Anda di halaman 1dari 28

ANTICOAGULANT AND

INTERVENTIONAL PAIN
MANAGEMENT
PEMBIMBING:
DR. AUNUN ROFIQ, SP.AN

DISUSUN OLEH:
KHAIRUNNISA ADAWIYAH 1710221082

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
ABSTRAK

Intervensi manajemen nyeri adalah terapi


khusus yang menggunakan prosedur invasif untuk
mendiagnosis dan mengobati nyeri kronik. Pasien
yang menjalani terapi ini biasanya akan mendapatkan
antikoagulan eksogen dan antitrombotik. Meskipun
faktor resiko perdarahan terbilang sangat kecil, namun
konsekuensinya bisa jadi masalah besar. Meskipun
begitu, peran terapi antitrombotik untuk pencegahan
primer dan sekunder penyakit kardiovaskular dalam
menurunkan insiden cerebral akut dan kardiovaskular
sangatlah dibutuhkan.
Prosedur intervensi manajemen nyeri memiliki
resiko perdarahan yang besar dan konsekuensi yang cukup
berbahaya, terutama pada pasien :
 Defisit sensoris/motoris
 Nyeri punggung radikular
 Sensitif pada lokasi tusukan
 Disfungsi vesika urinari

Penilaian resiko perdarahan yang melibatkan farmakologi


antikoagulan, obat lain untuk kontrol nyeri, dan resiko
yang berhubungan dengan prosedur intervensinya.
Jika ada pasien
dengan Segera
Diagnosis
kecurigaan gejala ditatalaksana 
dengan MRI
klinis hematoma laminektomi
neuraxial
 Berdasarkan rekomendasi adalah dengan tetap
melanjutkan penggunaan obat anti inflamasi non
steroid (NSAID), aspirin dosis rendah, inhibitor
phospodiesterase (diphyridamole, cilostazol, aspirin)
selama teknik intervensi.
 Rekomendasi lain untuk menghentikan terapi
antiplatelet dengan inhibitor agregasi trombosit
(clopidogreal, ticlopidine, dan prasugrel), tergantung
keadaan klinis pasien, rencana tindakan, faktor
resiko, keputusan pasien, dan pendapat kardiologis.
Obat – obat antitrombotik

 Aspirin
 NSAID
 Thenophyridine inhibitor (clopidogrel dan
ticlopidine
 Antagonis reseptor glikoprotein (abciximab)
 Warfarin
Obat – obat antikoagulan

 Trombolitik dan fibrinolitik :


 Heparin

 LMWH

 Medikasi herbal (bawang putih, jahe)

 Inhibitor anti-Xa
 Dabigatran

 Apixaban

 Rivaroxaban

 SSRI (serotonin selective reuptake)


Faktor risiko pasien dengan nyeri kronik
yang sedang dalam pengobatan
 Trombositopenia
 Carbamazepine
 oxcarbazepine,
 valproate dengan insiden sekitar 18%
 SSRI  menghambat aktivasi serotonin-yang dimediasi
platelet atau reduksi hitung jenis platelet.
 Hematoma spinal
 SSRI
 NSAID
 Aspirin
Faktor teknis yang berisiko perdarahan akibat
intervensi manajemen nyeri
Skoring risiko perdarahan
Komplikasi

 Blok saraf perifer


 Blok neuraxial
 perburukan blok motorik atau sensorik (68% pasien)

 disfungsi usus dan kandung kemih (bowel bladder


dysfunction) sekitar 8%
 Nyeri punggung radikular

 Hematoma spinal
 0,014% untuk penempatan kateter epidural
 penempatan stimulator tulang belakang (spinal cord stimulator)
insiden sekitar 0,19%
Faktor risiko terjadinya hematoma
pedoman untuk teknik intervensi pada pasien
yang menggunakan antiplatelet
pedoman untuk teknik intervensi pada pasien
yang menggunakan antikoagulan
Hasil

