Classic
Classic
Flipcard
Magazine
Mosaic
Sidebar
Snapshot
Timeslide
1.
May
Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Medan
2010
ANEMIA
I. Pendahuluan
Istilah anemia (kurang darah) sebetulnya salah kaprah, karena biasanya tak terjadi
kekurangan darah umumnya, melainkan hanya kurang hemoglobin atau eritrosit. Anemia
terjadi jika kandungan hemoglobin darah pada pria dibawah 130 g/l dan pada wanita
dibawah 120 g/l. Untuk diagnosis yang tepat masing-masing jenis anemia disamping
kandungan hemoglobin, juga harus ditentukan jumlah eritrosit dan hematokrit.
Anemia adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena
kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Defisiensi besi
adalah suatu gejala umum diseluruh dunia dan terutama menghinggapi kaum wanita pada
usia subur. Defisiensi dapat ditimbulkan antara lain oleh pendarahan lanmbung-usus atau
memburuknya resopsi akibat diare atau pembedahan lambung. Kekurangan ini awalnya
ditampung oleh peningkatan resopsi besi dari pangan, lalu oleh persediaan ferritin dalam
hati dan sumsum tulang. Bila depotnya habis, barulah digunakan besi plasma, sehingga
kadar hemoglobin darah pun menurun dengan menimbulkan anemia.
Pada prinsipnya, anemia semacam ini akibat dari :
Peningkatan kehilangan zat besi (misalnya selama pertumbuhan atau kehamilan),
Peningkatan kehilangan zat besi (misalnya pada menstruasi yang banyak dan
berlangsung lama atau pendarahan dari saluran cerna), atau
Berkurangnya pasokan zat besi (misalnya akibatnya kurang kandungan zat besi dalam
makanan, karena makanan terutama susu pada usia anak-anak atau karena gangguan
absropsi besi pada penyakit saluran cerna).
V. Klafikasi Anemia
Secara umum terdapat tiga jenis utama anemia, diklafikasikan menurut ukuran sel darah
merah :
1. Jika sel darah merah yang lebih kecil dari biasanya, ini disebut microcytic anemia
penyebab utama dari jenis ini adalah anemia dari kekurangan zat besi dan hemoglobin.
2. Jika sel darah merah normal dalam ukuran (tetapi jumlahnya rendah), ini disebut
normocytic anemia, ini seperti anemia yang menyertai penyakit kronis atau anemia yang
berhubungan dengan penyakit ginjal.
3. Jika sel darah merah lebih besar dari biasanya, maka disebut macrocytic anemia.
Penyebab utama dari jenis ini adalah yang berkaitan dengan alkohol.
Klafikasi anemia berdasarkan penyebabnya didapat dikelompokkan menjadi tiga krateria
yaitu :
1. Anemia karena hilangnya sel darah merah, terjadi akibat pendarahan karena berbagai
sebab seperti perlukaan, perdarahan gastrointestinal, pendarahan uterus, pendarahan
hidung, perdarahan akibat operasi.
2. Anemia karena menurunnya produksi sel darah merah, dapat disebabkan karena
kekurangan unsure penyusunan sel darah merah (asam folat, vitamin B12 dan zat besi),
gangguan fungsi sumsum tulang (adanya tumor, pengobatan, toksin), tidak adekuatnya
stimulasi karena berkurangnya eritropoitin (pada penyakit ginjal kronik).
3. Anemia karena meningkatnya destruksi/ kerusakan sel darah merah, dapat terjadi
karena overaktifny Reticuloendothelial system (RES).
Meningkatnya destruksi sel darah merah dan tidak adekuatnya produksi sel darah merah
biasnya karena faktor-faktor :
a. Kemampuan respon sumsum tulang terhadap penurunan sel darah merah kurang karena
meningkatnya jumlah retikulosit dalam sirkulasi darah.
b. Meningkatnya sel-sel darah merah yang masih muda dalam sumsum tulang
dibandingkan dengan matur/ matang.
c. Ada atau tidaknya hasil destruksi sel darah merah dalam sirkulasi darah (seperti
meningkatnya kadar biliburin).
Klafikasi anemia berdasarkan patofisiologi
Tipe Anemia Hasil Laboratorium
1. Hipoproliferasi (akibat kurangnya produksi sel darah merah)
Defenisi zat besi
Menurunnya retiklosit, besi, feritin, saturasi besi, MCV (mean cell volume)
Normal MCV, MCH (mean cell hemoglobin) normal atau menurunnya eritropin
Awal pendarahan: retikulosit meningkat, normal Hb, Ht normal. Kemudian menurunnya
Hb, MCV, feritin dan besi.
DAFTAR PUSTAKA
Add a comment
No more comments
2.
May
FArmasi
Farmasi 2010 Fakultas Farmasi
Micky Holiday
View comments
1.
ReplyDelete
No more comments
3.
Apr
22
Posted 22nd April 2011 by KAFEIN USU
Add a comment
No more comments
4.
Apr
18
cream
CREAM
PENDAHULUAN
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah padat,
berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian
luar.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah padat
mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang
sesuai.
Menurut Formularium Nasional, krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi
kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Secara tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai
konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak(a/m) atau minyak
dalam air (m/a).
PENGGOLONGAN KRIM
Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak
atau alkohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan
untuk pemakaian kosmetika dan estetika.
Ada dua tipe krim, yaitu:
1. Tipe a/m, yaitu air terdispersi dalam minyak
Contoh : cold cream
Cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memberikan rasa
dingin dan nyaman pada kulit, sebagai krim pembersih, berwarna putih dan bebas dari
butiran. Cold cream mengandung mineral oil dalam jumlah besar.
2. Tipe m/a, yaitu minyak terdispersi dalam air
Contoh: vanishing cream
Vanishing cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud
membersihkan, melembabkan dan sebagai alas bedak. Vanishing cream sebagai
pelembab (moisturizing) meninggalkan lapisan berminyak/film pada kulit.
RESEP
1. FORMULA I
R/ Parafin liq 12,75
Cetaceum 1,625
Acid stearic 1,6
Cera alba 0,625
TEA 0,2
Natr. Biborat 0,2
Gliserin 0,25
Parfum q.s.
Aqua ad 25
m.f. cold cream
s.u.e.
#
Pro : Diana
2. PENIMBANGAN
Parafin liq = 12,75 g
Cetaceum = 1,6 g
Acid stearic = 1,6 g
Cera alba = 625 mg ∞ 600 mg
TEA = 200 mg
Natr. Biborat = 200 mg
Gliserin = 250 mg
Aqua = 25 – (12,75+ 1,625+ 1,6+ 0,62 + 0,2+ 0,2+ 0,85)
= 7,75ml
Parfum = 2 tetes (penimbangan dapat diabaikan)
3. PEMBUATAN
Persyaratan yang harus diingat:
- Komponen yang tidak dapat bercampur dengan air atau dengan kata lain komponen
minyak serta tahan pemanasan dicairkan bersama-sama di penangas air pada suhu 70-
750C. Dalam hal ini : parafin liq, cetaceum, acid stearic dan cera alba
- Komponen yang larut air dan tahan panas dilarutkan dalam air panas dengan suhu yang
sama dengan komponen lemak. Dalam hal ini : TEA
Posedur Kerja
• Tara cawan, timbang parafin liquid di dalamnya
• Kemudian timbang cetaceum, acid stearic dan cera alba di kertas perkamen
• Lebur parafin liq bersama dengan cetaceum, acid stearic, dan cera alba di atas water
bath (penangas aiar)
• Sambil menunggu leburan, panaskan lumpang (70-75)0C.
• Selanjutnya tara kaca arloji, timbang TEA didalamnya
• Timbang Natrium Biborat di atas perkamen
• Kalibrasi beaker glass sebanyak aqua yang diperlukan dengan gelas ukur, beri tanda.
• Setelah leburan mencair, gerus searah didalam lumpang panas
• Isi beaker glass dengan air panas sampai batas tanda dan larutkan TEA ke dalamnya
• Setelah larut, masukkan larutan tersebut sedikit demi sedikit kedalam lumpang panas
yang berisi hasil leburan.
• Tambahkan Natrium Biborat. Gerus kencang searah hingga terbentuk massa cream
yang baik
• Ttambahkan gliserin, homogenkan
• Kemudian masukkan parfum setelah suhu turun (330C) dan homogenkan.
• Masukkan Cream ke dalam wadah.
4. FORMULA II
R/ Acid Stearinic 4,73
Gliserin 3.33
Natr. Biborat 0.083
TEA 0.33
Aquadest ad 25
m.f. cream
s.u.e.
#
Pro : Juli
5. PENIMBANGAN
Acid Stearinic = 4.73 g ∞ 4,7 g
Natr. Biborat = 83 mg ∞50 mg
Gliserin = 3.33 g ∞ 3.3 g
TEA = 330 mg ∞ 300 mg
Aqua = 25 - (4,7+ 0,005+ 3,3+ 0,3)
= 16,695 ml
6. PEMBUATAN
Prosedur Kerja
• Timbang acid stearinic, kemudian lebur diatas waterbath sampai mencair
• Panaskan lumpang (70-750C)
• Timbang TEA di kaca arloji yang telah ditara
• Kalibrasi beaker glass sebanyak aqua yang diperlukan dengan gelas ukur dan beri tanda
• Setelah Acid stearinic mencair, pindahkan kedalam lumpang panas, gerus
• Isi air panas dalam beaker glass sampai batas tanda, larutkan TEA di dalamnya
• Tambahkan Larutan tersebut sedikit demi sedikit ke dalam lumpang, dan gerus searah
sampai terebntuk dasar krim
• Masukkan Natr. Biborat kedalam dasar krim. Gerus Homogen
• Tambahkan gliserin, gerus homogen
• Masukkukn krim ke dalam wadah.
7. EVALUASI CREAM
a. Uji Homogenitas
Alat : objek glass
Cara : jika dioleskan pada sekeping objek glass lalu di timpa dengan objek glass yang
lain harus menunjukkan susunan yang homogen.
