Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL

BIOMEDIS VI (FARMAKOLOGI)

SKENARIO 2

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III

TUTOR :

dr. Nanda Fadhilah Witris Salamy, M. Si.

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2018
KELOMPOK PENYUSUN

1. Muhammad Jauhan Farhad (6130016003)

2. Johan Wijayanto (6130016008)

3. Ega Widhatama (6130016013)

4. Zakiyyatur Rizkiyyah Husin (6130016018)

5. Dini Putri Anggraeni (6130016023)

6. Muhammad Imamuddin Izzatul Islam (6130016028)

7. Sitti Kubangsinawati Serang (6130016033)

8. Hikmah Shabrina Dinda Izzaty (6130016038)

9. Fajrul Maliki Alhaq (6130016043)

10. Nafisa Aulia Rahmadini (6130016048)

11. Mohammad Ilyas Febri Pitoyo (6130016053)


HALAMAN PENGESAHAN

Lembar tutorial berjudul “SKENARIO 5” telah melalui konsultasi dan disetujui


oleh Tutor Pembimbing

Surabaya, 31 Mei 2018

Tutor Pembimbing,

(dr. Nanda Fadhilah Witris Salamy, M. Si.)

SKENARIO
Nenek Ijah berusia 65 tahun berobat ke klinik dokter umum dengan keluhan batuk
sejak 1 minggu yang lalu. Selain batu nenek Ijah juga mengeluh agak demam dan
nyeri tenggorokan. Pada pemeriksaan didapatkan suhu 37 derajat celcius, tanda
vital lain dbn. Dokter memberikan dosis obat celecoxib kapsul 2×100 mg dan
kodein Tablet 3×20 mg sesudah makan.

Bagaimana farmakologi dari celecoxib dan codein, interaksi obat yang mungkin
timbul, dan pertimbangan penggunaan obat pada lansia?

STEP 1
(Identifikasi Kata Sulit)

1. Celecoxib : obat anti inflamasi NSAID yang menghambat aktivitas


siklooksigenase suatu digunakan dalam pengobatan osteoarthritis dan
reumatoid artritis.

2. Codein : alkaloid narkotik yang diperoleh dari opium dan dibuat dari Marlin
melalui proses metilasi dan digunakan dalam bentuk basa atau garam fosfat
sebagai analgesik opioid.

3. Kapsul : sediaan berupa serbuk yang diisikan dalam cangkang kapsul atau
sediaan cairan setengah padat yang dibungkus dengan kapsul dasar.

STEP II
(Kata Kunci)
1. Celecoxib
2. Codein
3. Interaksi obat
4. Lansia 65 th
5. Keluhan (demam, nyeri tenggorokan dan batuk

