Anda di halaman 1dari 53

Farmakologi

Analgetik
NAMA :
NIM :
Pendahuluan

Analgesik diartikan sebagai obat untuk meredakan rasa nyeri


tanpa mengakibatkan hilangnya kesadaran. Secara umum
analgesik dibagi dalam dua golongan,
yaitu non-narkotik (non-opioid) dan narkotik (opioid)
01
OPIOID
Opioid terbagi menjadi dua golongan
yaitu (1) opioid golongan sintetik
yang tidak menggunakan alkaloid
opiat alamani sama sekali dan (2)
opioid golongan semi sintetik
merupakan hasil modifikasi struktur
kimia alkaloid opiate alami.
Mekanisme Kerja Opioid

Reseptor opioid adalah reseptor G-protein coupled


yang dapat ditemukan dalam berbagai sel dan
jaringan tubuh manusia. Respon senyawa opioid
bergantung pada ikatan homomerik dan heteromerik
antara reseptor opioid dan non-opioid.
Mekanisme Kerja Opioid

1. Interaksi opioid dengan susunan reseptor G-


protein coupled mampu menghentikan
pembukaan kanal ion kalsium tipe N- dan P/Q di
nukleus traktus solitarius dan mengaktivasi
pembukaan kanal kalium type T di ganglion
radiks dorsalis.
Mekanisme Kerja Opioid

2. Interaksi dengan reseptor G-protein coupled juga


menyebabkan hambatan pada adenylyl cyclase
yang berdampak pada penurunan proses
sintesis camp sehingga kadarnya di intraseluler
menjadi jauh berkurang.
Mekanisme Kerja Opioid

Melalui dua proses kerja tersebut, depolarisasi pada


neuron dan pelepasan neurotransmiter menjadi
terhambat. Akibatnya, hantaran sinyak nyeri akan
terhambat dan rasa nyeri menjadi berkurang atau
hilang
Reseptor Opioid

Reseptor opioid tersebar dalam berbagai sel


dan jaringan didalam tubuh, namun sebagian
besar dapat ditemukan pada sistem saraf.

Reseptor opioid terdapat pada area abu


periakuaduktal, lokus seruleus, dan rostal
ventromedial medulla dalam otak. Sedangkan
pada medula spinalis, reseptor opioid berada
di interneuron dan saraf aferen primer kornu
dorsalis.
Reseptor Opioid

Reseptor opioid diluar sistem saraf pusat


dapat ditemukan pada sel imun maupun saraf
sensorik perifer.

Pembagian opioid juga dapat dilakukan


berdasarkan sifat interaksi yang terjadi, yaitu:
Agonis Antagonis
Berinteraksi dengan reseptor dan Berinteraksi dengan reseptor untuk
memberikan efek maksimal dari mencegah agonis berikatan dengan
reseptor tersebut. reseptor tersebut.

Agonis Antagonis Agonis Parsial


Berinteraksi dgn beberapa reseptor Berikatan dengan reseptor namun
sekaligus  menghasilkan efek tidak memberikan efek maksimal dari
agonis pada satu reseptor dan efek reseptor tersebut
antagonis pada reseptor lainnya.
Absorpsi

Ukuran dan bentuk, tingkat


kelarutan dalam lemak, serta
derajat ionisasi obat akan
menentukan jumlah opioid yang
diserap tubuh pada setiap rute
pemberian obat. Secara umum,
pemberian opioid dapat dilakukan
secara :
Absorpsi

1. Oral
2. Transdermal
3. Subkutan
4. Intravena
5. Intramuskular
6. Neuraksial
Absorpsi

Karakteristik kimia jenis opioid, seperti kelarutan dalam air


dan minyak, akan memengaruhi pilihan opioid yang dapat
diberikan kepada pasien.

Hidromorfon, metadon, petidin, fentanil, dan sufentanil dapat


diberikan secara epidural atau intratekal, sedangkan
remifentanil tidak dapat diberikan secara intraspinal karena
dapat menyebabkan paralisis motorik sementara akibat
kandungan glisin yang terkandung di dalalmnya.
Absorpsi

Kateter epidural atau intratekal dapat ditempatkan secara


perkutaneus (tunneled epidural catheter) atau diimplan untuk
memberikan efek analgesia yang lebih lama, dihubungkan dengan
pompa eksternal untuk pasien rawat jalan.

