Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN BELAJAR MANDIRI

MODUL 1 BLOK 2.1


Dosen Tutor : Prof. Dr. dr. Masrul, M.Sc, Sp.GK

Oleh

Rafiqah Azzahra
2210312022

Kelompok 1

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas

2023/2024
1. Pengertian Anemia

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin,
kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana
ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi,
perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar
hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian
tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan
gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam
diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat
ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena
seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal in dapat diungkap
akan menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan
penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui
penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus
anemia tersebut.

Kriteria Anemia

Parameter yang paling mum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul ole hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya
ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah
kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi
secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian
tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di bawah
kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling
rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dI dan 12 g/di pada perempuan dewasa pada
permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yaitu 12 g/dl (hematokrit
38%) untuk perempuan dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan
13 g/di untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan
penelitian lapangan.
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila
kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi
poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia
lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah
dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dI sebagai awal dari work up
anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl.

2. Etiologi Anemia

Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun
di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Mayer memberikan gambaran
prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985

Untuk Indonesia, Husaini kk memberikan gambaran prevalensi anemia pada


tahun 1989 sebagai berikut:
Anak prasekolah :30 - 40%
Anak usia sekolah :25-35%
Perempuan dewasa tidak hamil :30 - 40%
Perempuan hamil :50 - 70%
Laki-laki dewasa :20-30%
Pekerja berpenghasilan rendah :30 - 40%
Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali memberikan angka-angka
yang tidak jauh berbeda dengan angka di atas.

3. Etiologi dan Faktor Resiko Anemia


Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab.
Pada dasarnya anemia disebabkan ole karena:
1). Gangguan pembentukan eritrosit ole sumsum tulang;
2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan);
3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi
menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH <
27 pg; 2). Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3).
Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.

Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
4. Patofisiologi dan gejala anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turn di
bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena: 1). Anoksia organ; 2).
Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala mum
anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turn di bawah
7 g/dI. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada:

a) Derajat penurunan hemoglobin;


b) Kecepatan penurunan hemoglobin;
c) Usia;
d) Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:

Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom
anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar hemoglobin.Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia
setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/di). Sindrom anemia terdiri
dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang,
kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat,
yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan ole
penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin
yang berat (Hb <7g/dI).

Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing


jenis anemia. Sebagai contoh:
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
 Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
 Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi

Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang
menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan
warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih
dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik ole karena artritis
reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting
pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya
diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

5. Pendekatan Diagnosis Holistik Anemia

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity),
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal in penting
diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis
anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah:

 Menentukan adanya anemia


 Menentukan jenis anemia
 Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
 Menentukan ada atau tidakya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan

Pendekatan Diagnosis Anemia Terdapat bermacam-macam cara pendekatan


diagnosis anemia, antara lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi,
fungsional dan probabilistik, serta pendekatan klinis.

Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional dan Probabilistik

Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan
sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif. Pendekatan
lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka
anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi
anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia makrositer.
Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan karena
penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka
retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh
peningkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan in kita dapat menduga jenis anemia
dan kemungkinan penyebabnya. Hasil in dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik
(pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang bersandar pada data epidemiologi
yaitu pola etiologi anemia di suatu daerah.

Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia

Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia
defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada
orang dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah
tropis anemia defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat
penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil anemia karena defisiensi folat
perlu juga mendapat perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria mash cukup
sering dijumpai. Pada anak-anak tampakya thalasemia lebih memerlukan perhatian
dibandingkan dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali, mungkin juga di
Indonesia, anemia aplastik merupakan salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita
menjumpai anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah
yang menjadi perhatian kita pertama-tama. Dengan penggabungan bersama gejala klinis
dan hail pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan
lebih terarah.

Pendekatan Klinis Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah

1. Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia),


2. Berat ringannya derajat anemia,
3. Gejala yang menonjol.

Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit

Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia
yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh:

1. Perdarahan akut,
2. Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb
>1 g/dl per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan
cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia
akibat defisiensi G6PD,
3. Anemia yang timbul akibat leukemia akut,
4. Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik.

Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh:

1. Anemia defisiensi besi;


2. Anemia defisiensi folat atau vitamin B 12;
3. Anemia akibat penyakit kronik;
4. Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.
Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia

Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat
biasanya disebabkan oleh :

1) Anemia defisiensi besi;


2) Anemia aplastik;
3) Anemia pada leukemia akut;
4) Anemia hemolitik didapat atau kongenital seperti misalnya pada thalasemia
major;
5) Anemia pasca perdarahan akut;
6) Anemia pada GGK stadium terminal.

Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai
derajat berat ialah:

1) Anemia akibat penyakit kronik;


2) Anemia pada penyakit sistemik;
3) Thalasemia Trait.

Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat, maka harus
dipikirkan diagnosis lain, atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat
anemia tersebut.

Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia

Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia
lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi,
anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan
anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),
gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.

Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia

Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia
lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi,
anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan
anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),
gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.

Pendekatan Diagnostik Berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium

Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik
merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang
cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium
6. Pemeriksaan Penunjang pada Anemia
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang
diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:

1) Pemeriksaan penyaring (screening test);


2) Pemeriksaan darah seri anemia;
3) Pemeriksaan sumsum tulang;
4) Pemeriksaan khusus.

Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar


hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya
anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan
diagnosis lebih lanjut.

Pemeriksaan Darah Seri Anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung


retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology
analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga


mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis
definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan
untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik
yang dapat mensupresi sistem eritroid.

Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:

 Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity), saturasi
transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum,reseptor transferin dan pengecatan
besi pada sumsum tulang (Perl's stain).
 Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin
dan tes Schiling.
 Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan
lain-lain.
 Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan


faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.
7. Tatalaksana Komprehensif pada Anemia

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia
ialah:

1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah


ditegakkan terlebih dahulu
2) Pemberian hematinik tapa indikasi yang jelas tidak dianjurkan;
3) Pengobatan anemia dapat berupa:
(i) Terapi untuk keadaan darurat seperti misalmya pada perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik,
(ii) Terapi suportif,
(iii) Terapi yang khas untuk masing-masing anemia,
(iv)Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut;
4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini harus dilakukan
pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit
pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan
diagnosis;
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat
simtomatik tau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell,
jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah,
ole karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika
kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.

8. Komplikasi dan Prognosis Anemia

A. anemia aplastik

Definisi

Pansitopenia yang disertai dengan hiposelularitas sum- sum tulang.

Etiologi

Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idi- opatik. Namun. beberapa ha! yang dianggap
sebagai penyebab anemia aplastik adalah radiasi, benzen, kemoterapi. hipersensitivitas, atau
pemberian kloram- fenikol dalam dosis yang berlebihan, infeksi virus hepatitis Uarang). virus
Ebstein-Barr, sitomegalovirus, parvovirus, serta hemoglobinuria paroksismal nok- turnal.
Anemia aplastik dapat terjadi pada kehamilan (meski sangat jarang) dan sembuh sendiri setelah
ter- jadi persalinan ataupun aborsi. Anemia aplastik dapat pula bersifat kongenital. misalnya
anemia Fanconi.
Epidemiologi

Relatif jarang ditemukan. Insidens berkisar antara 2-6 kasus per I juta penduduk per tahun.
Umumnya terjadi pada usia 15-25 tahun; puncak insidens kedua (lebih jarang) terjadi setelah
usia 60 tahun.

Klasifikasi

Manifestasi Klinik

Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea, jantung berdebar, pucat, dan keluhan pusing.
Trombositopenia menyebabkan perdarahan mukosa dan mudah memar. Neutropenia
meningkatkan kerentanan terhadap in- feksi. Oleh sebab itu, keluhan pasien anemia aplastik
meliputi perdarahan. badan lemah. pusing, jantung berdebar. demam, nafsu makan berkurang,
pucat, sesak napas, penglihatan kabur, dan telinga berdeng- ing. Keluhan yang paling sering
ditemukan adalah perdarahan, badan terasa lemah, dan pusing. Pada pe- meriksaan fisis dapat
ditemukan pucat (100% kasus), perdarahan (kulit, gusi, retina, hidung. saluran cerna, atau
vagina), demam. dan hepatomegali. Splenomegali tidak ditemukan pada pasien anemia aplastik.

Diagnosis

Anemia aplastik ditegakkan berdasarkan temuan pan- sitopenia pada pemeriksaan darah tepi dan
hiposelularitas pada biopsi sumsum tulang.

1. Darah tepi. Ditemukan anemia normositik normo- krom; kadang ditemukan makrositosis,
anisositosis, poikilositosis; granulosit dan trombosit ditemukan dalam jumlah rendah;
limfositosis relatif (terjadi pada 75% kasus); retikulosit rendah atau normal;
2. Laju endap darah (LED), selalu meningkat (89% kasus memiliki LED >I 0 mm/jam
dalam jam per- tama);
3. Faal hemostasis: waktu perdarahan memanjang (karena trombositopenia):
4. Sumsum tulang: gambaran hiposeluler, kepadatan sumsum tulang < 25%, banyak terisi
oleh lemak.

Diagnosis Banding
1. Sindrom mielodisplasia hiposeluler

 Anemia aplastik: sel CD34+ menurun (umumnya :o._0,3%). pemeriksaan sitogenetik


menunjukkan kromosom yang normal;
 Sindrom mielodisplasia hiposeluler: sel CD34+¿ normal (0,5 -1%) atau meningkat;
memiliki karakteristik berupa abnormalitas morfologi (megakariosit. sel prekursor
mieloid, aneuploidi).

2. Leukemia limfositik granular besar. Dikenali dari fenotip yang berbeda pada pemeriksaan
mikroskopik darah (pola pulasan sel-sel khusus pada flow cytometry) dan ketidakteraturan
reseptor sel T (menandakan adanya ekspansi mo- noklonal sel T).

Tatalaksana

Tata laksana definitif berupa transplantasi sumsum tulang (TST)

 Pasien berusia muda umumnya mentoleransi TST lebih baik;


 Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-500/mm3 lebih
mendapatkan manfaat dengan terapi imunosupresif daripada TST;
 Pasien dengan hitung neutrofil sangat rendah, lebih baik mendapat TST mengingat
neutropenia pada pasien yang mendapat terapi imunosupresi baru akan membaik setelah
kurang lebih 6 bulan.

Terapi suportif:

 Apabila terdapat keluhan akibat anemia, berikan transfusi PRC hingga kadar Hb 7-8 g/
dL;
 Terapi imunosupresi: antithymocyte globulin (ATGam) 20 mg/KgBB/hari selama 4 hari
(berasal dari kuda) atauthymoglobulin 3,5 mg/ KgBB/hari selama 5 hari (berasal dari
kelinci) ditambah dengan siklosporin A (CsA) 12-15 mg/KgBB selama 6 bulan.
 Untuk meningkatkan neutrofil: G-CSF (Filgrastim 5 μg/KgBB/hari) atau GM-CSF
(Sargramostim 250 μg/ KgBB/ hari). Pemberian bersamaan dengan regimen
imunosupresiATG/ CsA dapat memperbaiki neutropenia dan respon terapi ini merupakan
faktor prognostik yang baik.
 Atasi infeksi dengan pemberian antibiotik. Jnfeksi disertai dengan neutropenia berat
harus segera diatasi dengan pemberian antibiotik spektrum luas parenteral; umumnya
diberikan seftazidim atau kombinasi aminoglikosida, sefalosporin, dan penisilin. Pasien
diedukasi untuk menjaga higiene dalam rangka mencegah terjadinya infeksi.
 Untuk merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang: steroid
anabolik (oxymethylone, danazol). Saat ini, hanya digunakan sebagai terapi
penyelamatan pada pasien yang refrakter terapi imunosupresi

Komplikasi

Infeksi berat (dapat berakibat fatal) , perdarahan, gagal jantung pada anemia berat.
Prognosis

Tergantung pada derajat penyakitnya. Pada tahun pertama setelah didiagnosis, pasien dengan
anemia aplastik berat memiliki survival rate sekitar 20%. Pada umumnya pasien meninggal
karena infeksi, perdarahan, atau komplikasi transfusi darah.

