A. Pengertian
Anemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit atau
kadar Hb dalam darahkurang dari normal. Anemia gravis adalah anemia yang terjadi
apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia
gravis timbul akibat penghancuran sel darah merah yang cepat dan hebat (Nilai
normal Hb Laki-laki = 14-18 gr/dL, Perempuan = 12-16 gr/dL).
B. Penyebab
1. Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, vitamin B12, asam
folat, vitamin C, dan unsur-unsur yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah.
2. Menstruasi yang berlebihan.
3. Kehamilan. Wanita yang hamil rawan terkena anemia karena janin menyerap zat
besi dan vitamin untuk pertumbuhannya.
4. Obat-obatan tertentu. Beberapa jenis obat dapat menyebabkan perdarahan
lambung (aspirin, anti infl amasi, dll). Obat lainnya dapat menyebabkan masalah
dalam penyerapan zat besi dan vitamin (antasid, pil KB, antiarthritis, dll).
5. Operasi pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi). Ini dapat
menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat besi dan vitamin B12.
6. Penyakit radang kronis seperti lupus, arthritis rematik, penyakit ginjal, masalah
pada kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker dan penyakit lainnya dapat
menyebabkan anemia karena mempengaruhi proses pembentukan sel darah
merah.
7. Pada anak-anak, anemia dapat terjadi karena malaria, atau disentri yang
menyebabkan kekurangan darah yang parah.
Gambar 5. Leukemia limfositik akut (LLA) Jumlah limfosit dan neutrofil yang
lebih banyak dari jumlah normal
6. Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan
terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih protein sitoskleletal sel
darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin, band 3 protein, dan protein. Defek
pada beberapa protein skeletal membran yang berbeda dapat menyebabkan
sferositosis herediter; semua ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan
defisiensi spektrin yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan
membran internal sel darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung
spektrin memiliki membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara
spontan. Berkurangnya luas permukaan yang ditimbulkan menyebabkan sel darah
merah tersebut berbentuk sferoid. sferosit semacam ini memiliki fleksibilitas
membran yang berkurang dan terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia
berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli.
b. Penentuan Indeks Eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai
berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk
setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung
dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal
70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah.
Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31
pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35%
dan hipokrom < 30%.
4) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan
ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan
flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.
5) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter
lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam
ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak
kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling
awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh
transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya
RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila
disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai
normal 15 %.
6) Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis,
naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan
EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh
transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas
dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
7) Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah
kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok,
pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi
dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
8) Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama
dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan
besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis,
penyakit ginjal dan keganasan.
9) Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat
besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum
tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks
kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit.
Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh
transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan
indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan
serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh
transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat
secara khusus oleh plasma.
10) Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif
untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas
dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12
ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan
semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal
kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat
besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum
feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik
untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih
rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih
rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan
tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita
tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama
seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan
penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum
feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/ l selama trimester II dan III
bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin
adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis,
infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan
mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay
(RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
2. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,
walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum
tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum.
Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan.
Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai
untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia dengan berbagai
indikasi.
1. Farmakologi
a. Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b. Epoetin Alfa
c. Obat untuk Mengatasi Pendarahan (FRESH FROZEN PLASMA (FFP),
CRYOPRECIPITATE)
d. Garam Besi (Fereous Sulfate, Carbonyl Iron, Iron Dextran Complex, Ferric
Carboxymaltose)
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif dan
tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada penyakit
kronis yang berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat membantu
dalam mencegah atau mengurangi transfusi.
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik.
Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik
dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan harapan hidup pada
pasien yang berhasil transplantasi.
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang adekuat
sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan manusia
dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul esensial yang
merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein berperan penting
dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan
protein akan mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan
terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi protein terutama
yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi.
b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari
tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan
suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate
selama 12 minggu dapat meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin sebanyak
7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia dari 54% menjadi 38%. Vitamin A
merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu absorpsi dan mobilisasi
zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan
membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis.
Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan membentuk suatu kompeks dengan
besi untuk membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga absorbsi besi
dapat terbantu. Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, akan
terjadi penurunan derajat infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP
dan transferin kembali normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang
terjebak di tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis.
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumber-sumber
makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya susu dan
produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan nebati seperti papaya,
mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel.
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan antara
asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya bersifat positif
yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin
akan semakin tinggi pula yang berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal
ini membuktikan bahwa vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di
dalam tubuh. Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang
sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga
memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke
feritin hati. Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk
sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya buah
sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran hijau.
d. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor
utama pembentuk hemoglobin. Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh
manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh.
Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam
hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk
keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh. Zat besi (Fe) terdapat
dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran berwarna hijau
tua. Zat besi terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-
protein dan kompleks heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya
hati adalah sumber zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan
lainnya.
e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut
dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-aminobenzoat
dan asam glutamat. Sumber makanan asam folat banyak terdapat pada hewan,
buah-buahan, gandum, dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna
hijau. Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan DNA
inti sel dan penting dalam pembentukan myelin yang berperan penting dalam
maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast. Akibat dari sefisiensi
asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas sehingga
maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya kromatin lebih longgar dan sel
menjadi lebih besar (megaloblast). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-
200 mcg.
f. Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian
terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000.
Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain
cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-
masing terikat pada cobal. Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai
kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai
kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-
CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-
methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan untuk
sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai
pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin
B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-CoA
sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic acid oleh
suatu enzim hydrolase.
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-
sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan cepat
selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel berlangsung
cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab untuk
pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi vitamin B12, pembentukan
DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut dengan
kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia. Vitamin B12 dibutuhkan
dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah
usia 4 tahun < 1 μg/hari, pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan
bagi usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil dan
menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2 μg/hari dan 0,4 μg/hari.
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging, susu,
telur, ikan, kerang dan lain-lain
G. KOMPLIKASI
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat berkomplikasi
kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental. Ada bukti menyatakan
bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan pada perilaku dan
fungsi intelektual anak. Anemia gravis akibat defisiensi besi menyebabkan
gangguan perkembangan neurologik pada bayi dan menurunkan prestasi belajar
pada anak usia sekolah karena zat besi telah dibuktikan berperan penting dalam
fungsi otak dan penelitian pada hewan coba menunjukkan berlakunya perubahan
perilaku dan fungsi neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA
didapatkan bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu
perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak
yang diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka
untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ (Intelligent
Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan dengan jelas
lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia defisiensi besi.
Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif pada
anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan myelin.
Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung baik bila
oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami kekurangan besi.
Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang. Penyebab yang kedua
ialah gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini terjadi karena gangguan
sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Dopamin mempunyai efek pada
perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi dan kontrol motorik. Penyebab
seterusnya ialah gangguan metabolisme energi protein. Gangguan ini terjadi
karena besi merupakan ko-faktor pada ribonukleotida reduktase yang penting
untuk fungsi dan metabolisme lemak dan energi otak. Semakin dini usia dan lama
saat terjadi anemia dan semakin luas otak yang terkena, akan menyebabkan
gangguan fungsi kognitif semakin permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL mengakibatkan
kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah menurun. Suatu proses
pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor di
antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac output dan distribusinya, kemampuan
pengangkutan oksigen di darah yaitukonsentrasi hemoglobin, dan oxygen
extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena. Pada
keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan hemodinamik sebagai
kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme
nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi eritropoetin untuk
merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen extraction. Ketika konsentrasi
hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor nonhemodinamik berperan dan terjadi
peningkatan cardiac output serta aliran darah sebagai kompensasi terhadap
hipoksia jaringan.
Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara lain terjadi
penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vaskular sistemik, peningkatan
preload akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi ventrikel kiri
yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan faktor inotropik.
Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung menyebabkan pembesaran
jantung dan hipertrofi ventrikel kiri.
Data longitudinal menunjukkan bahwa anemia merupakan predisposisi
terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi sistolik. Manifestasi kardiovaskular pada
pasien dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat jelas kecuali pada pasien
mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat, bisa
terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan dapat
terjadi murmur sistolik. Pada keadaan anemia, venous return jantung akan
meningkat. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan miofibril
jantung yang memanjang dan ventrikel kiri dilatasi, akibatnya akan memperbesar
stroke volume sesuai dengan mekanisme Starling. Secara fisiologis akibat dari hal
ini terjadi dilatasi ventrikel khususnya terjadi peningkatan tekanan dinding
jantung yang mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen dan percepatan
kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi yang progresif dinding ventrikel kiri
menebal yang disebut dengan eccentric hipertrofi yang bermanfaat sebagai
mekanisme adaptasi untuk melindungi jantung dari peningkatan tahanan dinding
jantung.
3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen (dan
substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik lain) dari
sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada sistem respirasi dan
kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang diinspirasi yang mengandung
oksigen adekuat. Perubahan teganagan oksigen dan karbon diaoksida serta
perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen fosfat organik, terutama asam
2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen. Bila hasil
hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan, PaCO2 biasanya meningkat dan kurva
disosiasi bergeser kekanan. Dalam kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin
dalam darah arteri pada kadar penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang
diberikan. Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan penurunan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap normal, tetapi jumlah
absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah akan berkurang. Ketika darah
yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah yang normal
dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka PaCO2 di dalam darah vena akan
menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada yang seharusnya
terjadi dalam keadaan normal.
ASKEP TEORI
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Meliputi: nama pasien, alamat, umur, no RM, tanggal MRS, jenis kelamin,
agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya keluhan yang paling utama pada penderita anemia adalah lemah atau
pusing.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Apa yang dirasakan pasien pada saat di lakukan pengkajian dan pemeriksaan.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit anemia sebelumnya, meminum
obat tertentu dlam jangka lama, menderita penyakit malaria, mengalami
pembesaran limfe, mengalami penyakit keganasan yang tersebar seperti kanker
payudara, leukimia, dan multipel mieloma, pernah kontak dengan zat kimia
toksik dan penyinaran dengan radiasi, pernah menderita penyakit menahun
yangmelibatkan ginjal dan hati, pernah menderita penyakit infeksi dan defisiensi
endoktrin, pernah mengalami kekurangan vitamin penting, seperti vitamin B12
asam folat, vitamin C dan besi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga pasien memiliki riwayat penyakit keturunan seperti
diabetes militus, penyakit jantung,hipertensi, stroke.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Meliputi: apakah pasien pucat, keletihan, kelemahan, nyeri kepala,
demam, dispnea, vertigo, sensitif terhadap dingin, berat badan menurun.
c. pengkajian khusus
1) B1 (Brething)
Dispnea (kesulitan bernapas), napas pendek, dan cepat lelah saat
melakukan aktivitas jasmani merupakan menifestasi berkurangnya
pengiriman oksigen.
2) B2 (Bleeding)
Takikardia dan bising jantung menggambarkan beban jantung dan
curah jantung meningkat, pucat pada kuku, telapak tangan, serta membran
mukosa bibir dan konjungtiva. Keluhan nyeri dada bila melibatkan arteri
koroner. Angina (nyeri dada) khususnya pada pasien usia lanjut dengan
stenosis koroner dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia
berat, dapat menimbulkan gagal jantung kongestif sebab otot jantung yang
kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja
jantung yang meningkat.
3) B3 (Brain)
Disfungsi neurologis, sakit kepala, pusing, kelemahan, dan tinitus
(telinga berdengung).
4) B4 (Bladder)
Gangguan ginjal, penurunan produksi urine.
5) B5 (Bowel)
Penurunan intake nutrisi disebabkan karena anoreksia, nausea,
konstipasi atau diare, serta stomatitis (sariawan lidah dan mulut).
6) B6 (Bone)
Kelemahan dalam melakukan aktifitas.
B. Masalah keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Defisit perawatan diri
4. Intoleransi aktivitas
C. Intervensi
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. Ketidakefektifan perfusi NOC : NIC :
jaringan perifer b/d Circulation status Intrakranial Pressure (ICP)
penurunan konsentrasi Tissue Prefusion : Monitoring (Monitor tekanan
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Price, S. A. 2005. Patofiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6 Vol.1&2. Jakarta:
EGC.
Nurarif, A & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Nanda Nic Noc jilid 1. Jogjakarta. Mediaction Publishing