Sistem implant diutamakan bagi pasien dengan angka harapan hidup


lebih lama, sedangkan tunneled epidural catheters untuk pasien
dengan harapan hidup yang hanya beberapa minggu.

Masalah yang paling sering ditemukan berhubungan dengan


pemberian opioid intratekal adalah toleransi.
Distribusi
Untuk mencapai proses distribusi, obat harus dapat berdifusi
dengan bebas dan meninggalkan aliran sirkulasi. Proses
difusi dapat berjalan dengan baik bila obat tidak terionisasi
dan tidak berikatan dengan yang lainnya. Mula kerja obat
yang cepat merupakan tanda bahwa proses difusi obat
tersebut berjalan baik.
1  2
Fase Awal Fase Lanjutan
Terdistribusi pada jaringan atau Terdistribusi pada jaringan atau
system organ yang memiliki system organ yang memiliki perfusi
perfusi tinggi (jantung, hati, ginjal) rendah (otot, lemak, kulit)

Walaupun proses distribusi yang baik tampak bergantung pada kondisi


perfusi yang tinggi, hal tersebut tidak selalu demikian. Dengan jumlah
volume jaringan yang besar, walaupun jaringan tersebut bukan perfusi tinggi,
namun dapat memiliki volume distribusi yang tinggi.
Distribusi
Setiap jenis opioid memiliki waktu paruh yang berbeda pada
plasma. Pemberian opioid titrasi dengan waktu paruh
Panjang akan mencapai efek optimal obat tersebut dalam
waktu yang cukup lama (levorphanol), sedangkan pada
opioid dengan waktu paruh pendek dapat mencapai efek
optimal obatnya dalam waktu singkat (morfin dan
hidromorfon).
Distribusi

Jenis opioid dengan waktu paruh lama dan disertai metabolit


aktif dapat terakumulasi jika diberikan dalam jangka waktu
yang cukup lama, seperti norpropoksifen dan normeperidine.
Metabolisme
Untuk dapat diekskresik melalui ginjal, opioid akan mengalami proses
konjugasi sehingga dapat diubah menjadi metabolit polar.

Hal yang berperan penting pada proses konjugasi tesebut adalah UGT
(uridine 5-disphosphate-glucuronyltransferase), dimana enzim tersebut
akan membantu proses opioid dengan kelompok hidroksil.

Dengan bantuan asam glukuronida, opioid glukuronida akan terbentuk dan


menjadi dapat dibuang melalui ginjal.
Metabolisme

Proses metabolisme Sebagian opioid juga dapat dibantu oleh


sitokrom P-450, CYP3A4, dan CYP2D6 dengan hasil akhir
berupa metabolit yang disertai perubahan aktivitas (lebih besar
atau lebih kecil).
Ekskresi
Sebagian besar proses ekskresi obat golongan opioid
dibantu oleh ginjal dan Sebagian lainnya juga diekskresikan
melalui cairan empedu. Metabolit polar hasil metabolism
opioid akan diekskresikan melalui ginjal, sedangkan
konjugat glukuronida yang melalui sirkulasi enterohepatic
akan diekskresikan pada cairan empedu.
Dosis Ekuinalgesik

Dalam melakukan pemberian jenis opioid, hal paling utama yang harus
dipertimbangkan adalah untuk mencapai efek analgesia optimal dengan
toksisitas paling rendah. Dalam keadaan tertentu, rute pemberian opioid
dapat diganti. Kondisi seperti respond efek analgesia yang kurang
optimal, efek samping yang berlebihan, kebutuhan dosis yang
meningkat, dan disfagia dapat mengubah rute pemberian yang telah
ditetapkan sebelumnya.

Untuk memudahkan klinis dalam mempertimbangkan penggantian jenis


optioid tersebut. Terdapat tabel ekuinalgesik yang berfungsi sebagai
panduan untuk memudahakan penggantian jenis opioid berdasarkan
kebutuhan pasien.
Interaksi Obat Opioid Dengan Obat Anestesi

1. Sedatif/hipnotik
Dosis induksi efeketif midazolam dapat berkurang akibat alfentanil
melalui perubahan kurva dosis-responds dari midazolam menjadi
untuk efek antinosiseptif, interaksi kedua obat ini tidak signifika.

