Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik


di seluruh dunia, disampng sebagai masalah kesehatan utama masyarakat,
terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan
ekonomi, serta kesehatan fisik.[1]
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis,
anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit. Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung usia,
jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti
kehamilan.[1]
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan
gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu,
dalam diagnosa anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tapi
harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini
penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab
yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus
anemia tersebut.[1]

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hematopoiesis adalah proses dimana unsur-unsur dalam darah diproduksi.


Prosesnya diregulasi melalui beberapa tahap awal dari sel induk hematopoetik.
Progenitor hematopoetik dan sel-sel prekursor berada dibawah pengaruh regulasi
dari faktor dan hormon pertumbuhan. Untuk produksi eritrosit, erythropoietin
(EPO) adalah hormon regulasinya. EPO dibutuhkan untuk pemeliharaan sel
progenitor eritroid. Tidak adanya hormon ini, sel tersebut akan mengalami
apoptosis. Proses regulasi dari produksi eritrosit dinamakan eritropoiesis.
2.1.

DEFINISI
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan
kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang
paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus
diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter
tersebut tidak sejalan dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi,
perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap
anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,
jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu
seperti misalnya kehamilan.[1]
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah
eritrosit, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells
(hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu
diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar
yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.[2]

2.2.

KRITERIA

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan


massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang
menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal.
Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO
menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu
Tabel 1. Kriteria Anemia menurut WHO
Kelompok
Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa
< 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil
< 12 g/dl
Wanita Hamil
< 11 g/dl
Untuk keperluan klinik di Indonesia dan negara berkembang lainnya,
kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Oleh karena itu, diambil
jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai
awal dari work up anemia.
2.3.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA


Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) atau proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
Tabel 2. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis[1]
Gangguan Pembentukan
Eritrosit Dalam Sumsum
Tulang
1) Kekurangan bahan
esensial
pembentuk
eritrosit
a. An. def. besi
b. An. def. asam folat
c. An. def. vitamin B12
2) Gangguan penggunaan
(utilisasi) besi
a.An. akibat penyakit
kronik
b. Anemia sideroblastik
3)Kerusakan
sumsum
tulang
a. Anemia aplastik

Anemia Akibat
Hemoragi

Anemia Hemolitik

Anemia pasca perdarahan 1)


Anemia
Hemolitik
akut
intrakorpuskular
Anemia akibat perdarahan
a. Gangguan membran
kronik
eritrosit
(membranopati)
b. Gangguan
ensim
eritrosit (enzimopati):
anemia
akibat
defisiensi G6PD
c. Gangguan
Hb
(hemoglobinopati) :
Thalassemia,
Hemoglobinopati
struktural
:

b. Anemia mieloptisik
c. Anemia
pada
keganasan
hematologi
d. Anemia
diseritropoietik
e. Anemia
pada
sindrom
mielodisplastik
Anemia
akibat
kekurangan
eritropoietin : anemia
pada gagal ginjal kronik

HbS,HbE,dll
2) Anemia
Hemolitik
ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik
autoimun
b. Anemia Hemolitik
mikroangiopatik
c. Lain-lain

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik


dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini
anemia dibagi menjadi tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MCV > 95 fl.
Tabel 3. Klasifikasi Anemia menurut Gambaran Morfologi dan Etiologi[3]
N Morfologi Sel
Keterangan
Jenis Anemia
o
1. Anemia
Bentuk eritrosit yang Anemia defisiensi besi
mikrositik
kecil
dengan Thalasemia major
hipokromik
konsentrasi
Anemia akibat penyakit kronik
hemoglobin
yang Anemia sideroblastik
menurun
2. Anemia
Penghancuran
atau Anemia posthemoragik
normositik
penurunan
jumlah Anemia aplastik
normokromik
eritrosit tanpa disertai Anemia hemolitik didapat
kelainan bentuk dan Anemia akibat penyakit kronik
konsentrasi
Anemia pada gagal ginjal
hemoglobin
kronik
Anemia
pada
sindrom
mielodisplastik
Anemia
pada
keganasan
hematologik
3. Anemia
Bentuk eritrosit yang 2.1. Bentuk megaloblastik
makrositik
besar
dengan Anemia defisiensi folat
konsentrasi
Anemia
defisiensi
B12,
hemoglobin
yang termasuk anemia Pernisiosa
normal
2.2. Bentuk
4

