Anda di halaman 1dari 38

MEKANISME KERJA OBAT

FARMAKODINAMIK
Dina Maya Syari, S. Farm., M. Si., Apt
Pharmacodynamics
Farmakodinamik
Ilmu yang mempelajari tentang apa yang dilakukan obat terhadap tubuh
Atau
Farmakodinamik adalah studi tentang efek obat pada proses biologis. (Eka, 2019)

Mekanisme Kerja Obat

Farmakodinamik terkait dengan cara kerja obat pada sel-sel target dan menghasilkan
perubahan dalam reaksi biokimia seluler dan fungsi. (Eka, 2019)
❖ Teori reseptor dari kerja obat.
❖ Aksi obat non-reseptor

Pengaruh mekanisme kerja obat pada reseptor dapat menyebabkan keracunan atau reduksi
efek obat melalui aktivasi atau inhibisi enzim, neurohumor dan komponen lain. (Eka, 2019)
Ketika diabsorpsi ke dalam tubuh, maka obat akan ditranspor ke dan dari sel-sel target
melalui mekanisme seperti difusi pasif, facilitated diffusion dan transport aktif. (Putri,2016)
 Difusi pasif, merupakan mekanisme yang paling umum yang melibatkan pergerakan obat
dari area dengan konsentrasi yang lebih tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih
rendah. (Putri,2016)
 facilitated diffusion merupakan proses yang mirip dengan difusi pasif, terkecuali bahwa
molekul-molekul obat dikontaminasi dengan substansi carrier, seperti enzim atau protein.
(Putri,2016)
 Transport aktif, molekul-molekul obat digerakkan dari area dengan konsentrasi yang lebih
rendah ke area dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Proses ini memerlukan substansi
carrier dan melepaskan energy seluler. (Putri,2016)
Tempat aksi obat

Ada beberapa tempat yang biasa menjadi target aksi obat, yaitu
1. Kanal ion,
2. Enzim
3. Suatu transpoter (carrier atau protein pembawa)
4. Reseptor (Ikawati, 2014)

Mekanisme kerja obat dipengaruhi oleh beberapa tempat aksi obat yaitu reseptor, enzim, dan hormon.
Fase farmakodinamik sendiri yang dipelajari adalah efek obat dalam tubuh atau mempelajari pengaruh
obat terhadap fisiologis tubuh.Kebanyakan obat pada tubuh bekerja melalui salah satu dari proses
interaksi obat dengan reseptor, interaksi obat dengan enzim, dan kerja obat non spesifik. (Noviani dan
Nurilawati, 2017)

Maksud dari kerja non-spesifik adalah obat tersebut bekerja dengan cara mengikat reseptor.
Contoh dari obat-obatan ini adalah Na-bikarbonat yang mengubah pH cairan tubuh, alcohol
yang mendenaturasi protein, dan norit yang mengikat toksin, zat racun, atau bakteri.
(Noviani dan Nurilawati, 2017)
EFEK OBAT DALAM TUBUH

Efektivitas

ED50 (dosis efektif): merupakan dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek
terapeutik pada 50% populasi subjek penelitian (Eka, 2019)

Keamanan
a. LD50 (dosis letal): merupakan dosis obat yang dibutuhkan untuk menyebabkan
kematian pada 50% populasi subjek penelitian.
b. TD50 (dosis toksik): merupakan dosis obat yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek
berbahaya pada 50% populasi subjek penelitian (Eka, 2019)
INDEKS TERAPEUTIK

Indeks Terapeutik (TI): TD50/ED50

a. Merefleksikan batas aman untuk obat – kemungkinan dosis terapeutik menyebabkan


toksisitas serius atau kematian.
b. TI yang semakin besar, semakin aman obat (cont. Warfarin memiliki TI yang sempit dan
membutuhkan monitoring obat)
c. Faktor yang mempengaruhi dan dapat merubah TI antara lain:
Kehadiran obat yang saling berinteraksi
Perubahan pada ADME obat (Eka, 2019)