 NSAIDS, termasuk diantaranya aspirin dosis rendah,


tidak meningkatkan resiko hematoma spinal epidural
dan bukan merupakan kontraindikasi teknik intervensi
(evidence : good)
 Aspirin dosis tinggi dan kombinasi berbagai obat harus
dipertimbangkan dan atau sebaiknya di berhentikan
berdasarkan penilaian klinis dari individu yang beresiko
dan penilaian manfaatnya. Bersamaan dengan ini,
penggunaan banyak agen yang bersifat antikoagulan
(NSAID atau aspirin, SSRI, minyak ikan, dll)
meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas atau
bahkan keduanya.
 Inhibitor phospodiesterase termasuk dipyridamole
(persantine), dipyridamole plus aspirin (aggrenox)
dan cilostazol (pletal) ternyata tidak meningkatkan
resiko hematoma spinal epidural dan bukan
kontraindikasi teknik intervensi (evidence : fair).
 Inhibitor agregasi trombosit termasuk diantaranya
ticlopidine (ticlid), clopidogrel (plavix), dan
prasugrel (effient) mungkin dilanjutkan atau
diberehentikan sebelum menggunakan teknik
intervensional (evidence:fair)
 Berdasarkan faktor pasien dan pendapat para ahli
jantung, jika keputusannya adalah memberhentikan,
rekomendasi mutakhir adalah obat tersebut
mungkin diberhentikan selama 7 hari dengan
clopidogrel dan prasugrel atau 10-15 hari dengan
ticlopidine (evidence:fair). Ada juga bukti bahwa
pemberhentian selama 3 hari mungkin efektif
(evidence : limited).
 Warfarin mungkin dilanjutkan atau dihentikan
berdasarkan kadar INR selama terapi (evidence :good)
 Selama teknik intervensional resiko tinggi seperti injeksi
epidural interlaminal, adhesiolisis perkutan,
disdekompresi, blok simpatik, dan penempatan alat
implan, warfarin sebaiknya dihentikan selama waktu
yang tepat dan bila INR adalah 1,4 atau kurang harus
segera tercapai (evidence : good)
 Selama prosedur dengan resiko sedang seperti injeksi
kaudal epidural, teknik intervensi paravertebra, dan
injeksi sendi perifer, warfarin sebaiknya dilanjutkan
selama waktu yang tepat dan bila INR nya 2 atau kurang
harus segera tercapai (evidence : limited)
 Heparin yang tidak terfraksinasi (unfractionated
heparin) atau LMWH mungkin dihentikan selama 12
jam sebelum melakukan teknik intervensi (evidence
: limited)
 Rivaroxaban (xarelto) mungkin dihentikan selama 1
hari atau lebih (evidence: limited)
 Dabigatran (pradaxa) mungkin dihentikan 2-4 hari
selama teknik intervensi mayor dengan resiko tinggi
perdarahan pada pasien dengan bersihan kreatinin
lebih dari 50 ml/menit. Untuk teknik resiko rendah
atau teknik intervensi paravetebra dan injeksi
kaudal, mungkin dihentikan selama 1 hari pada
pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Dapat
dihentikan setidaknya 4-5 hari pada pasien dengan
kreatinin kurang dari 50 ml/menit. (evidence :
limited)
 Hasil penelitian oleh Machikanti dkk dan hasil penelitian
sebelumnya dngan pedoman yang ada  tidak ada
satupun NSAID, termasuk aspirin yang harus dihentikan
sebelum terapi intervensi dilakukan.
 Untuk terapi antiplateletmempertimbangkan sesuai
keadaan pasien, lebih lanjut, rasio resiko untung-rugi
nya tindakan harus dinilai, Skor Penilaian Resiko
Perdarahan , kadar INR yang sesuai untuk dilakukannya
prosedur dengan mempertimbangkan faktor resiko
terjadinya insiden penyakit serebrokardiak.
 Pada hasil penelitian lain, machikanthi et al
menyimpulkan bahwa klinisi harus
menyeimbangkan resiko tromboemboli dan
perdarahan pada masing masing pasien sebelum
penghentian rutin dari terapi antiplatelet.
Kesimpulan

 Melakukan prosedur neuraxial sentral segera baik


sebelum, selama, maupun setelah dimasukkannya
obat antikoagulan adalah hal yang kontroversional.
 Blokade neuraxial akan aman dengan menggunakan
teknik yang atraumatik, dan resiko untung-rugi pada
pasien telah dianalisis dan disesuaikan meskipun
pasien sudah mendapatkan agen antitrombotik saat
perioperatif.
 Aspirin sendiri tidak meningkatkan resiko
hematoma spinal epidural setelah anestesi regio
neuraxial, tapi ketika dilakukan penggunaannya
bersamaan dengan obat antikoagulan lain untuk
profilaksis, resiko sebenarnya masih belum jelas.
 Penghentian fungsi inhibitor platelet seperti aspirin
dan clopidogreal setelah intervensi arteri koroner
yang dilakukan kurang dari 12 bulan sebelumnya
meningkatkan resiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler.
 Baik heparin yang tak terfraksinasi dan LMWH
meningkatkan resiko hematoma spinal epidural jika
diberikan pada dosis tinggi atau ketika dilakukan
pungture atau pencabutan kateter epidural yang
terlalu dini sebelum atau sesudah pemberian dosis.
 Selama pemberian antikoagulan dengan heparin
atau antagonis vitamin K sebagai dosis terapi,
tindakan untuk meneruskan proses pungture dan
pencabutan kateter epidural merupakan suatu
kontraindikasi.
 Berdasarkan penelitian yang sudah ada dapat
disimpulkan bahwa obat-obatan seperti hirudins,
fondaparinux, daabigatran, rivaroxaban, atau
apixaban masih relatif aman.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai