Anda di halaman 1dari 16

Pengelolaan Pasien dengan Adiksi

Opioid
Aulannisa Handayani
H1A013010
Pendahuluan
Analgetik :
Analgetik non narkotik (non-opioid).
Analgetik narkotik (opioid) merupakan
kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium dan berfungsi sebagai penghilang rasa
nyeri.
Analgetik opioid dibedakan menjadi tiga
kelompok berdasarkan struktur kimianya,
yakni :
Alkaloid opium (morfin dan kodein)
Derivate semisintetik (heroin dan hidromorfin)
Derivat sintetik (fenilpiperidin, morfinans,
propionanilides, dan tramadol).
Cont
Adiksi
merupakan suatu gangguan yang bersifat
kronis dan kumat-kumatan ditandai dengan
perbuatan kompulsif yang berulang oleh
seseorang untuk memuaskan diri pada
aktivitas tertentu.
Adapaun tiga mekanisme obat-obatan
tersebut meliputi :
1. agonis, yang mengaktifkan reseptor opioid;
2. agonis parsial, yang juga mengaktifkan reseptor
opioid tetapi menghasilkan respon yang lebih
kecil; dan
3. antagonis, yang memblokir reseptor dan
mengganggu kerja dari opioid.3,5
Tinjauan Pustaka
A. Opioid
Peptida endogen dan reseptor opioid
Analgetik opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya pada Sistaem Saraf
Pusat (SSP) yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Istilah umum yang digunakan untuk senyawa endogen
tersebut ialah peptida endogen. Terdapat tiga jenis peptida endogen, yaitu :
endorphin, metionin-enkefalin (met-enkefalin), leusin-enkefalin (leuenkefalin),
dan dinorfin.6
Terdapat tiga jenis reseptor utama pada opioid, yaitu Mu, delta, dan kappa. Ketiga
reseptor tersebut berpasangan dengan protein G. 1
. Mu

Reseptor ini memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi


napas, dan berkurangnya motilitas saluran cerna. 1
. Delta

Reseptor ini memiliki peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan dan


diduga memperkuat reseptor Mu. 1
. Kappa

Reseptor ini diduga memperantarai analgesik, sedasi serta depresi napas yang
tidak sekuat agonis Mu.1
Farmakodinamik6
Pada tingkat molekuler, reseptor opioid merupakan bagian
dari protein G terkopel. Opioid memiliki 2 efek pada saraf :
1. Opioid menutup kanal Ca2+ pada saraf presinaptik
sehingga menurunkan pembebasan transmitter,
2. Pembukaan kanal K+ sehingga menyebabkan
hiperpolarisasi dan menghambat neuron pascasinap.
Kebanyakan opioid analgetik bekerja terutama pada Mu
reseptor. Ketiga reseptor opioid banyak ditemukan di
kornu posterior medulla spinalis. Reseptor-reseptor ini
terdapat dalam neuron penghantar nyeri di medulla
spinallis dan di aferen primer. Agonis opiod menghambat
pembebasan transmitter eksitatorik dari aferen primer
penghantar rasa nyeri dan juga di medulla spinalis.
Farmakokinetik1,6,7
Absorbsi
Opioid diabsorbsi dengan baik pada pemberian subkutan,
intramuscular, dan oral. Jika melalui metabolisme lintas
pertama (seperti morfin), maka pada dosis oral perlu
diberikan melebihi dosis parenteral agar menghasilkan efek
terapeutik. Akibat perbedaan metabolism tingkat pertama
tiap orang berbeda-beda, maka dosis oral untuk masing-
masing individu sulit diperkirakan.
Distribusi
Ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan tergantung
dari faktor fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid
terikat pada protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas,
senyawa ini banyak menumpuk di berbagai jaringan yang
perfusinya tinggi, seperti otak, paru, hati, ginjal, dan limpa.
Metabolisme
Metabolisme opioid terjadi terutama di hati. Terdapat 2 fase
metabolisme opioid, yakni:
1. fase 1 metabolisme (reaksi modifikasi)
Fase 1 metabolisme biasanya melibatkan enzim sitokrom P450
(CYP). Jenis obat-obatan yang melalui fase 1 metabolisme antara
lain fentanyl, oxycodon, dan tramadol.
2. fase 2 metabolisme (reaksi konjugasi).
fase 2 metabolisme berkonjugasi dengan senyawa yang bersifat
hidrofilik, seperti asam glukuronat, sulfat, glisin, atau glutathione.
Hal terpenting pada fase 2 adalah glukuronidasi, yakni
pengkatalisasi oleh enzim glusuronosiltransferase uridin difosfat
(UGT). Glukuronidasi menghasilkan molekul yang sangat hidrofilik,
oleh karena itu mudah dikeluarkan. Proses metabolisme berakhir
ketika molekul yang cukup hidrofilik dibuang dari tubuh. obat-
obatan yang melalui fase 2 metabolisme antara lain morfin,
oximorphone, dan hidromorphone.
Ekskresi
Hasil metabolit opioid terutama dieksresi melalui ginjal.

B.Efek opioid pada sistem organ6


. Efek pada SSP
. Efek-efek analgetik opioid pada SSP antara lain : analgesia, euphoria, sedasi, dan depresi
pernapasan. Pasien pengguna opioid secara intravena dapat mengalami sensai melayang
disertai penurunan ansietas dan distress. Selain itu, efek opioid sering disertai dengan
timbulnya rasa mengantuk dan penurunan kesadaran. Semua analgetik opioid dapat
menimbulajn depresi pernapasan yang nyata melalui mekanismenya di batang otak.
. Efek perifer

Efek-efek analgetik opioid di perifer antara lain :


. Sistem kardiovaskular

Pada umumnya opioid tidak memiliki efek secara langsung pada jantung. Biasanya dapat
terjadi bradikardi dan hipotensi.
. Saluran cerna

Salah satu efek opioid pada saluran cerna yakni konstipasi.


. Ginjal

Fungsi ginjal ditekan oleh opioid akibat terjadinya penurunan aliran darah ke ginjal. Selain
itu, opioid Mu terbukti memiliki efek antidiuretik pada manusia. Namun, hal tersebut masih
menjadi perdebatan.
Adiksi Opioid
Pada dasarnya adiksi opioid melibatkan 3 hal berikut :
1. habituasi, yakni kondisi dimana pasien mengalami
perubahan psikis emosional sehingga pasien akan merasa
ketagihan akan morfin.
2. ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan morfin akibat faal
dan biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa
mengkonsumsi morfin.
3. adanya toleransi. Akibat pemberian opioid secara berulang
dalam dosis terapi secara terus menerus, maka akan terjadi
penurunan efektifitas, yakni toleransi. Toleransi ialah suatu
kondisi dimana pasien membutuhkan dosis yang lebih
besar dari sebelumnya untuk memperoleh efek yang sama.
Mekanisme timbulnya toleransi dan ketergantungan fisik
belum dipahami sepenuhnya. 1,6
Pengelolaan pasien adiksi opioid8,9
Terapi ketergantungan opioid yang efektif
menurut WHO (2003) adalah terapi substitusi.
Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis
opioid (metadon), antagonis opioid
(naltrekson) dan parsial agonis opioid
(buprenorfin).
Metadon
Metadone merupakan sintetis opioid agonis reseptor Mu. Dalam
penatalaksanaan adiksi opioid, methadone tersedia dalam bentuk
cair, tablet, dan tablet dispersible. Metadone dapat diserap secara
cepat melalui terapi oral dengan bioavailabilitas 70-80%.
Methadone juga terdistribusi di hati, usus halus, paru-paru, otot,
dan otak. Metadon dimetabolisme di hepar oleh CYP450 serta
diekskresikan melalui ginjal dan jalur fekal.
Metadone dapat menghilangkan efek withdrawal pada psien yang
mengalami ketergantungan opioid. Metadon hidroklorida tersedia
dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. Waktu paruh sangat
bervariasi, mulai 8-59 jam. Dosis awal yang khas adalah 20-30 mg
sekali sehari dan tidak boleh melebihi 30 mg; Dosis ini biasanya
cukup untuk menekan gejala penarikan. Rentang dosis
pemeliharaan adalah 80-120 mg per hari, dengan penyesuaian
dosis yang dibuat lebih minggu pertama berdasarkan gejala
penarikan.
Buprenorfin
Buprenorfin merupakan opioid semi sintetik agonis parsial yang
bekerja pada reseptor delta dan kappa. Buprenorfin adalah parsial
agonis mu-reseptor dan antagonis pada reseptor kappa.
Buprenorfin memiliki afinitas tinggi untuk mu-reseptor Buprenorfin
memiliki mekanisme aksi yang serupa dengan methadone. Dalam
terapi adiksi opioid, buprenorfin diberikan secara sublingual berupa
tablet. Buprenorfin mengalami metabolisme dan bioavailabilitas
yang rendah.yakni 50%. Setelah pemberian sublingual, kadar
puncak plasma dicapai dalam waktu 1-3 jam. Onset kerja terlihat
dalam waktu 30 sampai 60 menit, dan efek puncak antara 90 dan
100 menit. Sekitar dua-pertiga dari buprenorfin dihilangkan dalam
feses, sepertiga sisanya diekskresikan dalam urin. Buprenorfin
tersedia sebagai tablet sublingual 2 mg dan 8 mg. Dosis
buprenorphine pada pasien adiksi opioid adalah 2-32 mg per hari,
dengan dosis rata-rata 16 mg, Efek samping yang paling umum
termasuk sembelit dan sakit kepala nonspesifik.
Naltrekson
Naltrekson merupakan semi sintetik Mu dan kappa
antagonis opioid reseptor. Dalam pengobatan adiksi opioid,
naltrekson diberikan baik secara oral maupun
intramuskular. pada pemberian oral, naltrekson diabsorbsi
secara cepat dan memiliki bioavailabilitas kurang dari
50%. Naltrekson memiliki kemampuan mengikat protein
yang rendah.kada puncak plasma setelah pemberian oral
yakni 4 jam dan dieliminasi sekitar 9 jam. Naltrekson
memiliki efektivitas yang lebih rendah dibandingan dengan
methadone maupun buprenorfin. Oleh karena itu,
naltrekson dapat menimbulkan efek withdrawal pada
pasien dengan ketergantungan fisik pada adiksi opioid.
Dosis naltrexon pada pasien adiksi opioid adalah 50-100
mg per hari diberikan secara peroral.
Penutup
Banyak obat-obatan yang beredar di pasar Indonesia
untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
tersebut yang biasa disebut dengan analgetik. Obat
analgetik terbagi menjadi analgetik narkotik (opioid) dan
obat analgesik non narkotik (non-opioid). Analgetik opioid
merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium dan berfungsi sebagai penghilang rasa nyeri. Pada
dasarnya adiksi opioid melibatkan 3 hal berikut : (1)
habituasi, (2) ketergantungan fisik (3) adanya toleransi.
Adapun terapi yang dilakukan untuk ketergantungan
opioid yang efektif menurut WHO (2003) adalah terapi
substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis
opioid (metadon), antagonis opioid (naltrekson) dan
parsial agonis opioid (buprenorfin).
Daftar Pustaka
Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2012.
Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks; 2010.
National Institute of Drug Abuse. Prescription Opioid and Heroin Abuse. 2014.
Available from:
https://www.drugabuse.gov/about-nida/legislative-activities/testimony-to-congres
s/2016/americas-addiction-to-opioids-heroin-prescription-drug-abuse
Depkes RI. Buletin dan Jendela Informasi Kesehatan. 2014.
Soetjipto. Berbagai Macam Adiksi dan Penatalaksanaannya. Indones. Psychol. J.
[Internet]. 2007;23:8491. Available from:
http://www.anima.ubaya.ac.id/class/openpdf.php?file=1371792039.pdf.
Katzung, B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik. 10th Ed. Jakarta : EGC; 2012
Smith HS. Opioid Metabolism. Mayo Clin. [Internet]. 2009;84:61324. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704133/#!po=58.5714
Bart, G. Maintenance Medication for Opiate Addiction : The foundation of
Recovery. Journal Addict Dis. 2012;31:207-225. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3411273/pdf/nihms390074.pdf
Nicholls L, Bragaw L, Ruetsch C. Opioid Treatment and Guidlines. J Manag Care
Pharm [Internet]. 2010;16. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20146550

Anda mungkin juga menyukai