Pengamatan:
kedua Krim yang dihasilkan homogen.
PEMBAHASAN
Pada prinsipnya metil biru larut dalam air, sehingga cara ini dapat dipakai untuk
menentukan tipe krim. Jika fasa luar dari krim adalah air, maka larutan krim dalam air
akan berwarna biru homogen, sedangkan jika fasa luar krim adalah minyak, maka warma
metil biru tidak akan merata hanya menumpuk-menumpk sebagian saja.
Pengamatan menggunakan mikroskop memperjelas penentuan tipe krim ini, dimana jika
fasa luar krim adalah air, akan terlihat bahwa terdapat tetesan-tetesan metil biru yang
kecil, sangat banyak dan tersebar merata. Sedangkan jika fasa luar krim adalaha minyak,
akan terlihat tetesan metil biru yang besar, sedikit dan tidak merata pada mikroskop.
KESIMPULAN
Krim I adalah tipe a/m dimana air terdispersi dalam minyak
Krim II adalah tipe m/a dimana minyak terdispersi dalam air
Add a comment
No more comments
5.
Apr
AntiInflamasi
I. PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologik.
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang
menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika
penyembuhan lengkap, proses peradangan bisanya reda. Namun, kadang-kadang
inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung sari
atau oleh suatu respon imun seperti asma atau artritis rematoid. Pada kasus seperti ini,
reaksi pertahanan mereka sendiri mungkin menyebabkan luka jaringan progresif dan
obat-obat antiinflamasi atau imunosupresi mungkin diperlukan untuk memodulasi proses
peradangan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang
rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses
peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin; lipid, seperti
prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin-1.
Penemuan (Mary J.Mycek, Richard A.Harvey, Pamela C.Champe, 2001).
Kerusakan sel yang dihubungkan dengan kerja peradangan terhadap membran sel,
menyebabkan leukosit melepaskan enzim lisosom, asam arakidonat kemudian dilepaskan
dari senyawa prekursor, dan disintesis berbagai eikosanoid. Prostaglandin mempunyai
efek yang bermacam – macam terhadap pembuluh darah, terhadap ujung saraf, dan
terhadap sel yang terlibat dalam peradangan. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik
yang kuat terhadap eusinofil, netrofil dan makrofag serta meningkatkan bronkokontriksi
dan perubahan permeabilitas vaskuler. Salah satu yang penting dimana mediator nyari
mengakibatkan sakit serta kerusakan tulang dan tulang rawan yang dapat menimbulkan
cacat yang berat dan dimana terjadi perubahan sistemik yang dapat mengakibatkan
singkatnya kehidupan (Katzung, B.G., 2000).
Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi akan
membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Asam arakidonat mulanya
merupakan komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipida,
dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrolase sebagai respons adanya noksi.
Asam arakidonat ini kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur
siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan; alur
lipoksigenase yang membebaskan leukotrien dan berbagai substansi (Katzung, B.G.,
2000).
II . TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui efek pemberian karagenan pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui efek antiinflamasi Na diklofenak
- Untuk membandingkan efek antiinflamasi Na diklofenak dengan dosis yang berbeda
- Untuk mengetahui mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi
- Untuk mengetahui mekanisme terjadinya inflamasi
- Untuk mengetahui gejala-gejala inflamasi
Sintesis Prostaglandin
Asam arkidonat, suatu asam lemak 20-karbon adalah prekursor utama prostaglandin dan
senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam komponen fosfolipid membran
sel, terutama fosfatidil inositol dan kompleks lipid lainnya. Asam arakidonat bebas
dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya,
melalui suatu proses yang dikontrol oleh hormon dan rangsangan lain. Ada dua jalan
utama sintesis eikosanoid dari asam arakidonat :
1) Jalan siklo-oksigenase
Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga PG, tromboksan, dan prostasiklin
disintesis melalui jalan siklooksigenase. Telah diteliti dua siklo-oksigenase : COX-1 dan
COX-2. Yang pertama bersifat ada dimana-mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua
diinduksi dalam respons terhadap rangsangan inflamasi.
2) Jalan lipoksigenase
Jalan lain,beberapa lipoksigenase pada asam arakidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-
HPETE, dan 15-HPETE, yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang
dikonversi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETEs), atau menjadi leukotrien
atau lipoksin, tergantung pada jaringan.
(Mary J.Mycek, Richard A.Harvey, Pamela C.Champe, 2001).
Efek Prostaglandin
Kebanyakan efek prostaglandin diperantarai oleh ikatanya yang luas pada berbagai
reseptor membran yang berbeda yang beroperasi melalui protein G, yang kemudian
menginaktivasi atau menghambat adenilil siklase atau merangsang fosfolipase C. Hal ini
menyebabkan peningkatan pembetukan diasilgliserol dan inositol-1, 4, 5-trifosfat (IP3),
Leukotrien dan tromboksan A2 memperantarai efek-efek tertentu dengan jalan
mengaktivasi metabolisme fosfatidilinisitol dan menyebabkan peningkatan Ca
intraselular.
(Mary J.Mycek, Richard A.Harvey, Pamela C.Champe, 2001).
Penggolongan prostaglandin ada tiga, yaitu :
1. Prostaglandin A-F (PgA-PgF), yang dapat dibentuk oleh semua jaringan. Yang
terpenting adalah PgE2 dan PgF2. Setiap Pg memiliki nomor sebanyak jumlah ikatan tak
jenuhnya, jika perlu dengan tambahan alfa atau betha tergantung dari posisi rantai sisinya
dalam ruang. Contohnya, PgE2a adalah stereoisomer alfa dengan 2 ikatan tak jenuh. Zat-
zat ini berdaya vasodilatasi dan meningnkatkan permeabilitas dinding pembuluh dan
membrane sinovial, sehingga terjadi radang dan rasa nyeri.
2. Prostacyclin (PgI2) dibentuk terutama didinding pembuluh. Berdaya vasodilatasi dan
antitrombotis, juga memiliki efek protektif terhadap mukosa lambung. Pada perokok dan
pasien tukak lambung produksi PgI2 menurun.
3. Tromboxan (TxA2, TxB2) khusus dibentuk dalam trombosit. Berdaya vasokontriksi
(antara lain dijantung) dan menstimulasi agregasi pelat darah (trombosit). Dalam otak,
prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap zat-zat pirogen berasal dari bakteri
(infeksi). Pg ini menstimulasi pusat regulasi suhu dihipotalamus dan menimbulkan
demam (Tan.H.T, 2002).
Pengobatan
Obat antiradang merubah respon peradangan menjadi penyakit, tapi tidak menyembuhkan
ataupun meghilangkan penyebab penyakit itu sendiri. Obat antiradang yang ideal harus
bekerja terhadap radang yang tak terkendalikan dan merusak, serta tidak mempengaruhi
respons peradangan yang normal yang merupakan bagian dari mekanisme pertahanan
tubuh yang vital terhadap mikroorganisme yang menyerang dan pengaruh buruk
lingkungan yang lain .
(Hamor, G.H., 1996).
Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur
kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkeraman tikus yang
disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukopolisakarida yang
diperoleh dari lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat antiradang yang paling banyak
digunakan di klinik untuk menekan edema macam ini. Sifat antiradang indometasin, yaitu
zat antiradang nonsteroid yang banyak dipakai, pada mulanya ditentukan oleh uji
karagenan.
(Hamor, G.H., 1996).
Urutan peristiwa dalam edema akibat karagenan pada cengkeraman tikus telah dirancang.
Mediator edema yang pertama-tama yaitu histamin dan serotonin, diikuti oleh fase kedua,
yaitu pelepasan kinin yang mempertahankan peningkatan kepermeabelan pembuluh
darah. Ini diikuti oleh fase ketiga, yaitu pelepasan prostaglandin yang bersamaan dengan
migrasi leukosit ke lokasi radang. Zat antiradang nonsteroid menekan migrsi ini.
Pengaktifan dan pelepasan semua mediator yang telah disebutkan di atas, tergantung pada
sistem komplemen yang utuh.
(Hamor, G.H., 1996).
DIKLOFENAK
Diklofenak adalah derivat sederhana dari phenilacetic acid (asam fenilasetat) yang
menyerupai flurbiprofen dan meclofenamat. Obat ini adalah penghambat siklooksigenase
yang relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailibilitas asam arakidonat. Obat-
obat ini memiliki sifat antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa. Obat-obat ini
cepat diserap sesudah pemberian secara oral, tetapi bioavailibilitas sistemiknya hanya
antara 30-70 % karena metabolisme lintas pertama.. Obat ini mempunyai waktu paruh 1-
2 jam. Seperti flurbiprofen ia menumpuk di dalam cairan sinovial, dengan waktu paruh 2-
6 jam dalam kompartemen ini. Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4 dab CYP2C9
menjadi metabolit tidak aktif, jadi disfungsi ginjal tidak mempengaruhi klirens secara
nyata. Klirens empedu bisa mencapai 30 % dari klirens total (Danile E.Furst, Tino
Munster,2002).
Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20 % dari pasien dan meliputi
distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung dan timbulnya
ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang terjadi daripada dengan
beberapa AINS lainnya. Sebuah kombinasi antara diklofenak dan mesoprostol
mengurangi ulkus pada mengurangi ulkus pada gastrointestinal bagian atas tetapi bisa
mengakibatkan diare. Peningkatan serum aminotransferase lebih umum bisa terjadi
dengan obat ini dari pada AINS lainnya. Tersedia suatu diklofenak oftalmikum yang
dianjurkan untuk pencegahan inflamasi mata pascaoperasi. Di Eropa, diklofenak juga di
dapat sebagai preparat dermatologis dan juga untuk pemberian intramuskular (Danile
E.Furst, Tino Munster,2002).
Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang
memiliki khasiat analgesic (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan
antiinflamasi(anti radang). Istilah non steroid digunakan untuk membedakan jenis obat-
obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. NSAID bukan tergolong
obat-obatan jenis narkotika. Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan
isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX (cyclooxygenase-2). Enzim
cyclooxygenase ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan
dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul pembawa pesan pada proses
inflamasi (radang). NSAID dibagi lagi menjadi beberapa golongan, yaitu:
a. golongan salisilat (diantaranya aspirin/asam asetilsalisilat, metal salisilat, magnesium
salisilat, dan salisilamid)
b. golongan asam arilalkonat (diantaranya diklofenak, indometasin, proglumetasin, dan
oksametasin)
c. golongan profen/asam 2-arilpropionat (diantaranya ibuprofen, alminoprofen, fenbufen,
indoprofen, naproxen, dan ketorolac)
d. golongan asam fenamat/asam N-arilantranilat (diantaranya asam mefenamat, asam
flufenamat, dan asam tolfenamat)
e. golongan turunan pirazolidin (diantaranya fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan
fenazon)
f. golongan oksikam (diantaranya piroksikam, dan meloksikam)
g. golongan penghambat COX-2 (celecoxib, lumiracoxib)
h. golongan sulfonanilida (nimesulide)
i. golongan lain (licofelon dan asam lemak omega 3).
Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat
kehadiran rasa nyeri dan radang. Walaupun demikian berbagai penelitian sedang
dilakukan untuk mengetahui kemungkinan obat-obatab ini dapat digunakan untuk
penanganan penyakit lainnyan seperti colorectal cancer, dan penyakit kardiovaskular.
Sebagian besar NSAID adalah asam lemah, dengan pKa 3-5, diserap baik pada lambung
dan usus haluls. NSAID juga terikat dengan baik pada protein plasma (lebih dari 95%),
pada umumnya dengan albumin. Hal ini menyebabkan volume distribusinya bergantung
pada volume plasma. NSAID termetabolisme di hati oleh proses oksidasi dan konjugasi
sehingga menjadi zat metabolit yang tidak aktif, dan dikeluarkan melalui urine atau
cairan empedu (Anonim 1, 2009).
Karagenan merupakan molekul besar galaktan yang terdiri dari 100 lebih sebagai unit-
unit utamanya. Residu-residu galaktosa tersebut berikatan dengan ikatan alpha (13) dan
betha (14) secara tukar-tukar. Menurut Guiseley et.alkaragenan adalah polisakarida
dengan rantai lurus (linier) yang terdiri dari D-glukosa 3.6 anhidrogalaktosa dan ester
sulfat. Berdasasrkan kandungnan sulfatnya, karagenan dibedakan menjadi 2 fraksi kappa
karagenan dengan kandungan sulfat kurang dari 28% iota karagenan dengan kandungan
sulfat lebih dari 30%. Sedangkan menurut Peterson and Johnson dalam Anggraini, 2004,
berdasarkan struktur pendulangan unit polisakarida, karagenan dapat dibagi menjadi tiga
fraksi utama, kappa, lambda, iota karagenan. Secara prinsip fraksi-fraksi karagenan ini
berbeda dalam nomor dan posisi grup ester (Anonim 3, 2007).
V. METODE PERCOBAAN
5.1 Alat dan Bahan
5.1.1 Alat
- Timbangan hewan
- Alat suntik
- Erlenmeyer
- Pletismometer
- Koran
5.1.2 Bahan
- Tikus putih
- Karagenan 1 % dalam air suling
- Suspensi 0,5 %
- Suspensi Na-Diklofenak
• Susupensi kosong 1% BB
BB tikus = 128,7
Jumlah obat = 1% x 128,7 = 1,287 ml
[ ] 1% = 1g/100ml
= 10 mg/ml
Jlh lar.obat = 2,034 mg
10 mg/ml
= 0,2034 ml
[ ] 1% = 1g/100ml
= 10mg/ml
6.4. Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada jam ke 1 diperoleh bahwa tikus 1 (kontrol)
mengalami pembengkakan pada kaki tikus akibat pemberian karagenan. Induksi
karagenan pada kaki tikus dapat mengakibatkan radang yang ditandai dengan
bertambahnya volume kaki tikus setelah pemberian karagenan (udem). Pada tikus 2
dengan pemberian karagenan secara intraplantan mengalami peradangan yang ditandai
dengan pembengkakan pada kaki tikus dengan pemberian Na dikofenak dosis 15mg/kg
BB secara oral dan pada tikus 3 terbentuk pembengkakan juga seperti pada tikus 2 tetapi
dengan pemberian Na diklofenak yang dosisnya 20mg/kg BB secara oral. Sedangkan
pada jam ke 2 volume kaki tikus 1 naik dari 0,03 menjadi 0,04 akan tetapi pada tikus ke 2
dan 3 volume kakinya menetap yaitu pada 0,03. Dan pada jam ke 3 volume kaki tikus 1,
2, 3 menjadi 0,04. Bila dibandingkan antara tikus ke 2 dan ke 3 terlihat bahwa efek
antiinflamasi Na.diklofefnak dengan dosis 20 mg/kg BB lebih efektif dibandingkan
dengan pemberian Na.diklofenak dosis 15 mg/kg BB. Inhibisi radang pun turun, dimana
pada tikus 2 jam ke 2 50% dan pada jam ke 3 menjadi 0%.
Lamanya kerja antiinflamasi Na diklofenak dengan dosis yang lebih kecil kemungkinan
disebabkan karena keadaan fisiologis masing-masing tikus tidak sama sehingga
mempengaruhi perhitungan radang dan inhibisi radang, misalnya gangguan lambung
yang dapat mempengaruhi absorpsi obat. Menurut Wilmana. F.P (2007), absorpsi Na
diklofenak berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan
mengalami first-pass effect sebesar 40-50%.
Karagenan merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila masuk kedalam tubuh akan
merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang
akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya
(Anggraini, 2004).
Obat anti radang bukan steroida atau yang lazim dinamakan non steroidal
antiinflammatory drugs (NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer,
memiliki aktifitas menghambat radang dengan mekanisme kerjanya menghambat
biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase.
Penggunaannya yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat
kehadiran rasa nyeri dan radang (Anonim 1, 2009).
7.2. Saran
- Sebaiknya digunakan obat antiinflamasi yang berbeda sehingga dapat dibandingkan
efek antiinflamasi dari kedua jenis obat.
- Sebaiknya digunakan juga obat antiinflamasi golongan steroid agar dapat dibandingkan
efek antiinflamasinya dengan obat-obat AINS.
- Sebaiknya kondisi hewan percobaan yang akan digunakan dalam praktikum tidak jauh
berbeda karena dapat mempengaruhi perhitungan % radang dan % inhibisi radang.
DAFTAR PUSTAKA
Mycek, J.Mary (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke-2. Penerbit Widya
Medika. Halaman 404..
Sudiono, J., (2003), ILMU PATOLOGI, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
Halaman, 81-81.
Tan. H.T., (2002). Obat-obat Penting. Edisi ke-5. Cetakan ke-2. Jakarta : Gramedia.
Halaman 306-311.
Underwood, J.C.E., (1999), PATOLOGI UMUM DAN SISTEMATIK, Edisi Kedua,
Volume 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Halaman, 232.
Add a comment
No more comments
6.
Mar
18
Antipiretik
I. PENDAHULUAN
Demam, yang berarti suhu tubuh di atas batas normal biasa, dapat disebabkan oleh
kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan
suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak, atau dehidrasi. Banyak protein, pemecahan
protein, dan zat-zat tertentu lain, seperti toksin lipopolisakarida yang disekresi oleh
bakteri dapat menyebabkan titik setel termostat hipotalamus meningkat. Zat-zat yang
menyebabkan efek ini dinamakan pirogen. Terdapat pirogen yang disekresikan oleh
bakteri toksik atau pirogen yang dikeluarkan dari degenerasi jaringan tubuh yng
menyebabkan demam selama sakit. Bila titik setel termostat hipotalamus meningkat lebih
tinggi dari normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh bekerja, termasuk
konservasi panas dan peningkatan pem bentukan panas. Dalam beberapa jam setelah
termostat diubah ke tingkat yang lebih tinggi, suhu tubuh juga mencapai tingkat tersebut
(Ganong, 2003).
Pada umumnya demam adalah juga suatu gejala dan bukan merupakan penyakit
tersendiri. Kini, para ahli sependapat bahwa demam adalah suatu reaksi tangkis yang
berguna dari tubuh terhadap infeksi. Pada suhu diatas 37°C limfosit dam makrofag
menjadi lebih aktif. Bila suhu melampaui 40-41°C, barulah terjadi situasi kritis yang bias
menjadi fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh (Tjay, T.H, 2002).
Demam mungkin adalah tanda utuma penyakit yang paling tua dan paling umum
diketahui. Demam terjadi tidak saja pada mamalia tetapi juga pad unggas, reptil, amfibi
dan ikan. Apabila demam terjadi pada hewan homeotermik, mekanisme-mekasnisme
pengaturan suhu bekerja seolah-olah mereka disesuaikan untuk mempertahankan suhu
tubuh pada tingkat yang lebih tinggi dari pada normal, yaitu “seperti jika termostat yang
disetel ulang” ke titik baru yang diatas 37 0C. reseptor-reseptor suhu kemudian memberi
sinyal bahwa suhu sebenarnya lebih rendah daripada penyetelanan pada titik baru
tersebut, dan mekanisme-mekanisme untuk menaikkan suhu tubuh diaktifkan. Hal ini
biasanya menyebabkan timbulnya rasa kedinginan akibat vasokonstriksi kulit dan
kadang-kadang menyebabkan menggigil. Namun sifat respons bergantung pada suhu di
sekelilingnya. Peningkatan suhu pada hewan yang disuntikkan suatu pirogen sebagian
besar disebabkan oleh peningkatan pembentukan panas apabila hewan tersebut berada di
lingkungan yang dingin dan penurunan pengeluaran panas apabila berada dalam
lingkungan yang hangat. Manfaat demam bagi orgainisme masih belum diketahui (Neal,
M.J, 2006).