B. Anemia Defisiensi

a. Anemia Defisiensi Besi

Definisi

Anemia yang terjadi akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis karena cadangan
besi kosong. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya pembentukan hemoglobin.

Etiologi

1) Kebutuhan zat besi meningkat: anak dalam masa pertumbuhan, kehamilan, dan
laktasi;
2) Kehilangan zat besi karena perdarahan:
 Tractus gastrointestinal; pemakaian OAINS tukak peptic, kanker lambung,
kanker kolon, diverticulosis, hemoroid, infeksi cacing tambang (sering di
Indonesia)
 Traktus urinaria: hematuria
 Traktus respiratorius : hemoptoe
 Organ genitalia perempuan: menoragia, metroragia

3) Konsumsi zat besi yang kurang (faktor nutrisi), yaitu kurangnya jumlah konsumsi zat
besi dalam makanan sehari-hari. Kebutuhan zat besi yang diperoleh dari makanan
ialah sekitar 20 mg/hari. Dari jumlah tersebut, kurang lebih hanya 2 mg yang diserap;
4) Gangguan absorpsi zat besi: pasca gastrektomi, penyakit Crohn, tropical sprue

Epidemiologi
Merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara berkembang
berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Di Indonesia, ane- mia defisiensi besi
terjadi pada 16-50% laki-laki dan 25-48% perempuan; 46-92% ibu hamil dan 55,5% balita.

Klasifikasi

Defisiensi besi merupakan tahapan akhir dari penurunan cadangan besi yang telah menimbulkan
gejala klinis. Berikut tahapannya :

1) deplesi besi( iron depleted state). Cadangan besi menurun, penyediaan besi untuk
eritropoiesis terganggu
2) eritropoiesis defesiensi besi ( iron deficient erythropoiesis). Cadangan besi kosong,
penyediaan besi untuk eritropoiesis terganggu, belum muncul anemia secara laboratoris
3) Anemia defisiensi besi. Cadangan besi kosong, sudah muncul anemia defisiensi besi

Manifestasi Klinis

 Gejala umum anemia: lemah, cepat lelah. mata berkunang-kunang, pucat;

 Gejala khas defisiensi besi: koi!onikia (kuku sendok) , atrofi papil lidah,
stomatitis angularis, disfagia, maupun pica.

Stomatitis angularis ialah lesi makulopapular dan vesikular pada kulit sudut bibir dan perbatasan
mukokutaneus; sementara atrofi papil lidah ialah kondisi tidak terdapat atau menumpulnya papil
fili- formis pada lidah. Gejala disfagia muncul akibat rusaknya epitel hipofaring. Besi termasuk
salah satu nutrisi yang diperlukan untuk replikasi, penyembuhan, dan proteksi sel sehingga
defisiensi Fe akan menyebabkan kerusakan sel yang terjadi pada beberapa area tersebut.

Koilonikia ialah hilangnya konveksitas longitudi- nal dan lateral pada kuku, dengan penebalan
pada ujung distal menyerupai sendok. Mekanisme ter jadinya belum diketahui dengan jelas.
Pica ialah perilaku memakan bahan-bahan non-nu- trisi, misalnya pasir, tanah, kapur, dan
sebagainya. Kondisi tersebut dapat terjadi pada defisiensi besi akibat hilangnya sensasi
pengecapan dan gangguan neurologis.

Diagnosis
Anemia defisiensi besi ditegakkan apabila ditemukan penurunan kadar Hb dan penurunan kadar
Fe serum. Profil hematologik pada anemia defisiensi besi adalah sebagai berikut:

1) Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit: Hb J.. MCV J. ,MCH J. ,MCHC J. ;


2) Apusan darah tepi. Dapat ditemukan gambaran anemia mikrositik hipokrom, anisositosis,
poikilo- sitosis, sel cincin, sel pensil;
3) Besi (Fe) serum menurun hingga <50 μg/dL. Besi termasuk acute phase reactant yang
akan mening- kat pada kondisi inflamasi (positif palsu);
4) Total iron-binding capacity (TIBC) meningkat >350 μg/dL. TIBC mengambarkanjumlah
total besi yang dapat dibawa oleh protein transferin;
5) Saturasi transferin < 15%. Saturasi transferin meng- gambarkan persentase dari transferin
yang sedang berikatan dengan besi;
6) Penurunan kadar feritin serum. Feritin merupakan indikator cadangan besi yang baik,
namun tidak da- pat dijadikan patokan pada keadaan inflamasi. Un- tuk daerah tropik
dianjurkan menggunakan angka feritin serum <20 mg/L sebagai kriteria diagnosis anemia
defisiensi besi.
Tata Laksana