nonmegaloblastik
Anemia pada penyakit hati
kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia
pada
sindrom
mielodisplastik
Klasifikasi berdasarkan beratnya anemia:[4]
Grade 1 (Mild Anemia)
10 g/dl - cutoff point for ages
Grade 2 (Moderate Anemia)
7-10 g/dl
Grade 3 (Severe Anemia)
below 7 g/dl

2.4.

GEJALA KLINIS
Gejala anemia biasanya digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu: [1]

2.4. Gejala Umum Anemia (Anemic Syndrome)


Timbul pada setiap kasus anemia, terutama terlihat jelas apabila kadar
hemoglobin < 7 gr/dl. Biasanya timbul karena: a) anoksia organ, b)
mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak
nafas dan dyspepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah
dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitive karena timbul
setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb < 7gr/dl).
2.5. Gejala Khas Masing-Masing Anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis

dan kuku sendok (koilonychia).


Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologic pada defisiensi

vitamin B12
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
2.6. Gejala Penyakit Dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab penyakit tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar
lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh
karena arthritits rheumatoid.

Gambar 1. Gejala Anemia pada Tubuh


2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG[1]
Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok
dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari :
a. Pemeriksaan penyaring (screening test)
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat
dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang
sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pengukuran indeks eritrosit terdiri dari tiga komponen yaitu :
Volume eritrosit rata-rata (VER) atau mean corpuscular volume (MCV)
: mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik, normositik, dan
makrositik.

Hemoglobin

eritrosit

rata-rata

(HER)

atau mean

corpuscular

hemoglobin (MCH) : mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam

eritrosit tanpa memperhatikan ukurannya.


Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau mean corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC) : mengindikasikan konsentrasi
hemoglobin per unit volume eritrosit.

Hapusan darah tepi memberikan informasi penting mengenai defek pada


produksi eritrosit. Dari hapusan darah dapat diperoleh ukuran sel yang
bervariasi (anisositosis) dan bentuk yang bervariasi (poikilositosis).[5]
b. Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit dan laju endap darah.
Hitung retikulosit yang akurat adalah kunci dalam klasifikasi awal anemia.
Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari
sumsumtulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan
dimetabolisme dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam
sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian
harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di sirkulasi. Indeks
retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah.
Persentase retikulosit meningkat dengan adanya anemia.[5]

Gambar 2. Klasifikasi Anemia menurut Hitung Retikulosit dan Indeks


Eritrosit[5]

c. Pemeriksaan sumsum tulang


Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitif pada bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang
mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik
serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.
d. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity),
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor

transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang ( Perls stain).


Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi

deoksirudin, dan tes Schiling.


Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis

hemoglobin dan lain lain.


Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang

2.6. DIAGNOSIS ANEMIA[1,6]


Anemia hanyalah suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit dasar (underlying disease). Sedapat mungkin kita harus dapat

menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Beberapa


tahap yang dipakai dalam diagnosis anemia adalah:

Menentukan adanya anemia


Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta

yang

akan

mempengaruhi hasil pengobatan.