Manusia dikatakan sebagai mahluk "homeotermal". Artinya, suhu tubuh manusia normal
berkisar di sekitar 37 derajat C. Hal itu diatur oleh organ tubuh yang terletak di dalam
rongga kepala di dalam jaringan otak yang disebut hypothalamus yang mempunyai dua
sisi yaitu sisi belakang dan sisi depan. Bagian belakang berfungsi menaikkan suhu tubuh
dengan cara mengurangi pengeluaran panas. Ini berguna ketika cuaca dingin, caranya
dengan menggigil dan mengurangi pengeluaran keringat (www.balipost.co.id).
Hipothalamus bagian depan berfungsi mengeluarkan panas lebih banyak ketika cuaca
panas. Caranya, dengan lebih banyak mengeluarkan keringat, yang menyebabkan suhu
tubuh kembali ke tingkat normal yaitu 37 derajat C. Proses ini berjalan melalui suatu
mekanisme umpan balik yang rumit, yang diperantarai oleh saraf-saraf di kulit sebagai
penerima sinyal suhu dan juga oleh aliran darah di dalam tubuh (www.balipost.co.id).
Panas secara terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil metabolisme, dan panas
tubuh juga secara terus menerus dibuang kelingkungan sekitar. Bila kecepatan
pembentukan panas tepat sama seperti kecepatan kehilangan, orang dikatakan berada
dalam keseimbangan panas. Tetapi bila keduanya berada di luar keseimbangan, panas
tubuh dan suhu tubuh jelas akan meningkat atau menurun (Guyton, C. Arthur, 1995).
3. Konveksi
Pergerakan udara dikenal sebagai konveksi, dan pembuangan panas dari tubuh dengan
cara arus udara konveksi sering dinamakan “kehilangan panas dengan cara konveksi”.
Sebenarnya panas pertama kali harus dikonduksi ke udara dan kemudian dibawa
menjauhi tubuh oleh arus konveksi.
4. Evaporasi (Penguapan)
Bila air menguap dari permukaan tubuh, 0,58 kalori panas hilang untuk setiap gram air
yang menguap. Air menguap secara insensible dari kulit dan paru dengan kecepatan
sekitar 600 ml per hari. Hal ini menyebabkan kehilangan panas secara kontinu dengan
kecepatan 12 sampai 16 kalori per jam .
(Guyton, C. Arthur, 1995).
5. Mekanisme Kerja Antipiretik
OAINS tidak mengurangi suhu tubuh normal atau suhu tubuh yang meningkat pada heat
stroke yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus. Selama demam, pirogen endogen
(interleukin-1) dilepaskan dari leukosit dan bekerja langsung pada pusat termoregulator
dalam hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh. Efek ini berhubungan dengan
peningkatan prostaglandin otak (yang bersifat pirogenik). Aspirin mencegah efek
peningkatan suhu dari interleukin-1 dengan mencegah peningkatan kadar prostaglandin
otak (Neal, M. J, 2006).
Parasetamol, aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) lainnya adalah
antipiretik yang efektif. Bekerja dengan cara menghambat produksi prostaglandin E2 di
hipotalamus anterior (yang meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen).
(Nurul Itqiyah H & Arifianto www.sehatgroup.web.id).
6. Pengobatan dengan antipiretik
Obat analgesic antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan salah
satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter.
Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, secara kimia. Walaupun
demikian obat-obat ini ternyata memiliki benyak persamaan dalam efek terapi maupun
efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, kerena itu golongan ini sering
disebut juga sebagai obat mirip aspirin. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat
kliniknya, karena AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda,
sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa.
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa
kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata
sebagian besar efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek
sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG) (Gan Sulistia,
2007).
Derivat-asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan
sebagai analgetikum, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek
sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya, analgetik dan antipiretik, tetapi
tidak antiradang. Resorbsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rectal lebih
lambat. PP nya ca 25%, plasma t1/2 nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak
ada hubungan. Dalamhati zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang
diekskresi dengan kemih sebagai konyugat-glukoronida dan sulfat. Efek analgesic
parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi
nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang
diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek antiinflamasinya sangat lemah,
oleh.Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi
dan perdarahan lambung tiddak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan
pernapasan dan keseimbangan asam basa.Parasetamolmemiliki sebuah cincin benzena,
tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi
para (1,4). Senyawa ini dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan
menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila
senyawa 4-aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidratMekanisme kerja yang
sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol menghambat
produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit
memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi
bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk
membentuk senyawa penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim
siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin
H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-
inflamasi. Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol
menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi
pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi
ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi..
Parasetamol merupakan obat analgesik yang populer digunakan untuk melegakan sesak
napas, demam, atau sakit ringan. Sebelumnya menurut rekomendasi FDA dosis aman
mengonsumsi parasetamol tidak lebih dari 4000 mg dalam jangka 24 jam.
Sayangnya karena parasetamol termasuk obat yang mudah didapat, overdosis obat baik
sengaja atau tidak sering terjadi. Misalnya saja orang yang menderita arthritis atau nyeri
sendi yang dengan mudah mengalami overdosis bila ia mengonsumsi obat arthrtitis tiap 4
atau 6 jam dan ditambah obat penghilang nyeri lainnya yang mengandung parasetamol
dan biasanya dijual bebas. Obat nyeri sendi seperti tylenol mengandung 325 mg
parasetamol dan 500 mg untuk jenis ekstra kuat.
Selama bertahun-tahun konsumen merasa aman dalam memilih parasetamol sebagai obat
pereda sakit. Berbeda dengan painkiller jenis ibuprofen atau asetosal (asam
asetilsalisilat), parasetamol tidak menyebabkan peradangan. Karena itulah obat ini sering
dianggap aman. Tetapi faktanya, studi terbaru menunjukkan parasetamol dalam dosis
tinggi bisa menyebabkan kerusakan liver, bahkan kematian.
Untuk menghidari efek samping tersebut, FDA menurunkan dosis aman parasetamol,
yakni 3.250 mg untuk orang dewasa (sebagian ahli merasa dosis ini masih terlalu tinggi)
(Anonim 3, 2009).
Parasetamol adalah obat pilihan pada anak-anak. Dosisnya sebesar 10-15 mg/kg/kali.
Parasetamol dikonjugasikan di hati menjadi turunan sulfat dan glukoronida, tetapi ada
sebagian kecil dimetabolisme membentuk intermediet aril yang hepatotoksik (menjadi
racun untuk hati) jika jumlah zat hepatotoksik ini melebihi kapasitas hati untuk
memetabolismenya dengan glutation atau sulfidril lainnya (lebih dari 150 mg/kg)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol).
Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tak
memiliki sifat antiradang. Jadi parasetamol tidak tergolong dalam obat jenis NSAID.
Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau
mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol).
Sebelum penemuan asetaminofen, kulit sinkona digunakan sebagai agen antipiretik,
selain digunakan untuk menghasilkan obat antimalaria, kina. Karena pohon sinkona
semakin berkurang pada 1880-an, sumber alternatif mulai dicari. Terdapat dua agen
antipiretik yang dibuat pada 1880-an; asetanilida pada 1886 dan fenasetin pada 1887.
Pada masa ini, parasetamol telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui
pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asam asetat gletser. Biarpun proses ini
telah dijumpai pada tahun 1873, paraetamol tidak digunakan dalam bidang pengobatan
hingga dua dekade setelahnya. Pada 1893, parasetamol telah ditemui di dalam air kencing
seseorang yang mengambil fenasetin, yang memekat kepada hablur campuran berwarna
putih dan berasa pahit. Pada tahun 1899, parasetamol dijumpai sebagai metabolit
asetanilida. Namun penemuan ini tidak dipedulikan pada saat itu.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol).
Cara kerjanya dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga menghambat
pelepasan mediator kimia sebagai tanda adanya proses radang. Mediator kimiawi yang
dihambat itu ialah prostaglandin (PGE2, PGF2-alfa, PGI2). Jadi parasetamol tetep
NSAID selain bekerja pada thermoregulator dia juga menghambat pembentukan
prostaglandin di SSP. Ketika prostaglandin dilepas, maka tubuh akan meningkatkan
keluarnya leukosit maupun sel-sel radang lainnya yang menyebabkan tubuh panas, tidak
bisa berkeringat,dsb.. (tanda-tanda kalau tubuh kita sakit). Nah penghambatan
prostaglandin dalam tubuh akan menyebabkan pembuluh darah bervasodilatasi sehingga
panas bisa keluar dari dalam tubuh, dan proses inflamasinya tidak lama.
(http://yulian.firdaus.or.id/2005/03/20/parasetamol)
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fanasetin dengan yang sama dan telah
digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.
Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama Parasetamol, dan tersedia sebagai
obat bebas. Walau demikian laporan kerusakan fatal hefar akibat overdosis akut perlu
diperhatikan. Tetapi perlu diperhatikan pemakai maupun dokter bahwa efek anti
antipiretik inflamasi parasetamol hampir tidak ada. (Sartono, 1996)
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat sikloosigenase PG hanya
terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini
menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. (Ganiswarna,
1995).
V. METODE PERCOBAAN
5.1. ALAT DAN BAHAN
5.1.1 Alat
1. Termometer rektal
2. Timbangan hewan
3. Stopwatch
4. Spuit
5. Selang oral
5.1.2 Bahan-bahan
1. Parasetamol 10 %
2. Obat X 10 %
3. Suspensi kosong 1 %
4. Parafin Liquidum
5. 2. 4 - Dinitrofenol (DNF)
Tikus II
- Berat = 120 gram
- Konsentrasi DNF 0,5% dosis 5 mg/kg BB
- Syringe = 80 skala
5 × 120 g = 0,6 mg/ 5 = 0,12 ml
1000
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,12 = 9,6 skala
0,0125
Tikus III
- Berat = 101,9 gram
- Konsentrasi DNF 0,5% , dosis 5 mg/kg BB
- Syringe = 80 skala
5 × 101,9 g = 0,6 mg/ 5 = 0,10 ml
1000
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,10 = 8 skala
0,0125
Pemberian CMC 0,5 %. Dosis 1 % BB
1 × 101,9 g = 1.02 mg
100
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 1,02 = 81,6 skala
0,0125
Pembahasan
Pada percobaan Antipiretik hewan yang digunakan adalah tikus sebanyak tiga ekor
dengan masing-masing pemberian merpati 1 suspensi kosong, tikus 2 parasetamol dan
tikus3 obat x. Suhu tubuh normal tikus berkisar antara 36-37°C. Pada percobaan suhu
tubuh tikus normal yang diperoleh rata-rata untuk tikus 1 :36,9°C ; tikus 2 adalah 36°C;
dan tikus 3 : 39,6°C. Setelah diberikan 2,4-dinitrofenol, masing-masing merpati
mengalami kenaikan suhu tubuh. Hal ini disebabkan karena 2,4-dinitrofenol merupakan
zat asing yang dapat mempengaruhi proses metabolisme tubuh sehingga merangsang
terbentuknya pirogen endogen yang dapat meningkatkan nilai ambang suhu di
hipotalamus sehingga menimbulkan demam. Dalam hal ini demam menunjukkan bahwa
tubuh sedang melakukan pertahanan terhadap zat asing seperti 2.4-dinitrofenol.
Menurut Guyton (2001), demam, yang berarti suhu tubuh di atas batas normal biasa,
dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak, atau
dehidrasi. Banyak protein, pemecahan protein, dan zat-zat tertentu lain, seperti toksin
lipopolisakarida yang disekresi oleh bakteri dapat menyebabkan titik setel termostat
hipotalamus meningkat. Zat-zat yang menyebabkan efek ini dinamakan pirogen. Terdapat
pirogen yang disekresikan oleh bakteri toksik atau pirogen yang dikeluarkan dari
degenerasi jaringan tubuh yng menyebabkan demam selama sakit.
Pemberian suspensi kosong pada tikus 1 tidak mengalami penurunan suhu malah
meningkat menjadi 38,9°C, pada menit ke 5 sampai ke 50 suhu tubuhnya semakin turun
tetapi suhu tubuhnya tetap berada di atas suhu tubuh normalnya. Hal ini mungkin
disebabkan karena, ketidaktelitian dalam mengukur suhu tubuh tikus, di mana
termometer rektal yang digunakan belum tepat ditempatkan pada rektalnya sehingga suhu
tubuh yang sebenarnya tidak dapat diukur dengan akurat..
Pada percobaan tikus 2, dengan pemberian suspensi parasetamol, juga memberikan efek
penurunan suhu, sampai sesuai dengan suhu normal. Pemberian suspensi obat X pada
tikus 3, dapat menurunkan suhu tubuh tikus tetapi suhu tubuhnya tetap berada di atas
suhu tubuh normalnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa obat X kurang dapat
menurunkan suhu tubuh tikus, yang berarti bahwa obat X masih kurang mempunyai
khasiat antipiretik. Hal ini mungkin disebabkan karena pada obat x terdapat zat-zat yang
tertinggal pada saat pengenceran dan pada saat pemberian secara oral zat obat x tidak
dikocok terlebih dahulu yang akhirnya kurang mempunyai efek antipiretik. Perubahan
suhu pada tikus ini selain dipengaruhi oleh pemberian obat juga dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSAKA
Hoan, Tan Tjay. & Rahardja, Kirana., (2007).Obat –Obat Penting Khasiat, Penggunaan,
Dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi ke-5.Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo,
Kelompok Gramedia. Hal 295.
Add a comment
No more comments
7.
Mar
15
Analgetika
I. Pendahuluan
Percobaan-percobaan pada hewan percobaan khusus sering dilakukan pada hewan-hewan
mengerat kecil (tikus dan mencit). Disini banyak sekali tidak dipertimbangkan bahwa
hewan-hewan ini berbeda dengan manusia yang aktif pada siang hari-aktif pada malam
hari. Karena itu percobaan-percobaan pada siang hari dapat memberi hasil sebagian saja
yang dapat dialihkan kepada manusia. Pengujian-pengujian kerja analgetik pada mencit
(sore sekitar pukul 15.00 dan tengah malam sekitar pukul 03.00) menunjukkan bahwa
efek analgetik pada malam hari, pada dasarnya, lebih kuat dari efek pada siang hari. Efek
analgetik pada manusia, berbeda dengan pada hewan-hewan mengerat, pada pokoknya
sore hari lebih kuat dibandingkan dengan efek pada dini hari atau tengah malam.
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atu menekan rasa
nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum. Berdasarkan potensi kerja dan efek samping
analgetik dibedakan dalam dua kelompok, yaitu analgetik yang berkhasiat kuat, bekerja
pada pusat (hipoanalgetika, kelompok opiat) dan nanalgetik yang berkhasiat lemah
(sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan
juga mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik ( Tjay,2007) .
Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya,
namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan.
Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri
merupakan salah satu dari gejalanya. Karena dipandang merugikan maka inflamasi
memerlukan obat untuk mengendalikannya.
( Esvandiary, 2005)
Obat yang dikenal sebagai analgetik-narkotik sangat berguna untuk meredakan dan
menghilangkan rasa nyeri. Semua analgesik-narkotik dapat menimbulkan adiksi. maka
usaha penyelidik untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan.
Tujuan penyelidikan adalah suatu analgetik yang sama kuat seperti morfin, tanpa bahaya
adiksi morfin. Disini akan dibicarakan obat seperti morphin dengan alkaloid morphin dan
derivat semisintetik, analgetik narkotik sintetik seperti meperidin dan derivat
fenilpiperidin (termaksud alfaprodin dan anileridin), metadon dan derivat serupa
( Esvandiary, 2005).
Analgetik Opioid
- Mengurangi nyeri dan menimbulkan euforia dengan berikatan pada reseptor
opioid di otak, yaitu reseptor µ (mu),µ (kappa), dan § (delta)
- Enkefalin dan endorfin berikatan dengan reseptor µ dan §. Dinorfin berikatan
dengan reseptor kappa
- Obat analgetik opioid : morfin, metadon, meperidin (petidin), fentanil, buprenorfin,
dezosin, butorfanol, nalbufin, nalorfin, dan pentazosin (Mutschler, 1991).
FARMAKOKINETIK
a. Absorpsi
Kebanyakan analgetik narkotik terabsorpsi baik dari tempat subkutis dan intra muskulat
maupun dari permukaan mukosa hidung dan tractus grastrointestinalis namun, potensi
farmakologi beberapa senyawa yang diberikan melalui jalur ini mungkin jauh lebih
rendah dari pada setelah pemberian parenteral karena bermaknanya metabolisme lintasan
pertama dalam hepar setelah absorpsi (Katzung, B.G., 1987)
b. Distribusi
Batang otak : reseptor opioid mempengaruhi pernapasan, batuk, mual dan muntah,
memelihara tekanan darah, diameter pupil, dan mengontrol sekresi lambung
Talamus medialis : daerah ini mempengaruhi nyeri yang dalam yang tidak terlokalisasi
dan mempengaruhi emosi.
Medula spinalis : reseptor-reseptor didalam supstansia gelatinosa terlibat dengan
penerimaan dan integrasi hasil pembentukan sensorik, yang mempengaruhi pengurangan
rasa nyeri stimulus aperen.
Hipotalamus : reseptor ini mempengaruhi sekresi neuron endokrin
Sistem limbik : konsetrasi reseptor opiod yang terbesar terdapat pada amigdala. Reseptor-
reseptor ini kemungkinan tidak mempunyai kerja analgesik, tetapi dapat mempengaruhi
tingkah laku emosi
Periper : opioid juga terikat pada serabut –serabuat syaraf periper dan ujung-ujung
terminalnya. Sama seperti di SSP, opioid ini menghambat jangkitan eksikasi syaraf yang
timbulnya bergantung pada ion Ca++, substansi proinflamasi dari akhir ujung syaraf ini
telah diusulkan bahwa ini dapat menyokong efek antiinflamasi opioid
Sel imun : tempat peningkatan juga terdapat dalam sell Imun. Peranan reseptor-reseptor
ini dalam nosiseksi (respon/ sensitifitas terhadap rangsangan nyeri) tidak ditentukan.
(Mycek, M. J, dkk, 2001).
c. Metabolisme adalah sebagian obat opiat diubah menjadi metabolit polar dan mudah
disekresikan oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas mudah
dikonjugasi dengan asam glukoronat: misalnya morphin dan levorfanol. Analgesik
narkotika juga didemetilasi/ N oleh hepar tetapi ini lintasan kecil. Bila ada penyakit
hepar, maka kadar darah terapiutik mungkin dapat tercapai dengan tingkat lebih rendah
dari pada dosis biasa senyawa ini.
(Mycek, M. J, dkk, 2001).
d. Ekresi : metabolit polar opiat terutama diekresikan kedalam urin konjugat glukuronida
juga diekresikan kedalam empedu tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan
sebahagian kecil proses ekresi (Katzung, B.G., 1987)
FARMAKODINAMIK
Efek morphin pada susunan syaraf pusat dan usus terutama ditimbulkan . Akan tetapi
selainkarena morphin bekerja pada agonis pada reseptor dan itu morphin juga
mempunyai afinitas yang lemah terhadap reseptor (Ganiswarna, 1995).
SISTEM KARDIOVASKULAR
Pemberian morphin dalam dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah frekwensi
maupun irama denyut jantung. Morphin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem
kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Morphin dan opioid lain harus
digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovolemia karena mudah timbul hipotensi.
(Ganiswarna, 1995).
KULIT
Dalam dosis terapi morphin menyebabkan pelebaran pembuluh darah pada kulit,
sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama dimuka, leher, dan dada bagian
atas.
(Ganiswarna, 1995).