1. Terapi kausal, dengan mengatasi penyebab perdarahan yang terjadi, misalnya mengobati
infeksi cacing tambang;
2. Pemberian preparat besi (Fe): ferrous sulfat per oral 3x200 mg selama 3-6 bulan, ada
pula yang menganjurkan hingga 12 buIan. Preparat diberikan saat perut kosong.
 Pada pasien yang tidak tahan terhadap keluhan gastrointestinal, seperti mual,
muntah, konstipasi, pemberian ferrous sulfat dapat dilakukan saat makan atau
dosis dikurangi menjadi 3xl00 mg;
 Dapat diberikan preparat vitamin C 3xl00 mg untuk meningkatkan penyerapan zat
besi.
3. Terapi besi parenteral: iron dextran complex (50 mg/ mL) , subkutan atau intravena
pelan. Rute parenteral bertujuan mengembalikan kadar Hb dan mengisi besi hingga 50-
100 mg. Dosis kebutuhan besi (mg) = [(15-Hb pasien) x Berat Badan x 2,4] + (500- 1000
mg)Namun, rute ini bukan pilihan utama dan hanya dilakukan atas indikasi:
 Intoleransi terhadap pemberian besi oral; Kepatuhan terhadap pemberian besi oral
ya ng rendah;
Gangguan pencernaan yang dapat kambuhjika diberikan preparat besi oral,
misalnya kolitis ulseratif;
 Penyerapan preparat besi oral terganggu, misalnya pada gastrektomi;
Terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar, sehingga tidak dapat dikompensasi
dengan pemberian preparat oral;
 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu singkat, misalnya sebelum operasi;
Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoietin pada anemia
gaga! ginjal kronis.

Komplikasi
Anemia defisiensi besi kronis jarang menimbulkan komplikasi berat. Perdarahan hebat dapat
menye- babkan kematian, berkaitan dengan hipoksia yang disebabkan oleh anemia
pascaperdarahan. Pada anak- anak, anemia defisiensi besi berhubungan dengan gangguan fungsi
kognitif, tumbuh kembang, dan imu- nitas tubuh.

Prognosis
Tanda respon pengobatan yang baik, antara lain retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai
pun- cak pada hari ke- 10 dan kembali normal setelah hari ke- 14, kenaikan Hb 0 ,15 g/dL per
hari atau 2 g/dL setelah 3-4 minggu sehingga Hb akan kembali normal setelah 4-10 minggu.

b. Anemia Defisiensi Asam Folat

Definisi

Merupakan bagian dari anemia megaloblastik, yaitu anemia makrositik yang ditandai dengan
adanya peningkatan ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh adanya abnormalitas
hematopoiesis akibat gang- guan sintesis DNA.

Etiologi

1. Asupan yang tidak adekuat:


a. Pasien defisiensi folat lebih sering kurang gizi. Asam folat banyak terdapat pada
daging, susu. dan sayuran hijau. Asupan asam folat yang di- anjurkan ialah 3,6
μg/KgBB/hari untuk bayi, 3.3 μg/KgBB/hari untuk anak-anak, dan 3, 1
μg/KgBB/hari untuk dewasa. Kebutuhan asam folat minimum per hari ialah 50
μg.
b. Sering terjadi pada pecandu alkohol karena sumber utama asupan kalori yang
dikonsumsi berasal dari alkohol; alkohol dapat menggang- gu metabolisme folat;
2. Keperluan yang meningkat, misalnya pada bayi, kehamilan, pasien hemodialisis;
3. Malabsorpsi: tropical sprue. nontropical sprue, pe- candu alkohol ;
4. Obat-obatan:
a. Penghambat langsung sintesis DNA: analog pu- rin (6-tioguanin, azatriopin, 6-
merkaptopurin, zidovudin);
b. Antagonis folat: metroteksat, pentamidin, trimetropim, triamterene. pirimetamin;
c. Lain-lain: fenitoin, primidon, fenobarbital.

Epidemiologi

Umumnya terjadi pada individu berusia > 40 tahun. Prevalensinya semakin meningkat seiring
dengan ber- tambahnya usia.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anemia defisiensi asam folat hampir serupa dengan anemia megaloblastik
lainnya, yaitu keluhan anemia umum (lemas, mudah lelah, nyeri kepala ringan, pucat), diare,
glositis, dan keilosis. Ber- beda dengan anemia defisiensi vitamin B12 , pada anemia defisiensi
asam folat tidak ditemukan abnormalitas neurologik.

Diagnosis

Anemia defisiensi folat ditegakkan apabila ditemu- kan penurunan kadar Hb dan penurunan
kadar folat serum. Profit hematologik pada anemia defisiensi folat adalah sebagai berikut:

1. Pada pemeriksaan apus darah tepi, ditemukan sel-sel darah merah yang besar
(makrositik). MCV > 100 fL, dan neutrofil hiperpigmentasi:
2. Kadar asam folat serum < 4 ng/mL secara umum dipertimbangkan untuk diagnosis
defisiensi folat (kadar normal: 6-20 ng/mL). Kadar folat serum dapat menggambarkan
perubahan baru pada asupan makanan sehingga sangat berguna untuk mendapatkan
informasi.

Diagnosis banding

Anemia pernisiosa (defisiensi Vitamin B12/ kobalamin). Pada anemia pernisiosa terdapat
gangguan penyerapan Vit B12. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya factor intrinsic akibat atrofi
mukosa atau destruksi sel parietal lambung
Tata Laksana
Suplementasi asam folat 1 mg/hari per oral. Dosis tinggi hingga 5 mg per hari mungkin
diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan oleh malabsorpsi.

Komplikasi

Folat dalam bentuk 5-methy/ tetrahydrofolic acid diperlukan dalam proses konversi homosistein
menja- di metionin. Defisiensi folat menyebabkan hiperhomo- sisteinemia yang berhubungan
erat dengan penyakit aterosklerosis, seperti coronary artery disease (CAD) dan stroke. Pada ibu
hamil, defisiensi folat dapat menyebabkan aborsi spontan. malformasi kongenital (neural tube
defect). dan keterlambatan berbicara pada anak yang dilahirkan.

Prognosis

Pada umumnya pasien berespon baik terhadap suplementasi folat, yang ditandai dengan proses
reti- kulositosis setelah 4 hari yang diikuti dengan terkorek- sinya anemia setelah 1-2 bulan
kemudian.