Untuk itu, ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam diagnosis
anemia. Pendekatan dapat berupa pendekatan tradisional, morfologik,
fungsional dan probabilistik serta pendekatan klinis.
2.6.1 Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional, dan Probabilistik
a. Pendekatan tradisional : berdasarkan

Anamnesis : mengenai keluhan anemia dan penyebabnya


Pemeriksaan fisik : tanda anemia, perdarahan, ikterus, hepatomegali,
splenomegali, pembesaran KGB dan kelainan fisik dari penyakit
dasarnya.
Pemeriksaaan laboratorium : meliputi pemeriksaan darah lengkap (Hb,

Hct, RBC, WBC, PLT), indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC),


hapusan darah tepi, dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan
penyebab dari anemia.
b. Pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik :

Aspek morfologi : berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks


eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia hipokromik mikrositer,

anemia normokromik normositer dan anemia makrositer.


Pendekatan fungsional : berdasarkan penyebab anemia, apakah
karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang (retikulosit
), atau akibat kehilangan darah atau hemolisis (retikulosit ).

Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia dan
kemungkinan

penyebabnya.

Hasil

ini

dapat

diperkuat

dengan

pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia),


yang bersandar pada data epidemiologi yaitu pola etiologi anemia di
suatu daerah.
2.6.2. Pendekatan Klinis

Yang menjadi perhatian adalah :


a. Awitan Penyakit
Anemia yang timbul cepat (beberapa hari-minggu) :

perdarahan akut
anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi
penurunan Hb >1 g/dl per minggu; anemia hemolitik intravaskular
(akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat

defisiensi G6PD)
anemia akibat leukemia akut
krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik.

Anemia yang timbul pelan pelan :

anemia defisiensi besi


anemia defisiensi folat dan vitamin B12
anemia akibat penyakit kronik
anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.

b. Beratnya Ringannya Anemia petunjuk ke arah etiologi


Anemia berat : anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia pada
leukimia akut, anemia hemolitik didapat atau kongenital seperti misalnya
pada thalasemia major, anemia pasca perdarahan akut, anemia pada GGK
stadium terminal.
Anemia ringan-sedang, jarang sampai derajat berat : anemia akibat
penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik, thalasemia thrait.
c. Sifat Gejala anemia
Gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia
lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada :
anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan
pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya
(anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati, atau ginjal), gejala-gejala
penyakit dasar sering lebih menonjol.
2.6.3. Pendekatan Berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium
Gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal
tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup.

10

2.7. PENGOBATAN ANEMIA[1,6]


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien
anemia ialah :
1) Cari penyebab anemia dan berikan perngobatan yang memadai.
2) Bila anemia timbul sekunder akibat penyakit lain, dengan pengobatan
penyakit dasarnya anemia akan membaik. Obat-obat antianemia
diperlukan bila anemia terjadi progresif dan timbul keluhan.
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada
anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut.
4) Transfusi darah hanya diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan
tanda-tanda gangguan hemodinamik dan pada anemia kronik yang bersifat
simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed
red cell. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah,
oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga
diberikan diuretik kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.

2.8. JENIS-JENIS ANEMIA


2.8.1. Anemia Defisiensi Besi dan Anemia Hipoproliferatif Lainnya
Anemia Defisiensi Besi[1,5]
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan
terutama di negara berkembang. Penyebabnya defisiensi besi dapat dilihat
pada tabel 4.
Tabel 4. Penyebab Defisiensi Besi[1,5]
Peningkatan
Bayi prematur
Kebutuhan Zat Besi
Anak dalam pertumbuhan
Ibu hamil
Kehilangan Zat Besi
Perdarahan kronis : perdarahan tukak peptik,
keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi
cacing
tambang,
menometrorraghia,