STEP III
(Identifikasi Masalah/Pertanyaan)
1. Mengapa dokter memberikan obat celecoxib dan codein sesudah makan?
Karena obat golongan NSAID dapat mengganggu fisiologis dari pencernaan.
2. Bagaimana aspek farmakologi obat colecoxib dan codein?
 Farmakokinetik
a) Absorpsi : derivat morfin (misalnya morfin, heroin, kokain dan
oksikodon) diserap dengan baik dari saluran cerna. Namun banyak
diantara zat-zat ini kecuali godain dan oksikodon mengalami
metabolisme lintas pertama (first pass hepatic metabolism) dan bila
diberikan secara oral dosis nya harus lebih besar daripada dosis
pemberian suntikan (misal morfin dan heroin) tiap-tiap derivat
morfin mempunyai rasio potensi oral parenteral yang tinggi (misal
metadon dan kodein).
b) Distribusi : bergantung pada aliran darah dan kelarutan obat di
dalam jaringan. Zat-zat ini dapat melewati plasenta dengan baik.
Sawar darah otak pada janin dan neonatus juga dapat dilewati oleh
opioid. Bayi yang baru lahir dari ibu yang mendapat (atau yang
menggunakan sendiri) narkotik dalam dosis besar dapat mengalami
depresi pernafasan yang berat. Metabolisme opioid ini umumnya
menghasilkan metabolit yang lebih polar dan sering berupa
konjugasi gugusan hidroksil fenolik dengan asam glukoronat.
c) Ekskresi : terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui N
demetilasi di hepar.
 Farmakodinamika
a) Interaksi obat opioid
Penggunaan opioid dengan sedatif-hipnotik meningkatkan depresi
SSP dan depresi pernapasan. Kombinasi dengan obat antipsikotik
meningkatkan efek sedasi, efek antikolinergik, dan Alfa blocking
cardiac. Penghambat mao kontraindikasi Absolut karena
menginduksi terjadinya koma hiperpireksia dan hipertensi.
b) Intoksikasi obat opioid
Biasa terjadi karena bunuh diri atau pada pecandu yang
menggunakan dosis yang terlalu tinggi.
c) Efek samping obat opioid
 Codein
Efek samping yang ditimbulkan kodein antara lain
mengantuk, mual dan muntah, serta konstipasi. Selain itu, kodein
dapat 14 mengakibatkan ketergantungan seperti layaknya pada obat-
obatan morfin, namun dengan skala yang lebih kecil (Chung, 1995).
 Celecoxib
Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi
lainnya pada seorang penderita, kesempatan untuk mengetahui
apakah penderita rawan efek samping OAINS sangat terbatas.
Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup penderita
setelah mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat
pengobatan. AINS memiliki berbagai efek yang merugikan,
termasuk efeknya pada saluran cerna dan ginjal, namun kejadian
efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada dipasaran.
Perbedaan ini sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS
oleh para dokter. Efek samping AINS yang paling sering terjadi
adalah gangguan saluran cerna Secara klinis, gangguan saluran
cerna (apakah sebagai efek topikal atau sistemik) merupakan efek
samping AINS yang paling penting. Bila yang menjadi
permasalahan adalah efek iritasi langsung pada lambung, dapat
diberikan sediaan oral AINS non-acidic, misalnya derivat naftalen
(nabumetone) atau derivat pyrazolon (metamizol), atau AINS
dengan pKa mendekati netral, misalnya nimesulide, celecoxib dan
rofecoxib. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan
keparahan kerusakan mukosa saluran cerna.
3. Bagaimana cara pemberian dosis obat pada lansia?
Umur 60-70 tahun : 4/5 dosis dewasa
70-80 tahun : 3/4 dosis dewasa
80-90 tahun : 2/3 dosis dewasa
>90 tahun : 1/2 dosis dewasa

STEP IV
(Hipotesis)

Berdasarkan usia dan keluhan pasien yang dirasakan selama seminggu, perlu
diperhatikan dalam pemberian obat pada lansia karena dapat mengganggu sistem
vaskular, sistem pencernaan maupun sistem lainnya.

STEP V
(Mind Mapping)
Lansia 65 tahun

Gejala dan Tanda

Batuk Nyeri tenggorokan

Codein Celecoxib

3×20 mg Dosis obat 2×100 mg

Efek farmakologi

Farmakokinetik Farmakodinamik
a

Absorpsi Distribusi Ekskresi Indikasi obat Intoksikasi Efek samping obat


obat

STEP VI
(Learning Objective)
1. Untuk menjelaskan aspek farmakologi celecoxib dan codein
2. Untuk menjelaskan perhitungan dosis pada lansia
3. Untuk menjelaskan golongan obat analgesic
4. Untuk menjelaskan patofisiologi batuk
5. Untuk menjelaskan alasan rasional memilih obat tersebut

STEP VII
(Hasil Belajar Mandiri)
1. Aspek farmakologi Celecoxib dan Codein

Celecoxib

 Farmakokinetik
a) Absorpsi :

 Peak Plasma Level : sekitar 3 jam setelah dosisi oral.


 Efek Makanan :Peak Plasma Level akan diperlambat dengan 1-2 jam,
apabila dikonsumsi bersamaaan dengan makanan tinggi lemak.
 Pemberian bersama-sama dengan Almunium dan Magnesium ( Antasid)
menurunkan konsentrasi plasma 37% pada Cmax dan 10% AUC.
 Dapat diberikan tanpa tergantung pada waktu makan.

b) Distribusi

Pada manusia sehat, celecoxib terikat dengan protein (97%) dengan rentang
dosis klinikal. Pada studi invitro celecoxib mengikat terutama pada albumin dan
sedikit memperpanjang α1 – acid glycoprotein.Celexocib cenderung tidak mengikat
sel darah merah.

c) Metabolisme.

Celecoxib dimetabolisme terutama melalui cytochrome P450 2C9. Tiga metabolit


utamanya : alkohol,asam karboksilik, Glucoronide terkonjugasi.

d) Ekskresi
 Celecoxib terutama dieleminasi melalui metabolisme hati,dan sisanya (<3%)
tidak diubah dan dibuang melalui urine dan feses.
 Waktu paruh efektif sekitar 11 jam,pada keaadan puasa. Plasma clearence
(CL/F) sekitar 500 mL/menit)

 Farmakodinamik

a) Mekanisme Kerja :

Anti Inflamasi Non Steroid yang menghambat proses inflamasi, analgesik, dan
minimal anti piretik.

Menghambat sintesis prostaglandin terutama dengan menghambat


Cyclooxygenase-2 (COX-2) dan pada manusia tidak menghambat cyclooxygenase-
1 (COX-1) isoenzym.

b) Interaksi Obat

 Umum

Interaksi yang bermakna mungkin dapat terjadi dengan pemberiaan secara


bersama-sama dengan obat –obat yang menghambat P450 2C9. Pada penelitian
invitro dijumpai celexocib tidak menghambat citocrom P450 2C9 , 2C19 atau 3A4.

Penelitian menunjukan celexocib memiliki efek potensiasi dengan fluconazole dan


lithium. Penggunaan bersama NSAIDs memberi kesan berpotensiasi dengan
interaksi dengan furosemid dan ACE inhibitor.Efek farmakologi dan
farmakodinamik celecoxib terhadap glyburide, ketoconazole, methotrexate,
phenytoin, tolbutamide, dan warfarin telah di teliti secar invivo,dan tidak ditemui
interaksi yang berarti.

 Platelet

Pada penelitian, celecoxib dengan dosis tunggal 800 mg dan 2 x 600 mg


selama 7 hari ( lebih besar dari dosis yang dianjurkan) tidak memiliki efek pada
agregasi platelet dan waktu perdarahan. Dengan pembanding (naproxen 2 x 500 mg,
Ibuprofen 3 x 800 mg,Diclofenak 2 x 75 mg) mempunyai efek yang bermakna pada
agregasi dan memperpanjang waktu perdarahan.

c) Kontraindikasi

 Pasien yang diketahui alergi terhadapap Celecoxib.


 Pasien yang menunjukan reaksi alergi terhadap sulfonamid.
 Pasien yang pernah terkena asma, urtikaria, atau reaksi alergi setelah
konsumsi aspirin, atau NSAIDs yang lain.

Codein
Codein adalah obat antitusif opioid. Kodein mempunyai analgesik yang
kurang poten daripada morfin, tetapi mempunyai kemanjuran per-oral yang lebih
tinggi. Kodein memperlihatkan efek antitusif yang baik pada dosis yang tidak
menyebabkan analgesia. Obat ini mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih
rendah daripada morfin dan sangat jarang menimbulkan ketergantungan. Kodein
sering digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau asetaminofen.
 Farmakokinetik
a) Absorpsi
Diabsorspsi dengan baik dan cepat setelah pemberian oral(50%). Onset
kerja oral 30-60 menit, melalui intramuskular 10-30 menit. Untuk kadar puncak
oral mencapai 60-90 menit, dan kadar puncak obat kodein melalui intramuskular
selama 30-60 menit. Untuk durasi obat kodein ini mencapai 4-6 jam. Memanjang
pada geriatri.
b) Distribusi
Di dalam darah kodein berikatan dengan protein plasma sebesar 7%.
c) Metabolisme
Codein di metabolisme di hepar .
d) Ekskresi
Sekitar 3-18% melalui urin dengan bentuk tidak diubah, norkodein dan bentuk
bebas serta morfin terkonjugasi. T1/2  2,5-3,5 jam (Allan et at, 1999)
 Farmakodinamik
Susunan saraf pusat. Efek codein atau morfin terhadap SSP berupa analgesia
dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan oploid lain sudah timbul sejak sebelum
penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur (Mutchler, 1993).
a) Analgesik
Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh
hilangnya fungsi sensorik lain seperti rasa raba, rasa getar, (vibrasi), penglihatan,
dan pendengaran. Pengaruh morfin dan opioid terhadap modalitas nyeri yang tidak
tajam (dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh
morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten.
Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 faktor : morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri, morfin dapat mempengaruhi emosi
artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri dari
talamus, morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang
nyeri meningkat.
Antara nyeri dan efek analgesik morfin dan opioid lain terdapat antagonism
artinya nyeri merupakan antagonis bagi efek analgesic dan efek depresi
napas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian
morfin,maka efek analgesiknya tidak begitu besar. Tetapi bila stimulus
nyeri ditimbulkan setelah efek analgesic morfin mencapai maksimum.
b) Eksitasi
Morfin dan opoid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan
delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah efek
eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex (reflex excitatory level)
SSP.
Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada
kucing morfin menimbulkan mania dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang
dapat berakhir dengan kematian. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila
dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi.
c) Dosis
(1) Dosis sedian tablet codipront : codein anhydrate 30 mg, phenyltoloxamin
10 mg. Codein sirup per 5 ml 11,11 mg, phenyltoloxamine 3,76 mg. Dosis
sediaan tablet codipront cum expectorant : codein 30 mg, phenyltoloxamin
10 mg, guaiphenesin 100 mg. Codein sirup per 5 ml 11,11 mg,
phenyltoloxamin 3,67 mg, guaiphenesin 55,55 mg, thyme fluid extr 55,55
mg. Dosis sediaan tablet coditam : codein phosphate (setara dengan codein
base 30 mg) 38,41 mg, paracetamol 500 mg.
(2) Dosis sediaan dewasa dan anak (Henry, 1986).
Sediaan oral : 0,8 – 1,5 mg/kgBB/dosis tiap 4-6 jam
Intramuskular : 0,8 mg/kgBB/dosis
Sediaan untuk anak : 0,2 mg/kgBB/dosis tiap 4-6 jam
d) Kontra indikasi
Tidak diberikan pada pasien yang menderita hipotensi, hipotiroidisme, asma
dan depresi pernapasan, ibu hamil serta ibu menyusui (Allan et at, 1999).
e) Interakasi obat
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh
fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme
supraaditif ini tidak diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut perubahan dalam
kecepatan biotransformasi opioid atau perubahan pada neurotransmitor yang
berperan dalam kerja opioid. Beberapa derivat fenotiazin meningkatkan efek sedasi,
tetapi dalam saat yang sama bersifat antianalgesik dan meningkatkan jumlah opioid
yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Pemberian dosis kecil amfetamin dan
hidroksizin IM akan meningkatkan efek morfin dengan nyata (Mutchler, 1993).

