Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

ANEMIA DAN PANSITOPENI

Pembimbing :

dr. M. Zulfikar Abadi, Sp. PD

Disusun oleh :
Mayya Fiqi Kamala
1102015129

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI

PERIODE 15 MARET – 25 MARET 2021


LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

ANEMIA ANEMIA DAN PANSITOPENI

Disusun oleh:

Mayya Fiqi Kamala (110205129)

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti


Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Bekasi

Telah dibimbing dan disahkan pada tanggal

Bekasi, Maret 2021

Pembimbing

dr. M. Zulfikar Abadi, Sp. PD

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

BAB I

BAB II

2.1 DEFINISI

2.2 EPIDEMIOLOGI

2.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

2.4 PATOFISIOLOGI

2.5 MANIFESTASI KLINIS

2.6 PENEGAKKAN DIAGNOSIS

2.7 TATALAKSANA

2.8 PROGNOSIS

DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa


eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrlting
capacity).1 Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (Red Cell Courtt). Tetapi yang paling lazrm
dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat
keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa
eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang
timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah
yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada
usia. jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serla keadaan fisiologis tertentu seperti
misalnya kehamilan 1 Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat
berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah
tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik
mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg;2). Anemia normokromik normosirer,
bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg;3). Anemiamakrositer, bilaMCV > 95 fl.1

Anemia dideskripsikan sebagai penurunan jumlah sel darah merah dalam


tubuh. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu manifestasi dari
penyakit dasar. Gejala-gejala anemia umumnya muncul apabila hemoglobin sudah
turun dibawah 7,0 g/dL.

Erythropoietin (EPO), yang dibuat di ginjal, adalah stimulator utama


produksi sel darah merah (RBC). Hipoksia jaringan adalah perangsang utama
produksi EPO, dan kadar EPO umumnya berbanding terbalik dengan konsentrasi
hemoglobin. Dengan kata lain, seseorang yang menderita anemia dengan
hemoglobin rendah mengalami peningkatan kadar EPO. Namun, kadar EPO lebih
rendah dari yang diharapkan pada pasien anemia dengan gagal ginjal. Pada
anemia penyakit kronis (AOCD), kadar EPO umumnya meningkat, tetapi tidak
setinggi yang seharusnya, menunjukkan defisiensi relatif EPO.
Batas laboratorium khusus Hemoglobin (Hgb) -spesifik akan sedikit
berbeda, tetapi secara umum, kisaran normalnya adalah sebagai berikut:
 13,5 hingga 18,0 g / dL pada pria
 12,0 hingga 15,0 g / dL pada wanita
 11,0 hingga 16,0 g / dL pada anak-anak
 Dalam kehamilan tergantung pada trimester, tetapi umumnya lebih besar dari
10,0 g / dL.

Prognosis untuk anemia tergantung dari penyebabnya. Pemberian nutrisi


seperti B12, asam folat, harus diberikan sedini mungkin. Pada anemia defisiensi
besi, tatalaksana harus dilanjutkan minimal 3 bulan setelah jumlah besi sudah
normal. Hal ini diperlukan untuk mengembalikan cadangan besi dalam tubuh.
Anemia yang disebabkan karena defisiensi nutrisi memiliki prognosis yang baik
apabila dapat ditangani dengan segera.
BAB
1

PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di seluruh dunia, di samping sebagai
masalah Kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan
penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap
kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta Kesehatan fisik. Walaupun prevalensinya demikian
tinggi, anemia (terutama anemia ringan) seringkali tidak mendapat perhatian dan tidak
diidentifikasi oleh para dokter di prakter klinik.1
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di
lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia
dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. Terdapat bermacam-macam cara pendekatan
diagnosis anemia, altara lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional
dan probabilistik, serta pendekatan klinis.1
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya
dipakai kriteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriteria Hb <
1 0 g/dl atau hematokrrt < 30Vo. Anemia dapat diklasifikasikan menurut etioparogenesisnya
ataupun berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifi kasi ini sangat bermanfaat
untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan
sumsum tulang: pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara
klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan gabungan pendekatan klinis dan laboratorik.
Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas. Terapi dapat diberikan
dalam bentuk terapi darurar. terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia dan
terapi kausal.1

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya anemia. Secara global,


penyebab tersering dari anemia yaitu karena kekurangan zat besi. Berdasarkan
data WHO, bahkan 50% kasus anemia yaitu disebabkan karena terjadinya
1
kekurangan zat besi. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya asupan zat besi
dan masalah absorpsi zat besi.