11

hematuria, atau hemaptoe


Menstruasi
Perdarahan akut
Donor darah
Penurunan Intake atau Diet tidak mencukupi
Absorpsi Zat Besi
Malabsorpsi akibat penyakit dan operasi
(gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria)
Inflamasi akut atau kronik
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat
dibagi menjadi 3 tingkatan :
Deplesi besi (iron depleted state) : terjadi penurunan cadangan besi tubuh,
tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum terganggu.
Iron deficient erythropoiesis : cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi
belum menyebabkan anemia secara laboratorik.
Anemia defisiensi besi : bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin
terganggu, sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah
eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Gejala Anemia defisiensi besi
1. Gejala umum anemia (anemic syndrome)
Bila kadar Hb < 7 gr/dl badan lemah, lesu, cepat lelah, dan mata
berkunang-berkunang.
2. Gejala khas defisiensi besi, antara lain:
Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal)
Atrofi papil lidah
Cheilosis (stomatitis angularis)
Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi
pembentukan web
Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria
Kumpulan gejala anemia hipokrom-mikrositer, disfagia, dan atrofi
papil lidah disebut Sindroma Plummer Vinson atau Paterson Kelly.
3. Gejala akibat penyakit dasar
Misalnya gangguan BAB pada anemia karena Ca-colon
Pemeriksaan Laboratorium
1. Kadar Hb dan Indeks Eritrosit
Anemia hipokrom mikrositer (MCV dan MCH menurun)
MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan
berlangsung lama
Pada HDT terdapat anisositosis tanda awal defisiensi besi

12

Anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim poikilositosis (sel


cincin, sel pensil, sel target)
2. Serum besi dan TIBC
3. Serum feritin
4. Protoporfirin
5. Kadar reseptor transferin
6. Sumsum tulang hiperplasia normoblastik
Differential Diagnosis
Anemia akibat inflamasi
Talasemia
Anemia sideroblastik
Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1) Menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar Hb atau Hct, 2) Memastikan
adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi. Secara
laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa
anemia hipokrom mikrositer pada HDT atau MCV <80 fl dan MCH <
31% dengan satu atau lebih kriteria berikut:
1. Terdapat 2 dari parameter di bawah ini:
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
Saturasi transferin <15%
2. Feritin serum <20 mg/dl
3.Pengecatan sumsum tulang dengan biru prussia (Perls stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200mg/hari selama 4 minggu
terdapat kenaikan Hb >2 gr/dl.
Tahap ketiga merupakan tahap yang penting untuk mencegah kekambuhan
defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber
perdarahan yang membahayakan.
Terapi
1. Terapi kausal
2. Pemberian preparat besi:
Oral: efektif, murah, dan aman
Sulfas ferosus 3x200mg/hari meningkatkan eritropoiesis hingga 23 kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat lambung
kosong (lebih sering menimbulkan efek samping) paling sedikit
selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek samping gastrointestinal (mual,
muntah, konstipasi) pemberian dilakukan setelah makan atau dosis

13

dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk meningkatkan penyerapan dapat


diberikan bersama vitamin C 3x100 mg/hari.
Parenteral : misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan
atau IM). Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh
dengan pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang
pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi.
3. Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C.
4. Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu:
Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok.
Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya
kehamilan trimester akhir atau pre operasi
Dalam pengobatan, pasien dinyatakan memberikan respon baik apabila
retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke 10,
dan kembali normal pada hari ke 14 pengobatan. Diikuti dengan kenaikan
Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2 gr/dl setelah 3-4 minggu pengobatan.
Anemia Hipoproliferatif Lainnya[5]
1. Anemia akibat inflamasi akut atau kronik
Anemia akibat inflamasi merupakan salah satu bentuk anemia tersering
yang dijumpai secara klinis. Anemia jenis ini merupakan anemia
terpenting dalam diagnosis diferensial dari defisiensi besi karena
kebanyakan gejala anemia sering disebabkan tidak cukupnya pengiriman
zat besi ke dalam sumsum tulang meskipun kadar penyimpanan zat besi
normal atau meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan serum iron (SI) yang
rendah, peningkatan protoporfirin, sumsum tulang yang hipoproliferatif,
saturasi transferin dalam rentang 15-20% dan serum feritin yang normal
atau meningkat.
2. Anemia akibat Gagal Ginjal Kronis/Chronic Kidney Disease (CKD)
CKD yang progresif biasanya diikuti dengan anemia hipoproliferatif
sedang-berat. Eritrosit berupa normositik normokromik dan kadar
retikulosit menurun. Anemia pada CKD terutama disebabkan kegagalan
produksi EPO oleh ginjal yang sakit dan pemendekan daya tahan hidup

