Anda di halaman 1dari 12

MODUL DENTAL PHARMACHY

SMALL GROUP DISCUSSION

SELF LEARNING REPORT

“ANALGETIK DAN ANTIINFLAMASI”

Tutor:

Disusun Oleh:

Rizqi Amalia Sunaryono

G1B021017

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN


TEKNOLOGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2022
SKENARIO

Analgetik dan antiinflamasi

1. Definis dan fungsi


2. Farmakokinetik dan Farmakodinamiknya
3. Golongan obat dan mekanisme kerjanya
4. Jenis-jenis obat dan dosisnya
ANALGETIK DAN ANTIINFLAMASI

I. Analgetik
1. Definisi Analgetik
Analgetik adalah obat yang berfungsi sebagai pereda nyeri
jika diberikan pada dosis tertentu yang berupa suatu senyawa kimia
yang dapat menekan fungsi Sistem Saraf Pusat (SSP) secara
selektif pada mekanisme nyeri perifer dan memiliki cara kerja
dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit tanpa
menghilangkan kesadaran (Sipahutar dkk, 2021; Septiani, 2017).
Pemberian obat analgetic ini merupakan salah satu tahapan
tata laksana terhadap nyeri. Secara tidak sadar, kita sering
mengkonsumsi obat analgetic ini misalnya untuk mengurangi rasa
sakit kepala, nyeri otot, sakit perut, dll. Hal ini karena beberapa
jenis obat analgetic terjual bebas di pasaran dan tanpa memerlukan
resep dokter,contohnya adalah paracetamol atau acetaminophen
(Sipahutar dkk, 2021).
Obat yang bersifat antiinflamasi, analgesic, dan antipiretik
disebut dengan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). OAINS
yang berfungsi sebagai analgetic antara lain golongan parasetamol,
golongan salosilat seperti aspirin, golongan fenamat contohnya
asam mefenamat, antalgin, dan golongan turunan asam propionate
seperti ibuprofen. Obat-obatan tersebut merupakan obat kimia
sintetik yang memiliki efek samping jika dikonsumsi dalam dosis
yang berlebih. Efek samping dari obat tersebut diantaranya edema,
anemia, gangguan pencernaan, hipersensitivitas, bahkan bisa
menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (Wardoyo dan Oktarlina,
2019; Hanifa dkk, 2017).
Dari pemaparan diatas artinya beberapa jenis obat analgetic
memang bisa akita peroleh secara bebas tanpa memerlukan resep
dokter,tetapi harus hati-hati dalam penggunaannya agar tidak
menimbulkan efek yang merugikan.
2. Farmakokinetik dan Farmakodinamiknya

A. Farmakokinetik
1.Analgetik non-opioid
Proses farmakokinetik yang terjadi diantaranya adanya
absorbs, distribusi, metabolisme, dan eksresi. Pada analgetic non-
opioid absorbsi atau penyerapan, dapat melalui kulit maupun
secara oral. Contoh penyerapan melalui oral yaitu asam
mefenamat. Asam mefenamat akan diabsorpsi secara cepat pada
traktus gastrointestinal dengan waktu puncak konsentrasi plasma
dicapai dalam 2-4 jam.Selain itu juga ada paracetamol yang
aborbsinya lebih baik jika diberikan secara oral. Untuk distribusi
obat contohnya pada salsilat konsentrasi puncaknya adalah 6%
setelah 5 jam berlangsung. Sedangkan ditribusi asam mefenamat
melalui ikatan dengan protein. 90% Asam mefenamat akan
berikatan dengan albumin. Setelah didistribusikan asam
mefenamat akan dimetabolisme dalam hepar oleh isoenzim
CYP2C9 menjadi 3-hidroksimetil asam mefenamat dan akan
dioksidasi menjadi asam-3-karboksimefenamat. Sedangkan asam
salisilat akan dimetabolisme pada endoplasma dan mitokondria sel
hepar. Keduanya sama-sama akan dieksresikan melalui urin
(Katzung dkk., 2012).
2.Analgetik opioid

a. Absorbsi

Sebagian besar analgetik opioid bagus diserap melalui rute


subkutan, intramuscular, dan oral. Jika penyerapan terjadi secara
oral, maka memerlukan dosis opioid yang lebih besar untuk
mecapai efek terapeutik. Hal ini karena adanya first pass
metabolism pada aliran darah di hepar. Contohnya ada pada
pemberian morfin secara oral. Kodein dan Oksikodon dipercaya
efektif diberikan secara oral karena sedikit yang melalui first pass
metabolism. Rute melalui mukosa oral serta transdermal dapat
memberikan analgesic yang poten dalam hitungan hari (Angkejaya,
2018 ; Katzung dkk, 2012).