Selain karena faktor zat besi, terdapat faktor risiko lain yang dapat
menyebabkan terjadinya anemia, diantaranya perdarahan hebat dari mesnstruasi,
infeksi parasit askaris, dan skistosomasis, infeksi akut dan kronik (malaria,
keganasan, tuberculosis, HIV), defisiensi mikronutrien (vitamin A, vitamin B12,
folat, riboflavin).

2
Pendekatan diagnosis terhadap pasien anemia memerlukan pemahan
tentang pathogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketepatan dalam memilih,
menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Sebab, anemia bukanlah suatu
penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu, dalam diagnosis anemia
harus menemukan penyakit dasarnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana rendahnya konsentrasi


hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan nilai ambang batas (referensi) yang
disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan Hb,
meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang
berlebihan.2

Tabel 1. Nilai Ambang Batas Pemeriksaan Hematokrit dan Hemoglobin

2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita
oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara
merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi
anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini
dengan warna merah tua:2
Gambar 1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia
2.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam


penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3).
Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).1

Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis. 1

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang.

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit


a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
f. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia akibat hemoragik
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
c. Anemia akibat defisiensi G6PD
d. Thalassemia
e. Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang


kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat
indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga
golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg;2). Anemia
normokromik normosirer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg;3). Anemiamakrositer,
bilaMCV > 95 fl.

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran


morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam
klasifikasi ini, anemia dibagi menjadi 3 golongan, diantaranya:

I. Anemia hipokromik mikrositer (MCV<80fl dan MCH>27pg)


a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg)
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer (MCV >95 fl)
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
2.4 PATOFISIOLOGI ANEMIA
I. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan
zat besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut : (Bakta et al.
2015)
a. Kurangnya asupan Fe
 Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi
total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang
dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah
daging, rendah vitamin C)
 Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi,
colitis kronik, atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
 Perdarahan saluran cerna
 Perdarahan saluran kemih
 Hemoglobinuria
 Hemosiderosis pulmonari idiopatik
 Telangiektasia hemoragik herediter
 Gangguan hemostasis
 Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
 Bayi prematur
 Anak-anak dalam pertumbuhan
 Ibu hamil dan menyusui
 Laktasi
Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi
yang telah berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi,
yaitu
: (Jameson et al. 2018)
1) Negative iron balance
Pada fase ini, terjadi ketidakseimbangan antara pengeluaran dan
kemampuan untuk menyerap besi dari makanan. Hal tersebut dapat
terjadi dalam keadaan perdarahan atau intake zat besi yang tidak
adekuat.
2) Iron deficient erythropoiesis
Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan anemia
secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi,
sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya
sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan
ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei).
Selain itu, kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah peningkatan
kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi transferin menurun,
total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain yang
sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu,
sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah
eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini,
terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim
sehingga menimbulkan berbagai gejala.

II. Anemia penyakit kronik

Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi


akibat infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang
telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan
endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,
sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia
penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi,
seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik,
gagal jantung kongestif, dan idiopatik.
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi
pemeriksaan status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon
fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan
trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut oleh
makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti
Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8.
Interleukin- 1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan
besi ke dalam sirkulasi terhambat, produksi protein fase akut (PFA),
lekositosis, dan demam. Hal itu dikaitkan dengan IL-1 karena episode
tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan eritropoesis. Bila
eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang, sehingga
absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel
monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum meningkat.
TNF-α juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu menekan
eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan
hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke
dalam darah. (Jameson, 2018)
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi
IL-1, TNF-α, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara
berlebihan beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid
A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan
hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan di
sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic
hormone (ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif
terhadap induksi PFA oleh hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen,
protein fase akut lain yang berhubungan penting dengan metabolisme besi
antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan prealbumin. (Jameson,
2018)
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan
makrofag teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali
normal, sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein
fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi. (Jameson,
2018)
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia
defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi
serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan
untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis
disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma
menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh
degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga
meningkat melalui mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia
defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena kurangnya
asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan. (Jameson, 2018)