14

eritrosit. Pasien dengan CKD biasanya menunjukkan SI, TIBC, dan kadar
feritin yang normal. Akan tetapi, mereka yang melakukan hemodialisis
dalam jangka lama dapat menimbulkan defisiensi besi akibat kehilangan
darah melalui prosedur dialisis.
2.8.2. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan gangguan
sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Sel-sel pertama yang
dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai perubahan yang cepat,
terutama sel-sel awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan
sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel-sel
megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan rasio dari RNA
terhadap DNA. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meningkat
tapi produksi eritrosit berkurang, dan keadaan abnormal ini disebut dengan
ineffective erythropoiesis.[1]
Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi
vitamin B12 dan atau asam folat.[1]
Etiologi
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan Kurang
- Gangguan Nutrisi : Alkoholisme, bayi prematur, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
- Malabsorbsi : Alkoholisme, celiac dan tropical sprue, gastrektomi
parsial, reseksi usus halus, Crohns disease, skleroderma, obat anti
konvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine,
kolestiramin, limfoma intestinal, hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan : Kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,
hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif
c. Gangguan metabolisme folat : penghambat dihidrofolat reduktase
(metotreksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin), akohol,
defisiensi enzim.
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan Kurang : vegetarian
b. Malabsorbsi

15

- Defek penyimpanan dari kobalamin dari makanan : achlorhidria


gaster, gastrektomi, obat-obat yang menghalangi sekresi asam
- Produksi faktor intrinsik yang tidak mencukupi : anemia pernisiosa,
gastrektomi total, gastrektomi total, abnormalitas fungsional atau tak
adanya faktor intrinsik yang bersifat kongenital
- Gangguan dari ileum terminalis
- Kompetisi pada kobalamin : blind loop syndrome (operasi striktur,
divertikel, reseksi ileum), parasit (Diphyllobothrium latum). .
c. Gangguan metabolisme seluler : defisiensi enzim, abnormalitas protein
pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan NO yang
berlangsung lama.
Tanda dan Gejala Klinik
Pada defisiensi B12 terdapat 3 manifestasi utama :
1. Anemia megaloblastik
2.Glositis
3. Neuropati
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna
dorsalis dan lateralios medula spinalis, kortekserebri dan degenerasi saraf
perifer sehingga disebut subacute combine degeneration / combined system
disease. Dapat ditemukan gangguan mental, depresi, gangguan memori,
gangguan kesadaran, delusi, halusinasi, paranoid, skizopren. Gejala
neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi,
hipotensi ortostatik (neuropati otonom), dan neuritis retrobulbar.
Pada defisiensi asam folat, manifestasi utama :
1. Anemia megaloblastik
2. Glositis
Pada anemia megaloblastik, kadang ditemukan subikterus, petekie dan
perdarahan retina, hepatomegali, dan splenomegali.
Diagnosis
Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu menelusuri
pemeriksaan fisik, laboratorium darah juga sumsusm tulang. Biasanya
penderita datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik,
diare dan keluhan aneminya. Keluhan lain berupa rambut cepat memutih,
lemah badan, penurunan berat badan. Pada defisiensi B12, diagnosis

