Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia
2.1.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).
Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit
(Sudoyo, 2013). Menurut (Corwin, 2012) anemia adalah penurunan kuantitas sel-sel
darah merah dalam sirkulasi, abnormalitas kandungan hemoglobin sel darah merah,
atau keduanya.
Berikut merupakan kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et
al, 2017).

Tabel 1
Kriteria Anemia menurut WHO
Kriteria Anemia Menurut WHO
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa < 13 gr/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 gr/dl
Wanita hamil < 11 gr/dl

2.1.2 Etiologi
Menurut (Sudoyo, 2013) anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang
disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh
karena :
A. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang.
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit.
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Kehilangan darah (perdarahan).
a. Anemia pasca pendarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik

B. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).


1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Lain-lain

C. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang


kompleks. Berikut ini merupakan klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan
etiologinya:
1. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thallasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotioroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

2.1.3 Gejala Klinis


Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun
penyebabnya, apabila kadar hemoglobin di bawah harga tertentu. Gejala umum
anemia ini timbul karena anoksia organ, mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar
hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia
tergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin,
usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala umum anemia disebut
juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemik organ target serta akibat
kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <
7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging,
mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan dispepsia. Pada
pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa
mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif
karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb < 7g/dl) (Sudoyo, 2013).
2.1.4 Diagnosis
Pemeriksaan untuk diagnosis anemia terdiri dari beberapa macam :
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam
diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan penyaring (screening
test), pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang, pemeriksaan
khusus.
b. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan
adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk
pengarahan diagnosis lebih lanjut.
c. Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung jenis leukosit, trombosit, hitung
retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic
hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
d. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang
mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta
pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.
e. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
1) Anemia defisiensi besi : serum iron, TBC (total iron binding acapacity),
saturasi tranferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang.
2) Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling.
3) Anemia hemolitik : bilirubin serum, test Coomb, elektroforesis hemoglobin
dan lain-lain.
4) Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hemtologik tertentu seperti misalnya
pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid (Sudoyo, 2013).
2.1.5 Penatalaksanaan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia
adalah :
a. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu.
b. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
c. Pengobatan anemia dapat berupa :
1) Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat
anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien atau pada anemia pasca
perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik.
2) Terapi suportif.
3) Terapi yang khas untuk masing-masing anemia.
4) Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut.
Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan. Disini harus dilakukan pemantauan yang ketat terhadap
respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus
menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis.
Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda
gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia
bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Pada anemia kronik sering
dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan diuretika kerja
cepat seperti furosemid sebelum transfusi (Sudoyo, 2013).

2.2 Anemia Pada Kehamilan

2.2.1 Definisi

Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah

11 gr% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10,5 gr% pada trimester II (

Depkes RI, 2009 ). Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau

menurunnya hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan

organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama kehamilan, indikasi
anemia adalah jika konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,50 sampai dengan 11,00

gr/dl (Varney, 2015).

Hemoglobin ( Hb ) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi menyalurkan

oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh kekurangan oksigen.

Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses metabolisme. Zat besi merupakan

bahan baku pembuat sel darah merah. Ibu hamil mempunyai tingkat metabolisme

yang tinggi misalnya untuk membuat jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi

organ dan juga untuk memproduksi energi agar ibu hamil bisa tetap beraktifitas

normal sehari – hari ( Sin sin, 2010 ).

Hb merupakan komponen utama eritrosit yang berfungsi membawa oksigen dan

karbondioksida. Warna merah pada darah disebabkan oleh kandungan Hb yang

merupakan susunan protein yang komplek yang terdiri dari protein, globulin dan satu

senyawa yang bukan protein yang disebut heme. Heme tersusun dari suatu senyawa

lingkar yang bernama porfirin yang bagian pusatnya ditempati oleh logam besi (Fe).

Jadi heme adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan hemoglobin adalah

senyawa komplek antara globin dengan heme ( Masrizal, 2007).