Berbagai Faktor Keamanan: TD1/ED99

> 1 yang ditranslasikan untuk dosis efektif pada lebih 99% populasi dan toksik pada kurang 1%
populasi (Eka, 2019)
Gambar. ED50, TD50 dan indeks terapeutik
MONITORING OBAT TERAPEUTIK

a. Definisi: penggunaan data serum konsentrasi obat untuk optimalisasi terapi obat (cont.
Penyesuaian dosis atau monitor kepatuhan)
Sampel serum obat biasanya diambil ketika obat telah mencapai keadaan setimbang (rata-
rata 5 kali waktu paruh)
b. Monitoring obat terapeutik biasa digunakan pada obat dengan:
TI sempit
Hubungan dosis-respon yang tidak dapat diprediksi
Konsekuensi signifikan terkait dengan kegagalan terapeutik, dan pasien dengan variabilitas
PK yang lebar. (Eka, 2019)
REAKSI EFEK SAMPING OBAT

Reaksi efek samping obat dapat dibagi menjadi 5 karakteristik. Karakteristik tersebut adalah:

Klasifikasi Definisi Karakteristik

A (Augmented) Bergantung dosis Penambahan Efek farmakologi obat yang terprediksi (Cont. β-
blockers menyebabkan bradikardia)
>80% dari reaksi efek samping obat
B (Bizarre) Tidak bergantung dosis Reaksi tidak berhubungan dengan aksi farmakologis obat yang telah
diketahui.
Cont: sindrom hipersensitivitas obat, reaksi imunologis, dan reaksi
idiosinkratik (hipertermia maligna)
C (Chronic) Bergantung dosis dan Terkait dengan dosis kumulatif
waktu Efek telah diketahui dengan baik dan dapat diantisipasi (cont.
Fraktur femur atipikal karena bifosfonat)
D (Delayed) Bergantung waktu Terjadi pada waktu tertentu setelah konsumsi obat (cont.
Karsinogen)
Dapat pula bergantung pada dosis
E (End of Use) Withdrawal Terjadi setelah penghentian konsumsi (cont.
Withdrawal opiat)
PENDEKATAN UNTUK SANGKAAN REAKSI EFEK SAMPING OBAT

Anamnesis dan pemeriksaan fisik


1. Tanda dan gejala reaksi
Ruam
Demam
Hepatitis
Anafilaksis
2. Waktu
3. Faktor risiko
4. Riwayat konsumsi obat yang detail
5. Membedakan antara terapi obat vs patofisiologi penyakit
6. Tatalaksana: hentikan obat, terapi suportif, dan mengurangi gejala (Eka, 2019)
VARIABILITAS RESPONS OBAT
• Rekomendasi dosis pasien berdasarkan penelitian klinis dan kehadiran nilai rata-rata dari populasi
terpilih, akan tetapi setiap orang memiliki kebutuhan dosis yang unik
• Penyebab variabilitas individual yang mungkin dalam respons obat termasuk masalah dengan:
Asupan pasien
PK
=> Absorbsi: muntah, diare; efek meatabolisme pertama meningkat karena induksi atau penurunan
fungsi karena penyakit hepar
=> Interaksi obat (cont. Kompleks kalsium karbonat dengan besi, tiroksin, dan florokuinolon)
=>Distribusi: persentase lemak tubuh yang sangat tinggi atau rendah; pasien lansia atau neonatus, atau
mengalami disfungsi hepar
=>Biotransformasi dan eliminasi: beberapa polimorfisme genetik atau defisiensi enzim terkat dengan
metabolisme obat (cont. Defisiensi asetilkolinesterase, polimorfisme CYP); atau gangguan ginjal dan
hepar (Eka, 2019)

PD: variabilitas genetik untuk respons obat (cont. Reaksi dimediasi sistem imun); penyakit yang
mempengaruhi PD obat; toleransi obat atau toleransi silang.
INTERAKSI OBAT

• Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang mengakibatkan perubahan efek obat


yang berinteraksi tetapi tidak menunjukkan perubahan konsentrasi obat dalam darah.
Artinya, seseorang dapat mengalami perubahan dalam efek obat tanpa mengubah
konsentrasi plasma. (Yulinah dan Fisheri, 2019)

