Anda di halaman 1dari 19

ANEMIA

DEFINISI

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.

KRITERIA ANEMIA

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Ukuran normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO menetapkan cut off point anemia untuk
keperluan penelitian lapangan yaitu

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)


Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit


oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis), gambaran lebih rinci tentang etiologi
anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :

Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang


a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MCV > 95 fl.

Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada
tabel di bawah ini :

Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi

I. Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.

GEJALA ANEMIA
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di
bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme
kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki
terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7
gr/dl).
2) Gejala Khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
 Anemia defisiensi Besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku
sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pameriksaan laboratorium.

TERAPI

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :

1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan


terlebih dahulu
2) Pemeberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibT nemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.
4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan
yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat
simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan
whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena
itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi.

Adapun Anemia yang sering kita jumpai di masyarakat yaitu seperti

A. ANEMIA DEFISIENSI BESI

a. Definisi
Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang.

c. Etiologi

Adanya keseimbangan negatif Fe yang disebabkan :

a. Berkurangnya asupan Fe
 Diet tidak ade kuat
 Gangguan absorpsi: aklorhidria, operasi lambung, penyakit celiac
b. Kehilangan Fe
 Perdarahan traktus gastrointestinal
 Perdarahan traktus urogenitalis
 Hemoglobinuria
 Hemosiderosis pulmonari idiopatik
 Tlengiektasia hemoragik herediter
 Gangguan hemostasis

c. Patofisiologi
Defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung lama.
Terdapat 3 stadium defisiensi Fe yaitu:
1) Defisiensi Fe pre laten/deplesi Fe
Berkurangnya cadangan Fe tanpa dsertai berkurangnya kadar Fe serum
2) Defisiensi Fe laten
Cadangan Fe habis, tetapi kadar hemoglobin masih di atas batas terendah kadar
normal.
3) Anemia defisiensi Fe
Kadar hemoglobin di bawah batas terendah kadar normal.

d. Tanda dan Gejala Klinis


1) Anemia
2) Gangguan fungsi/struktur jaringan epitel : kulit kering,rambut kering tipis,
mudah dicabut, papil atrofi, glositis, stomatitis angular, fisura, disfagia
(sideropenik disfagia, kuku tipis, kusam,koilonycia/spoon nail, Web, striktur
pada mukosa antara hipofaring dan esofagus, atropi lambung, aklorhidria
3) Gangguan neuromuskuler : gangguan fungsi otot, gangguan tingkah laku,
gangguan mempertahankan suhu tubuh di udara dingin, neuralgia, gangguan
vasomotor, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, pseudotumor
serebri.
4) Gangguan imunitas seluluer dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi
e. Diagnosis
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan
2. Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, Fe serum rendah,TIBC tinggi, nilai
absolut menurun, saturasi transferin menurun
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast negatif)
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
f. Terapi
1. Prinsip : Menentukan penyebab defisiensi Fe, eliminasi penyebab defisiensi
Fe,terapi Fe.
2. Terapi Fe
 Oral
Dosis : 200mg Fe/hari, penyerapan lebih baik dalam keadaan lambung
kosong
Efek samping : iritasi gastro intestinal: heart burn, nausea, diare.

ANEMIA APLASTIK
a. Definisi
Anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia/aplasia sumsum
tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik.
b. Etiologi
1. Didapat
 Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen,arsen, sulfur, nitrogen mustard,antimetabolit, antimitotik :kolsisin,
daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,kuinakrin,
metilfenilhidantoin, trimetadion, fenilbutazon,senyawa emas.
 Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV,Dengue
 Infeksi mikobakterium
 Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
c. Patofisiologi
Kegagalan Produksi eritrosit, lekosit, dan trombosit merupakan kelainan dasar pada
anemia aplastik yang dapat disebabkan oleh:
1. Defek kualitatif populasi stem cell
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang (microenvironment deficiency)
3. Gangguan produksi/efektivitas hematopoietik growth factor atau supresi imun

d. Tanda dan gejala klinik


o Anemi
o Tanda-tanda infeksi: demam dan sebagainya
o Perdarahan : ptekie, purpura, perdarhan gusi dan sebagainya
o Tidak ada pembesaran organ/infiltrasi

e. Diagnosis
o Pansitopenia Perifer
o Anemia normokrom normositer
o Sumsum tulang : aplasia atau hipoplasia dengan infiltrasi sel lemak

f. Terapi
1. Menghindari kontak dengan toksin /obat penyebab
2. Umum: hindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, sabun antiseptik, sikat gigi
lunak,obat pelunak buang air besar, pencegahan menstruasi : obat anovulation.
3. Transfusi
4. Penanganan infeksi
5. Transplantasi sumsum tulang
6. Imunosupresif
7. Simulasi hematopoesis dan regenerasi sumsum tulang

ANEMIA MEGALOBLASTIK
a. Definisi
Anemia yang disebabkan abnormalitas hematopoiesis dengan karakterisitik dismaturasi
nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
b. Etiologi
1. Defisiensi asam folat
 Asupan kurang:
 Gangguan Nutrisi : alkoholisme, bayi prematur, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
 Malabsorbsi : alkoholisme, celiac,dan tropical sprue, gastrektomi
parsial, rseksi usus halus, penyakit Crohn’s, skleroderma, obat
antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine,
kolestiramine, limfoma intestinal, hipotiroidisme.
 Peningkatan Kebutuhan :kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,
hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia
pernisiosa, anemia sideroblastik, leukimia, anemia hemolitik,, mielofibrosis)
 Gangguan metabolisme folat : alkoholisme, antagonis folat (metotreksat,
pirimetamin, trimetoprim), defisiensi enzim.
 Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkoholik,
hepatoma.
2. Defisiensi vitamin b12 :
 Asupan kurang : vegetarian
 Malabsorbsi :
o Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi total (parsial, gastritis
atropikan, tropical sprue, blind loop syndrome (operasi striktur,
divertikel, reseksi ileum), penyakit Crohn’s, parasit (Diphyllobothrium
latum), limfoma usus halus, skleroderma, obat-obat (asam
paraaminosalisilat, kolsisin, neomisin, etanol, KCl)
o Anak-anak: anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsik
lambung, gangguan fungsi faktor intrinsik lambung, gangguan reseptor
kobalamin di ileum.
 Gangguan metabolisme seluluer : defisiensi enzim, abnormalitas protein
pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan nitrit oksida yang
berlangsung lama.
c. Riwayat Penyakit
Biasanya penderita datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik,
diare dan bukan oleh keluhan aneminya. Penyakit biasanya berjalan secara perlahan-
lahan. Keluhan lain berupa rambut cepat memutih, lemah badan, penurunan berat badan,
Pada defisiensi B12 diagnosis ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset
gejala,biasanya didapatkan trias : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan
berjalan.
d. Tanda dan gejala klinik
Umumnya terjadi pada usia pertengahan dan usia tua.
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan
lateral medulla spinalis, korteks serebri dan degenerasi saraf perifer sehingga
disebut suacute combined degeneration / combined system disease.

Pada defisiensi B12 dapat ditemukan (gangguan mental, depresi, gangguan


memori, gangguan kesadaran, delusi,halusinasi, paranoid,skizopren,. Gejala
neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi,
hipotensi ortostastik (neuropati otonom) dan neuritis retrobulbar.
e. Laboratorium
 Anemia makrositer dengan peningkatan MCV
 Neutropenia dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami hipersegmentasi
dengan granula kasar (Glant Stab-cell)
 Trombositopenia ringan (rata-rata 100-150x103/mm3)
 Sumsum tulang dengan gambaran megaloblastik
f. Diagnosis
 Gejala : anemia, ikterus ringan, glositis, stomatitis, purpura, neuropati
 Apus darah tepi : eritrosit yang besar dengan bentuk lonjong, trombosit dan leukosit
agak menurun, didapatkan hipersegmentasi neutrofil, Glant stab-cell, retikulosit
menurun
g. Terapi
1. Suportif : transfusi bila ada hipoksia
2. Defisiensi B12 :
a. Sianokobalamin :
Dosis : 100 µg IM/ hari selama 6-7 hari, bila ada perbaikan klinis dalam 1 minggu,
dosis diturunkan 100 µg Imselang sehari sebanyak 7 dosis, kemudian tiap 3-4 hari
selama 2-3 minggu (dosis total 1,8-2 mg B12 dalam 5-6 minggu). Pada saat ini
kelainan hematologis harus mencapai normal. Setelah kelainan hematologis
normal, pada anemia pernisiosa diberikan sianocobalamin 100 µg IM/bulan seumur
hidup.
b. Hidroksobalamin :
Diretensi dalam tubuh lebih baik daripada sianokobalamin, 28 hari setelah injeksi.
Preparat : 100µg/mL, 1000 µg/mL
Dosis : 1000 µg IM setiap 5 minggu
Atau
1000 µg setiap hari IM selama 1-2 minggu lalu tiap 3 bulan

ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIS


a. Definisi
Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis,
peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak
disertai penyakit hati,ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag.
b. Etiologi
Anemia Penyakit kronik dapat dsebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi seperti
infeksi kronik (infeksi paru,endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkoholik,gagal jantung kongestif dan idiopatik.
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Secara garis besar patogenensis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3
abnormalitas utama :1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit,2) adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, 3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.

d. Gambaran klinik
Anemia pada penyakit kronis biasanya ringan sampai dengan sedang terjadi setelah 1-
2 bulan menderita sakit.Anemianya tidak bertambah progresif atau stabil dan berat
ringannya anemia yang diderita seseorang tergantung pada beratnya penyakit yang
dideritanya dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya
sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).Pada
pasien-pasien lansia oleh karena menderita penyakit vaskular degeneratif kemungkinan
juga dapat ditemukan gejala-gejala kelelahan lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat.
e. Laboratorium
 Gambaran morfologi darah tepi biasanya normositik normokromik atau mikrositik
ringan.
 Nilai MCV biasanya normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl)
 Besi serum (serum iron) menurun (<60 mug/dL)
 TIBC (Total Iron Binding Capacity) menurun (<250 mug/dL)
 Feritin serum normal atau meninggi (>100 ng/mL)
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit kronis tidak ada yang spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya telah diberikan pengobatan dengan baik maka anemianya juga akan
membaik.
DISPEPSIA

DEFINISI

Definisi dispepsia menurut kriteria Roma III tahun 2006 adalah salah satu atau
lebih gejala dibawah ini :
 Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress syndrome)
 Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk menghabiskan ukuran
makan normal atau rasa penuh setelah makan)
 Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan epigastric pain syndrome)

ETIOLOGI

Penyebab terjadinya dispepsia tergantung dari klasifikasinya sendiri. Penyebab

dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan

saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan

dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.

Tabel. Etiologi dispepsia.

Esofago – gastro – duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID,

keganasan

Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik

Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan,

Disfungsi sfinkter Oddi

Pankreas Pankreas Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,

kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Tabel . Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional.


1. Hipersensitivitas visceral

a. Meningkatnya persepsi distensi

b. Gangguan persepsi asam

c. Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik

2. Gangguan motilitas

a. Hipomotilitas antral post prandial

b. Menurunnya relaksasi fundus gaster

c. Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung

d. Refluks gastro-esofageal

e. Refluks duodeno-gaster

3. Perubahan sekresi asam

a. Hiperasiditas

4. Infeksi kuman Helicobacter pylori

5. Stress

6. Gangguan dan kelainan psikologis

7. Predisposisi genetic

Tabel. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia.

Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia

1. Acarbose
2. Aspirin
3. Colchicine
4. Digitalis
5. Estrogen
6. Gemfibrozil
7. Glukokortioid
8. Preparat besi
9. Levodopa
10. Narkotik
11. Niasin
12. Nitrat
13. Orlistat
14. Potassium klorida
15. Quinidine
16. Sildenafil
17. Teofilin

KLASIFIKASI

Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu dll) dan
kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut sebagai
dispepsia fungsional.
Dispepsia organik adalah dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak
ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun.
Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi :
 Dispepsia Tukak
 Refluks Gastroesofageal
 Ulkus Peptik

Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah


berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan
struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium, radiology dan
endoskopi.
Dalam konsensus Rome III (tahun 2006) dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakan.
Tabel. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Rome II dan III