b. Distribusi

Penyerapan opioid dalam tubuh memiliki variasi yang


berbeda-beda tergantung jenisnya. Analgetik opioid mampu
meninggalkan kompartemen darah dengan cepat dan menuju organ
yang memiliki perfusi darah yang tinggiseperti otak, paru-paru,
hepar, ginjal, dan limfa (Angkejaya, 2018 ; Katzung dkk, 2012).

c. Metabolisme

Mayoritas analgetik opioid akan diubah ke bentuk


metabolit yang lebih polar dan kemudian disekresikan ke ginjal.
Contohnya morfin yang akan diubah bentuknya menjadi lebih
polar menjadi mofin-6-glukoronid yang mempunyai efek
neuroksitatory yang dimediasi oleh system GABA. Metabolit yang
lebih polar akan sulit tembus ke sawar darah otak dan tidak banyak
berperan menghasilkan efekefek sistem saraf pusat (Angkejaya,
2018 ; Katzung dkk., 2012).

e. Eksresi

Metabolit polar, termasuk konjugat glukuronida analgetik


opioid diekskresikan terutama di urin. Sejumlah kecil obat yang
tidak mengalami perubahan juga dapat ditemukan di urin. Selain
itu, konjugat glukuronida ditemukan di empedu, tetapi sirkulasi
enterohepatik hanya merupakan sebagian kecil dari proses ekskresi
(Angkejaya, 2018 ; Katzung dkk., 2012).

Salah satu contoh analgetik opioid yaitu:

1. Morfin
Adsorbsi morfin dapat melalui subkutan, intramuskular, dan
suntikan IV. Penyerapan morfin oleh saluran gastrointestinal
terjadi secara lambat dan tidak menentu. Meskipun begitu
distribusi morfin terjadi secara cepat termasuk pada janin ibu
hamil. Oleh karena itu saat persalinan tidak diperkenankan
menggunakan analgetik, hal ini karena bayi yang baru lahir dapat
menunjukan ketergantungan fisik terhadap morfin. Morfin bersifat
lipofilik sehingga susah melewati sawar darah. Selanjutnya morfin
akan membentuk morfin-6-glukuronida di hati lalu dieksresikan
melalui urin dan beberapa ada yang ke empedu. Morfin akan
bereaksi selama 4-5 jam jika diberikan secara sistemik.
2. Kodein
Kodein diinjeksikan melalui injeksi intravena, lalu menyebar
secarasistemik dengan cepat. Hal ini ditandaidengan turunnya
konsentrasi kodein dalam darah tiap satuan waktu. Senyawa kodein
yang masuk ke empedu akan berlanjut ke intestinum. Pada
intestinum terdapat mikroflora dan menghasilkan enzim β-
glukuronidase yang menyebabkan metabolit glukoronid
terhidrolisis, sehingga dapat terserap kembali oleh organ tubuh
yang lain dalam bentuk seperti awal. Selanjutnya akan dieksresikan
melalui feses (Wirasuta dkk., 2019).

B. Farmakodinamik
1. Analgetik non-opioid
Golongan analgetik non-opioid bekerja pada sistem perifer dengan cara
menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase (COX)
terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi.

