Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)

OLEH:

Jodi Rezha RIvardi 150070200011220

Prabagaran A/L Kanaphaty 150070200011223

Randy Aliwarga 125070100111127

PEMBIMBING:

dr. Budi D. Machsoos, SpPD-KHOM

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RSUD DR. SAIFUL ANWAR

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 1


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 2
1.2 manfaat........................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
2.1 Definisi dan Etiologi ........................................................................................ 4
2.2 Epidemiologi ................................................................................................... 5
2.3 Klasifikasi ....................................................................................................... 5
2.3.1 AIHA Tipe Hangat ............................................................................ 6
2.3.2 AIHA Tipe Dingin ............................................................................. 6
2.3.3 AIHA PCH ........................................................................................ 7
2.3.4 AIHA Tipe Campuran ...................................................................... 7
2.3.5 AIHA Drug Induced .......................................................................... 8
2.4 Diagnosis ...................…………...................................................................... 9
2.4.1 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 10
2.4.2 Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 10
2.5 Patogenesis .................................................................................................. 13
2.6 terapi…… ..................................................................................................... 15
2.7 prognosis ................................................................................…………....… 16
2.8 Komplikasi .................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) merupakan penyakit yang

jarang terjadi namun merupakan penyakit hematologi yang boleh

berakibat fatal. AIHA merupakan penyakit akibat produksi antibodi yang

menyerang eritrosit. Anemia hemolitik autoimun atau AIHA (Auto Immune

Hemolytic Anemia) merupakan suatu kondisi dimana sistem imun tubuh

menyerang sel darah merah tubuh tersebut, menyebabkan kerusakan

atau hemolisis. Tingkat keparahan AIHA bervariasi mulai dari gejala

ringan hingga gejala yang fatal. Insiden AIHA diperkirakan 0.6 hingga 3

kasus per 100.0000 orang. (Polsdorfer, 2011).

AIHA merupakan kelainan darah yang jarang terjadi namun cukup

penting untuk diketahui. AIHA diperantarai oleh antibodi dan sebagian

besar adalah IgG, tipe AIHA ini disebut sebagai AIHA tipe hangat karena

IgG merupakan antibodi yang berikatan pada temperatur suhu tubuh.

AIHA tipe dingin di mediasi oleh antibodi IgM yang berikatan maksimal

pada temperatur dibawah 370C. (DeLoughery, 2013).

“Warm” AIHA yang diperantarai oleh antibodi IgG yang

beraktivitas optimal pada suhu 37oC, kasusnya sejumlah 80 hingga 90%

dari total kasus AIHA. Meskipun kematian dari “warm” AIHA cukup jarang,

namun tingkat kematian sebesar 4 hingga 11% telah dilaporkan pada

kematian anak – anak. Tingkat kematian cukup tinggi pada AIHA

campuran dengan “warm” AIHA (DeLoughery, 2013).


Menurut Winthrobe’s (2003) pembahagian jenis-jenis AIHA seperti

berikut :

1. AIHA warm antibody type

2. AIHA cold antibody type

3. Mixed cold and warm active antibodies

4. Drug induced AIHA

5. Paroxysmal cold hemoglobunuria

6. AIHA karena alloantibody (reaksi hemolitik pada transfusi)

Terapi steroid merupakan pilihan pertama pada pasien dengan

AIHA dengan efektivitas sebesar 80%. Tanpa terapi steroid yang

memadai, AIHA memiliki prognosis yang buruk dan tingkat mortalitas

sebesar 31 – 53% (Neff A. T., 2003).

AIHA membutuhkan terapi yang cepat juga memadai untuk

mengurangi resiko terjadinya komplikasi atau bahkan kematian.

Sehingga, untuk menambah pengetahuan mengenai pengenalan kasus

AIHA, penegakan diagnosis, serta penatalaksanaan terhadap AIHA, maka

disusunlah responsi kasus mengenai AIHA.

1.2 Manfaat

Kami berharap responsi kasus ini dapat menambah pengetahun

dokter muda mengenai definisi hingga tatalaksana AIHA, dan bisa

melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis,

memberikan terapi pendahuluan, serta melakukan perujukan sesuai

dengan standar kompetensi 3A sebagai dokter umum.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia

2.1.1. Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa

eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan

oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan

kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009)

2.1.2. Etiologi

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: (Bakta,2009)

1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang

2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)

3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya

(hemolisis)

2.1.3. Kriteria Anemia

Kriteria Anemia menurut WHO

Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL

Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL

Wanita hamil Hb < 11 gr/dL


2.2 Epidemiologi

Anemia hemolitik mencakup 5% dari semua anemia. Kejadian AIHA akut

relatif jarang, dengan insiden 1-3 kasus per 100,000 populasi per tahun. Anemia

hemolitik tidak spesifik untuk ras tertentu. Namun, gangguan sickle cell atau

anemia sel bulan sabit banyak ditemukan pada ras Afrika, Afrika-Amerika,

beberapa orang Arab, dan Aborigin di India selatan (Gallagher, 2010).