ROME II ROME III

Dispepsia Fungsional Dispepsia Fungsional


Berlangsung sekurang-kurangnya Kriteria diagnosis*
Harus termasuk didalamnya:
selama 12 minggu, dalam 12 bulan
Satu atau lebih gejala dibawah ini:
ditandai dengan:
 Gejala yang menetap atau berulang a. Rasa tidak nyaman setelah makan
(nyeri atau tidak nyaman yang b. Cepat merasa kenyang
c. Nyeri epigastrium
berpusat di abdomen atas); d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
 Tidak ada bukti penyakit organik
Dan
(berdasarkan endoskopi) Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan
 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia
endoskopi) yang menyebabkan gejala-gejala
berkurang setelah defekasi atau
tesebut diatas.
perubahan pola dan bentuk defekasi *Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset
gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis

a. Dispepsia like-ulcer a. Sindroma distress postprandial


Rasa nyeri terutama dirasakan pada
Kriteria diagnosis*
abdomen atas Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala
dibawah ini

1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan


sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali
seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan
sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali
seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset
gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis
Kritria supportif

1. Terasa kembung pada perut atas atau mual


setelah makan atau sendawa yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik
b. Dispepsia like-dysmotility b. Sindroma Nyeri Epigastrik
Rasa tidak nyaman terutama
dirasakan pada abdomen atas Kriteria diagnosis*
Harus termasuk didalamnya::
berupa rasa penuh, lekas kenyang,
Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di
sebah dan mual
epigastrium derajat sedang sekurang-kurangnya
sekali seminggu

1. Nyeri bersifat intermitten


2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya
atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung
empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset
gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis
Kriteria supportif

1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa


nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan
makanan tetapi timbul saat puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma
post prandial.
c. Dispepsia Unspecified
(Nonspesific)
Gejala yang ditunjukkan tidak
memenuhi criteria like-ulcer atau
like-dysmotility

MANIFESTASI KLINIS
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan atau gejala
yang dominan menjadi tiga tipe yakni:
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus - like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility - like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Tabel. Alarm symptom.


Alarm symptoms sakit perut berulang

karena kelainan organic

1. Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilicus


2. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
3. Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
4. Nyeri timbul tiba – tiba
5. Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
6. Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
7. Disertai perdarahan saluran cerna
8. Terdapat dysuria
9. Berhubungan dengan menstruasi
10. Terdapat gangguan tumbuh kembang
11. Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
12. Terjadi pada usia < 4 tahun
13. Terdapat organomegali
14. Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
15. Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

DIAGNOSIS
Dispepsia menurut kriteria Rome lll adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih
gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang

Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya sesuai indikasi atau untuk menyingkirkan


diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian:
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-
tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada
pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga
menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga
suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon),
dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).
2. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp, urea breath
test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
 Radiologis
Pada tukak di lambung akan terlihat gambar yang disebut niche yaitu suatu kawah
dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya
regular, semisirkuler, dasarnya licin. Kanker di lambung secara radiologist akan
tampak massa yang irregular, tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari
lambung berubah.
 Endoskopi
Yang perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Kelainan di
lambung yang sering ditemukan adalah tanda peradangan tukak yang lokasinya
terbanyak di bulbus dan parsdesenden, tumor jinak dan ganas yang divertikel. Pada
endoskopi ditemukan tukak baik di esophagus, lambung maupun duodenum maka
dapat dibuat diagnosis dispepsia tukak. Sedangkan bila ditemukan tukak tetapi
hanya ada peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak. Pada
pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Helicobacter
pylori, dimana cairan tersebut diambil dan ditumbuhkan dalam media Helicobacter
pylori. Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan
dengan metode Passive Haem Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan
antigen pada permukaan sel darah merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang
dapat diamati secara mikroskopik. Bila di dalam serum sampel terdapat anti
Helicobacter pylori maka akan terjadi aglutinasi dan dinyatakan positif terinfeksi
Helicobacter pylori.
 Ultrasonografi (USG)
Merupakan saran diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini banyak
dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit. Apalagi
alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada
kondisi pasien yang berat pun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada
pasien dispepsia terutama bila dugaan kearah kelainan di traktus biliaris, pankreas,
kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esophagus dan lambung.
TATALAKSANA

1. Dispepsia organik

Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi

dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke

dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik

duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan.

Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang

diberikan antara lain kombinasi PPl, misalnya rabeprazole 2x20 mg/ lansoprazole

2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

2. Dispepsia fungsional

Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan

lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan

dispepsia fungsional.

Anda mungkin juga menyukai