C. Anemia Hemolitik
a. Anemia Hemolitik Imun

Definisi

Suatu kelainan akibat adanya antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek. Hal tersebut disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen yang menyebabkan
hemolisis intravaskular, aktivasi mekanisme seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular,
atau kombinasi keduanya.

Etiologi
Penyebab adanya antibodi terhadap sel-sel eritrosit yang menyebabkan hemolisis belum
diketahui dengan jelas.

Epidemiologi
Anemia hemolitik meliputi 5% dari keseluruhan anemia. AIHA akut sangatjarang terjadi,
insiden- snya 1-3 kasus per I00.000 individu per tahun. Lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki dan umumnya terjadi pada usia pertengahan (middle-aged).

Klasifikasi
AIHA Tipe Hangat
Meliputi 70% kasus AIHA. Bereaksi optimal pada suhu 37°C. Sekitar 50% AIHA tipe hangat
disertai de- ngan penyakit lain. Pada Kasus AIHA tipe hangat yang berat, awitan terjadi sangat
cepat dan bersifat fatal.

Manifestasi Klinis :

Gejala umum anemia, ikterik (40% kasus). demam, urin berwarna gelap (karena
hemoglobinuria). Pada AIHA idiopatik didapatkan splenomegali (50-60% kasus) . hepatomegali
(30% kasus) dan limfadenopati (25% kasus).

Pemeriksaan Penunjang

1. Hb <7 g/dL;
2. Retikulosit 200.000-600.000/μL
3. Apusan darah: sferositosis (+)
4. Uji Coomb direk+ (autoantibodi dari kelompok IgG umumnya bereaksi dengan antigen
Rh).

Tata Laksana

1. Medikamentosa:
a) Kortikosteroid (prednison) l -1,5 mg/ KgBB/ 0 hari per oral. Bila ada respon
terhadap steroid (Hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, Coomb direk
positif lemah, Coomb indirek negatif), dosis diturunkan tiap minggu hingga
mencapai dosis l 0-20 mg/hari. Terapi steroid dosis <30 mg/hari dapat diberikan
selang se hari. Beberapa pasien memerlukan terapi rumatan steroid dosis rendah,
namun perlu dipertimbangkan modalitas terapi lain apabila dosis
telah > l 5 mg/hari untuk mempertahankan kadar hematokrit;
b) Imunosupresan: azatriopin 50-200 mg/hari, atau siklofosfamid 50-150 mg/hari;
c) Danazol 600-800 mg/hari. Umumnya dipakai bersama dengan steroid. Bila terjadi
perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan
menjadi 200-400 mg/hari.
d) Transfusi. dilakukan pada kondisi yang mengancamjiwa (misalnya Hb <3 g/dL).
2. Pembedahan: splenektomi dipertimbangkan apabila terapi steroid tidak adekuat atau tidak
dapat dilakukan tapering off dalam waktu 3 bulan.

Prognosis
Angka kesintasan (survival) l0 tahun sekitar 70%, dengan tingkat mortalitas 5-10 tahun sekitar
15-25%.

AIHA Tipe Dingin


Hemolisis bersifat kronis. diperantarai oleh aglutinin dingin (IgM) dan antibodi Donath-
Landstainer.
Manifestasi Klinis
Anemia ringan (Hb 9-12 g/dL). akrosianosis(aglutinasi intravaskular: ditandai dengan
munculnya warna biru keunguan pada ekstremitas, hidung. dan telinga saat terpapar suhu dingin)
dan splenomegali.

Pemeriksaan Penunjang
Anemia ringan , retikulositosis ringan, sferositosis, polikromatosis, tes Coomb positif, antibodi
(anti-I/ anti-M/anti-Pr/anti-M/anti-P) positif.

Tata Laksana

1. Menghindari udara dingin yang memicu hemolisis:


2. Klorambusil 2-4 mg/ hari;
3. Terapi prednison dan splenektomi tidak banyak membantu:
4. Mencari kemungkinan penyebabnya, AIHA tipe dingin dapat disebabkan oleh keganasan
limfoproliferatif

Prognosis
Pasien dengan sindrom kronis memiliki survival yang baik dan cukup stabil.

Paroksismal Cold Hemoglobinuria


Jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar udara dingin.
Penyakit ini sering berkaitan dengan sifilis.

Manifestasi Klinis
Hemolisis paroksismal disertai dengan mengigil. panas. mialgia. sakit kepala, sering disertai
dengan urtikaria.

Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobinuria. sferositosis. eritrofagositosis, tes Coomb positif. antibodi Donath-Landsteiner
terdisosi- asi dari sel darah merah. Diagnosis pasti: pemeriksaan antibodi cold reacting IgG (+).

Tata Laksana

1. Menghindari faktor pencetus (udara dingin);


2. Apabila berkaitan dengan sifilis, umumnya berespon baik dengan tata laksana sifilis;
3. Glukokortikoid dan splenektomi tidak ada manfaatnya;

4. Paroksismal cold hemoglobinuria kronis mungkin berespon terhadap azatioprin atau


siklofosfamid.

Prognosis

Umumnya baik,dengan survival yang panjang.


AIHA diinduksi obat
Terdapat riwayat penggunaan obat-obat tertentu (lihat bagian Klasifikasi).

Manifestasi Klinis
Sangat bervarisi, berupa gejala dan tanda hemolisis ringan sampai berat.

Pemeriksaan Penunjang
Anemia. retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif, leukopenia. trombositopenia,
hemoglobinemia, dan hemoglobinuria.

Tata Laksana

1. Menghentikan pemakaian obat yang menjadi penyebab seumur hidup:


2. Kortikosteroid dan tranfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.

Prognosis
Resolusi segera terjadi setelah penggunaan obat yang memicu terjadinya hemolisis dihentikan.

Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi

Reaksi transfusi akut yang disebabkan oleh keti- daksesuaian ABO eritrosit merupakan hemolisis
aloi- mun yang paling berat. Dalam beberapa menit, pasien akan sesak napas. demam, nyeri
pinggang, menggigil. mual, muntah. hingga syok. Reaksi transfusi diper- lambat terjadi 3-10 hari
setelah transfusi, umumnya disebabkan oleh adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap
antigen minor eritrosit.

Apabila terjadi reaksi akut hemolitik pascatransfu- si, segera stop transfusi. Antisipasi adanya
hipotensi, gagal ginjal, dan KID.Pasang jalur intravena dan cepat berikan cairan kristaloid.
misalnya salin normal 0,9%.

b. Anemia Hemolitik Non-Imun


Definisi
Anemia akibat kerusakan eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan eritropoiesis sumsum
tulang dan terjadi tanpa melibatkan imunoglobulin.

Etiologi dan Klasifikasi

Berdasarkan Etiologi:

1. Anemia hemolisis herediter


a. Defek enzim: defekjalur Embden Meyerhof. de- fisiensi piruvat kinase,
defisiensi glukosafosfat- isomerase, defisiensi fosfogliserat -kinase ,
b. Defek jalur heksosa-monofosfat: defisiensi glu- kosa 6-fosfatdehidrogenase
(G6PD) ,
c. Hemoglobinopati: talasemia, anemia bulan sabit (sickle cell anemia).
hemoglobinopati lain- nya,
d. Defek membran: sferositosis herediter:
2. Anemia hemolisis didapat
a. Anemia hemolisis imun : idiopatik, keganasan. obat-obatan. infeksi. transfusi,
b. Mikroangiopati: trombotik trombositopenia purpura (TIP), sindrom uremik
hemolitik, ko- agulasi intravaskular diseminata. preeklamsia, eklamsia,
hipertensimaligna, penggunaan katup prostetik:
c. Infeksi: malaria, babesiosis. Clostridium sp.

Berdasarkan ketahanan hidup dalam sirkulasi darah resipien:

1. Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat hidup dalam di
sirkulasi darah resipien yang kompatibel. sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.
2. Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eri- trosit pasien dapat hidup dalam di
sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal tidak
dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.

Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin:

1. Anemia hemolisis imun


2. Anemia hemolisis nonimun

Epidemiologi
Sickle cell anemia umumnya terdapat pada orang Afrika, Afrika-Amerika , Arab , dan India
Selatan. Defisiensi G6PD merupakan X-link resesif sehingga dijumpai pada laki-laki. Anemia
hemolitik non-imun herediter umumnya terjadi pada masa awal kehidupan.

Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia, seperti lemah, pusing, mudah lelah, dan sesak. Gejala kuning dan urin
berwarna kecoklatan jarang dilaporkan. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya kulit atau
mukosa yang ikterik, serta tanda splenomegali.

Diagnosis

1. Pemeriksaan darah tepi: penurunan kadar hemoglobin, retikulositosis;


2. Morfologi erirosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya, misalnya
sferosit pada sferositosis herediter. anemia hemolitik autoimun; sel target pada talasemia,
hemoglobinopati, penyakit hati: schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular;
3. Tanda hemolisis lainnya:
 Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (indirek) dan hemoglobinuria.
 Kadar LDH-2 dan SCOT meningkat dapat menunjukkan adanya percepatan
destruksi eritrosit jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain.
 Hiperplasia eritroid di sumsum tulang
Tata Laksana
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya, misalnya anemia hemolisis
imun dapat diberikan kortikosteroid, splenektomi, atau obat-obat imunosupresan, seperti
siklofosfamid/ azatriopin.

Prognosis

Tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Secara umum , angka mortalitas pada kasus
anemia hemolitik tergolong rendah, namun meningkat pada pasien berusia lanjut dengan
gangguan kardiovaskular.

D. Anemia Penyakit Kronis

Definisi
Anemia yang dijumpai pada pasien dengan infeksi, inflamasi kronis, maupun keganasan. Anemia
ini umumnya bersifat ringan atau sedang, disertai dengan rasa lelah atau penurunan berat badan.

Etiologi dan Faktor Risiko

1. Banyak dihubungkan dengan berbagai macam penyakit infeksi kronis, seperti


tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakterialis, osteomielitis, infeksi jamur kronis,
HIVIAIDS. Anemia terjadi sekitar 1-2 bulan setelah infeksi terjadi.

2. Inflamasi kronis, seperti artritis reumatoid, enteritis, kolitis ulseratif. Penyakit kolagen
dan artritis reumatoid merupakan penyebab tersering.

3. Keganasan (neoplasma), seperti limfoma dan sarko- ma. Anemia pada keganasan ini
disebut cancer-related anemia.

Manifestasi Klinis
Gejala anemia seringkali tersamar oleh gejala penyakit dasarnya karena anemia yang terjadi
umum nya ringan atau sedang (Hb sekitar 7-11 g/dL). Pada pemeriksaan fisis hanya ditemukan
konjungtiva yang pucat.

Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan temuan profil hematologik berikut dengan penyakit kronis yang
menyertai.

1. Morfologi eritrosit umumnya normositik normokrom, walaupun banyak pasien


mengalami anemia mikrositik hipokrom:
2. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat:
3. Kadar besi serum menurun. terjadi segera setelah awitan suatu infeksi atau inflamasi.
mendahului terjadinya anemia. Kadar total-iron binding capacity (TIBC) rendah. Kadar
besi pada sumsum tulang normal atau meningkat. kadar feritin normal atau meningkat,
serta kadar transferin menurun.

