OLEH:
PEMBIMBING:
2017
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
ringan hingga gejala yang fatal. Insiden AIHA diperkirakan 0.6 hingga 3
besar adalah IgG, tipe AIHA ini disebut sebagai AIHA tipe hangat karena
AIHA tipe dingin di mediasi oleh antibodi IgM yang berikatan maksimal
dari total kasus AIHA. Meskipun kematian dari “warm” AIHA cukup jarang,
berikut :
1.2 Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anemia
2.1.1. Definisi
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009)
2.1.2. Etiologi
(hemolisis)
relatif jarang, dengan insiden 1-3 kasus per 100,000 populasi per tahun. Anemia
hemolitik tidak spesifik untuk ras tertentu. Namun, gangguan sickle cell atau
anemia sel bulan sabit banyak ditemukan pada ras Afrika, Afrika-Amerika,
Sebagian besar kasus anemia hemolitik tidak spesifik pada jenis kelamin
tertentu. Namun, AIHA terjadi sedikit lebih sering pada wanita daripada pria.
Meskipun anemia hemolitik dapat terjadi pada semua orang dengan usia
berapapun, namun pada AIHA karena gangguan herediter biasanya timbul gejala
lebih awal atau pada usia dini. Selain dari itu, AIHA lebih sering terjadi pada
2.3 Klasifikasi
autoantibodi sel darah merah. Terdapat autoantibodi yang dapat bekerja lebih
efektif pada suhu hangat dan ada yang lebih efektif pada suhu yang dingin, oleh
karena itu dapat diklasifikasikan AIHA dengan autoantibodi hangat dan dingin.
AIHA tipe hangat dapat secara sekunder disebabkan oleh penyakit tertentu
misalnya: CLL, Hodgin Disease, Limfoma non Hodgkin, Multiple myeloma, dan
SLE, dan masih banyak lagi penyakit autoimun yang dapat menyebabkan AIHA
tipe hangat. Secara epidemiologi, AIHA tipe hangat paling banyak terdapat pada
anak usia 4 tahun, dan lebih banyak terjadi pada wanita, sebesar 2:1. AIHA tipe
tanda klinis yang dapat terjadi antara lain: kelemahan, kelelahan, pusing, sesak
juga dapat terjadi retikulositopenia, sedikit leukositosis, dan neutrofilia, dan pada
16-32% kasus AIHA merupakan CAS, biasanya CAS terjadi pada orang dewasa
sekitar usia 70 tahun, dan sedikit lebih banyak terdapat pada wanita. Kelainan
Listeria monocytogen, dan Varicella zoster virus (Sigbjørn, 2012). Pasien dengan
CAS biasanya bersifat kronis, memunculkan tanda pucat dan gejala mudah lelah,
CAS melibatkan IgM dan komplemen, pasien memiliki hasil positif terhadap anti
C3 dan reagen polispesifik dengan anti IgG negatif (Gehrs dan Friedberg, 2002).
sangat jarang, insidensnya hanya 2-10% dari kasus AIHA. Penyebab PCH ada
pada tahap lanjut sifilis kongenital. PCH biasanya terjadi pada anak-anak, tidak
ada predileksi ras maupun jenis kelamin. Secara klinis, PCH ditandai
denganserangan demam akut, menggigil, nyeri kaki atau punggung, dan keram
jam. Bentuk PCH yang kronis dapat ditandai dengan episode hemolitik berulang
antibody), dimana antibodi ini mengikat komplemen pada suhu rendah, namun
terdisosiasi pada suhu tinggi, sehingga anti C3 positif, dan anti-IgG negatif,
kecuali jika suhu lebih dingin lagi. Autoantibodi IgG secara efektif mengikat sel
darah merah pada suhu 0-4oC, namun masih dapar mengikat sampai suhu 20oC.
Pada AIHA tipe campuran, pasien dengan antigen hangat AIHA juga
campuran inin terjadi secara idiopatik dan juga dapat sekunder akibat penyakit
terjadinya AIHA yang diinduksi obat. Persentase AIHA diinduksi obat adalah
yang diinduksi sefalosproin dapat berakibat fatal. AIHA induksi obat terjadi
dengan beberapa interaksi antara obat, antibodi, dan komponen membran sel
darah merah. Mekanisme tersebut adalah induksi autoantibodi, pembentukan
neoantigen (kompleks imun), dan absorbsi obat ke dalam sel darah merah.
