Anda di halaman 1dari 13

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ANEMIA

Disusun oleh:
Mutiara Sari
1102015152

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD. ARJAWINANGUN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 8 APRIL – 22 JUNI 2019
PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ANEMIA

DEFINISI ANEMIA
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masssa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity). Berdasarkan data World Health Organization (WHO), anemia adalah
nilai kadar Hb <13 g/dL pada laki-laki dan <12 g/dL pada wanita. Usia anak 6
bulan−6 tahun dianggap anemia jika nilai kadar Hb <11 g/dL dan usia antara 6−14
tahun kadar Hb sebesar <12 g/dL.
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran morfologis dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dibagi menjadi tiga golongan: 1) anemia mikrositer hipokrom, bila MCV < 80 fl
dan MCH < 27 pg; 2) anemia normositer normokrom, bila MCV 80-95 fl dan
MCH 27-34 pg; 3) anemia makrositer, bila MCV > 95 fl. Selain itu anemia juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan patogenesis terjadinya anemia.

PATOFISIOLOGI ANEMIA
Pada dasarnya gejala anemia timbul karena:
1. Anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat
dibawa oleh darah ke jaringan
2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.
a. Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkatkan enzim
2,3 DPG (2,3 diphospo glycerate)
b. Meningkatkan curah jantung (COP = cardiac output)
c. Redistribusi aliran darah
d. Menurunkan tekanan oksigen vena
GEJALA ANEMIA
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah
gejala yang timbul dalam setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, dan apabila
kadar hemoglobin turun di bawah nilai tertentu.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia disebut juga sindrom
anemia. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri
dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan dispepsia.
Peredaran darah yang hiperdinamik mungkin tampak sebagai takikardia,
denyut nadi yang melonjak, pembesaran jantung dan bising aliran sistolik
khususnya pada apeks. Pada pemeriksaan, pasien terlihat pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan
jaringan bawah kuku.
2. Gejala khas masing-masing anemia.
a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
b. Anemia megaloblastik: glositis, ulkus kaki dengan sel sabit,
gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.
c. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali, dan hepatomegali
d. Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang
menyebaban anemia. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang, sakit
perut pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan seperti
jerami. Kanker kolon dapat menimbulkan gejala berupa perubahan sifat
defekasi (change of bowel habit), feses bercampur darah atau lendir.

PENDEKATAN DIAGNOSTIK UNTUK PENDERITA ANEMIA


Diagnosis anemia dapat sederhana, tetapi sering juga bersifat sangat kompleks.
Untuk menegakkan diagnosis anemia perlu dilakukan:
1. Anamnesis
Anamnesis harus ditujukan untuk mengeksplorasi:
a. riwayat penyakit sekarang;
b. riwayat penyakit terdahulu;
c. riwayat gizi;
d. anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan fisik
serta riwayat penggunaan obat;
e. riwayat keluarga.
2. Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada beberapa gejala berikut:
a. warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikteurs, kulit telapak tangan
kuning seperti jerami;
b. purpura: petechie dan echymosis;
c. kuku: koilonychia (kuku sendok);
d. mata: ikterus, konjunctiva pucat, perubahan fundus;
e. mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah,
glossitis dan stomatitis angularis;
f. limfadenopati;
g. hepatomegali;
h. splenomegali;
i. nyeri tulang atau nyeri sternum;
j. hemarthrosis atau ankilosis sendi;
k. pembengkakan testis;
l. pembengkakan parotis;
m. kelainan sistem sara.
3. Pemeriksaan laboratorium hematologik
Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara bertahap.
Pemeriksaan berikutnya dilakukan dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan terdahulu sehingga lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal setiap kasus anemia.
Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemia dan
bentuk morfologi anemia tersebut.
Pemeriksaan ini meliputi:
i. Kadar hemoglobin
ii. Indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC). Dengan
perkembangan electronic counting di bidang hematologi maka
hasil Hb, WBC (darah putih) dan PLT (trombosit) serta indeks
eritrosit dapat diketahui sekaligus. Dengan pemeriksaan yang
baru ini maka dapat juga diketahui RDW (red cell distribution
width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah merah.
iii. Apusan darah tepi

Gambar 1. Beberapa variasi dalam ukuran (anisositosis) dan bentuk


(poikilositosis) yang lebih sering dijumpai (A.V Hoffbrand dan P. A. H Moss,
2013)
b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah:
i. laju endap darah;
ii. hitung diferensial;
iii. hitung retikulosit.
c. Pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan ini harus dikerjakan pada
sebagian besar kasus anemia untuk menegakkan diagnosis definitif
meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan
pemeriksaan sumsum tulang.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dilakukan jika
telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah
untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan
tersebut antara lain:
i. anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferin,
dan feritin serum;
ii. anemia megaloblastik: asam folat darah/eritrosit, vitamin B12;
iii. anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes coombs, elektroforesis
Hb;
iv. anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.
4. Pemeriksaan laboratorium nonhematologik: pemeriksaan-pemeriksaan
yang perlu dilakukan antara lain:
a. faal ginjal;
b. faal endokrin;
c. asam urat;
d. faal hati;
e. biakan kuman;
f. dan lain-lain.
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti
gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hipotiroidisme. Ada juga
kasus anemia yang disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai
hiperurisemia, seperti mieloma multipel. Pada kasus anemia yang disertai
sepsis, seperti pada anemia aplastik diperlukan kultur darah.
5. Pemeriksaan penunjang lain
Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a. biopsi kelenjar dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
b. radiologi: torak, bone survey, USG, skening, limfangiografi
c. pemeriksaan sitogenetik
d. pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain reaction,
FISH = fluorescence in situ hybridization, dan lain-lain).
STRATEGI DIAGNOSIS KASUS ANEMIA
Untuk menegakkan diagnosis anemia harus dilalui 3 langkah, yaitu:
1. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia
2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai
3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut
Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan:
1. Pendekatan klinik;
2. Pendekatan laboratorik;
3. Pendekatan epidemiologik.
Di bawah ini merupakan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan
pemeriksaan laboratorium (Gambar 2-5).