2.2.2 Penyebab Anemia pada Kehamilan

Penyebab anemia umunya adalah kurang gizi, kurang zat besi, kehilangan darah

saat persalinan yang lalu, dan penyakit – penyakit kronik (Mochtar, 2004). Dalam

kehamilan penurunan kadar hemoglobin yang dijumpai selama kehamilan disebabkan

oleh karena dalam kehamilan keperluan zat makanan bertambah dan terjadinya

perubahan-perubahan dalam darah : penambahan volume plasma yang relatif lebih

besar daripada penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah merah. Darah

bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau hipervolemia.

Namun bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika dibandingkan dengan


bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Di mana pertambahan

tersebut adalah sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%.

Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam

kehamilan dan bermanfaat bagi wanita hamil tersebut. Pengenceran ini meringankan

beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat

hipervolemia tersebut, keluaran jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja

jantung ini lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang

pula, sehingga tekanan darah tidak naik (Wiknjosastro, 2016).

Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume plasma

meningkat sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit.

Penurunan ini lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan

volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta.

Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan penambahan eritrosit

ke dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester kedua ( Smith et al., 2010 ).

Pola makan adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai dengan

kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Untuk dapat mencapai

keseimbangan gizi maka setiap orang harus menkonsumsi minimal 1 jenis bahan

makanan dari tiap golongan bahan makanan yaitu Karbohidrat, protein hewani dan

nabati, sayuran, buah dan susu.( Bobak, 2005 ). Seringnya ibu hamil mengkonsumsi

makanan yang mengandung zat yang menghambat penyerapan zat besi seperti teh,

kopi, kalsium ( Kusumah, 2009 ). Wanita hamil cenderung terkena anemia pada

triwulan III karena pada masa ini janin menimbun cadangan zat besi untuk dirinya

sendiri sebagai persediaan bulan pertama setelah lahir ( Sin sin, 2008). Pada penelitian

Djamilus dan Herlina (2008) menunjukkan adanya kecendrungan bahwa semakin


kurang baik pola makan, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia. Hasil uji

statistic juga menunjukkan kebermaknaan (p > 0.05).

Faktor umur merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil. Umur

seorang ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang

sehat dan aman adalah umur 20 – 35 tahun. Kehamilan diusia < 20 tahun dan diatas

35 tahun dapat menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia < 20 tahun secara

biologis belum optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga

mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap

pemenuhan kebutuhan zat – zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35

tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai

penyakit yang sering menimpa diusia ini. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu

pada saat hamil sangat berpengaruh terhadap kajadian anemia (Amirrudin dan

Wahyuddin, 2013).

Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,429

kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi tablet Fe

(Jamilus dan Herlina 2008 ). Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe diukur dari ketepatan

jumlah tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet Fe, frekuensi

konsumsi perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu

upaya penting dalam mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya anemia

kekurangan besi. Suplementasi besi merupakan cara efektif karena kandungan besinya

yang dilengkapi asam folat yang sekaligus dapat mencegah anemia karena kekurangan

asam folat (Depkes, 2009). Konsumsi tablet besi sangat dipengaruhi oleh kesadaran

dan kepatuhan ibu hamil. Kesadaran merupakan pendukung bagi ibu hamil untuk

patuh mengkonsumsi tablet Fe dengan baik. Tingkat kepatuhan yang kurang sangat

dipengaruhi oleh rendahnya kesadaran ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi,
inipun besar kemungkinan mendapat pengaruh melalui tingkat pengetahuan gizi dan

kesehatan. Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet besi tidak hanya dipengaruhi

oleh kesadaran saja, namun ada beberapa faktor lain yaitu bentuk tablet, warna, rasa

dan efek samping seperti mual, konstipasi (Simanjuntak, 2012).

Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup

maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami

anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi.