III. Anemia megaloblastik


Anemia megaloblastik adalah kelainan sel darah merah dimana dijumpai
anemia dengan volume sel darah merah lebih besar dari normal dan
ditandai oleh banyak sel imatur besar dan SDM disfungsional
(megaloblas) di sumsum tulang akibat adanya hambatan sintesis DNA
dan/atau sintesis RNA dalam produksi sel darah merah. Penyebab anemia
megaloblastik adalah : (Effendy, 2015)
1. Hipovitaminosis
a. Defisiensi vitamin B9 yang akan menyebabkan gangguan
biosintesis basa purin dan pirimidin serta gangguan proses
metilasi DNA, RNA, dan protein.
b. Defisiensi vitamin B12 yang akan menyebabkan gangguan
proses metilasi DNA, RNA, dan protein.
2. Non hipovitaminosis
Akibat gangguan sintesis DNA, RNA, dan Protein karena gangguan
proses metilasi yang memengaruhi proliferasi dan diferensiasi pada
precursor sel darah merah.
Defisiensi sianokobalamin menyebabkan defisiensi metionin
intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam
sel. Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekurson tidimilat
yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut
sebagai methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin
mengakibatkan penumpukan 5-metil tetrahidrofolat. (Effendy, 2015)
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu
perubahan propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan
gangguan sintesis myelin pada susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi
ini menyebabkan kelainan medulla spinalis dan gangguan neurologis.
Sebelum diabsorpsi, asam folat harus diubah menjadi monoglutamat.
Bentuk folat tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif.
Defisiensi folat mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan
mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis
DNA. (Effendy, 2015) Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA
dalam jumlah yang memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi
tidak menghalangi kelebihan pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel
yang berhasil diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA dalam setiap sel akan
melebihi normal, menyebabkan produksi hemoglobin sitoplasmik dan
bahan-bahan lainnya
berlebihan, dan membuat sel menjadi besar. (Effendy, 2015)

IV. Anemia hemolitik imun


Anemia hemolitik imun adalah kondisi pada pasien dimana terdapat
autoantibodi yang melekat pada eritrosit dan menyebabkan lisis.
Klasifikasi anemia hemolitik dapat dibagi menjadi : (Hariadi et al, 2015)
1. Anemia hemolitik auto imun (AIHA)
a. AIHA tipe hangat
i. Idiopatik
ii. Sekunder (karena CLL, limfona, dan SLE)
b. AIHA tipe dingin
i. Idiopatik
ii. Sekunder (infeksi mikoplasma, mononucleosis, virus,
keganasan limforetikuler)
c. Paroxysmal Cold megoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
d. AIHA tipe atipik
2. AIHA diinduksi obat
3. AIHA diinduksi aloantiboid
a. Reaksi hemolysis transfuse
b. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular.
Sebagian besar kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit
disingkirkan oleh makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa.
Pada hemolisis intravaskular, sel darah merah akan terdestruksi dalam
sirkulasi, sehingga hemoglobin terlepas kemudian terikat pada haptoglobin
plasma, tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas ini difiltrasi oleh
glomerulus ginjal dan masuk ke urin, meskipun sebagian kecil
direabsorpsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubulus renal, Hb pecah dan
terdeposit di sel sebagai hemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas
dioksidasi menjadi methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan
Heme-Fe. (Jameson, 2018)
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas
pengikatannya berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin
membentuk metheamalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi
Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.
(Jameson, 2018)

V. Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relative jarang
ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Anemia ini ditandai dengan
karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia / aplasia sumsum
tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi
jaringan hematopoietik. Etiologi anemia aplastik adalah sebagai berikut :
(Widjanarko et al, 2015)
1. Toksisitas langsung
 Iatrogenik
o Radiasi
o Kemoterapi
 Benzena
 Metabolit intermediate beberapa jenis obat

2. Penyebab yang diperantarai imun


 Iatrogenik: transfusion-associated graft versus host disease
 Fascilitis eosinofilik
 Penyakit terkait hepatitis
 Kehamilan
 Metabolit intermediate beberapa jenis obat
 Anemia aplastik idiopatik

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada
setiap kasus anemia apapun penyebabnya. Gejala umum anemia ini timbul karena
anoksia organ dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya
angkut oksigen.

Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun
di bawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada derajat
penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin, usia, dan adanya
kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejalam yaitu: (Bakta,
2015)
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia
setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb < 7gr/dL).
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat Lelah, tinnitus, mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas, dan dyspepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom
anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di
luar anemia dan tidak sensitive karena timbil setelah penurunan
hemoglobin yang bearat (Hb <7g/dL).
2. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
i. Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok
ii. Anemia megaloblastic : glossitis, gangguan neurologic pada
defisiensi vitamin B12
iii. Anemia hemolitik : icterus, splenomegaly, dan hepatomegaly.
iv. Anema aplastic : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
3. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi, tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya
gejala akibat infeksi cacing tambang, diantaranya sakit perut,
pembengkakan parotis, dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada
anemia akibat penyakit kronik.

2.6 PENEGAKKAN DIAGNOSIS


Untuk menegakkan diagnosis dari anemia, diperlukan beberapa rangkaian
pemeriksaan. Anamnesia hingga pemeriksaan fisik, akan dijumpai keluhan-
keluhan seperti yang terdapat pada manifestasi klinis. Selain itu, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari:

1. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat
dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia tersebut, yang sangat
berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
2. Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit, dan laju endap darah.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi mengenai keadaan
system hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitive
pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan
untuk diagnosis anemia aplastic, anemia megaloblastic, serta pada kelainan
hematologic yang dapat mensupresi system eritroid, seperti sindrom
mielodisplastik (MDS).
4. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini dilakukan atas indikasi khusus, misalnya pada:
i. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding capacity),
serum ferritin.
ii. Anemia megaloblastic: folat serum, vitamin B12 serum.
iii. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin
dan lain-lain.
iv. Anemia aplastic: biopsi sumsum tulang.

Pemeriksaan juga dilakukan sesuai dengan hasil morfologi yang didapatkan.


Berikut algoritma pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan morfologi sel
darah tepi.
Gambar 2 Algoritma pemeriksaan anemia (BMJ, 2021)

2.7 TATALAKSANA
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan
preparat besi. Untuk tatalaksana diet pada anemia defisiensi besi
diantaranya makan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi dan makan makanan yang mengadung zat besi tinggi, seperti
daging merah. Selain itu, dapat juga diberikan preparat besi secara oral
maupun parenteral.. Cara pemberian preparat besi:
a) Preparat besi peroral :
 Preparat besi inorganik mengandung 30 dan 100 mg besi elemental
 Dosis 200-300 mg besi elemental per hari harus diabsorbsi
sebanyak 50 mg/hari.
 Tujuan terapi tidak hanya memperbaiki anemia, tetapi juga
menambah cadangan besi minimal 0,5-1 gram, sehingga perlu
diberikan terapi selama 6-12 bulan setelah anemia terkoreksi.
 Dosis 3-4 kali 1 tablet (150 dan 200 mg) diminum 1 jam sebelum
makan.
 Efek samping: mual, heartburn, konstipasi, metallic taste, buang
air besar hitam.
 Macam-macam preparat besi oral yaitu:

Tabel 1. Preparat Besi Oral (Alwi et al, 2017)


Nama generik Tablet (jumlah besi) (mg) Eliksir (jumlah besi) (mg
/5ml)
Ferrous sulfate 325 (65) 300 (60)
195 (39) 90 (18)
Extended release 525 (105)
Ferrous fumarate 325 (107) 100 (33)
Ferrous gluconate 195 (64)
325 (39) 300 (35)
Polysaccharide iron 150 (150) 100 (100)
50 (50)

b) Preparat besi parenteral


 Indikasi: malabsorbsi, intoleransi terhadap preparat oral,
dibutuhkan dalam jumlah banyak.
 Dosis besi (mg) = (15-Hb yang diperiksa) x bb (kg) x 2.3 +
500 atau 1000 mg (untuk cadangan)
 Iron sucrose: 5 ml (100 mg besi elemental) diberikan secara
intravena tidak melebihi 3x seminggu. Efek samping:
hipotensi, kram, mual, sakit kepala, muntah, dan diare.
 Iron dextran: dosis untuk tes 0,5 ml secara intravena
sebelum terapi dimulai. Selanjutnya diberikan 2ml setiap
dosis. Efek samping: hipotensi, myalgia, sakit kepala, nyeri
perut, mual dan muntah, limfadenopati, efusi pleura,
pruritus, urtikaria, kejang, flushing, menggigil, flebitis,
dizziness.
c) Transufsi sel darah merah
Diberikan jika ada indikasi instabilitas kardiovaskular, perdarahan
masih berlangsung, dan membutuhkan intervensi segera.