METABOLISME
Morphin menyebabkan suhu badan turun akibat aktifitas otot yang menurun, paso dilatasi
perifer dan penghambatan neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morphin
(Ganiswarna, 1995).
Sediaan, Rute Pemberian dan Dosis
Morfin tersedia dalam larutan, tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk
larutan diberikan teratur tiap 4 jam. Nyeri ringan cukup dengan dosis awal 5-10 mg.
Nyeri yang berat memerlukan 10-20 mg. Morfin tablet (modifiet-release tablets)
diberikan tiap 12 jam. Dosis mulai dengan 10-20 mg, atau 20-30 mg tiap 12 jam, bila
sebelumnya telah mendapat obat opioid lemah. Dosis oral dewasa biasanya 10-30 mg.
Dosis intrami\uskular adalah setengah dosis larutan oral, atau setengah dosis tablet. Pada
nyeri yang terbatas pada daerah tertentu, dapat diberikan sebagai n\bloking saraf. Morfin
subkutan atau intramuskuler dapat diberikan dengan dosis 10 mg per 70 Kg berat badan,
sebagai dosis awal untuk nyeri sedang sampai berat. Pemberian intravenus dapat
diberikan pada nyeri pasca operasi yang berat, premedikasi, nyeri jantung berat, atau
kolik renal, atau udem pulmo. Dosisnya biasanya 2,5-10 mg. Dosis morfin untuk bayi
dan anak ialah 0,1-0,2 mg/Kg berat badan (maksimum 15 mg) dengan injeksi subkutan
atau intramuskuler. Morfin dapat juga diberikan secara intraartikuler. Untuk kasus nyeri
pasca operasi didaerah sendi nampaknya injeksi intraartikuler morfin mempunyai
manfaat mengurangi intensitas nyeri dan konsumsi obat-obat analgetika (Anonim, 2007).
Nyeri berawal dari reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh. Reseptor nyeri ini
menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang saraf yang menuju ke medula
spinalis dan kemudian diteruskan ke otak. Kadang ketika sampai di medula spinalis,
sinyal ini menyebabkan terjadinya respon refleks; jika hal ini terjadi, maka sinyal segera
dikirim kembali di sepanjang saraf motorik ke sumber nyeri dan menyebabkan terjadinya
kontraksi otot.contoh dari respon refleks adalah reaksi segera menarik tangan ketika
menyentuh sesuatu yang sangat panas. Sinyal nyeri juga sampai ke otak. Seseorang akan
akan merasakan nyeri hanya jika otak mengolah sinyal ini dan mengartikannya sebagai
nyeri. Reseptor nyeri dan jalur sarafnya berbeda pada setiap bagian tubuh. Karena itu,
sensasi nyeri bervariasi berdasarkan jenis dan lokasi dari cedera yang terjadi. Reseptor
nyeri di kuklit sangat banyak dan mampu meneruskan informasi secara akurat. sedangkan
sinyal nyeri dari usus sangat terbatas dan tidak akurat. otak tidak dapat menentukan
sumber yang tepat dari nyeri di usus, lokasi nyeri sulit ditentukan dan cenderung
dirasakan di daerah yang lebih luas.
Nyeri yang dirasakan di beberapa daerah tubuh tidak secara pasti mewakili lokasi
kelainannya, karena nyeri bisa berpindah ke daerah lain (referred pain).
referred pain terjadi karena sinyal dari beberapa daerah di tubuh seringkali masuk ke
dalam jalur saraf yang sama ke medula spinalis dan otak.
(http://farmakologi-pharmacology.blogspot.com/2008/11/obat-analgetik-berdasarkan-
ilmu.html)
Jenis nyeri
Nyeri neuropatik.
Nyeri neuropatik disebabkan oleh suatu kelainan di sepanjang suatu jalur saraf. suatu
kelainan akan mengganggu sinyal saraf, yang kemudian akan diartikan secara salah oleh
otak. nyeri neuropatik bisa menyebabkan suatu sakit dalam atau rasa terbakar dan rasa
lainnya (misalnya hipersensitivitas terhadap sentuhan).
V. METODE PERCOBAAN
5.1. Alat Dan Bahan
5.1.1 Alat
-Timbangan elektrik
-Stopwatch
-Alat suntik 1ml
-Beaker glass 25ml
-Erlenmeyer 10ml
5.1.2 Bahan
-Mencit 5 ekor
-Aquadest
-Asam asetat 3%
-Antalgin ( methampiron HCl )
-Morfin SO4 konsentrasi 0,05 %
5.2 Prosedur Percobaan
-Hewan ditimbang, lalu ditandai
-Dihitung dosis dengan pemberian:
Mencit 1: kontrol dosis aquadest 1% / BB (ip)
Mencit 2: Morphin SO4 [ ] 0,05% dosis 10 mg / kg BB (ip)
Mencit 3: Morphin SO4 [ ] 0,05% dosis 15 mg / kg BB (ip)
Mencit 4: Antalgin [ ] 2 % dosis 300 mg / kg BB (ip)
Mencit 5: Antalgin [ ] 2 % dosis 400mg / kg BB (ip)
-Setelah 30 menit masing-masing mencit disuntikkan asam asetat 3 % dengan
dosis 1% BB secara i.p
-Diamati dan dihitung geliat mencit selang 10 menit sampai 90 menit
-Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu dan % proteksi geliat vs waktu
Mencit III
Berat = 30,4 gram
Dosis = 15 mg /Kg BB
Konsentrasi obat = 0,05 %
Syringe = 80 skala
Jumlah obat yang diberikan = 15 mg x 30,4 = 0,46 mg
1000
Konsentrasi obat 0,05 % = 0,05 g / 100ml
= 50 mg / 100ml
= 0,5 mg/ml
Jumlah larutan obat = 0,46 = 0,91 mg
0,5
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,91 = 72,96 skala
0,0125
Asam asetat 3 %, dosis 1 % BB (ip) :
1 × 30,4 = 0,304 ml
100
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,304 = 23,32 skala
0,0125
Mencit IV
Berat = 26,2 gram
Dosis = 300 mg / Kg BB
Konsentrasi obat = 2 %
Syringe = 80 skala
Jumlah obat yang diberikan = 300 mg x 26,2 = 7,86 mg
1000
Konsentrasi obat 2 % = 2 g / 100ml
= 2000 mg / 100ml
= 20 mg/ml
Jumlah larutan obat = 7,86 mg = 0,39 mg
20 mg/ml
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,4035 = 31,44 skala
0,0125
Asam asetat 3 %, dosis 1 % BB (ip) :
1 × 26,2 = 0,262 ml
100
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,262 = 20,96 skala
0,0125
Mencit V
Berat = 35,4 gram
Dosis = 400 mg /Kg BB
Konsentrasi obat = 2 %
Syringe = 80 skala
Jumlah obat yang diberikan = 400mg x 35,4 = 14,16 mg
1000
Konsentrasi obat 2 % = 2 g / 100ml
= 2000mg / 100 ml
= 20 mg/ml
Jumlah larutan obat = 14,16 mg = 0,708 mg
20 mg/ml
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,708 = 56,64 skala
0,0125
Asam asetat 3 %, dosis 1 % BB (ip) :
1 × 29,9 = 0,299 ml
100
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,299 = 23,92 skala
0,0125
6.4 Pembahasan
Morfin SO4
Dari data diperoleh pada mencit dengan pemberian dosis 10 mg/kg BB ( dosis yang lebih
tinggi) waktu terjadi geliat lebih lama.
Ini disebabkan karena pada dosis morfin SO4 yang lebih tinggi pendudukan reseptor
lebih banyak dibandingkan pada dosis yang lebih rendah, hal ini dapat dilihat pada tabel
data dari intensitas (jumlah) geliat mencit pada pemberian morfin SO4 dengan dosis yang
lebih tinggi (10 mg/kg BB) geliatnya lebih banyak.
1. Efek farmakologi obat yang bersifat individual
2. Geliat dari mencit yang dilihat merupakan indikator. Jadi intensitas geliat yang
menunjukkan bahwa mencit merasa nyeri dan menunjukkan terapi praktis morphin SO4,
tergantung pada dosis morfin SO4 yang diberikan. Tetapi pada dasarnya morfin sebagai
analgetik kuat mempunyai efek analgetik yang tinggi pada keadaan nyeri akut.
3. Dalam pemberian jumlah morfin SO4 yang diberikan bisa saja kurang tepat, dalam hal
ini dosis morfin yang sedikit berpengaruh pada efek analgesia pada mencit. Morfin SO4
berefek sebagai analgetik.
Antalgin
Dari data percobaan dapat kita ketahui bahwa efek analgetik dari antalgin sesuai dengan
yang diharapkan yaitu berefek sebagai analgetik. Efek yang ditimbulkan sesuai dengan
dosis yang diberikan pada mencit dengan jumlah geliat yang lebih banyak pada dosis
rendah (150 mg/kg bb)
Aquadest
Aquadest digunakan sebagai kontrol artinya untuk membandingkan efek nyeri yang
ditimbulkan setelah pemberian asam asetat 3 % dosis 1 % bb,dengan mencit yang diberi
obat morfin dan antalgin. Aquadest tidak memperlihatkan efek terapi pengobatan. Jumlah
geliat yang menunjukkan (sebagai indikator) nyeri paling banyak dari semua mencit
karena tidak diberikan analgetik sebagai penghalang nyeri. Ini disebabkan :
1. Farmakologi obat yang bersifat individual
2. Pengamatan setelah selesai waktu percobaan geliat mencit tinggi hal ini
menggambarkan bahwa asam asetat menimbulkan nyeri pada tubuhnya membutuhkan
waktu yang lebih lama. Tapi pada umumnya secara farmakologinya mencit yang tidak
diberi analgetika (umumnya penginduksi nyeri : asam asetat ) jumlah geliat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. (1990), “Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan”, Jogjakarta: UGM Press,
Hal.35 -43
Anif, M. (2000),Farmasetika, Penerbit Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta. Hal.
45-49.
Anif, M, (2000), Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi, Penerbit Gadjah Mada
Universitas Press, Yogyakarta. Hal. 45-49.
Ganiswarna, 1995, “Farmakologi dan Terapi”, Edisi IV, Gaya Baru, Jakarta, hal 192 –
194
Katzung, B.G., 1987, “Farmakologi Dasar dan Klinik”, Edisi III Kedokteran EGC,
Jakarta, 406 – 411
Katzung, B.G., 1995, “Farmakologi Dasar dan Klinik”, Edisi VI Kedokteran EGC,
Jakarta, hal 479 – 482.
Mycek, M. J, dkk, 2001, “Farmakologi Ulasan Bergambar”, eds II, Widya Medika
Jakarta, hal 135 - 136
Neal, M.J, 2006 “At a Glance Farmakologi Medis” Edisi V, Erlangga, Jakarta, hal 65
Tjay, T. H., dan Rahardja Kirana. (2007),”Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya”, Edisi Keenam, Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia, halaman 22-35
Yahya, M. L. Dr. H & Nasution, R. H. Dr, (1993), “Pengantar Farmakologi”, Edisi
I, Cetakan II, Jakarta: PT Pustaka Widya Sarana.
Anonim. (2009). Rasa Nyeri.
http://www.aidsinfonet.org
http://www.medicastore.com/
http://library.usu.ac.id/modules.php?
op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=1251
Add a comment
No more comments
8.
Mar
14
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara
memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan
oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam
caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini
akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan
juga bagi orang yang memegangnya. (Katzug, B.G, 1989).
Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda: enzim-enzin dan getah-getah fisiologis yang
terdapat dilingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat
yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat.
(Katzug, B.G, 1989).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan
parenteral tertentu, seperti melalau intradermal, intramuskular, subkutan, dan
intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda.
Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal
dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk keperedaran
darah dan kemudia menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah
inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan
dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan
obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan
kegagalan pengobatan. ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
II. Tujuan Percobaan
• Mengenal dan menguasai teknik-teknik pemberian obat melalui rute pemberian obat.
• Melihat berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan
• Menyatakan akibat-akibat praktis pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang
ditimbulkan
• Mengenal manisfestasi berbagai efek obat yang diberikan
• Menyatakan onset of action obat berdasarkan obat yang diberikan
TINJAUAN PUSTAKA
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak
dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit (Tjay, T.H dan Rahardja,
K, 2002).
Zat aktif obat tidak dapat digunakan begitu saja untuk pengobatan, tetapi harus dibuat
suatu bentuk yang cocok serta mudah dipilih rute penggunaan obat yang sesuai agar
tujuan untuk pengobatan dapat tercapai. Dalam pemberian obat perlu pertimbangan
mengenai masalah-masalah seperti berikut :
1. Efek apa yang dikehendaki, lokal atau sistemik.
2. onset yang bagaimana dikehendaki, yaitu yang cepat atau lambat.
3. Duration yang bagaimana dikehendaki yang lama atau yang pendek.
4. apakah obatnya tidak didalam lambung dan atau dalam usus
5. Rute yang mana digunakan yang relatif aman. Dari mulut, suntikan atau melalui dubur.
6. Melalui jalan yang mana menyenangkan bagi dokter atau pasien.
Ada orang yang sukar menelan dan ada orang yang takut disuntik, dan waktu muntah
orang sukar minum obat
7. Obat yang mana yang harganya relatif murah (Anief, 1995).
Secara umum, farmakologi dapat didefenisikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan
interaksi antara sistem yang hidup dengan molekul, terutama zat kimia yang dimasukkan
dari luar sistem tersebut (Katzug, B.G, 1989).
Berdasarkan tempat interaksi tersebut terjadi, dapat dibuat sebagai berikut: Interaksi
ditraktus gastro intestinalis A. Ikatan Penyerapan suatu obat dapat terganggu karena
pembentukan suatu ikatan fisik ataupun kimiawi. Penggunaan antasida yang mengandung
Ca, Mg atau Al akan mengganggu penyerapan tetrasiklin karena daya chelating dari
tetrasiklin. Suatu komplex yang tidak larut akan terbentuk antara tetrasiklin dengan obat
yang mengandung Fe (3,9).Begitu juga antara Fe dengan Mg trisilikat ( i ). Daya
adsorben dari kaolin-pectin akan menurunkan sekali penyerapan lincomycin, begitu juga
Natrium/Calcium cyclamate.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/07InteraksiObat003.pdf/07InteraksiObat003.Html)
.
Menurut Mycek, Mary. J, 2001 ada dua rute pemberian obat yang utama, yaitu interal dan
parentral:
1.Enteral
a.Oral
Memberikan suatu obat melalui mulut adalah cara pemberian obat yang paling sering,
tetapi juga paling berpariasi dan memerlukan jalan yang paling rumit untuk mencapai
jaringan. Beberapa obat diabsorpsi dilambung, namun diduodenum sering merupakan
jalan masuk utama kesirkulasi sistemik karena permukaan absorpsinya yang lebih besar.
b. sublingual
Penempatan dibawah lidah memungkinkan obat tersebut berdifusi kedalam anyaman
kapiler dan karena itu secara langsung masuk kedalam sirkulasi sistemik.
Pemberian suatu obat dengan rute ini mempunyai keuntungan obat melakukan bypass
melewati usus dan hati dan tidak diinaktivasi oleh metabolisme
c. Rektal
lima puluh persen aliran darah dari bagaian rektum memintas sirkulasi portal, jadi
biotransformasi obat oleh hati dikurangi. Rute sublingual dan rektal mempunyai
keuntungan tambahan, yaitu mencegah penghancuran obat oleh ezim usus atau pH rendah
didalam lambung. Rute rektal juga sering digunakan untuk memberikan obat anti muntah.
2. Parenteral
Pemberian parental digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk melalui saluran cerna
dan obat seperti insulin yang tidak stabil didalam cerna. Pemberian parental juga
digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan yang
memerlukan awitan kerja obat yang cepat. Tiga tute parenteral yang utama adalah
intravaskular (intra vena dan intra arteri), intramusccular, dan sub kutan.
a. Intravaskular
Suntikan intravena adalah cara pemberian parenteral yang paling sering dilakukan. Untuk
obat yang tidak diabsorbsi secara oral, sering tidak ada pilihan lain. Dengan penberian iv,
obat menghindari saluran cerna dan oleh karena itu menghindari metabolisme firstpass
oleh hati. Rute ini memberikan suatu efek yang cepat dan kontrol yang baik sekali atas
kadar obat dalam sirkulasi.
b. Intramuskular
Obat – obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa larutan dalam air atau
preparat beko khussus sering berupa suspensi obat dalam vehikulum non aqua seperti
etilen glikol tau minyak kacang.absorbsi obat – obat dalam bentuk iar cepat, sedangkan
preparat – preparat depo lambat.
c. Subkutan
Rute pemberian ini, seperti suntikan intramuskular, memerlukan absorbsi dan agak
lambat dibandingkan dengan cara intravena Suntikan subkutan mengurangi risiko yang
berhubungan dengan intravaskular.
3. Lain - lain
1. Inhalasi : inhalasi memberikan pengiriman obat yang cepat melewati permukaan luas
dari saluran nafas dan epitel paru – paru, yang menghasilkan efek yang sama cepatnya
dengan efek yang dihasilkan oleh pemberian obat secara intravena. Cara pemberian ini
digunkan untuk obat – obat berupa gas ( misalnya, beberapa obat anestetik) atau obat –
obat yang dapat didispersi dalam suatu aerosol. Rute tersebut terutama digunakan untuk
penyakit keluhan pernafasan (misalnya, asma atau penyakit paru obstruktif kronik).
2. Intranasal : tersedia dalam bentuk semprot dan di gunakan dengan cara menghisap
sediaan obat.
3. Intratekal/Intraventrikular : kadang – kadanng perlu untuk memberikan obat –obat
secara langsung kedalam cairan cerebrospinal.
4. Topikal : Digunakan bila suatu efek lokal obat diinginkan untuk pengobatan. Misalnya,
klotrimazol diberikan dalam bentuk krem secara langsung pada kulit dalam pengobatan
dermatifitosis dan atropin diteteskan secara langsung kedalam mata untuk mendilatasi
pupil dan memudahkan pengukururan kelainan refraksi.
5. Transdermal : Cara pemberian ini paling sering digunakan untuk pengiriman obat
secara lambat. Rute pemberian ini mencapai efek sistemik dengan pemakaian obat pada
kulit.
Proses penyerapan merupakan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologi
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan mempengaruhi
aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat pada saluran cerna
antara lain:
a. Bentuk sediaan
Bentuk sediaan berpengaruh terhadap epatan penyerapan obat, secara tidak langsung
dapat mempengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, serbuk,
kapsul, suspensi, emulsi, dan larutan, proses penyerpan obat memerrlukan waktu yang
berbeda – beda.
• Ukuran partikel bentuk sedian juga mempengaruhi penyerapan obat.
• Adanya bahan – bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti pengisi, pelicin,
penghancur, pembasah, dan emulgator.
b. Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa,ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kelarutan dan proses penyerapan.selain itu bentuk kristal atau polimorf,
kelatutan dalam lemak atau air dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses
penyerapan obat.
c. Faktor biologis
Faktor – faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain
adalah variasi keasaman pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna,
luas prmukaan saluran cerna.
d. Faktor lain - lain
Faktor lain - lain yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain adalah
umur, diet, adnya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
2. Penyerapan Obat melalui Mata
Bila obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diserap melalui membran
konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Bentuk yang tidak terionisasi dan mudah
larut dalam lemak cepat diserap oleh membran mata.
3. Penyerapan Obat melalui Paru
Obat diberikan secara inhalasi dan diserap melalui epitel paru dan membran mukosa
saluran napas.