Sebagian besar kasus anemia hemolitik tidak spesifik pada jenis kelamin

tertentu. Namun, AIHA terjadi sedikit lebih sering pada wanita daripada pria.

Defisiensi G6PD merupakan gangguan X-linked resesif. Maka, biasanya pria

terkena, dan wanita adalah pembawa (gen) nya (Gallagher, 2010).

Meskipun anemia hemolitik dapat terjadi pada semua orang dengan usia

berapapun, namun pada AIHA karena gangguan herediter biasanya timbul gejala

lebih awal atau pada usia dini. Selain dari itu, AIHA lebih sering terjadi pada

orang dengan usia pertengahan atau usia tua (Gladder, 1999).

2.3 Klasifikasi

AIHA diklasifikasikan berdasarkan karakteristik reaktivitas terhadap

autoantibodi sel darah merah. Terdapat autoantibodi yang dapat bekerja lebih

efektif pada suhu hangat dan ada yang lebih efektif pada suhu yang dingin, oleh

karena itu dapat diklasifikasikan AIHA dengan autoantibodi hangat dan dingin.

Namun, juga terdapat penderita AIHA dengan kombinasi antara autoantibodi

hangat dan dingin (Gehrs, 2002).


Tabel 1. Klasifikasi AIHA berdasarkan Perbedaan Karakteristik Serologi

(diadaptasi dari Gehrs dan Friedberg, 2002).

2.3.1 AIHA Tipe Hangat

Sebagian besar kasus AIHA adalah autoantibodi hangat, yaitu 48-70%.

AIHA tipe hangat dapat secara sekunder disebabkan oleh penyakit tertentu

misalnya: CLL, Hodgin Disease, Limfoma non Hodgkin, Multiple myeloma, dan

SLE, dan masih banyak lagi penyakit autoimun yang dapat menyebabkan AIHA

tipe hangat. Secara epidemiologi, AIHA tipe hangat paling banyak terdapat pada

anak usia 4 tahun, dan lebih banyak terjadi pada wanita, sebesar 2:1. AIHA tipe

hangat juga berhubungan dengan HLA-A1, B7 DAN B8 (22-30). Gejala dan

tanda klinis yang dapat terjadi antara lain: kelemahan, kelelahan, pusing, sesak

nafas, demam, perdarahan, penurunan berat badan, nyeri abdomen. Pada

hemolisis yang fulminan juga didapatkan jaundice, anemis, edema,

hemoglobinuria, splenomegali, hepatomegali, dan pada anak-anak sering disertai

infeksi virus. Berdasarkan hasil laboratorium MCV biasanya meningkat

merefleksikan retikulositosis, namun tanpa respon sum-sum tulang yang baik

juga dapat terjadi retikulositopenia, sedikit leukositosis, dan neutrofilia, dan pada

apusan darah tepi menunjukkan polichromasia dan makrositosis dari


retikulositdan sel darah merah yang berinti. Menurut patologinya, AIHA tipe

hangat ini melibatkan IgG (Zeerleder, 2011).

2.3.2 AIHA Tipe Dingin

Autoantibodi tipe dingin menyebabkan 2 manifestasi yang berbeda, yatu

CAS (Cold Hemaglutinin Disease), dan PCH (Paroxysmal Cold Hemoglobinuria).

16-32% kasus AIHA merupakan CAS, biasanya CAS terjadi pada orang dewasa

sekitar usia 70 tahun, dan sedikit lebih banyak terdapat pada wanita. Kelainan

limfoproliferatif dan infeksi turut menyumbang kasus CAS sekunder. Beberapa

infeksi ini berhubungan dengan terjadinya CAS: adenovirus, influenza, CMV,

Listeria monocytogen, dan Varicella zoster virus (Sigbjørn, 2012). Pasien dengan

CAS biasanya bersifat kronis, memunculkan tanda pucat dan gejala mudah lelah,

biasanya pasien stabil sehingga progresivitas penyakitnya tidak terasa, namun

lingkungan yang dingin dapat menyebabkan eksaserbasi kondisi pasien. Patologi

CAS melibatkan IgM dan komplemen, pasien memiliki hasil positif terhadap anti

C3 dan reagen polispesifik dengan anti IgG negatif (Gehrs dan Friedberg, 2002).

2.3.3. AIHA PCH (Paroxysmal Cold Hemoglobinuria)

PCH (Paroxysmal Cold Hemoglobinuria) merupakan jenis AIHA yang

sangat jarang, insidensnya hanya 2-10% dari kasus AIHA. Penyebab PCH ada

yang idiopatik maupun secara sekunder disebabkan penyakit tertentu, misal

pada tahap lanjut sifilis kongenital. PCH biasanya terjadi pada anak-anak, tidak

ada predileksi ras maupun jenis kelamin. Secara klinis, PCH ditandai

denganserangan demam akut, menggigil, nyeri kaki atau punggung, dan keram

abdomen, diperberat dengan udara dingi, dapat disertai urtikaria dingin,

rauynaud’s phenomenon, dan gejala tersebut dapat berkurang dalam beberapa

jam. Bentuk PCH yang kronis dapat ditandai dengan episode hemolitik berulang

yang diperberat dengan paparan dingin. Secara laboratoris hematokrit dan

hemoglobin dapat menurun, retikulositopenia pada gejala akut, leukopenia yang


diikuti leukositosis, BUN dan creatinin menignat, dan dapat menyebabkan gagal

ginjal. PCH disebabkan oleh autoantibodi IgG bifasik(Donath-Laindstener

antibody), dimana antibodi ini mengikat komplemen pada suhu rendah, namun

terdisosiasi pada suhu tinggi, sehingga anti C3 positif, dan anti-IgG negatif,

kecuali jika suhu lebih dingin lagi. Autoantibodi IgG secara efektif mengikat sel

darah merah pada suhu 0-4oC, namun masih dapar mengikat sampai suhu 20oC.

Autoantibodi Donath-Landsteiner merupakan autoantibodi yang poten, hanya

dalam jumlah sedikit dapat menimbulkan hemolisis.Autoantibodi ini secara

spesifik menyerang antigen P (Berentsen dan Tjønnfjord, 2012).

2.3.4 AIHA Tipe Campuran

Pada AIHA tipe campuran, pasien dengan antigen hangat AIHA juga

memiliki aglutinin dingin, sehingga keduanya mencetuskan tipe campuran. Tipe

campuran inin terjadi secara idiopatik dan juga dapat sekunder akibat penyakit

autoimun seperti SLE. Biasanya pasien memiliki perjalanan kronis dengan

eksaserbasi parah sampai Hemoglobin dapat mencapai 5mg/dL saja, namun

eksaserbasi ini tidak berhubungan dengan paparan dingin, dan tidak

menyebabkan fenomena Raynaud maupun acrocyanosis. Secara laboratoris,

IgG dan C3 nya positif (Gehrs dan Friedberg 2002).

2.3.5 Drug-induced AIHA

Tidak hanya beberapa penyakit yang secara sekunder dapat

menyebabkan AIHA. Obat-obatan juga dapat mencetuskan terjadinya AIHA.

Menurut sejarah, α-methydopa dan penisilin dosis tinggi banyak mencetuskan

terjadinya AIHA yang diinduksi obat. Persentase AIHA diinduksi obat adalah

sebesar 12-18%. Angka kejadian AIHA induksi obat menurun setelah

dikembangkannya pengobatan sefalosproin generasi 3. Walaupun jarang, AIHA

yang diinduksi sefalosproin dapat berakibat fatal. AIHA induksi obat terjadi

dengan beberapa interaksi antara obat, antibodi, dan komponen membran sel
darah merah. Mekanisme tersebut adalah induksi autoantibodi, pembentukan

neoantigen (kompleks imun), dan absorbsi obat ke dalam sel darah merah.

Neoantigen membuat obat berikatan lemah ke sel darah merah, dan sistem imun

mendeteksi komponen sel darah merah + obat tersebut sebagai suatu kompleks

yang mengubah struktur Sel darah merah sehingga dianggap antigen asing

(Berentsen dan Tjønnfjord, 2012).

2.4 Diagnosis

Diagnosis AIHA ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis secara umumnya, gejala anemia

seperti lemas, pusing, lemah, serta sesak nafas saat beraktivitas. Gejala lain

yang tidak banyak dijumpai antara lain demam, pendarahan, batuk, nyeri perut,

dan penurunan berat badan. Pasien dengan hemolisis yang fulminen biasanya

diikuti dengan jaundice, pucat, edema, urin berwarna pekat, splenomegali,

hepatomegali, dan limfadenopati (Gehr B.C., Friedberg R.C. 2002).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan onset penyakit tersamar, gejala

anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus

dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia

berat. Urin berwama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40%

pasien. Pada AIHA idiopatik, splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali

terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien

tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi (Parjono E. et al. 2006).

Untuk pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu

hemoglobin dimana Hb sering dijumpai di bawah 7 g/dL dan pemeriksaan Coomb

direk biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum

dan dapat dipisahkan dari sel sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG

dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini
biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya

antigen Rh (Luzatto L. 2008).

2.4.1 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda ikterik

(hiperbilirubinemia yang biasa ditemukan pada anemia hemolitik), pucat (tanda

umum anemia), splenomegali, petekie atau purpura (anemia hemolitik autoimun

dengan trombositopenia), ulkus pada ekstremitas bawah (hemoglobinopati),

perubahan bentuk waajah (anemia hemolitik kongenital, thalassemia mayor), dan

katarak (defisiensi G6PD) (Brugnara, 2009).

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang

Penurunan kadar hemoglobin dan serum haptoglobin, peningkatan hitung

retikulosit, bilirubin indirek, serum lactate dehydrogenase (LDH), urobilinogen

urin, dan hemoglobinuria (+ darah pada urine dipstick, namun tidak ada eritrosit

pada urin) merupakan hasil pemeriksaan penunjang yang dapat ditemukan pada

anemia hemolitik. Pada pasien yang diduga dengan anemia hemolitik,

pemeriksaan apusan darah tepi harus dilakukan karena mayoritas etiologi

anemia hemolitik berhubungan dengan kelainan morfologi yang dapat dilihat

pada apusan darah tepi (Tabel). Direct antiglobulin test (DAT) atau yang dikenal

dengan Coombs test dapat diperiksa untuk mengidentifikasi antibodi dan

komponen komplemen pada permukaan eritrosit. Coombs test yang positif akan

mengarahkan diagnosis ke autoimmune hemolytic anemia (AIHA). Pemeriksaan

untuk mengkonfirmasi diagnosis anemia hemolitik lainnya, antara lain

elektroforesis Hb, panel enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase), dan osmotic

fragility test (Marshall, 2003). Berikut adalah alur diagnostik yang dapat

digunakan:
Morfologi Eritrosit Kemungkinan diagnosis

Sickle cells Sickle cells disease

Target cells Hemoglobinopati (HbC, HbS,

thalassemia, liver disease)

Schistocytes / burr cells / helmet cells / Microangiopathic hemolytic anemia –

RBC fragments DIC, HUS, TTP

Spherocytes Hereditary spherocytosis, autoimmune

hemolytic anemia

Cigar-shaped cells Hereditary elliptocytosis

“Bite” Cells Defisiensi G6PD

Poikilocytosis, microcytosis, Hereditary pyropoikilocytosis

fragmented erythrocytes, elliptocytes

Tabel 2. Anemia hemolitik: kemungkinan diagnosis berdasarkan morfologi

eritrosit (Berman, 2004).


Gambar 1. Alur diagnostik pasien anemia hemolitik (Berman, 2004).
Gambar 2. Apusan Darah Tepi Pasien CAD Primer

(Berentsen & Tjønnfjord, 2012).

2.5 Patogenesis

Autoantibodi mengarah kepada epitop pada sel darah merah yang

mengandung struktur glukosa atau protein merupakan patogenesis yang

mendasari AIHA. Isotipe IgM membentuk struktur pentamer dan sangat efisien

dalam aktivasi komplemen. Selain IgM, IgG1 dan IgG 3 juga merupakan

aktovator komplemen yang kuat, sedangkan IgG2 dan IgA hanya memiliki

kemampuan yang rendah dalam mengaktivasi komplemen. Secara umum,

sistem komplemen tidak sepenuhnya diaktivasi, dan hasil degradasi komplemen

(C3c, C3d) dapat terdeteksi pada sel darah merah, hal ini dikenal dengn sebutan
Complement’s footprint. Aktivasi komplemen terus berlangsung sampai

pembentukan MAC (Membrane Attack Complex) yang akhirnya berujung pada

lisis dari sel darah merah. Antibodi dingin mengikat sel darah merah secara

optimal pada suhu <30oC, dan biasanya merupakan isotipe IgM. Autoantibodi

hangat mengikat sel darah merah secara optimal pada suhu 37oC, dan sebagian

besar adalah IgG. Sel darah merah yang diselubungi oleh IgG dengan atau tanpa

C3c/C3d akan dihancurkan ileh reseptor Fc-γ melalui fagositosis di limpa.

Sedangkan sel darah merah yang diselubungi oleh C3c/C3d tanpa IgG akan

dihancurkan oleh komplemendi hepar (intravascular hemolisis) (Zeerleder, 2011).

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada AIHA (Zeerleder,

2011).
2.6 Terapi

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI) ada

beberapa tatalaksana untuk AIHA. Terapi yang bisa diberikan pada pasien ini

adalah kortikosteroid dengan dosis 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu

sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit

meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai

normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda

respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis

10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan secara selang

sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis

rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan

kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.

Splenektomi dapat dilakukan apabila terapi steroid tidak adekuat atau

tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan

splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel

darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi,

namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang

jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi

komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat pernanen.

Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.

Selain itu terdapat juga terapi dengan imunosupresi yaitu Azathioprin 50-

200 mg/hari (80 mg/m2) dan siklofosfamid 50- I50 mg/hari.

Terapi lain yang dapat diberikan adalah danazol dengan dosis 600-800

mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan,

steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazolditurunkan menjadi 200-400

mg.hari. Kombinasi Danazoldan prednison memberikan hasil yang bagus


sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol

berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome. Terapi

immunoglobulin intravena (400 mg/ kg BB per hari selama 5 hari) menunjukkan

perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif

pada beberapa pasien lain. Menurut DeLoughery, respon hanya 40%. Jadi terapi

ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara.

Mycophenolate mofetil 500 mg per hari sampai 1000 mg per hari dilaporkan

memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter. Rituximab dan alemtuzumab

pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup baik sebagai salvage

therapy lT. Dosis Rituximab 100 mg perminggu selama 4 minggu tanpa

memperhitungkan luas permukaan tubuh. Terapi plasmafaresis masih

kontroversial.

Pada kasus AIHA terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi

mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb ≤ 3 g/dl) transfusi dapat

diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

2.7 Prognosis AIHA

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI)

prognosis untuk AIHA hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan

komplit dan sebagian besar rmemiliki perjalanan penyakit yang berlangsung

kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli

pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode

penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada

AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari.


2.8 Komplikasi AIHA

AIHA yang berat dapat mengarah pada kematian, infeksi bakteri dan virus

tertentu. Pemberian steroid dapat mengurangi komplikasi AIHA tapi pemberian

steroid jangka panjang juga akan menimbulkan komplikasi lain (Gersten, 2010).

Thromboemboli vena (venous thromboembolisme/VTE) adalah komplikasi

AIHA yang paling serius, akut, sering terlewatkan dan letal. Beberapa studi kasus

membahas 47 pasien dengan AIHA memiliki adanya keadaan prothrombotic

pada pasien dengan AIHA menunjukkan bahwa emboli paru menjadi penyebab

utama kematian (Sonikpreet, 2014).


DAFTAR PUSTAKA

Aladjidi N, Leverger G, Leblanc T, Picat MQ, Michel G, Bertrand Y, et al. 2011.


New insights into childhood autoimmune hemolytic anemia: a French
national observational study of 265 children. Haematologica. 96:655–63

Bakta I M, 2009, PendekatanTerhadapPasien Anemia.

Berman BW. 2004. Chapter 48. Pallor and Anemia. In: Kliegman RM,
Greenbaum LA, Lye PS. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and
Therapy. 2nd edition. Philadelphia; Saunders. p.873-894

Berentsen S, Randen U, Tjønnfjord GE. 2015. Cold agglutinin-mediated


autoimmune hemolytic anemia. Hematol Oncol Clin North Am. 29 (3):455-
71.

Beutler E, Bull BS, Herrmann PC. 2010. Hemolytic Anemia Resulting from
Chemical and Physical Agents. Kaushansky K, Lichtman MA, Beutler E,
Kipps TJ, Seligsohn U, Prchal JT, eds. Williams Hematology. 8th ed. New
York, NY: McGraw Hill. 763-68.

Brugnara C, Oski FA, Nathan DG. 2009. Chapter 10. Diagnostic Approach to the
Anemic Patient. In: Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher
DE, Lux SE. Nathan And Oski’s Hematology of Infancy and Childhood.
7th edition. Saunders. p. 456-466.