16

ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset gejala, biasanya didapatkan


triad : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan berjalan. Pada
anemia megaloblastik ditemukan :
- Gejala : Anemia, ikterus ringan, glositis, stomatitis, purpura, neuropati.
- HDT : eritrosit yang besar berbentuk lonjong, trombosit dan lekosit sedikit
menurun, hipersegmentasi netrofil, Giant stab-cell, retikulosit menurun.
- Sumsum tulang hiperseluler dengan sel-sel eritroblast yang besar
(megaloblast), Giant steb-cell.
- Pada anemia pernisiosa, schilling test positif
Terapi
1. Suportif : - transfusi bila ada hipoksia
2. Defisiensi B12 : Pemberian sianokobalamin atau hidroksokobalamin.
a. Sianokobalamin :
Dosis : 100 g IM/ hari selama 6-7 hari, bila ada perbaikan klinis dan
ada respon retikulosit dalam 1 minggu, dosis diturunkan 100 g
Imselang sehari sebanyak 7 dosis, kemudian tiap 3-4 hari selama 2-3
minggu (dosis total 1,8-2 mg B12 dalam 5-6 minggu). Pada saat ini
kelainan hematologis harus mencapai normal. Setelah kelainan
hematologis normal, pada anemia pernisiosa diberikan sianocobalamin
100 g IM/bulan seumur hidup.
b. Hidroksobalamin :
Diretensi dalam tubuh lebih baik daripada sianokobalamin, 28 hari
setelah ineksi, hidroksobalamin diretensi 3 kali lebih banyak daripada
sianokobalamin.
Preparat : 100g/mL, 1000 g/mL
Dosis : 1000 g IM setiap 5 minggu
Atau
1000 g setiap hari IM selama 1-2 minggu lalu tiap 3 bulan
3. Defisiensi asam folat : Pemberian asam folat 1mg/hari selama 2-3 minggu,
kemudian dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari
4. Terapi penyakit dasar
5. Menghentikan obat-obat penyebab anemia megaloblastik.
2.8.3. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebakan adanya peningkatan
destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis
sumsum tulang. Sel darah merah usianya sekitar 120 hari tetapi pada anemia
hemolitik usianya berkurang. Lisis dari sel darah merah normal terjadi di
makrofag sumsum tulang, hati dan lien.
Etiologi dan Klasifikasi

17

Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena 1) Defek molekular


hemoglobinopati atau enzimopati 2) Abnormalitas struktur dan fungsi
membran- membran 3) faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau
autoantibodi.

Berdasarkan

etiologinya

anemia

hemolisis

dapat

dikelompokkan menjadi :
1. Anemia hemolisis herediter
a) Defek enzim / enzimopati
1. Defek jalur Embden Meyerhof
2. Defisiensi piruvat kinase
3. Defisiensi glukosa fosfat isomerase
4. Defisiensi fosfogliserat kinase defek jalur heksosa monofosfat
5. Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
6. Defisiensi glutation reduktase
b) Hemoglobinopati
- Thalasemia
- Anemia Sickle cell
- Hemoglobinopati lain
c) Defek membran (membranopati) : sferositosis herediter
2. Anemia hemolisis didapat
a) Anemia hemolisis imun : idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan
autoimun, transfusi.
b) Mikroangiopati : Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindroma
Uremik

Hemolitik

(SUH),

Koagulasi

Intravaskular

(KID),

preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.


c) Infeksi, misalnya ; infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi
Clostridium
Manifestasi Klinis dan Laboratorium
Untuk membantu menegakkan diagnosis anemia hemolitik pemeriksaan
laboratorium memegang peranan yang sangat penting sekali, selain
pemeriksaan klinis dan fisik diagnostik, diagnosis hanya dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik dan pemeriksaan laboratorium.
Kelainan fisik diagnostik yang umumnya didapat adalah berupa adanya: a)
anemia, b) ikterus dan c) pembesaran limpa (splenomegali) akan memberikan
kesan

kemungkinan

adanya

anemia

hemolitik.