2. Analgetik Opioid
Pada tingkat molekul, reseptor opioid berinteraksi dengan
protein G sehingga pintu saluran ion terpengaruh dan disposisi
Ca2+ intrasel dimodulasi, serta fosforilasi protein diubah. Hal ini
bia menyebabkan kurangnya pelepasan neurotransmiter atau bisa
saja justru terjadi hiperpolarisasi sehingga pembukaan saluran K+
setelah sinaps terhambat (Katzung dkk., 2012)
Efek pada SSP yaitu dapat meringankan rasa nyeri yang
memilikikomponen afektif dan sensory. Seliain itu juga dapat memberikan efek
euforia sehingga stress dan cemas yang dalami pasien berkurang. Selain itu,
kebanyakan pada pasien muda akan merasakan kantuk. Mengantuk: pasien lanjut
usia lebih sering tertidur daripada pasien usia muda (Katzung dkk., 2012)
Efek pada saraf perifer diantaranya kontraksi otot polos empedu sehingga
tejadi kolik empedu,tertekannya fungsi ginjalkarena kurangnya aliran plasma dan
meningkatnya reabsorbsi Na pada tubulus ginjal. Selain itu dilepasnya histamin
perifer sehingga kulit menjadi hangat dan berkeringat (Katzung dkk., 2012).
3. Golongan Obat dan Mekanisme Kerja
Analgetik dibagi menjadi dua yaitu analgetik opioid/narkotik dan analgetik non
opioid/ non-narkotik.
a. Analgetik Opioid
Merupakan suatu golongan analgetik kuat yang penting
dalam terapi nyeri. Golongan opioid ini digunakan pada
penanganan pasien dengan kasus nyeri hebat. Biasanya
digunakan pada pasien kanker dan fraktur. Contoh dari
analgetik opioid yaitu morfin, kodein, oksikodon, heroin
sebagai alkaloid; Fentanyl, Sufentanyl, Petidin sebagai opioid
sintetik (Wardoyo dan Oktarlina, 2019 ; Ankejaya, 2018).
Mekanisme kerjanya reseptor opioid yang ada di
membran persinaps dan postsinaps neuron pada sistem saraf
pusat maupun perifer, akan bergabung dengan protein G
inhibitor, teraktivasinya reseptor akan menyebabkan perubahan
pada intraseluler:
a.Adenilat siklase dihambat dengan mengurangi produksi
adenosin monofosfat siklik intraseluler yang berperan dalam
pengurangan eksitasi neurotransmitter.
b. Ca2+ dan voltage-gated N-type dihambat sehingga dapat
mengurangi eksitasi neurotransmitter.
c.Aktivasi voltage-gated akan memperbaiki saluran K+ yang
membuat sel target terhiperpolarisasi sehingga kurang peka
terhadap impuls depolarisasi.
(Waller dan Sampson, 2018)
Menurut Septiani (2017), terdapat 4 jenis reseptor opioid yaitu:
1) µ (Mu) merupakan analgetik selektif endorphin, agonis
morfin
pendudukannya dapat menyebabkan euforia, depresi napas,
miosis, dan penurunan motilitas saluran cerna.
2) Κ (Kappa) merupakan analgetik selektif dinorfin, spinal,
agonis pentazosin, pendudukkannya menyebabkan ketagihan,
sedasi, miosis, dan depresi napas lebih ringan daripada agons µ.
3) δ (Delta) merupakan analgetik selektif enkefalin, analgesia
sumsum tulang belakang, dan efek emosi.
4) σ (Sigma) merupakan analgetik yang kedudukannya berefek
psikotomimetik dandisforia dan halusinasi.

b. Analgetik non-opioid
Analgetik non-opioid adalah obat-obatan yang tidak
bersifat narkotik, bekerja pada sistem saraf perifer, tidak
bersifat adiktif, dan digunakan pada kasus nyeri ringan hingga
sedang. Analgetik ini merintangi terbentuknya rangsangan pada
reseptor perifer. Efektif untuk mengatasi nyeri tumpul saat sakit
kepala, dissminore, nyeri inflamasi, dll. Cara kerjanya yaitu
dengan menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Obat ini memiliki
efek samping dikarenakan adanya hambatan pada sistem
biosintesis prostaglandin. Biasanya efek samping menyerang
orgam saluran cerna, ginjal, dan hati. Efek sering yang terjadi
yaitu tukak peptik disertai perdarahan lambung yang
mengakibatkan anemia sekunder (Wardoyo dan Oktarlina, 2019
; Septiani, 2017).

4. Jenis-Jenis Obat dan Dosisnya

II. Antiinflamasi
1. Definisi Antiinflamasi

Antiinflamasi merupakan obat yang berfungsi


menghambat pengeluaran mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradiknin, prostaglandin, dan lainnya yang dapat
menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, dan
bengkak. Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) memiliki
struktur molekuler yang berbeda dari steroid. OINS berupa
senyawa kimia turunan dari asam asetat, asam propionat,
pirazol, dan zat-zat lain. Cara kerja OAINS adalah dengan
menghambat kerja enzin siklooksigenase yang berperan
penting pada jalur metabolisme asam arakhidonat menjadi
prostaglandin dan tromboksan. Prostagalandin ini nantinya
memiliki efek anti-trombotik,sedangkan tromboksan akan
memiliki efek pro-trombotik (Zahra dan Carolia, 2017).