Dosis barbiturate perlu di kurangi jika diberikan bersamaan dengan


opioid karena dapat menimbulkan hipotensi secara signifikan. Hal
tersebut dapat terjadi karena venodilatasi, penurunanvolume saat
pengisian jantung, depresi otot jantung, dan penurunan saraf
simpatetik.
Interaksi Obat Opioid Dengan Obat Anestesi

Bila opioid diberikan Bersama dengan benzodazepin dapat


menyebabkan penurunan tekanan darah, penurunan indeks kardiak,
penurunan laju nadi, dan terjadi peningkatan restensi sistemik. Dalam
hal ini, kombinasi antara kedua zat tersebut masih tergolong sinergis.

Hipotensi sedang berat sebelum intubasi dapat terjadi bila induksi


anestesi dilakukan dengan pemberian propofol secara bolus 2-
3,5mg/kg. Apabila diberikan penambahan fentanyl 2-4mg/Kg, efek
penurunan tekanan darah dapat terjadi secara signifikan. Dalam
beberapa kasus tertentu, pemberian opioid dengan propofol juga dapat
menurunkan tingkat kesadaran pasien dan respons terhadap stimulus
nyeri menjadi hilang.
Interaksi Obat Opioid Dengan Obat Anestesi

2. Obat anestesi inhalasi


Pemberian opioid dengan N2O tidak dapat menimbulkan efek
sinergistik ataupun aditif, namun dapat meningkatkan efek
amnesia serta analgesia selama intrabedah walaupun tidak
signifikan. Kombinasi zat volatile dann opioid dilakukan selama
operasi jantung, tekanan arteri rerata hanya mengalami
penurunan minimal yang tidak signifikan disertai cardiax output
yang jauh lebih stabil.
Efek Samping Opioid

01 Efek Sedatif Hipnotik

02 Efek Epileptogenik

03 Depresi Napas
Efek Samping Opioid

04 Efek Terhadap Pupil

05 Kaku Otot

06 Mual dan Muntah


Efek Samping Opioid

07 Gangguan pada T. Gastrointestinal dan T.


Urinarius

08 Gangguan pada kardiovaskular


Toleransi
● Paisien dengan toleransi terhadap opioid akan memerlukan
penyesuaian dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek
analgesia yang diharapkan. Hal tersebut dapat terjadi karena
downregulation dari reseptor opioid disertai upregulation dari
system cAMP.

● Ketergantungan fisik terjadi pada seluruh pasien yang


mendapatkan opioid dengan dosis besar dalam jangka
waktu panjang. Manifestasi ketergantungan fisik muncul
pada withdrawal opioid, baik pemberhentian mendadak atau
penurunan mendadak dosisi yang signifikan.

● Fenomena withdrawal dari opioid dapat dipicu dengan


pemberian antagonis opioid.
02
NON-OPIOID
Secara tunggal, analgesic non-
opioid dapat bermanfaat untuk
pasien rawat jalan, pasien bedah
gigi, dan pasien bedah minor.
Kombinasi dengan opioid dapat
digunakan untuk pembedahan besar
seperti laparotomi, torakotomi, dan
lain-lain.
Asetaminofen (Parasetamol)

Merupakan analgesik oral dan obat antipiretik yang


berkerja dengan menghambat sintesis prostaglandin,
namun bukan merupakan antiinflamasi yang baik.

Asetaminofen memiliki efek samping hepatotoksik


pada dosisi tinggi.
Asetaminofen (Parasetamol)

Pemberian dosis asetaminofen berkisar 325-650 mg


setiap 4-6 jam, namun dosis hariannya tidak boleh
melebihi 4000 mg atau 2000 mg pada alkoholik
kronik.

Rekomendasi dosis maksimum harian adalah 2600


mg dan menurunkan dosis tunggal dari 1000 mg
menjadi 650 mg.
Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (NSAID)

• NSAID menghambat sintesis prostaglandin melalui inhibisi enzim


yang memediasi biokonversi asam arakidonat, yaitu
cyclooxygenase (COX). Prostaglandin menyensitisasi dan
memperkuat input nosiseptif.