Anemia

Apusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

Anemia hipokromik Anemia normositik Anemia makrositer


mikrositer normositer

Gambar 2. Algoritma pendekatan diagnostik anemia


Anemia hipokromik mikrositer

Besi serum

Menurun Normal

TIBC ↑↑ TIBC ↓↓ Feritin normal


Feritin ↓↓ Feritin N/↓

Elektroforesis Hb Ring
Besi sumsum Besi sumsum sideroblast
tulang (-) tulang (+) dalam sumsum
Hb A2 ↑ tulang
HbF ↑
Anemia defisiensi Anemia akibat
besi Penyakit kronik
Thalassemia Anemia sideroblastik

Gambar 3. Algoritma pendekatan diagnostik penderita dengan anemia


hipokromik mikrositer
Anemia normokromik normositer

Retikulosit

Meningkat Normal/menurun

Tanda hemolisis Riwayat Sumsum tulang


(+) perdarahan akut
Hipo Infiltrasi Normal
plastik
Tes coomb
Anemia Limfoma faal hati
Aplastik kanker faal ginjal
faal tiroid
(-) (+) penyakit
Anemia kronis
mieloplastik
Riwayat AIHA Anemia pada:
keluarga - GGK
(+) - Penyakit hati
Anemia pasca kronik
perdarahan akut Tumor -Hipotiroid
Ensimopati ganas
Membranopati hematologi (leukimia,
Pada hemoglobinopati A. Mikrongiopati mieloma)
Obat
Parasit
Anemia pada leukimia akut/
Peny. Mieloma

Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnostik anemia normokromik normositer


Anemia makrositer

Retikulosit

Meningkat Normal/menurun

Riwayat perdarahan akut Sumsum tulang

Anemia pasca- Megaloblastik non-megaloblastik


perdarahan akut

Anemia def. B12/asam folat B12 serum ↓ Asam folat ↓ Faal tiroid
dalam terapi Faal hati
Displastik
Anemia def. B12 Anemia def.
asam folat

Anemia pada
hipotiroidi
Anemia pada peny.
hati kronik

Sindroma
mielodisplastk

Gambar 5. Algoritma pendekatan diagnostik anemia makrositer


PRINSIP TERAPI
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan
2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
1. Terapi gawat darurat
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia
3. Terapi kausal
4. Terapi ex juvantivus
1. Terapi untuk mengatasi keadaan gawat darurat.
Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat
anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan
akut yang disertai gangguan hemodinamik. Pada kasus anemia dengan payah
jantung atau ancaman payah jantung maka harus segera diberikan terapi darurat
dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan (packed red cell) untuk
mencegah perburukan payah jantung tersebut. Dalam keadaan demikian, spesimen
untuk pemeriksaan yang dipengaruhi oleh transfusi harus diambil terlebih dahulu,
seperti apusan darah tepi, bahan pemerikssan besi serum, dan lain-lain.
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia.
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya, preparat besi
untuk anemia defisiensi besi. Pengobatan untuk anemia defisiensi besi: 1) besi
per-oral: sediaan terbaik adalah sulfas ferofus yang murah, mengandung 67 mg
besi dalam setiap tablet 200 mg dan diberikan pada keadaan perut kosong dalam
dosis yang berjarak sedikitnya 6 jam. Terapi ini diberikan cukup lama biasanya
sekitar 6 bulan. Kadar hemoglobin harus meningkat dengan kecepatan 2g/dL tiap
3 minggu. 2) besi parenteral: ferri hidroksida-sukrosa diberikan melalui injeksi
intravena lambat atau infus, biasanya 200 mg besi dalam tiap infusan. Besi
dekstran dapat diberikan sebagai injeksi intravena lambat atau infus baik dalam
dosis-dosis tunggal kecil atau sebagai infus dosis total yang diberikan dalam satu
hari. Pada anemia defisiensi asam folat diberikan asam folat per-oral dengan dosis
5 mg/hari selama 4 bulan.
3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar
Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik. Jika
tidak, anemia akan kambuh kembali. Misalnya, anemia defisiensi besi yang
disebabkan oleh infeksi cacing tambang harus diberikan obat cacing tambang.
4. Terapi ex juvantivus
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika tidak
tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini
penderita harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respon yang baik terapi
diteruskan, tetapi jika tidak terdapat respon maka harus dilakukan evaluasi
kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta I, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Bab Hematologi dalam
Subbab Pendekatan terhadap Pasien Anemia, ed. 4., hal: 2575-2579.
Jakarta: Interna Publishing.
Bakta I, M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas., hal: 11-25. Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A, V dan Moss P, A, H. 2013. Kapita Selekta Hematologi, ed. 6., hal:
21-41, 63. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai