Anda di halaman 1dari 21

ANEMIA

A. DEFINISI
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga
eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan. Anemia dapat didefinisikan pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai
normal jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah.
Namun, kadar normal hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti
kehamilan. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu gambaran perubahan
patofisiologi yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah

didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini :

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)


Anak 6-59 bulan < 11 g/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12-14 tahun < 12 g/dl
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl

B. EPIDEMIOLOGI ANEMIA
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh 1,62
milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah, dan
prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang
dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada
gambar di bawah ini dengan warna merah tua :
Gambar 2.1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia2

Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di
Indonesia, sekitar 44,5% populasi diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0
g/dl, sehingga Indonesia masuk ke dalam kategori berat dalam prevalensi anemia.

C. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA


Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
I. Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
 Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks

II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg
B. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
C. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl

Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi akan sangat


menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi anemia berdasarkan
morfologi dan etiologi :
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer


a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
D. PATOFISIOLOGI ANEMIA
I. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi
(Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut :
a. Kurangnya asupan Fe
 Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi total dalam
makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik
(makanan banyak serat, rendah daging, rendah vitamin C)
 Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis kronik,
atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
 Perdarahan saluran cerna
 Perdarahan saluran kemih
 Hemoglobinuria
 Hemosiderosis pulmonari idiopatik
 Telangiektasia hemoragik herediter
 Gangguan hemostasis
 Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
 Bayi prematur
 Anak-anak dalam pertumbuhan
 Ibu hamil dan menyusui
 Laktasi

Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi yang telah
berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi, yaitu :

1) Deplesi besi (iron depleted state)


Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis
belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2) Iron deficient erythropoiesis
Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan anemia secara
laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang
melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang
terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak
memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu, kelainan pertama yang dapat
dijumpai adalah peningkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi
transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain
yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar
hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Pada saat ini, terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku,
dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala.

II. Anemia penyakit kronik


Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi
kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2
bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai
dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan
besi di makrofag. Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit
atau kondisi, seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik, gagal jantung
kongestif, dan idiopatik.
Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada
3 abnormalitas utama :
1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit
2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun
3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi

Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status


besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai
rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi
induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang
seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8.
Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke
dalam sirkulasi terhambat, produksi protein fase akut (PFA), lekositosis, dan demam.
Hal itu dikaitkan dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan
berdampak menekan eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi
akan berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat
mengaktifasi sel monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum meningkat.
TNF-α juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu menekan eritropoesis
melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan
menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke dalam darah.
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNF-
α, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA
utama seperti C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu
terjadi pula perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta
perangsangan di sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh
adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik
negatif terhadap induksi PFA oleh hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen,
protein fase akut lain yang berhubungan penting dengan metabolisme besi antara lain:
apoferritin, transferin, albumin dan prealbumin.
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag
teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal, sedangkan
transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru
menurun saat proses inflamasi.
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan
keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan
parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Rendahnya besi di
anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial
ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh
degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat
melalui mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan
metabolisme besi disebabkan karena kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya
kebutuhan besi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.
III. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh abnormalitas
hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel myeloid
dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA. Penyebab anemia megaloblastik
adalah :
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan kurang
 Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
 Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi usus halus,
Crohn’s disease, scleroderma, obat anti konvulsan, hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia hemolitik,
keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoiesis yang tidak
efektif.
c. Gangguan metabolisme asam folat, misalnya akibat obat-obatan
penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat, pirimetamin, triamteren,
pentamidin, trimetoprim), alkoholisme, dan defisiensi enzim.
d. Penurunan cadangan asam folat di hati, misalnya pada alkoholisme, sirosis
non alkoholik, dan hepatoma.
e. Obat-obatan yang mengganggu metabolism DNA, seperti antagonis purin,
antagonis pirimidin, prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, dan zidovudin.
f. Gangguan metabolic, misalnya pada asiduria urotik herediter dan sindrom
Lesch-Nyhan.
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian.
b. Malabsorpsi
 Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi, gastritis atrofikan,
Crohn’s disease, parasit, scleroderma, obat-obatan.
 Anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsic
lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler, misalnya akibat defisiensi enzim,
abnormalitas protein pembawa kobalamin (transkobalamin II), paparan
NO yang berlangsung lama.

Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin intraseluler, kemudian


menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang berkurang
akan menurunkan prekurson tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis
DNA. Model ini disebut sebagai methylfolate trap hypothesis karena defisiensi
kobalamin mengakibatkan penumpukan 5-metil tetrahidrofolat.
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan
propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada
susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi ini menyebabkan kelainan medulla spinalis
dan gangguan neurologis. Sebelum diabsorpsi, asam folat harus diubah menjadi
monoglutamat. Bentuk folat tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim
aktif. Defisiensi folat mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan mengganggu
sintesis tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA.
Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang memadai
akan memperlambat reproduksi sel, tetapi tidak menghalangi kelebihan pembentukan
RNA oleh DNA dalam sel-sel yang berhasil diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA
dalam setiap sel akan melebihi normal, menyebabkan produksi hemoglobin
sitoplasmik dan bahan-bahan lainnya berlebihan, dan membuat sel menjadi besar.
IV. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan destruksi eritrosit
yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis sumsum tulang. Pada prinsipnya
anema hemolitik dapat terjadi akibat defek molekular hemoglobinopati atau
enzimopati, abnormalitas struktur dan fungsi membran, dan faktor lingkungan seperti
trauma mekanik atau autoantibodi. Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan
etiologinya :
1. Anemia hemolitik herediter
a. Enzimopati
b. Hemoglobinopati
c. Membranopati
2. Anemia hemolitik didapat
a. Anemia hemolitik imun
b. Mikroangiopati
c. Infeksi

Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular. Sebagian besar


kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit disingkirkan oleh
makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa. Pada hemolisis intravaskular,
sel darah merah akan terdestruksi dalam sirkulasi, sehingga hemoglobin terlepas
kemudian terikat pada haptoglobin plasma, tetapi mengalami saturasi. Hb plasma
bebas ini difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin, meskipun sebagian kecil
direabsorpsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubulus renal, Hb pecah dan terdeposit di
sel sebagai hemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi
methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan Heme-Fe.
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas pengikatannya
berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin membentuk metheamalbumin.
Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin dan
haemopexin dan sisa Hb bebas.
V. Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai
hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi
atau menginfiltrasi jaringan hematopoietik. Etiologi anemia aplastik adalah sebagai
berikut :

1. Didapat
 Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit, antimitotik :
kolsisin, daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,
kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion, fenilbutazon, senyawa emas
 Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue
 Infeksi mikobakterium
 Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi

Kegagalan produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit merupakan kelainan


dasar pada anemia aplastik, yang menurut penelitian disebabkan oleh sel T sitotoksik
yang teraktivasi. Sel T tersebut akan menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) dan
tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat menginhibisi langsung sel-sel
hematopoietik.
Supresi hematopoietik oleh IFN-γ dan TNF juga merangsang reseptor Fas
pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3 proses :
1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis.
2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh
sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang diperantarai system
imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi mengaktifkan
klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan TNF dan IFN-γ dan menginhibisi
hematopoietik.

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apbila kadar hemoglobin
telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : derajat
penurunan hemoglobin, kecepartan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung
atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
a) Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta
akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai
kadar tertentu ( HB<7). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak
napas dan sispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat
pada konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangn dan jaringan dibawah kuku.
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di
luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang
berat (Hb <7 g/dL).
b) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya, pada anemia
akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS ANEMIA


Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
seperti yang tertera di bagian manifestasi klinis. Sementara untuk pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan beberapa macam pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sediaan apus darah tepi
 Ukuran sel
 Anisositosis
 Poikilositosis
 Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting apakah ada
gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan
ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk
dari eritrosit yang beraneka ragam.
2. Hitung retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia.
Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang.
Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24 -36
jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang
menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah
isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematrokit pasien
berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu dari retikulosit premature
lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi.
Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5.
3. Persediaan dan penyimpanan besi
 Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
 Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
 Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100 µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali
100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin,
terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin jga
merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun
kronis, kadarnya dapat meningkat.
4. Pemeriksaan sumsung tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum
tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif.
Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau
eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis sel –sel berarti pada sumsum tulang
( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat digunakan
untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa hemoglobin. Bila MCV
< 80, maka disebut mikrositosis dan bila >100 dapat disebut sebagai makrositosis.
Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin
(hipokromia).

Dalam hal yang lebih sederhana, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dapat disederhanakan dalam tabel dibawah ini:
Pembagian anemia berdasarkan gambaran sel darah merah :
Kriteria diagnosa anemia :
I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
 Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
 Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
 Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL)
 Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana terbatas,
diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan: anemia tanpa perdarahan, tanpa
organomegali, gambaran darah tepi, mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target,
respons terhadap pemberian terapi besi.

II. Anemia penyakit kronik


Diagnosis untuk anemia akibat penyakit kronik dibuat bila:
 Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar yang sesuai
( seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan)
 Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer
 Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan cadangan besi
sumsum tulang masih positif
 Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan
hipotiroid

III. Anemia megaloblastik


Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik dimana
terjadi anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel megaloblast dalam
sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai gejala neurologik, sedangkan
pasa defisiensi asam folat tidak dijumpai gejala neurologik.

IV. Anemia hemolitik


Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu menentukan adanya
anemia hemolitik bila terdapat anemia yang disertai dengan tanda-tanda destruksi
eritrosit, dan/atau tanda tanda peningkatan eritropoesis. Sedangkan menurut wintrobe,
memberikan petunjuk praktis anemia hemolitik patut dicurigai bila didapatkan:
 Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-tanda
peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia, retikulosis dan
peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai tanda
perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan maka didiagnosis anemia
hemolitik dapat ditegakkan.
 Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda perdarahan
yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi akibat terapi dapat
disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
 Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu minggu serta
perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan maka anemia hemolitik
dapat ditegakkan.
 Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler lain.
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis yang teliti,
pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat dikelompokkan menjadi
lima kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan terhadap
infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai anemia
imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang menjurun pada
thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif
memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis hemoglobin.

V. Anemia aplastik
Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau bisitopenia di
darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya
infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut
international agranulocytosis and aplastic anemia study group (IAASG) adalah satu
dari tiga sebagai berikut :
 Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%
 Trombosit kurang dari 50x109//L
 Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10
dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : penurunan
selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoietik atau
selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan depleso seri granulosit atau
infiltrasi neoplastik. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.
Pansitopeni karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi.

Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat penyakit dari anemia
apalstik yang berguna untuk menentukan strategi terapi. Kriteria yang diapakai pada
umumnya ialah kriteria Camitta et al. Yang tergolong anemia apalstik berat (severe
aplastic anemia) bial memenuhi kriteria paling sedikit dua dari tiga :
 Granulosit < 0,5 x 109 /L
 Trombosit < 20 x 109 /L
 Corrected reticulocte <1%
Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 30% sel sel
hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil < 0,2 x 109 /L.
G. TATALAKSANA ANEMIA
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi dapat diketahui sehingga
penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara
peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya
dengan pemberian secara parenteral. Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita
yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi :
a) Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
 Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
 Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -6
mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam
garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%.
Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna
dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2 – 3
dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia
pada penderita teratai. Respon terapi pemberian preparat besi dapat dilihat secara
klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) : preparat pilihan
pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous gluconate, ferrous
fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas
dan efek samping bhampir sama.
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara intramuskular
dalam dan intravena pelan. Efek samping yang ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu
reaksi anafilakksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan
sinkop. Indikasi pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat
kurang, kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi,
hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih baik
dibanding peroral. Preparat yang sering digunakan adalah dekstran besi. Larutan
ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex.