Secara

garis

besar

kemungkinan anemia hemolitik dapat kita pertimbangkan bila pada


pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya beberapa kelainan seperti tersebut
dibawah ini yaitu:

18

1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan


sel eritrosit yang berlebihan.
2. Kelainan laboratorium yang

hubungannya

dengan

meningkatnya

kompensasi dalam proses eritropoesis : retikulositosis, makrositosis, sel


eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai Mean
Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl, eritroblastosis, leukositosis dan
trombositosis
3. Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat diagnosis
banding dari anemia hemolitik. Kelainan laboratorium yang menunjukkan
adanya tanda-tanda meningkatnya proses penghancuran dan pembentukan
sel eritrosit yang berlebihan dapat kita lihat berupa:
Berkurangnya umur sel eritrosit.
Pada anemia hemolitik umur eritrosit dapat berkurang sampai 20 hari.
Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat dilihat dari tingkat anemia,
ikterus dan retikulositosis yang terjadi, oleh sebab itu pemeriksaan
umur eritrosit ini bukan merupakan prosedur pemeriksaan rutin untuk
menegakkan diagnosis anemia hemolitik.
Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:
Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.
Meningkatnya pembentukan CO yang endogen.
Meningkatnya kadar billirubin darah (hiperbillirubinemia).
Meningkatnya ekskresi urobillinogen dalam urin.
4. Meningkatnya kadar enzim Lactat Dehydrogenase (LDH) serum.
Enzim LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel
eritrosit, kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml.
Isoenzim LDH-2 lebih dominan pada anemia hemolitik sedang
isoenzim LDH-1 akan meninggi pada anemia megaloblastik.
5. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu:

Hemoglobinemia (meningkatnya kadar Hb.plasma).


Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.
Hemoglobinuria (meningkatnya Hb.urin).
Hemosiderinuria (meningkatnya hemosiderin urin).
Methemoglobinemia.
Berkurangnya kadar hemopexin serum.[7-10]

Diagnosis

19

Untuk menegakkan diagnostik anemia hemolitik dan penyebabnya maka kita


harus berpatokan pada dua keadaan yang berbeda yaitu:
1. Menentukan ada tidaknya anemia hemolitik, yaitu:
a. Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit yang
berlebihan pada waktu yang sama.
b. Terjadi anemia yang persisten yang diikuti dengan hipereaktivitas dari sistem
eritropoesis .
c. Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa
diimbangi dengan eritropoesis normal.
d.

Adanya

tanda-tanda

hemoglobinuria

atau

penghancuran

eritrosit

intravaskular.
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik, yaitu dengan
mendapatkan informasi dari anamnesa yang tepat dan cermat terhadap pasien
serta dari basil pemeriksaan sediaan apus darah tepi Clan Antiglobulin Test
(Coombs Test) , dari data ini dapat kita bedakan lima grup pasien yaitu :
a. Anemia hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap infeksi ,
zat kimia dan kontak fisik .
b. Hasil pemeriksaan Coombs Test positif menunjukan Anemia Hemolitik
Autoimune (AlHA)
c. Hasil pemeriksaan Coombs Test negatif kemungkinan adanya anemia
hemolitik spherositik yaitu pada hereditary spherositosis.
d. Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan sickle sel
anemia.
e. Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya kelainan
morfologi eritrosit yang spesifik, hal ini perlu pemeriksaan tambahan yaitu
Hemoglobin elektroforese dan heat denaturation test untuk unstable
hemoglobin diseases.
Terapi
1. Tergantung etiologi
a) Anemia Hemolitik autoimun :
- Glukokortikoid
- Splenoktomi : pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian
glukokortikoid

20

- Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan


splenoktomi Azatioprin : 80 mg/m2/hari, Siklofosfamid : 60-75
mg/m2/hari
Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan. kemudian tappering off,
biasanya dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari. Dosis
prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan
b) Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan
c) Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab
2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau
packed red cell
3. Pada hemolisis kronik diberikan Asam Folat 0,15-0,3 mg/hari untuk
mencegah krisis megaloblastik
4. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)
Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia.
gangguan fungsi ginjal, demam.
Terapi : Kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon 0,75
mg/kg IV tiap 12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan plasmaferesis
denuan FFP 3-4 L/hari
2.8.4. Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan anemia yang ditandai dengan pansitopenia
(penurunan jumlah sel-sel darah yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit) dan
hiposelularitas dari sumsum tulang. Anemia aplastik merupakan kegagalan
hemopoiesis yang jarang ditemukan namun berpotensi membahayakan jiwa.
Etiologi
Penyebab anemia aplastik pada umumnya adalah idiopatik (kurang lebih pada
75% kasus), namun selain itu anemia aplastik juga dapat disebabkan oleh:
a. Didapat
1. Radiasi
2. Bahan Kimia : benzen, arsen
3. Obat-obatan : klorampenikol, obat-obat kemoterapi (6-merkaptopurin,
vinkristin, busulfan), fenilbutazon, antikonvulsan, senyawa sulfur,
emas.
4. Infeksi: virus hepatitis (non-A, non-B, non-C), Epstein Barr Virus,
Parvovirus B19, HIV, sitomegalovirus
5. Kelainan Imunologis : eosinophillic fascitis
6. Kehamilan
b. Kelainan Kongenital atau Bawaan
1. Sindroma Fanconi
2. Sindroma Shwachman- Diamond
21

3. Kongenital Diskeratosis
Tanda dan Gejala Klinis
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau
perlahan- lahan (berminggu-minggu atau berbulan-bulan)
Anamnesa dapat ditemukan keluhan:
1. Trombositopenia (manifestasi awal) : perdarahan gusi, GIT, epistaksis,
menoragia, petekie, perdarahan retina
2. Anemia : lemah, pucat, dyspnea, jantung berdebar
3. Leukopenia : sering terkena infeksi
4. Sistemik: sakit kepala, demam, penurunan berat badan, nafsu makan
menurun
Pemeriksaan fisik : petekie, ekimosis, perdarahan retina, perdarahan serviks,
darah pada feses, pucat pada kulit dan mukosa membran, cafe au lait spot dan
perawakan yang pendek (Fanconi syndrome).
Pemeriksaan Laboratorium
HDT :
- stadium awal penyakit pansitopenia tidak selalu ditemukan.
- Jenis anemia normokrom normositer
- Kadang-kadang ditemukan adanya makrositosis, anisositosis dan
poikilositosis.
- Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah.
- Granulosit dan trombosit ditemukan rendah.
- Limfositosis relatif terdapat lebih dari 75% kasus.
Sumsum tulang : Diharuskan dilakukan biopsi sumsum tulang pada setiap
tersangka kasus anemia aplastik. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan
keadaan hiposelularitas dan peningkatan jaringan lemak.
Faal hemostasis : waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan
memburuk karena trombositopenia.
Diagnosis
Pansitopenia Perifer
Anemia normokrom normositer
Sumsum tulang : aplasia atau hipoplasia dengan infiltrasi sel lemak
Hams test perlu dilakukan karena PNH dapat memperlihatkan
pansitopenia perfer dengan sumsum tulang yang hipoplastik
Terapi
1. Menghindari kontak dengan toksin /obat penyebab
2. Umum: hindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, sabun antiseptik,
sikat gigi lunak,obat pelunak buang air besar, pencegahan menstruasi :
obat anovulation.
3. Transfusi
4. Penanganan infeksi
5. Transplantasi sumsum tulang

22

6. Imunosupresif
7. Simulasi hematopoesis dan regenerasi sumsum tulang
BAB III
RINGKASAN
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Anemia bukan suatu diagnosis
melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang
diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi
laboratorium.
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3)
Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia antara lain
adalah pendekatan tradisional, morfologik, fungsional dan probabilistik serta
pendekatan klinis.
Pemeriksaan untuk diagnosis anemia meliputi pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan penyaring, pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum
tulang dan pemeriksaan khusus.
Ada beberapa jenis anemia yang telah diketahui. Penatalaksanaan anemia ini
tergantung dari jenis anemianya dan apa yang menjadi penyebab anemia tersebut.

23

Anda mungkin juga menyukai