2. Perhitungan dosis obat pada lansia

Lanjut usia (lansia) pasti mengalami perubahan fisiologis dan biologis


seperti penurunan fungsi organ tubuh dan penurunan kecepatan metabolisme, serta
berkurangnya hormon maunpun perubahan keadaan enzim-enzim didalam tubuh,
sehingga perlu penyesuaian dosis untuk lansia yang dikonversi dari dosis dewasa,
konversi dosis sebagai berikut :
Umur Dosis
60-70 ⅘ dosis dewasa
70-80 ¾ dosis dewasa
80-90 ⅔ dosis dewasa
>90 ½ dosis dewasa
3. Golongan obat analgesic
Obat analgesik dibagi menjadi 2,yaitu:
(1) Analgesik opioid / analgesik narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan
atau menghilangkan rasa nyeri. Tetap semua analgesik opioid menimbulkan
adiksi/ketergantungan, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal
masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat
dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Ada 3 golongan obat ini yaitu :
1. Morfin

a) Indikasi

Meredakan atau menghilangkan nyeri hebat ( infark miokard, neoplasma, kolok


renal atau kolok empedu, oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau
koroner), mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal
yang menyertai gagal jantung kiri, menghentikan diareberfasarkan efek langsung
terhadap otot polos usus.

b) Efek samping

Mual, muntah, depresi napas, urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus,


bersin, intoksitasi akut terjadi akibat percobaan bunuh diri. Pasien akan tidur, sopor
atau koma jika intoksitasi cukup berat, frekuensi napas lambat (2-4kali/meit)

c) Sediaan

Pulvus opii mengandung 10% morfin dan <0,5% kodein.Yang mengandung


alkoloid murni di gunakan untuk pemberian oral / parenteral ialah garam HCL,
garam sulfat ataufosfat alkoloid morfin dangan kadar 10 mg/mL Kodein tersedia
dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL atau fosfat. Satu tablet
mnegandung 10,15 atau 30 mg kodein

2. Metadon
a) Indikasi

Jenis nyeri yang dapat di pengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri dapat
dipengaruhi morfin.

b) Efek samping

Perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus,


mual dan muntah.

3. Fentanil

a) Indikasi

Menangani nyeri kronis pada pasien yang memerlukan analgesik opioid

b) Efek samping

Hipoventilasi, mual, muntah, sembelit / susah buang air besar, somnolen, bingung
/ kekacauan, halusinasi, euforia ( keadaan emosi yang gembira berlebihan ) , gatal
– gatal , dan retansi urin.

c) Kontra indfikasi

Bukan untuk nyeri setelah op, lansia, gangguan fungsi hati dan dinjal, penyakit paru,
bradiaritmia, tumor otak, hamil dan menyusui.