Diagnosis Banding

1. Drug-induced marrow suppression/drug-induced hemolysis:


2. Perdarahan kronis;
3. Thalasemia minor:
4. Gangguan ginjal (umur eritrosit memendek dan terdapat kegagalan relatif sumsum
tulang);
5. Metastasis pada sumsum tulang

Tata Laksana

1. Terapi utama ialah mengobati penyakit dasarnya.


2. Pada kasus yang disertai dengan gangguan hemodinamik dapat diberikan transfusi, kadar
Hb sebaiknya dipertahankan 10-11 g/dL. Pemberian preparat besi tidak
direkomendasikan pada anemia penyakit kronis.
3. Pemberian eritropoietin disepakati hanya diberikan pada pasien anemia akibat kanker,
gaga] ginjal. mieloma multipel. artritis reumatoid. dan pasien HIV. Pemberian
eritropoietin ini memiliki efek antiinflamasi dengan cara menekan produksi TNF- a dan
interferon- y .

D. Thalasemia

Definisi
Talasemia adalah kelompok kelainan hematologik diturunkan akibat defek sintesis satu atau
lebih ran- tai globin. Talasemia alfa disebabkan kurangnya atau tidak adanya sintesis rantai
globin alfa dan talasemia beta disebabkan oleh kurang atau tidak adanya sinte- sis rantai globin
beta. Ketidakseimbangan rantai glo- bin menyebabkan hemolisis. Pembawa sifat talasemia baik
alfa maupun beta bersifat asimtomatis dan tidak membutuhkan terapi. Pasien dengan talasemia
beta mayor berisiko meninggal karena komplikasi kardiak akibat kelebihan besi

Epidemiologi
Sekitar 5% populasi dunia memiliki varian globin tetapi hanya 1,7% memiliki trait talasemia alfa
atau beta. Talasemia mengenai baik laki-lak.i maupun pe- rempuan dan terjadi sekitar 4,4 setiap
10.000 kela- hiran hidup. Talasemia alfa terjadi paling sering pada keturunan Afrika dan Asia
Tenggara sedangkan ta- lasemia beta paling umum terjadi pada orang Medite- rania, Afrika dan
keturunan Asia Tenggara.

Patofisiologi
Hemoglobin terdiri atas cincin heme yang berisi besi dan empat rantai globin {dua rantai alfa dan
dua rantai non-alfa). Komposisi empat rantai globin me- nentukan tipe hemoglobin:
1. Hemoglobin fetal {HbF): dua rantai alfa dan dua rantai gamma.
2. Hemoglobin A (HbA, tipe dewasa) : dua rantai alfa dan dua rantai beta.
3. Hemoglobin A,: dua rantai alfa dan rantai delta.

Ketika lahir, jumlah HbF mencapai 80% dan jumlah HbA hanya 20%. Transisi dari globin
gamma ke globin beta dimulai sejak kelahiran. Sekitar usia 6 bu- lan, bayi yang sehat sudah akan
bertransisi ke HbA. Jumlah HbA2 dan HbF sangat kecil sehingga dapat diabaikan.

Klasifikasi
1. Talasemia Alfa

Talasemia alfa adalah hasil dari defisiensi atau tidak adanya sintesis rantai globin alfa, sehingga
rantai globin beta berlebih. Produksi rantai globin alfa dikendalikan oleh dua gen pada masing-
masing kromosom 16. Penurunan produksi biasanya dise- babkan oleh delesi satu atau lebih dari
gen ini. Delesi gen tunggal akan menyebabkan karier talasemia alfa (minor) dengan mikrositosis
dan biasanya tidak ter- dapat anemia. Delesi tiga gen menyebabkan produksi signifikan
hemoglobin H (HbH) yang memiliki empat rantai beta. Talasemia alfa intermedia atau penyakit
HbH, menyebabkan anemia mikrositik, hemolisis, dan splenomegali. Delesi empat gen akan
menyebabkan produksi hemoglobin Barts' (Hb Barts') yang memiliki empat rantai gama.
Talasemia alfa mayor dengan Hb Barts' biasanya disertai hidrops fetalis.
2. Talasemia Beta
Talasemia beta disebabkan oleh kurangnya atau tidak adanya sintesis rantai globin beta, sehingga
ter- jadi kelebihan rantai alfa. Sintesis globin beta diken- dalikan oleh satu gen pada kromosom I
1. Talasemia beta terjadi akibat lebih dari 200 mutasi titik dan delesi dari dua gen Uarang) .
Produksi rantai glob in beta dapat berkisar antara mendekati normal sampai sama sekali tidak ada
sehingga terdapat lebih banyak variasi keparahan dari kelebihan rantai globin alfa dibandingkan
rantai globin beta. Apabila terjadi satu defek gen akan menjadi trait (minor) yang asimtoma- tis,
mikrositik dan anemia ringan. Bila kedua gen tidak ada, akan menimbulkan talasemia beta
mayor, gejala akan muncul saat usia 6 bulan.

Diagnosis

Anamnesis

1. Pucat kronis dan riwayat transfusi berulang


2. Riwayat keluarga akan penyakit yang sama;
3. Organomegali: perut yang semakin membesar atau teraba massa di perut;

Pemeriksaan Fisis
1. Pucat;
2. Organomegali: hepatosplenomegali diakibatkan oleh

(1) destruksi eritrosit berlebihan,


(2) hemo- poiesis ekstramedular, dan
(3) penumpukan besi. Splenomegali meningkatkan kebutuhan darah dengan
meningkatkan volume plasma;

3. Facies cooley diakibatkan oleh hiperplasia sumsum tulang dan penipisan korteks;
Gangguan pertumbuhan dan status gizi yang kurang .