Karena selama hamil zat – zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang

dikandungnya. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi

mempunyai risiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang

paritas rendah ( Djamilus dan Herlina, 2008)

2.2.3 Gejala Anemia pada Ibu Hamil

Gejala yang paling umum dari anemia selama kehamilan adalah:

a. Kulit, bibir, dan kuku pucat

b. Merasa lelah atau lemah

c. Pusing

d. Sesak napas

e. Detak jantung yang cepat

f. Sulit berkonsentrasi

Pada tahap awal, anemia mungkin tidak memiliki gejala yang jelas. Dan banyak

diantara gejala yang dirasakan sering terjadi di masa kehamilan. Jadi, pastikan ibu
hamil untuk mendapatkan tes darah rutin ketika melakukan pemeriksaan kehamilan,

agar anemia dapat terdeteksi sedini mungkin.

2.2.4 Klasifikasi Anemia pada Kehamilan

a. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia terbanyak didunia.

Terutama pada negara miskin dan berkembang. Anemia defisiensi besi

merupakan gejala kronis dengan keadaan hiprokromik (kosentrasi hemoglobin

kurang) (Tarwoto, 2007). Penyakit ini lebih dikenal dengan penyakit kurang

darah, yang disebabkan kekurangan zat besi dalam jumlah yang tidak mencukupi

kebutuhan sehari-hari. Kehilangan zat besi yang meningkat disebabkan oleh

investasi cacing (Tarwoto, 2015).

b. Anemia Megaloblastik

Anemia yang disebabkan karena kerusakan sintesis DNA yang

mengakibatkan tidak sempurnanya SDM.Keadaan ini disebabkan karena

defisiensi Vit B12 (Cobalamin) dan asam folat. Karakteristik Sel SDM, dalam

darah dan sumsum tulang. Sel megaloblas ini fungsinya tidak normal,

dihancurkan semasa dalam sum-sum tulang sehingga terjadinya eritropoesis tidak

efektif dan masa hidup eritropoesis lebih pendek (Tarwoto, 2015).

c. Anemia Hipoplastik

Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sum-sum tulang kurang

mampu membuat sel-sel darah baru, dinamakan anemia hipoplastik dalam

kehamilan (Sarwono, 2013). Etiologi anemia hipoplastik karena kehamilan

hingga kini belum diketahui dengan pasti, kecuali yang disebabkan oleh sepsis,
sinar Roentgen, racun, atau obat-obat. Dalam hal yang terakhir anemianya

dianggap hanya sebagai komplikasi kehamilan. Karena obat-obat penambah

darah tidak memberi hasil, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki keadaan

penderita ialah tranfusi darah, yang sering perlu diurai sampai beberapa kali

(Sarwono, 2013).

d. Anemia Hemolitik

Anemia Hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya

penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah

mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dan sumsum

tulang, limpa dan hati dapat mengetahuinya dan merusaknya (Kusumawardani,

2010).

Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya

(hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat

pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika

penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akam

terjadi anemia hemolitik(Kusumawardani, 2010).

2.2.5 Pengaruh Anemia Pada Kehamilan

Anemia dapat berpengaruh terhadap kehamilan, baik itu selama kehamilan, dalam

masa persalinan, pada masa nifas dan memberikan pengaruh juga pada janin yang ada

dalam kandungan (Sarwono, 2013). Menurut Sarwono (2013) Penyulit yang dapat

timbul akibat anemia, seperti :

a. Abortus

b. Partus prematurus
c. Partus lama karena inertia uteri

d. Pendarahan post partum karena Antonia uteri

e. Syok

f. Infeksi, baik intrapartum maupun post partum

g. Anemia yang sangat berat dengan Hb <4 gr/100 ml

2.2.6 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil

a. Status Gizi

Terjadinya anemia pada ibu hamil dimungkinkan karena pada saat kehamilan

salah satunya yaitu ibu hamil mengalami masalah gizi yaitu status gizi KEK yang

disebabkan asupan makan yang kurangnya, sehingga cadangan zat besi dalam

tubuh berkurang, kurangnya pemanfaatan perawatan selama kehamilan atau ANC

(Ante Natal Care) pada ibu selama kehamilan berlangsung yang mempengaruhi

terjadinya anemia pada ibu hamil tidak terpantau dengan baik status gizi dan kadar

Hb (Wahyudin, 2014).