• Blokade sintesis prostaglandin menghasilkan efek analgetic,


antipiretik, dan anti-inflamasi yang merupakan karakteristik
NSAID. Setidaknya ada dua jenis COX yang telah dikenal yaitu
COX-1 dan COX-2 (coxibs).
Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (NSAID)

• Semua analgesic oran non-opioid diabsorsi secara baik di saluran


cerna. Karena Sebagian besar agen ini sangat terikat dengan
protein (>80%), obat dapat menggeser obat lain yang terikat
dengan albumin, seperti warfarin.

• Semua obat mengalami metabolism hepatic dan dieksresi melalui


ginjal. Dosis harus dikurangi atau diganti dengan obat-obatan
alternatif lainya pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal.
Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (NSAID)

• Efek samping yang paling umum dari NSAID adalah sakit perut,
mulas, mual, dan dyspepsia. Faktor risiko terjadinya komplikasi
saluran cerna akibat NSAID meliputi pemberian dosis tinggi, usia
yang terlalu tua, infeksi Helicobacter pylori, riwayat terjadinya
ulkus lambung, dan penggunaan secara berlebih obat aspirin,
antikoagulan, atau kortikosteroid.

• Oleh karena itu, pasien dengan fator risiko saluran cerna


sebaiknya diberikan terapi COX-2 selektif atau NSAID non-selektif
yang disertai terapi peelindungan pada saluran cerna.
Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (NSAID)

• NSAID dapat memperberat spasme bronkus pada pasien dengan


polip nasal, thinitis dan asma, NSAID tidak disarankan untuk
digunakan pada anak-anak dengan varisela atau infeksi influenza
karena dapat memicu terjadinya sindrom reye. NSAID dapat
mennyebabkan insufiensi ginjal akut dan nenkrosis papil ginjal,
khususnya pada pasien yang memiliki disfungsi ginjal.
Antidepresan

Golongan obat yang sangat berguna


untuk mengatasi nyeri neuropati. Efek
analgetikdari obat ini didapatkan pada
dosis yang lebih kecil dari dosis yang
dibutuhkan untuk menghasilkan
antidepresannya.
Antidepresan Trisiklik

Antidepresan trisiklik dapat


menghasilkan efek anti-inflamasi yang
serupa dengan anestetik local karena
kemiripan struktur kimia yang dimilikinya.
Antidepresan Trisiklik

Efek samping dari antidepresan trisiklik


sering bermanifestasi sebagai efek
antikolinergik, efek kardiovaskular, dan
efek system saraf pusat. Efek
antikolinergik dari obat ini akan tampak
lebih jelas, terutama pada penggunaan
dengan dosis tinggi.
Serotonin And Norepinephrine Reuptake
Inhibitor (SNRI)

Kontraindikasi absolut dan relative untuk


penggunaan SNRI meliputi
Serotonin and norephinephrine reuptake
hipersensitivitas, interaksi dengan obat
inhibitors (SNRIs) dapat memebrikan
lain yang bekerja di susunan saraf
keseimbangan yang baik antara
pusat, gangguan liver dan ginjal,
efektivitas analgetik dan efek samping
glaucoma sudut tertutup yang tidak
yang dihasikannya.
terkontrol, serta gagasan untuk bunuh
diri.
Efek samping yang umum terjadi adalah
mual, nyeri kepala, pusing, konstipasi,
insomnia, hiperhidrosis, hot flushes,
muntah, palpitasi, mulut kering dan
hipertensi

Efek Samping SNRI


Antikonvulsan

Obat-obatan antikonvulsan berguna untuk pasien dengan nyeri neuropati,


terutama untuk nyeri yang diakibatkan oleh neuralgia dan neuropati diabetic.
Obat jenis ini berkerja dengan cara memblokade voltage-gated calcium atau
sodium channels serta dapat menyupresi pelepasan neuron spontan yang
memiliki fungsi utama dalam kelainan ini.

Jenis obat yang sering digunakan yaitu fenitoin, carbamazepine, asam


valproate, clonazepam, dan gabapentin.
Terima
kasih

Anda mungkin juga menyukai