Gallagher PG. 2010. The Red Blood Cell Membrane and Its Disorders:
Hereditary Spherocytosis, Elliptocytosis, and Related Diseases.
Kaushansky K, Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Prchal
JT, eds. Williams Hematology. 8th ed. New York, NY: McGraw Hill; 617-
46.

Gallagher PG. Red cell membrane disorders. Hoffman R, Benz EJ Jr, Silberstein
LE, Heslop H, Weitz J, Anastasi J, eds. Hematology: Basic Principles and
Practice. 6th ed. New York, NY: Churchill Livingstone; 2013. 592-613.

Gehrs B.C., dan Friedberg, D. C. 2002. Autoimmune Hemolytic Anemia.


American journal of Hematology. 69: 258-271

Gersten, T. Immune hemolytic anemia.


https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000576.htm. Diakses
tanggal 12 juni 2016

Hillman, Robert S. Dan Ault, Kenneth A. 2000. Hematology in Clinical Practice


a Guide to Diagnosis and Management ed3, McGraw – Hill Medical
Publishing Division, USA.

Holfbrand, A.V. 1996. Essencial Haematology ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan,


Penerbit buku Kedokteran EGC , Jakarta.

Jager U, Lechner K. Autoimmune hemolytic anemia. Hoffman R, Benz EJ Jr,


Silberstein LE, Heslop H, Weitz J, Anastasi J, eds. Hematology: Basic
Principles and Practice. 6th ed. New York, NY: Churchill Livingstone;
2013. 614-17.

Klaus L,. Ulrich, J. 2010. How I treat autoimmune haemolytic anemia in adult.
http://www.bloodjournal.org/content/116/11/1831?sso-checked=true.
Diakses tanggal 12 juni 2016

Marshall A Lichtman et al,2003. Manual of Hematology 6th ed. Mc Graw- Hill


Medical Publishing Division. USA.

Mayer B, Leo A, Herziger A, Houben P, Schemmer P, Salama A. 2013.


Intravascular immune hemolysis caused by the contrast medium
iomeprol. Transfusion.

Means RT, Glader B. 2009. Anemia: General Considerations. In: Greer et al.
Wintrobe’s Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins; p. 780-809.

Packman CH, Leddy JP. 1995. Acquired hemolytic anemia due to warm-reacting
autoantibodies. Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, eds.
Williams Hematology. 5th ed. New York, NY: McGraw Hill. 667-84.

Paul, S., Besa, M. Hemolytic Anemia Treatment & Management.


http://emedicine.medscape.com/article/201066-treatment. Diakses
tanggal 12 juni 2016

Sanz J, Arriaga F, Montesinos P, Ortí G, Lorenzo I, Cantero S, et al. 2007.


Autoimmune hemolytic anemia following allogeneic hematopoietic stem
cell transplantation in adult patients. Bone Marrow Transplant. 39(9):555-
61.

Sigbjørn, Berentsen dan Geir E. Tjønnfjord. 2012. Diagnosis and treatment of


cold agglutinin mediated autoimmune hemolytic anemia. Blood Reviews
26 (2012) 107– 115: Elsevier
Silberstein LE, Cunningham MJ. 2007. Autoimmune Hemolytic Anemias. In:
Hillyer CD, Silberstein LE, Ness PM, Anderson KC, Roback JD, editors.
(eds). Blood Banking and Transfusion Medicine. Basic Principles and
Practice. 2nd ed Philadelphia: Churchill Livingstone.

Sonikpreet, S. 2014. Case Report: Autoimmune Hemolytic Anemia with Venous


Thromboembolism, a Common Complication of a Rare Disease. Disadur
dari www.bloodjournal.org. 124:4869.

Ware RE. 2009. Chapter 14. Autoimmune Hemolytic Anemia. In: Orkin SH,
Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE. Nathan And Oski’s
Hematology of Infancy and Childhood. 7th edition. Saunders. p. 613-658

Valent P, Lechner K. 2008. Diagnosis and treatment of autoimmune haemolytic


anaemias in adults: a clinical review. Wien Klin Wochenschr. 120:136–51

Zanella, A. Wilma, B. 2014. Treatment of haemolytic anemia


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4181250. Diakses tanggal
12 juni 2016.
Zeerleder. 2011. Autoimmune haemolytic anaemia : a practical guide to cope
with a disease. The Journal Medicine: Van Zuiden Communications B.V.

Anda mungkin juga menyukai