(2) Analgesik non opioid/ non narkotik


Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti
peradangan nonsteroid (NSAID).Seperti golongan salisilat seperti aspirin,
golongan para amino fenol seperti paracetamol, dan golongan lainnya seperti
ibuprofen, asam mefenamat, naproksen/naproxen.

Biasanya obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri biasanya


terdiri dari tiga komponen, yaitu :

1. analgetik (menghilangkan rasa nyeri)

2. antipiretik (menurunkan demam), dan


3. anti-inflamasi (mengurangi proses peradangan).

Obat-obat ini bekerja melalui 2 cara:

1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang bertanggung


jawab terhadap timbulnya rasa nyeri.

2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang sering kali terjadi


di sekitarluka dan memperburuk rasa nyeri

Obat analgetik non-opiod digunakan untuk :

o Meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau


menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan ketagihan
o Diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang : nyeri kepala, gigi, otot atau
sendi, perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan.
Efek samping yang sering timbul pada analgetik non-opiod dikelompokkan sebagai
berikut :
o Gangguan lambung-usus (asetosal, ibuprofen, metamizol)
o Kerusakan darah (parasetamol, asetosal,mefenaminat, metamizol)
o Kerusakan hati dan ginjal (parasetamol dan ibuprofen)
o Alergi kulit
Berdasarkan derivatnya, analgetik non-opiod dibedakan atas 8 kelompok yaitu :
o Derivat Paraaminofenol : Parasetamol

Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Parasetamol


mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan antiinflamasinya
sangat lemah.

o Derivat Asam Salisilat : asetosal, salisilamid dan benorilat

Asetosal (Aspirin) mempunyai efek analgetik, anitipiretik, dan antiinflamasi. Efek


samping utamanya adalah perpanjangan masa perdarahan, hepatotoksik (dosis
besar) dan iritasi lambung. Diindikasikan pada demam, nyeri tidak spesifik seperti
sakit kepala, nyeri otot dan sendi (artritis rematoid). Aspirin juga digunakan untuk
pencegahan terjadinya trombus (bekuan darah) pada pembuluh darah koroner
jantung dan pembuluh darah otak

o Derivat Asam Propionat : ibuprofen, ketoprofen

Ibuprofen mempunyai efek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, namun efek


antiinflamasinya memerlukan dosis lebih besar. Efek sampingnya ringan, seperti
sakit kepala dan iritasi lambung ringan. Absorbsi cepat melalui lambung. Waktu
paruh 2 jam. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap (90%). Dosis 4 kali 400
mg sehari

o Derivat Asam Fenamat : asam mefenamat

Asam Mefenamat mempunyai efek analgetik dan antiinflamasi, tetapi tidak


memberikan efek antipiretik. Efek samping : dyspepsia. Dosis : 2-3 kali 250-500
mg sehari. Kontraindikasi : anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil.

o Derivat Asam Fenilasetat : diklofenak

Diklofenak diberikan untuk antiinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi


simtomatik jangka panjang untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis
ankilosa. Absorbsi melalui saluran cerna cepat dan lengkap. Waktu paruh 1-3 jam.
Efek samping : mual, gastritis, eritema kulit. Dosis : 100-150 mg, 2-3 kali sehari

o Derivat Asam Asetat Indol : indometasin

Indometasin mempunyai efek antipiretik, antiinflamasi dan analgetik sebanding


dengan aspirin, tetapi lebih toksik. Metabolisme terjadi di hati. Efek samping : diare,
perdarahan lambung, sakit kepala, alergi. Dosis lazim : 2-4 kali 25 mg sehari

o Derivat Pirazolon : fenilbutazon

Fenilbutazon hanya digunakan untuk antiinflamasi, mempunyai efek meningkatkan


ekskresi asam urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout.
Diabsorbsi cepat dan sempurna pada pemberian oral. Waktu paruh 50-65 jam

o Derivat Oksikam : piroksikam


Piroksikam hanya diindikasikan untuk inflamasi sendi. Waktu paruh : > 45 jam.
Absorbsi cepat dilambung. Efek samping : gangguan saluran cerna, pusing, tinitus,
nyeri kepala dan eritema kulit. Dosis : 10-20 mg sehari

