai bawah. Kondisi ini cukup serius, karena terkadang bekuan tersebut
bisa pecah dan mengalir melalui peredaran darah ke organ-organ vital
seperti emboli paru atau menyumbat arteri pada limpa sehingga terjadi
iskemi dan bisa menyebabkan gangguan jantung hingga kematian.
2. Gagal ginjal akut
Terjadi Hemogloblinuria oleh karena terjadi penghancuran eritrosit
dalam sirkulasi, maka Hb dalam plasma akan meningkat dan jika
konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma maka Hb
akan berdifusi dalam glomerulus ginjal. Selain itu juga terjadi
15

mikrioangiopati pada pembuluh darah ginjal sehingga merusak tubuli


ginjal menyebabkan oligouria dan gangguan berat fungsi ginjal.
16

IV. KESIMPULAN

1. Anemia hemolitik autoimun ialah penyakit yang timbul karena


terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan
destruksi (hemolisis) eritrosit tetapi sebagian besar juga ada yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik) dan terkadang sistem kekebalan tubuh
mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan selnya sendiri karena
keliru mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun).
2. Anemia hemolitik autoimun mempunyai dua tipe/klasifikasi yakni AHA
tipe dingin dan AHA tipe hangat. Yang mana hangat suhu tubuh
diatas/ >370C. begitu juga dengan AHA tipe ingin suhu <37oC.
3. Penanganan atau penataklasanaan tergantung pada penegakan diagnosis,
tergantung dari tipe Anemia Hemolitik Autoimun tersebut dan juga
seberapa berat penyakit tersebut begitu juga dengan pemberian obat/terapi.
4. prognosis penyakit ini tergantung kecepatan pasien membawa dirinya
untuk berobat ke Rumah Sakit dan kondisi saat pasien dibawa ke Rumah
Sakit.
17

DAFTAR PUSTAKA

A. E. Lichtin, "Anemias caused by hemolysis," in The Merck Manual


ofDiagnosis and Therapy, 19 ed., New Jersey, Merck Sharp &
Dohme Corp,2011, pp. 936-937.

Anemia Hemolitik, 11 Agustus 2008, diunduh dari:


http://www.scribd.com/doc/69691421/Anemia-Hemolitik-Autoimun,
13 April 2012

Anemia Hemolitik, 11 Agustus 2008, diunduh dari:


http://www.scribd.com/doc/41384272/Anemia-Hemolitik-Autoimun,
13 April 2012

Bakta,I Made,2000,Catatan Kuliah Hematologi Klinik (lecture Notes on


Clinical Hematology),FK Unud.RS Sanglah: Denpasar. Hal 59

Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:


Balitbang Kemenkes RI

C. H. Packman, "Hemolytic Anemia Resulting from Immune Injury," in


William's Hematology, 7th ed., M. A. Lichtman, E. Beutler, T. J.
Kipps, U. Seligsohn, K. Kaushansky and J. T. Prchal, Eds., New York,
The McGraw- Hill Companies, 2010.

Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan pemeriksaan fisik. . Jakarta: Penerbit


Erlangga. 2005. Hal 365-66

Jhon, Anemia hemolitik, 24 february 2011, diunduh dari: http://jhon-asuhan-


keperawatan.com/2010/09/anemia-hemolitik, 12 April 2012
K. W. Taroeno-Hariadi and E. Pardjono, "Anemia Hemoliitik Imun," in Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, FKUI Press, 2014, pp. 2607-2613.

L. Luzzatto, "Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss," in


Harrison's Principles of Internal Medicine , 17th ed., A. S. Fauci, D.
L. Kasper, D. L. Longo, E. Braunwald, S. L. Hauser, J. L.
Jameson and J. Loscalzo, Eds., New York, The McGraw-Hill
Companies, 2008.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita


Selekta Kedokteran. Edisi ke-3.Jilid 1.Jakarta:Media Aesculapius;2008.
Hal 550-2.
P. Schick, "Hemolytic Anemia," 29 October 2014. [Online].
Available:http://emedicine.medscape.com/article/201066-
overview#showall. [Accessed 19 August 2015].
18

Prince S.A,Wilson L.M,2006,Patofisiologi:konsep klinis Proses-Proses


Penyakit, penerbit Buku Kedokteran :EGC,Jakarta. Hal 1333-8.

Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R, Penuntun Patologi


Klinik Hematologi.Jakarta :Biro publikasi fakultas kedokteran
Ukrida.2009. Hal 119-20
T. DeLoughery, "Autoimmune hemolytic anemia," Hematology
BoardReview, vol. 8, no. 1, pp. 1-9, 2013.

W. Levinson, "Complement," in Lange Microbiology and Immunology


Review, 10th ed., San Fransisco, The McGraw-Hill Companies, 2008.

Zanella Alberto, Barcellini. 2014. Treatment of Autoimmune Hemolytic


Anemias. Haematologica, journal of the european hemaotology
association owned & published by the Ferrata Storti foundation.Italy.

Anda mungkin juga menyukai