Gizi seimbang adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai dengan

kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Agar sasaran

keseimbangan gizi dapat dicapai, maka setiap orang harus menkonsumsi minimal 1

jenis bahan makanan dari tiap golongan bahan makanan yaitu KH, protein hewani

dan nabati, sayuran, buah dan susu (Fariansjah, 2009).

Penelitian menunjukkan adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik

pola makan, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia (Fariansjah, 2009).
b. Umur

Keadaan yang membahayakan saat hamil dan meningkatkan bahaya terhadap

bayinya adalah usia saat <20 tahun atau >35 tahun. Kejadian anemia pada ibu

hamil pada usia <20 tahun, karena ibu muda tersebut membutuhkan zat besi lebih

banyak untuk keperluan pertumbuhan diri sendiri serta bayi yang akan

dikandungnya (Wahyudin, 2014).

Secara teori umur <25 tahun secara biologis mentalnya belum optimal dengan

emosi yang cenderung labil, mental yang belum matang sehingga mudah

mengalami keguncangan yang mengakibatkan kekurangannya perhatian terhadap

pemenuhan kebutuhan zat gizi terkait dengan penurunan daya tahan tubuh serta

berbagai penyakit yang sering menimpa diusia ini. Berbagai faktor yang saling

berpengaruh dan tidak menutup kemungkinan usia yang matang sakalipun untuk

hamil yaitu usia 25-35 tahun angka kejadian anemia jauh lebih tinggi. Umur <20

tahun membutuhkan zat besi lebih banyak untuk keperluan pertumbuhan diri

sendiri serta janin yang akan dikandungnya. Sedangkan zat besi yang dibutuhkan

selama hamil 17 mg (Soebroto, 2010).

Wanita yang berumur <20 tahun atau >35 tahun, mempunyai risiko yang

tinggi untuk hamil. Karena sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu

hamil maupun janinnya. Berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan

ibu mengalami anemia. Usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia adalah

semakin rendah usia ibu hamil maka samakin rendah kadar Hemoglobin. Penelitian

Herlina (2009), di Bogor menunjukan adanya kecenderungan semakin tua umur ibu

hamil maka kejadian anemia semakin besar.

Umur >35 tahun mempunyai risiko untuk hamil karena umur >35 tahun,

dimana alat reproduksi ibu hamil sudah menurun dan kekuatan untuk mengejan
saat melahirkan sudah berkurang sehingga anemia pun terjadi pada saat ibu hamil

umur <35 tahun (Sarwono 2013).

c. Paritas

Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir

hidup maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko

mengalami anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan

kebutuhan nutrisi. Karena selama hamil zat-zat gizi akan terbagi untuk ibu dan

untuk janin yang dikandungnya (Herlina, 2009).

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian

maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi >3 mempunyai angka kematian maternal

lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada

paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada

paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian

kehamilan pada paritas adalah tidak direncanakan (Herlina, 2009).

Paritas >3 tahun dapat meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan

dan persalinan, seperti meningkatkan risiko terjadinya kematian janin didalam

kandungan dan pendarahan sebelum dan setelah melahirkan, lebih sering dijumpai

pada wanita hamil yang anemia dan hal ini dapat berakibat vatal, sebab wanita

hamil yang anemia tidak dapat mentoleransi kehilangan darah (Soebroto, 2010).

d. Pemberian Tablet Fe

Zat besi (Fe) merupakan mikro elemen essensial bagi tubuh yang diperlukan

dalam sintesa hemoglobin. Konsumsi tablet Fe sangat berkaitan dengan kadar

hemoglobin pada ibu hamil. Anemia defesiensi zat besi yang banyak dialami ibu

hamil disebabkan oleh kepatuhan mengonsumsi tablet Fe yang tidak baik ataupun
cara mengonsumsi yang salah sehingga menyebabkan kurangnya penyerapan zat

besi pada tubuh ibu. (Yenni, 2016).

Menurut WHO, 40% kematian di negara berkembang berkaitan dengan

anemia dalam kehamilan. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh

defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling

berinteraksi. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar didunia

terutama bagi WUS (Novita, 2012).