4. Patofisiologi batuk

Batuk membantu membersihkan jalan nafas saat ada banyak partikel-partikel asing
yang terhirup, lendir dalam jumlah yang berlebihan, dan jika ada substansi
abnormal pada jalan nafas, seperti cairan edema atau nanah. Refleks batuk dimulai
dengan adanya stimulasi pada reseptor, dimana reseptor batuk merupakan golongan
reseptor yang secara cepat beradaptasi terhadap adanya iritan. Ada ujung syaraf
yang berlokasi di dalam epitelium di hampir sepanang saluran nafas yang paling
banyak dijumpai pada dindng posterior trakea, karina, dan daerah percabangan
saluran nafas utama. Pada bagian faring juga terdapat reseptor batuk yang dapat
dipicu oleh adanya stimulus kimia maupun mekanis. Reseptor mekanis sensitif
terhadap sentuhan an perubahan; terkonsentrasi di laring, trakea, dan karina.
Reseptor kimia sensitif pada adanya gas dan bau-bauan berbahaya; terkonsentrasi
di laring, bronkus, dan trakea

5. Alasan rasional memilih obat Celecoxib dan Codein terhadap kasus


tersebut

Alasan memilih Obat Codein Untuk Lansia :

Codeine adalah obat opioid (kadang disebut opiat) yang digunakan untuk
mengobati rasa nyeri sedang sampai berat, mengobati batuk, dan diare. Ini termasuk
golongan obat narkotika sehingga penggunaannya tidak sembarangan, atau harus
berdasarkan resep dokter. Biasanya codeine digunakan ketika obat pereda nyeri
biasa seperti parasetamol atau ibuprofen sudah tidak efektif lagi mengatasi rasa
sakit. Ketika batuk kering begitu mengganggu, dan ketika diare parah.

Codeine merupakan agonis opiat di SSP, mirip dengan turunan fenantrena lainnya
seperti morfin. Obat ini bekerja selektif pada reseptor mu, tapi dengan afinitas jauh
lebih lemah daripada morfin. Proses ini menyebabkan berkurangnya rasa sakit,
refleks batuk, dan pergerakan usus. Kodein dapat digunakan pada nyeri
ringan.Untuk nyeri sedang dan berat dapatdigunakan morfin, hidromorfon,
oksikodon,bahkan fentanil. Morfin terutama dikeluarkan melalui ginjal, sehingga
perlu hati-hati pada pasien lansia dengan gangguan fungsi ginjal.Dosis harus
dikurangi pada orang tua dimana ada penurunan fungsi hati atau ginjal.

Alasan memilih Celecoxib untuk Lansia :

Celecoxib adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS) yang digunakan untuk
mengobati dan meringankan rasa nyeri akibat osteoartritis (OA), reumatoid artrithis
(RA), nyeri akut, nyeri hebat akibat menstruasi dan beberapa penyakit lain yang
menyebabkan nyeri.

Celecoxib dapat bekerja sebagai antipiretik, analgesik dan anti inflamasi.


Keunggulan obat ini dibanding jenis OAINS lainnya adalah memiliki efek samping
terhadap saluran pencernaan yang paling ringan, sehingga sering digunakan sebagai
obat pereda rasa sakit yang digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama
dibanding obat NSAID lainnya. Cara kerja celecoxib adalah dengan menghambat
sintesis prostaglandin. Namun tidak seperti obat anti inflamasi non steroid lainnya
yang menghambat kedua jenis enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2),
celecoxib hanya menghambat enzim COX-2. Enzim ini bertugas sebagai katalis
yang mengonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin inilah
yang memberikan efek rasa sakit. Dengan terhambatnya enzim COX maka
prostaglandin akan berkurang dan berkurang juga efek rasa sakit yang timbul.
Indikasi atau Kegunaan Celecoxib

DAFTAR PUSTAKA

Barus, Jimmy, Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada lanjut usia,

departemen neurologi, FK atma jaya di CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015


Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI. 2007. Farmakologi dan Terapi.

Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta : Departemen

Kesehatan RI.

Dorland W.A. Newman. 2016. Kamus saku kedokteran Dorland edisi 28. Jakarta

: EGC.

Guyton & Hall, 2008. Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Singapore :

Elsevier.

Muhlisin,Ahmad, Celecoxib : Kegunaan, Dosis, Efek Samping – Mediskus.

Mutchler, Ernst. 1993. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB.

Anda mungkin juga menyukai