II. Anemia Penyakit Kronik


Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit kronik
berupa:
 Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan
sembuh dengan sendirinya.
 Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat,
atau vitamin B 12.
 Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
 Pemberian agen erythropoietic

III. Anemia hemolitik


a. Anemia hemolitik autoimun : (Alwi, 2017)
 Glukokortikoid : prednison 60-100 mg PO sampai hematokrit
stabil atau mulai meningkat, dosis diturunkan mencapai 30 mg/hari.
Jika kedaan membaik, prednisone dapat diturunkan 5mg/hari setiap
minggu sampai mencapai dosis 15-20 mg/hari, yang selanjutnya
diberikan selama 2-3 bulan setelah episode akut hemolitik reda. Terapi
dapat dihentikan setelah 1-2 bulan.
 Splenektomi : pada pasien yang mendapat prednisone
berkepanjangan > 15 mg/hari untuk menjaga konsentrasi hemoglobin.
 Rituximab : Pemberikan dengan dosis 375 mg/m 2/minggu
selama 2-4 minggu.
 Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
IV. Anemia aplastik
Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi
umum, dan ketersediaan donor stem cell. Tatalaksana penunjang untuk
anemia aplastik diantaranya: (Alwi, 2017)
 Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai faktor pencetus
dan mengganti dengan obat lain yang lebih aman.
 Transfuse komponen darah sesuai dengan indikasi.
 Menghindari dan mengatasi infeksi: gunakan antibiotik spectrum
luas.
 Kortikosteroid: prednisone 1-2 mg/kgBB/hari, maksimal
diberikan selama 3 bulan. Nandrolone decanoate 400 mg IM
(intramuscular)/minggu
 Terapi imunosupresif:
o Siklosporin 10-12 mg/kgBB/hari intravena selama 4-6
bulan
o ATG (anti thymacyte globulin) 15-40 mg/kgBB/hari
intravena selama 4-10 hari.
 Transplantasi sumsum tulang alogenik bila ditemukan HLA yang
cocok.
2.8 PROGNOSIS
Prognosis untuk anemia tergantung dari penyebabnya. Pemberian nutrisi
seperti B12, asam folat, harus diberikan sedini mungkin. Pada anemia
defisiensi besi, tatalaksana harus dilanjutkan minimal 3 bulan setelah jumlah
besi sudah normal. Hal ini diperlukan untuk mengembalikan cadangan besi
dalam tubuh. Anemia yang disebabkan karena defisiensi nutrisi memiliki
prognosis yang baik apabila dapat ditangani dengan segera.
Anemia yang disebabkan karena perdarahan juga memiliki prognosis yang
baik apabila perdarahan dapat ditangani dengan segera. (Turner et al. 2020)
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,dkk. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam


jilid II edisi VI dalam Pendekatan terhadap pasien Anemia oleh I Made
Bakta. Interna Publishing: Jakarta

2. Citrakesumasari. 2012. Buku Ajar Anemia Gizi. Kalika: Yogyakarta


3.

Alwi, Idrus et al. 2017. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam,


Panduan Praktik Klinis. Interna Publishing, Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam: Jakarta.
Bakta et al. Anemia Defisiensi Besi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI. Interna Publishing: Jakarta pp.2591-2601.
Bakta, I Made. 2015. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Interna Publishing: Jakarta pp.2577-
2584.
Benoist B et al. 2008. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005.
Switzerland : WHO
BMJ. 2021. BMJ Best Practice, Evaluation of Anemia. Available form:
https://www.bestpractice.bmj.com/topics/en- us/93/pdf/93/Evaluation
%20of%20anemia.pdf [diakses pada 14 Februari 18.30]
Effendy, Shufrie. 2015. Anemia Megaloblasik, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Interna Publishing: Jakarta pp.2602-2608.
Hariadi et al. 2015. Anemia Hemolitik Imun, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi VI. Interna Publishing: Jakarta pp.2609-2615.
Jameson et al. 2018. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 20.
NewYork : McGraw Hill, 2018.
Turner J, Parsi M, Badireddy M. Anemia. [Updated 2020 Sep 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499994/
[diakses pada 14 Februari 12.35]
World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia : Assessment,
Prevention, and Control. Switzerland : WHO.
World Health Organization. 2011. Haemoglobin concentrations for the
diagnosis of anaemia and assessment of severity Accessed August 4,
2017

Anda mungkin juga menyukai