Hasil penelitian Chi, dkk, menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah

70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk ibu yang non- anemia. Kematian

ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia.

Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu

(Ridwan, 2014).

Di Indonesia program pencegahan anemia pada ibu hamil, dengan

memberikan suplemen zat besi sebanyak 90 tablet selama masa kehamilan. Namun

banyak ibu hamil yang menolak atau tidak mematuhi anjuran ini karena berbagai

alasan. Kepatuhan minum tablet Fe apabila ≥ 90 % dari tablet besi yang seharusnya

diminum. Kepatuhan ibu hamil minum pil zat besi merupakan faktor penting dalam

menjamin peningkatan kadar hemoglobin ibu hamil.


2.3 Kerangka Teori

STATUS GIZI
KEK
STATUS GIZI

Beresiko <20 th
dan >35 th
UMUR
Aman ≥20 th dan
≤ 35 th ANEMIA PADA
IBU HAMIL
(
Beresiko >3 Anak
PARITAS
Aman <3 Anak

TABLET FE

Skema 2.1 Kerangka Teori

2.4 Kerangka Konsep

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

STATUS GIZI

UMUR
ANEMIA PADA
IBU HAMIL
PARITAS

Pemberian Tablet Fe
FE

Skema 2.2 Kerangka Konsep


2.5 Hipotesis

1. Terdapat Pengaruh status gizi ibu hamil terhadap kejadian anemia pada ibu hamil

2. Terdapat Pengaruh umur ibu hamil terhadap kejadian anemia pada ibu hamil

3. Terdapat Pengaruh paritas ibu hamil terhadap kejadian anemia pada ibu hamil

4. Terdapat Pengaruh pemberiaan Tablet Fe terhadap kejadian anemia pada ibu hamil
DAFTAR PUSTAKA

Achadi E Anhari, M.J Hansell N.L sloan & M A andersn. 2016. Momen nutritional status,
iron consumtion and weight gain during pregnancy in relation to neonatal weight and
lenght in west jawa. Indonesia. International journal of obstetric and gynecology, 48,
suppl, S1 10-119
Almatsier, Sunita. 2013. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Corwin, Elizabeth. 2012. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Depkes RI. 2013. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga 2013: Studi Tindak Lanjut Ibu
Hamil. Jakarta: Depkes RI
_________. 2010. Standar Acuan Pemeriksaan Kehamilan. Jakarta: Depkes RI
Hermina. 2012. Keragaman pengetahuan gizi dan pengetahuan praktek pemberian makanan
bayi dan anak dari ibu dengan balita gizi buruk di daerah bogor dan sekitarnya.
Penelitia gizi dan makanan puslitbang gizi bogor
Khomsan A. 1997. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Anemia pada Peserta dan
Bukan Peserta Program Suplementasi Tablet Besi pada Ibu Hamil. Media Gizi dan
Keluarga tahun XXI No 2 : 1-7
Manuba, I.B.G dkk. 2013. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana. Jakarta: EGC
________________. 2015. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan
KB. Jakarta: EGC
________________. 2014. Penuntun Kepanitraan Klinik Obstetri dan Ginekologi Edisi 2.
Jakarta: EGC
Mochtar, Rustan. 2005. Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC
Moehji S. 2012. Ilmu Gizi (Pengetahuan Dasar Ilmu Gizi). Jakarta : PT Bhratara
Notoatmodjo, Soekidjo. 2013. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Riyadi H, Hardinsyah, F Anwar. 1997. Faktor-faktor Resiko Anemia pada Ibu Hamil. Media
Gizi dan Keluarga tahun XXI No 2
Saifuddin, Abdul Bari. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustala Sarwono Prawirohadjo
Wibowo A, Basuki H. 2006. Pola Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak pada Masyarakat
Mendatang. The Jurnal of Public Health Indonesian
Wiknjosastro Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Ed. 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
_________________.2005. Ilmu Kandungan Edisi ke dua Cetakan ke 4, Jakarta ; EGC.

Anda mungkin juga menyukai