2. Farmakokinetik dan Farmakodinamiknya


A. Farmakokinetik

B. Farmakodinamik
3. Golongan Obat dan Mekanisme Kerja
a. Obat antiinflamasi non-steroid
Obat antiinflamasi non-steroid adalah suatu golongan obat yang
memiliki khasial analgetik (pereda nyeri), antipiretik (penurun
panas), dan antiinflamasi. Mekanisme kerja dari obat antiinflamasi
non-steroid (AINS) yang utama yaitu menghambat biosintesis
prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim
siklooksigenase. Enzim siklooksigenase memiliki peranan penting
dalam hal jalur metabolisme asam arakhidonat menjadi mediator
nyeri yakni prostaglandin dan tromboksan. Siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2 merupakan jenis enzim yang termasuk dalam
isoform siklooksigenase yang akan dihambat oleh asam
asetilsalisilat dan AINS. Asam asetilsalisilat memiliki kemampuan
untuk menghambat siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2.
Mekanisme kerja AINS lainnya adalah dengan menghambat
siklooksigenase melalui penghambatan time-independent dari
siklooksigenase yang tergantung dari jenis dan konsentrasi obat
yang digunakan.
porosis, tukak peptik, imunitas yang turun, tekanan intra okular
meningkat, bersifat diabetik, serta atrofi otot dan jaringan lemak.
16
Mekanisme kerja: mineralokortikoid menjaga fungsi ginjal melalui
pengaturan masuknya ion natrium dan keluarnya ion kalium pada
tingkat jaringan. Pada tingkat molekul, hormon akan membentuk
kompleks dengan reseptor yang ada di nukleus ginjal. Kompleks
tersebut menginduksi sintesis RNA dan enzim yang dibutuhkan
dalam mengangkut ion natrium. Lalu, timbullah efek
mineralokortikoid, yaitu meningkatnya ion natrium yang masuk
dan ion kalium yang keluar. Mineralokortikoid berperan dalam
menyembuhkan addison kronis akibat fungsi kelenjar adrenal yang
terganggu. Hormon mineralokortikoid yang dihasilkan di dalam
tubuh, antara lan deoksikortikosteron, aldosteron, dan
fluodrokortison (Putri, 2016).
b. Obat antiinflamasi steroid
obat antiinflamasi steroid merupakan antiinflamasi yang sangat
kuat karena obat-obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim
fosfolipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakhidonat. Apabila
asam arakhidonat tidak terbentuk, maka prostaglandin juga tidak
akan terbentuk. (Nurmilawati, 2019).
Golongan ini juga memiliki efek samping, yaitu anemia, gangguan
ginjal, dan tukak lambung hingga mengalami perdarahan. Menurut
Soleha dkk. (2018), golongan ini biasa disingkat dengan AINS dan
banyak digunakan untuk gejala pada atritis (satu atau lebih
persendian yang meradang dengan disertai bengkak, rasa sakit,
gerakan yang terbatas, dan kaku. Indikasi lainnya, yaitu demam,
migrain, gout, sindroma nyeri miofasial, dismenore, profilaksis
stroke, nyeri perioperatif, dan infark miokard. Mekanisme kerja:
obat AINS bekerja dengan menginhibisi enzim siklooksigenase
yang mempunyai peran dalam metabolisme asam arkhidonat
sebagai katalis dalam proses berubahnya asam arakhidonat menjadi
tromboksan dan prostaglandin. Enzim siklooksigenase ada dua
isoform, yaitu siklooksigenase-1, serta siklooksigenase-2 yang
berstruktur serupa, tetapi sisi samping pada substrate binding
channel siklooksigenase-2 berbeda dengan siklooksigenase-1
(Zahra dan Carolia, 2017)

4. Jenis-Jenis Obat dan Dosisnya

DAFTAR PUSTAKA
Hanifa, W., Isa, M., Armansyah, T. 2017. Potensi Infusa Batang Sernai (Wedelia
biflora) sebagai Analgesik pada Mencit (Mus musculus). Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Veteriner. 1(4): 730.

Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi 12. McGraw Hill. h. 544-552, 636-638.

Nurmilawati. 2019. Uji Efektivitas Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Etanol


Daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.) Secara Oral Terhadap Mencit Putih
(Mus musculus) Jantan. Skripsi. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Sipahutar, LR.B., Ompusunggu, H.E.S., Napitupulu, R.R.J. 2021. Gambaran


Penggunaan Obat Analgetik secara Rasional dalam Swamedikasi pada
Masyarakat PKS Balam, Desa Balai Jaya Km. 31 Kecamatan Balam Sempurna,
Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Nommensen Journal of Medicine. 6(2): 54.

Waller, D.G., Sampson, A.P. 2018. Medical Pharmacology & Therapeutics. 5th
ed. Elsevier. China. p. 267-268.

Wardoyo, A.V., Oktarlina, R.Z. 2019. Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap


Obat Analgesik Pada Swamedikasi Untuk Mengatasi Nyeri Akut. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada. 10(2): 156-158.

Anda mungkin juga menyukai