Neoantigen membuat obat berikatan lemah ke sel darah merah, dan sistem imun
mendeteksi komponen sel darah merah + obat tersebut sebagai suatu kompleks
yang mengubah struktur Sel darah merah sehingga dianggap antigen asing
2.4 Diagnosis
seperti lemas, pusing, lemah, serta sesak nafas saat beraktivitas. Gejala lain
yang tidak banyak dijumpai antara lain demam, pendarahan, batuk, nyeri perut,
dan penurunan berat badan. Pasien dengan hemolisis yang fulminen biasanya
berat. Urin berwama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40%
terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien
direk biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum
dan dapat dipisahkan dari sel sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG
dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini
biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya
urin, dan hemoglobinuria (+ darah pada urine dipstick, namun tidak ada eritrosit
pada urin) merupakan hasil pemeriksaan penunjang yang dapat ditemukan pada
pada apusan darah tepi (Tabel). Direct antiglobulin test (DAT) atau yang dikenal
komponen komplemen pada permukaan eritrosit. Coombs test yang positif akan
elektroforesis Hb, panel enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase), dan osmotic
fragility test (Marshall, 2003). Berikut adalah alur diagnostik yang dapat
digunakan:
Morfologi Eritrosit Kemungkinan diagnosis
hemolytic anemia
2.5 Patogenesis
mendasari AIHA. Isotipe IgM membentuk struktur pentamer dan sangat efisien
dalam aktivasi komplemen. Selain IgM, IgG1 dan IgG 3 juga merupakan
aktovator komplemen yang kuat, sedangkan IgG2 dan IgA hanya memiliki
(C3c, C3d) dapat terdeteksi pada sel darah merah, hal ini dikenal dengn sebutan
Complement’s footprint. Aktivasi komplemen terus berlangsung sampai
lisis dari sel darah merah. Antibodi dingin mengikat sel darah merah secara
optimal pada suhu <30oC, dan biasanya merupakan isotipe IgM. Autoantibodi
hangat mengikat sel darah merah secara optimal pada suhu 37oC, dan sebagian
besar adalah IgG. Sel darah merah yang diselubungi oleh IgG dengan atau tanpa
Sedangkan sel darah merah yang diselubungi oleh C3c/C3d tanpa IgG akan
2011).
2.6 Terapi
beberapa tatalaksana untuk AIHA. Terapi yang bisa diberikan pada pasien ini
sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit
meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai
normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda
respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis
10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan secara selang
sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis
kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan
namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang
jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi
Selain itu terdapat juga terapi dengan imunosupresi yaitu Azathioprin 50-
Terapi lain yang dapat diberikan adalah danazol dengan dosis 600-800
berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome. Terapi
perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif
pada beberapa pasien lain. Menurut DeLoughery, respon hanya 40%. Jadi terapi
Mycophenolate mofetil 500 mg per hari sampai 1000 mg per hari dilaporkan
memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter. Rituximab dan alemtuzumab
pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup baik sebagai salvage
kontroversial.
mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb ≤ 3 g/dl) transfusi dapat
kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli
pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode
penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada
AIHA yang berat dapat mengarah pada kematian, infeksi bakteri dan virus
steroid jangka panjang juga akan menimbulkan komplikasi lain (Gersten, 2010).
AIHA yang paling serius, akut, sering terlewatkan dan letal. Beberapa studi kasus
pada pasien dengan AIHA menunjukkan bahwa emboli paru menjadi penyebab
Berman BW. 2004. Chapter 48. Pallor and Anemia. In: Kliegman RM,
Greenbaum LA, Lye PS. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and
Therapy. 2nd edition. Philadelphia; Saunders. p.873-894
Beutler E, Bull BS, Herrmann PC. 2010. Hemolytic Anemia Resulting from
Chemical and Physical Agents. Kaushansky K, Lichtman MA, Beutler E,
Kipps TJ, Seligsohn U, Prchal JT, eds. Williams Hematology. 8th ed. New
York, NY: McGraw Hill. 763-68.
Brugnara C, Oski FA, Nathan DG. 2009. Chapter 10. Diagnostic Approach to the
Anemic Patient. In: Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher
DE, Lux SE. Nathan And Oski’s Hematology of Infancy and Childhood.
7th edition. Saunders. p. 456-466.
Gallagher PG. 2010. The Red Blood Cell Membrane and Its Disorders:
Hereditary Spherocytosis, Elliptocytosis, and Related Diseases.
Kaushansky K, Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Prchal
JT, eds. Williams Hematology. 8th ed. New York, NY: McGraw Hill; 617-
46.
Gallagher PG. Red cell membrane disorders. Hoffman R, Benz EJ Jr, Silberstein
LE, Heslop H, Weitz J, Anastasi J, eds. Hematology: Basic Principles and
Practice. 6th ed. New York, NY: Churchill Livingstone; 2013. 592-613.
Klaus L,. Ulrich, J. 2010. How I treat autoimmune haemolytic anemia in adult.
http://www.bloodjournal.org/content/116/11/1831?sso-checked=true.
Diakses tanggal 12 juni 2016
Means RT, Glader B. 2009. Anemia: General Considerations. In: Greer et al.
Wintrobe’s Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins; p. 780-809.
Packman CH, Leddy JP. 1995. Acquired hemolytic anemia due to warm-reacting
autoantibodies. Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, eds.
Williams Hematology. 5th ed. New York, NY: McGraw Hill. 667-84.
Ware RE. 2009. Chapter 14. Autoimmune Hemolytic Anemia. In: Orkin SH,
Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE. Nathan And Oski’s
Hematology of Infancy and Childhood. 7th edition. Saunders. p. 613-658