Penyerapan obat melalui parau tergantung pada :
a. Kadar obat dalam alveoli.
b. Koefesien partisi gas/darah.
c. Kecepatan aliran darah.
d. Ukuran partikel obat.
4. Penyerapan obat melalui kulit
Penyerapan obat melalui kulit tergantung pada kelarutan obat dalam lemak karena
epidermis kulit juga berfungsi sebagai membran biologis dengan cara
a.Difusi pasif
Penembusan membran biologis secara difusi parif dibedakan menjadi 3, yaitu difusi pasif
melaui pori (secara penyaringan), difusi pasif dengan cara larut dalam lemak penyusun
membran dan difusi pasif dengan pasilitas.
b. Difusi membran secara difusi pasif dibedakan menjadi 2; sistim pengangkutan aktif
pinositosis, dan intraksi obat dengan biopolimer ( Intraksi tidak khas, contohnya intraksi
obat dengan jaringan, intraksi obat dengan asam nukleat, interaksi obat dengan
mukopolisakarida, interaksi obat dengan lemak dan interaksi khas adalah interaksi yang
menyebabkan perubahan struktur makro molekuol reseptor sehingga timbul rangsangan
perubahan fungsi fisiologi normal yang di amati sebagai respon biolgis, contohnya
interaksi obat dengan enzim biotransformasi,interaksi obat dengan reseptor).
Reseptor obat adalah suatu makro molekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom –atom sel organisasi reaktif secara kimia dan bersifat khas, dapat
berinteraksi secara terpulihkan dalam molekul obat yang mengandung gugus fungsional
khas menghasilkan respon biologis tertentu. Interaksi dengan enzim biotransformasi,
ditinjau dari tipe interaksi bersifat tidak khas tetapi bila ditinjau dari akibat dari interaksi
ternyata bersifat khas. Contohnya fisostikmin, asetazolamid, tetraetiltiuram disolpida,
tranilsipromin, allopurinol.
Interaksi obat dengan reseptor (http://informasi-obat.com/obat.php).
Tubuh mengandung makromolekul protein yang dapat berfungsi sebagai :
a. menyusun alat regenerasi sel, contoh : asam nukleat
b. untuk pengangkutan senyawa biologis, contoh : hemoglobin untuk pengankutan O2
c. untuk konmtraksi otot, contoh aktin dan miosin
d. Sebagai katalisator dan mengontrol proses mekanisme tubuh, contohnya enzim
e. sebagai reseptor obat (http://informasi-obat.com/obat.php).
V METODE PERCOBAAN
5.1 Alat dan Bahan
5.1.1 Alat – alat
a. Timbangan Elektrik
b. Oral sonde Mencit
c. Spuit 1 ml
d. Stopwatc
e. Beaker glass 25 ml
f. Erlenmeyer 10 ml
Prosedur Kerja:
1). Ditimbang mencit secara bergantian dan diberi tanda
2). Dipegang tengkuk tikus dan selipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan
dengan langit-langit dan dorong hingga masuk keosopagus. Larutan obat didesak keluar
dari alat suntik.
3). Obat diberikan secara oral 5 ml/ 100 gram BB.
4). Dilakukan sebanyak 2 kali dengan dosis yang telah dihitung, amati perubahan yang
tejadi pada setiap hewan yang dicobakan.
Untuk peritonial
Hewan yang digunakan : BB 30 – 50 g
Obat yang diberikan : Luminal natrium
Dosis : 20,30,40,50, dan 60 mg/kg per grup
Dosis dalam percobaan : 80 mg/kg BB dan 90 mg/kg BB
Konsentrasi obat : 0,7 %
Alat yg digunakan : Syringe 1ml dan jarum suntik no. 24-26
Diberi obat, catat waktu
Dilakukan pengamatan dengan waktu 10 -90 menit
Prosedur Kerja:
1). Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar dibawah rahang, sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala.
2). Larutan obat disuntikkan pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat dilakukan
sebanyak 2 kali dengan dosis yang telah dihitung dan amati perubahan yang terjadi pada
setiap hewan yang dicobakan.
h. Dosis mencit 8
- Berat mencit : 21,8 gr
- Dosis : 80 mg/kg BB ( i.p.)
- Konsentrasi obat : 0,7 %
- Syringe : 80 skala
- Jumlah obat yang diberikan : 1.744 mg
- Konsentrasi obat 0,7 % : 7 mg
- Jumlah larutan obat : 0.249 ml
- Syringe 80 skala = 1 ml : 0.0125 ml
- Jumlah obat yang disuntikkan : 19.93 skala
i. Dosis mencit 9
- Berat mencit : 21,7 gr
- Dosis : 90 mg/kg BB ( oral)
- Konsentrasi obat : 0,7 %
- Syringe : 80 skala
- Jumlah obat yang diberikan : 1.953 mg
- Konsentrasi obat 0,7 % : 7 mg
- Jumlah larutan obat : 0.279 ml
- Syringe 80 skala = 1 ml : 0.0125 ml
- Jumlah obat yang disuntikkan : 22.32 skala
j. Dosis mencit 10
- Berat mencit : 26,3 gr
- Dosis : 90 mg/kg BB ( i.p.)
- Konsentrasi obat : 0,7 %
- Syringe : 80 skala
- Jumlah obat yang diberikan : 2.367 mg
- Konsentrasi obat 0,7 % : 7 mg/ml
- Jumlah larutan obat : 0.338 ml
- Syringe 80 skala = 1 ml : 0.0125 ml
- Jumlah obat yang disuntikkan : 27.05 skala
6.2 Data Percobaan
No. PERLAKUAN WAKTU
10 20 30 40 50 60 70 80 90
1 Kontrol (aquadest) secara i.p
1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1
2 Luminal dosis 80 mg / Kg BB secara oral 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4
3 Luminal 80 mg / Kg BB secara i.p 1,1 1,3 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4
4 Luminal 90 mg / Kg BB secara oral 1,1 1,2 1,3 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4
5. Luminal 90 mg / Kg BB secara i.p 1,1 1,2 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4
6. Kontrol (aquadest) secara i.p
1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1
7. Luminal dosis 80 mg / Kg BB secara oral 1,1 1,2 1,2 1,3 1,3 1,4 1,4 1,4 1,4
8. Luminal 80 mg / Kg BB secara i.p 1,3 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4
9. Luminal 90 mg / Kg BB secara oral 1,1 1,2 1,3 1,3 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4
10. Luminal 90 mg / Kg BB secara i.p 1,1 1,2 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4
6.4 Pembahasan
1. Rute pemberian secara oral
Pada dosis 80 mg / kg BB onset of oction pada menit ke 20, dan duration of actionnya
pada menit ke 70 sampai 90. Pada dosis 90 mg / kg BB onset of actionnya pada menit ke
10, duration of actionnya pada menit ke60 -90. dari data diatas dapat diketahui bahwa
mula kerja dan lama kerja penobarbital dalam tubuh mencit dengan pemberian atau rute
yang sama dipengaruhi oleh dosis. Mencit yang diberikan dosis penobarbital yang lebih
tinggi (90 mg / kg BB) mempunyai onset of action yang ditunjukkan dengan reaktif
kemudian gerak lambat lebih cepat bila dibandingkan dengan penobarbital dosis mg / kg
BB.
2. Intra peritonial
Pada dosis 80 mg / kg BB onset of actionnya pada menit ke 20, duration of actionnya
pada menit ke 60-70. pada dosis 90 mg / kg BB onset of actionnya pada menit ke 10,
duration of actionnya pada menit ke 70-90. dari data diatas dapat diketahui bahwa onset
of action pada dosis yang lebih besar lebih cepat dibandingkan dengan dosis yang lebih
rendah dengan pemberian yang sama.
Namun seharusnya efek tidur yang diperoleh juga lebih cepat pada mencit yang diberi
dosis 90 mg / kg BB, tapi pada data diatas efek diatur lebih cepat pada menit yang mencit
yang diberi dosis 80 mg / kg BB, walau lama tidurnya lebih lama pada mencit yang diberi
dosis 90 mg/ kg BB.kesalahan mungkin terjadi pada waktu pengamatan atau dapat juga
dipengaruhi keadaan fisik mencit yang prima atau baik sehingga lebih tahan terhadap
efek penobarbital karena efek obat adalah individual
3. Pada dosis 80 mg / kg BB secara oral onset of actionnya pada menit ke 20, duration of
actionnya pada menit ke 70-90. pada dosis 80 mg / kg BB secara intra peritonial onset of
actionnya pada menit ke20, duration of actionnya pada menit ke60-70. Pada dosis yang
sama dengan cara pemberian yang sama maka onset of action dan duration of actionnya
akan berbeda. Dalan data ini obat reaktif dalam tubuh mencit yang menyebabkan mencit
garuk-garuk sama waktunya pada menit ke 20. Tapi pada pendataan yang lebih akurat
( percobaan kelompok 2) mencit mulai menunjukkan reaksi gerak lambat adalah mencit
yang diberikan penobarbital secara intra peritonial lebih besar dan juga banyak pembuluh
darah sehingga obat lebih cepat diabsorpsi dan masuk kesistem pembuluh darah sehingga
menghasilkan efek dan respon yang cepat
Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara
umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak
faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara
suntikan yaitu pemberian intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul
lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak
mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan
dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun suntikan i.p. tidak
dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar.
( Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995)
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M, 1995, “ Prinsif Umum dan Dasar Farmakologi” Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal 19, 39.
Mycek, M. J, dkk, 2001, “Farmakologi Ulasan Bergambar”, eds II, Widya Medika
Jakarta, hal 1-4.
Siswandono dan Soekardjo, B, 1995, “Kimia Medisinal”. Airlangga Press, Surabaya, hal
10-11 dan 19-35.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan
Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Tjay, T. H dan Rahardjo. K, 2002 “Obat-obat Penting”, Gramedia, Jakarta.
http://www.jurnalfarmakologi/ernal_farmasi.2009.html
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/07InteraksiObat003.pdf/07InteraksiObat003.
http://informasi-obat.com/obat.php .