Gambar Facies cooley

Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer lengkap

 Anemia mikrositik ringan. Anemia mikrositik dapat disebabkan oleh defisiensi besi,
talase- mia, keracunan timbal, anemia sideroblastik atau anemia penyakit kronis. lndeks
MCV, RDW, dan anamnesis riwayat pasien dapat mengeksklusi etiologi. MCV biasanya
kurang dari 75 fl pada talasemia dan jarang kurang dari 80 fl pada anemia defisiensi besi
sampai hematokrit kurang dari 30%.
 Indeks Mentzer (MCV/ eritrosit). Pada talase- mia, indeks Mentzer < 13 sedangkan pada
anemia defisiensi besi, indeks Mentzer Indeks lebih dari > 13. Rasio bernilai I 3 dianggap
meragukan.
 Nilai red blood cell distribution width (RDW) meningkat. RDW dapat membantu
membeda- kan defisiensi besi dan anemia sideroblastik dengan talasemia. Semakin tinggi
RDW berarti semakin anisositosis.
 Leukositosis palsu akibat retikulosit/ eritrosit berinti yang terhitung sebagai sel darah
putih.
 Trombositopenia akibat hipersplenisme.

Analisis hemoglobin pada talasemia beta trait biasanya menunjukkan kurang atau tidak adanya
HbA, peningkatan kadar HbA atau HbF. Penderita talasemia beta mayor umumnya terdiagnosis
pada masa bayi. Pucat, gelisah, keterlambatan perkembangan, pembesaran perut, dan ikterus
muncul saat semester kedua kehidupan. Penderita dengan anemia mikrosi- tik tetapi gejala lebih
ringan yang muncul belakangan dalam kehidupan menderita talasemia beta intermedia.

Tata Laksana
Setelah terdiagnosis dan bila tidak ada kegawatan, pasien dapat dirujuk ke Spesialis Anak.
Penderita trait talasemia tidak membutuhkan pengobatan khu- sus. Pada talasemia simtomatis
dibutuhkan transfusi darah untuk mempertahankan kadar Hb 9 g/dL dan mendukung
pertumbuhan yang normal. Untuk pen- derita talasemia beta intermedia, kebutuhan transfusi
disesuaikan dengan penilaian klinis. Talasemia alfa intermedia atau penyakit HbH menyebabkan
hemoli- sis ringan atau sedang. Hemosiderosis transfusional dapat dicegah dengan penggunaan
obat kelasi besi.
Tata laksana medikamentosa lainnya dapat diberikan:

 Asam folat, untuk memenuhi peningkatan kebutu- han akibat eritropoiesis yang inefektif;
 Vitamin E sebagai antioksidan;
 Terapi kelasi besi, untuk mengatasi kelebihan besi akibat tranfusi. lndikasi kelasi besi:
 Feritin >1000 mg/dL dan saturasi transferin serum >50%, atau
 Tranfusi >5 Latau tranfusi sudah >10 kali atau tranfusi kurang lebih sudah 1 tahun
Kadar feritin dipertahankan 1000-2000 mg/ dL. Deferoksamin mengikat besi dan
kation divalen lain. sehingga dimungkinkan ekskresi melalui urine dan feses.
Deferoksamin diberikan secara subkutan selama 10-12 jam, 5-6 hari dalam satu
minggu dengan dosis 40 mg/ KgBB.
Obat kelasi besi oral saat ini sudah tersedia dan memberikan efikasi yang baik
(deferiprox dan deferasirox). Dosis deferiprox adalah 75 mg/Kg/ hari dibagi
dalam 3 dosis. Obat kelasi besi oral kurang stabil tetapi memiliki keunggulan
dalam ha! proteksi terhadap jantung dibandingkan deferoksamin.
 Vitamin C hanya diberikan bagi mereka yang mendapat terapi kelasi besi, diberikan 100
mg per hari sebelum terapi kelasi besi.

Splenektomi diindikasikan pada kondisi:

 Limpa terlalu besar (Schuffner IV-VIII atau >6 cm) karena bahaya terjadi ruptur;
 Hipersplenisme dini: jika jumlah tranfusi >250 mL/KgBB dalam 1 tahun terakhir;
 Hipersplenisme lanjut: pansitopenia.

Splenektomi dilakukan pada usia >5 tahun. Sebelum usia 5 tahun limpa masih membentuk
sistem imunitas tubuh. Splenektomi dapat dikerjakan pada usia <5 tahun jika terdapat
trombositopenia yang berat akibat hipersplenisme.

Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada talasemia beta ma- yor atau intermedia berkaitan dengan stimulasi
ber- lebih sumsum tulang, eritropoesis yang tidak efektif, dan kelebihan besi akibat transfusi
berulang. Masalah kelebihan besi Qron overload) merupakan masalah utama pada talasemia
yang memerlukan transfusi berulang. Kondisi ini menganggu semua fungsi or- gan tubuh
terutama jantung. Dengan transfusi darah berulang, penyerapan besi akan berlanjut dan akan
menimbulkan penimbunan besi pada organ viseral (hemosiderosis). Pada jantung menyebabkan
kardio- miopati, pada hati timbul gangguan pembekuan darah dan metabolik, pada kelenjar
endokrin dapat terjadi hipogonadisme dan diabetes melitus (pada masa remaja dan dewasa).

Bayi yang tidak diberi tata laksana akan mengala- mi keterlambatan pertumbuhan, abnormalitas
skele- tal, pubertas terlambat, diabetes melitus, gangguan tiroid, dan osteoporosis.
Splenomegali dapat terjadi pada talasemia sim- tomatis. Splenomegali dapat memperburuk
anemia dan menyebabkan neutropenia dan trombositopenia. Pada umumnya kematian
diakibatkan komplikasi jantung dan infeksi (terlebih pada penderita dengan splenektomi).

10. Indikasi serta tatalaksana rujukan pada anemia

Kriteria Ruiukan

1. Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/dL.


2. Anemia dengan gejala tanpa melihat kadar Hb segera dirujuk.
3. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb<7 g/dL).
4. Anemia karena penyebab yang tidak termasuk kompetensi dokter di
layanantingkat pertama misalnya anemia aplastik, anemia nemoutik dan anemia
megaloblastik.
5. Jika didapatkan Kegawatan ( misal perdarahan aktif atau distres pernafasan)
pasien segera dirujuk.

Anda mungkin juga menyukai