II. Anemia Penyakit Kronik


Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit kronik berupa:
 Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh dengan
sendirinya.
 Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau vitamin
B 12.
 Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
 Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin, tetapi
harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian preparat besi
akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin
mencapai kadar 9 – 10 g/dL.

III. Anemia Sideroblastik


Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik adalah:
 Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik dengan
transfusi darah
 Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita responsif
terhadap peridoksin.
 Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada bab sindroma
mielodisplastik.

IV. Anemia megaloblastik


Terapi subsitusi/supplement
 Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi asam
folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat.
 Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau parenteral dan
vitamin C 200 mg/hari.
 Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi, diberikan 3
-5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat diberikan 100 µg.
Bila perlu diteruskan pemberian vitamin B12 tiap bulan.
 Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
 Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang mengancam,
menghadapi tindakan operatif  darah lengkap dosis 10-20 ml/KgBB/hari,
PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole blood bila ada kehilangan
volume darah, dosis disesuaikan banyaknya darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak pada hari 7 –
8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu.

V. Anemia hemolitik
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
 Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh (LPT)/hari.
 Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
 Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan, kemudian
tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison 40 mg/m 2 .
dosis
prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan.
 Azatioprin : 80mg/m2/hari
 Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari
 Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
 Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab
b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
 Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%
 Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum Feritin
mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke 12. Dosis inisial 20
mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di idnding anterior abddomen,
selama 5 hari/minggu. Diberkan bersamaan dengan vitamin C oral 100 – 200
mg untuk meningkatkan ekskresi Fe. Pada keadaan penumpukan Fe berat
terutama disertai dengan komplikasi jantung dan endokrin, deferoxamine
diberikan 50 mg/KgBB secara infuse kontinue IV.

VI. Anemia aplastik


Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas:
 Terapi kausal
 Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi,
menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak buang ait besar,
pencegahan menstruasi obat anovulator.
 Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk merangsang
pertumbuhan sumsum tulang, berupa :
 Anabolik steroid  dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon
diberikan dlam dosis 2 -3 mg/KgBB/hari. Efek terapi tampak setelah 6 – 12
minggu.
 Rh GM-CSF (rekombinan Human Granulocyte-Macrophage Colony
Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah neutrofil, tetapi
harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga dapat diberikan untuk
mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.
 Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan maksimum 3 bulan.
Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari, namun jika dalam 4 minggu
tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping
yang serius.
 Terapi definitif yang terdiri atas :
 ATG (anti Thymocyte Globulin)
Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam larutan NaCl
dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah serum sickness, diberikkan
Prednison 40mg/m2/hari selama 2 minggu, kemudian dilakukan tappering off.
 Cyclosporin A
Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis dilakukan setiap
mingggu untuk mempertahankan kadar dalam darah 400-800 mg/ml.
pengobatan diberikan miimal selama 3 bulan, bila ada respon, diteruskan
sampai respon maksimal, kemudian dosis diturunkan dalam beberapa bulan.
 Kombinasi ATG dan Cyclosporin A
 Transplantasi sumsum tulang  terapi yang memberikan harapan
kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih,
serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang kompatibel. Transplantasi
sumsum tulang, yaitu: merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40
tahun, diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus host
disease), memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60 – 70% kasus,
dengan kesembuhan komplit.
 Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah jantung atau
anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10 g%, tidak perlu sampai
Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal.
 Trombosit  profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka diperlukan
transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
 Granulosit  tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertimbangkan
pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4 – 7 hari pada infeksi yang tidak berespon
dengan pemberian antibiotik.

H. PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia
dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi
kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
 Diagnosis salah
 Dosis obat tidak adekuat
 Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
 Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
 Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin berat
prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi, perdaraham
atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila
ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah platelet <20000/µL,
andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte count < 60000/µL).
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan, 25% selama 4
– 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami perbaikan spontan
(parsial/komplit).

Anda mungkin juga menyukai