Interaktan dapat mempotensi intensitas kerja obat pada reseptor dengan 3 mekanisme
umum: (Yulinah dan Fisheri, 2019)
1. Meningkatkan konsentrasi pada reseptor
2. Meningkatkan reaksivitas pada reseptor
3. Meningkatkan konsentrasi zat endogen pada reseptor
Interaksi obat dengan enzim dapat terjadi jika obat atau zat kimia berinteraksi dengan enzim
pada tubuh. Obat ini bekerja dengan cara mengikat (membatasi produksi) atau
memperbanyak produksi dari enzim itu sendiri. Contohnya obat kolinergik.Obat kolinergik
bekerja dengan cara mengikat enzim asetilkolinesterase. Enzimini sendiri bekerja dengan
cara mendegradasi asetilkolin menjadi asetil dan kolin. Jadi ketika asetilkolinesterase
dihambat, maka asetilkolin tidak akan dipecah menjadi asetil dan kolin. (Noviani dan
Nurilawati, 2017)

Interaksi obat dengan reseptor terjadi ketika obat berinteraksi dengan bagian dari sel, ribosom, atau
tempat lain yang sering disebut sebagai reseptor. Reseptor sendiri bisa berupa protein, asam nukleat,
enzim, karbohidrat, atau lemak. Semakin banyak reseptor yang diduduki atau bereaksi, maka efek dari
obat tersebut akan meningkat. (Noviani dan Nurilawati, 2017)
Pengubahan Konsentrasi obat pada reseptor

Ada 3 faktor yang meningkatkan konsentrasi pada reseptor yaitu: (Yulinah dan Fisheri,
2019)
a. Pengusiran obat dari reseptor tak aktif (protein plasma) dan redistribusi bentuk aktif
kepada reseptor spesifik akan meningkatkan kerja obat.
b. Pencegahan berikatannya dengan reseptor inaktif
c. Hambatan kerja enzim yang merusak obat.
Perubahan reaktivitas obat pada reseptor
Aktivitas pada reseptor naik apabila: (Yulinah dan Fisheri, 2019)
❖ Terjadi pengusiran oleh zat endogen yang aktif secara fisiologi (kortisol, estradiol)
❖ Terjadi peningkatan sintesis zat aktif endogen
❖ Terjadi peningkatan pelepasan zat endogen (norepinefrin)
❖ Terjadi pencegahan ikatan pada reseptor sekunder
❖ Terjadi pemantapan zat aktif pada reseptor aktif
❖ Terjadi sensitisasi efektor terhadap obat.
❖ Terjadi peningkatan afinitas antara reseptor dengan obat.
Interaksi obat dapat menurun bila terjadi: (Yulinah dan Fisheri, 2019)
❖ Peningkatan ikatan dengan protein atau penimbunan obat
❖ Penurunan sintesis zat endogen aktif
❖ Pencegahan pelepasan timbunan zat endogen (katekolamin)
❖ Pencegahan ikatan obat pada sisi reseptor
❖ Desensitisasi efektor kepada obat
❖ Penurunan jumlah obat pada reseptor aktif dan afinitas untuk reseptor
❖ Berkurangnya penimbunan neurotransmiter dan zat aktif yang di produksi
tubuh

Perubahan konsentrasi zat endogen pada reseptor

Interaktan dapat memodifikasi sintesis, pelepasan atau pengambilan zat


endogen aktif dan mengubah aktivitas pada reseptor (Yulinah dan Fisheri, 2019)
HUBUNGAN DOSIS OBAT DENGAN RESPON PASIEN

Hubungan Dosis-Respon Bertingkat


(Graded Dose-Response Relations)
Untuk memilih di antara obat-obatan dan untuk menentukan dosis yang tepat dari sebuah
obat, resep harus tahu farmakologis relative. (Katzung, et al, 2011)

Gambar 1. Kurva dosis-respons


bergradasi untuk empat obat,
menggambarkan potensi farmakologis
yang berbeda dan khasiat maksimal yang
berbeda.
Catatan Dosen :
Potensi dan kemanjuran maksimal obat dalam kaitannya dengan efek terapi yang
diinginkan. Dua istilah penting ini, seringkali membingungkan untuk pelajar dan
dokter, dapat dijelaskan dengan merujuk ke Gambar 1, yang menggambarkan
kurva dosis-respons bertingkat yang terkait dosis empat obat berbeda dengan
besarnya tertentu efek terapeutik. (Katzung, et al, 2011)

1. Potensi
Obat A dan B dikatakan lebih kuat daripada obat C dan D karena posisi relatif dari dosis-responsnya
kurva sepanjang sumbu dosis Gambar. Referensi potensi dengan konsentrasi (EC 50) atau dosis (ED
50) dari obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50% dari efek maksimal obat itu. Jadi, secara
farmakologis potensi obat A pada Gambar 1 lebih kecil dari obat B, agonis parsial karena EC 50 dari A
lebih besar dari EC 50 dari B. Potensi suatu obat sebagian tergantung pada afinitas (Kd) reseptor
untuk mengikat obat dan sebagian pada efisiensi yang dengannya interaksi reseptor obat
digabungkan dengan respons. Perhatikan bahwa beberapa dosis obat A dapat menghasilkan efek
yang lebih besar daripada dosis obat apa pun B, terlepas dari kenyataan bahwa kami menggambarkan
obat B sebagai farmakologis lebih kuat. Alasan untuk ini adalah bahwa obat A memiliki maksimal yang
lebih besar kemanjuran (seperti yang dijelaskan di bawah). (Katzung, et al, 2011)
Untuk penggunaan klinis, penting untuk membedakan antara obat potensi dan
kemanjurannya. Efektivitas klinis suatu obat tidak tergantung pada potensinya (EC 50), tetapi
pada kemanjuran maksimalnya (lihat di bawah) dan kemampuannya untuk mencapai
reseptor yang relevan. Ini kemampuan dapat tergantung pada rute administrasi, penyerapan,
distribusi melalui tubuh, dan pembersihan dari darah atau situs aksi. (Katzung, et al, 2011)

Catatan Dosen
Untuk tujuan terapeutik, potensi obat harus dinyatakan dalam
satuan dosis, biasanya dalam hal terapi tertentu titik akhir
(misalnya, 50 mg untuk sedasi ringan, 1 mcg / kg / menit untuk
peningkatan denyut jantung 25 bpm). Potensi relatif, rasio dosis
yang sama efektif (0,2, 10, dll), dapat digunakan dalam
membandingkan satu obat dengan yang lain. (Katzung, et al, 2011)
2. Kemanjuran maksimal
Parameternya mencerminkan batas hubungan dosis-respons pada sumbu respons. Obat
A, C, dan D pada Gambar memiliki khasiat maksimal yang sama, dan semua memiliki yang
lebih besar kemanjuran maksimal daripada obat B. Kemanjuran maksimal (kadang-kadang
disebut hanya sebagai kemanjuran) obat jelas sangat penting untuk membuat keputusan
klinis saat dibutuhkan respons yang besar. Mungkin ditentukan oleh mode interaksi obat
dengan reseptor (Seperti agonis parsial atau dengan karakteristik reseptor-efektor sistem
yang terlibat. (Katzung, et al, 2011)

Catatan Dosen
Dengan demikian, diuretik yang bekerja pada satu bagian nefron mungkin
menghasilkan ekskresi cairan dan elektrolit yang jauh lebih besar daripada
diuretik yang bertindak di tempat lain. Selain itu, khasiat praktis dari obat
untuk mencapai titik akhir terapeutik (misalnya, peningkatan jantung
kontraktilitas) dapat dibatasi oleh kecenderungan obat untuk menyebabkan
efek toksik (misalnya, aritmia jantung fatal) bahkan jika obat itu dapat jika
tidak menghasilkan efek terapeutik yang lebih besar. (Katzung, et al, 2011)
Bentuk Kurva Dosis-Respons (Shape
of Dose-Response Curves)

Meskipun tanggapan digambarkan dalam kurva A, B, dan C Gambar 1 mendekati bentuk


hubungan Michaelis-Menten yang sederhana (ditransformasikan menjadi plot logaritmik),
beberapa respons klinis tidak. (Katzung, et al, 2011)

Kurva dosis-respons yang sangat curam (misalnya, kurva D) mungkin memiliki konsekuensi
klinis yang penting jika bagian atas kurva mewakili tingkat respons yang tidak diinginkan
(misalnya, koma disebabkan oleh obat penenang-hipnosis). Kurva dosis-respons yang
curam masuk pasien dapat dihasilkan dari interaksi kooperatif beberapa berbeda tindakan
obat (misalnya, efek pada otak, jantung, dan peripheral pembuluh darah, semuanya
berkontribusi pada penurunan tekanan darah). (Katzung, et al, 2011)
Kurva Efek Dosis Kuantal (Quantal
Dose-Effect Curves)
Kurva dosis-respons bergradasi dari jenis yang diuraikan di atas keterbatasan tertentu dalam
aplikasi mereka untuk pengambilan keputusan klinis. Sebagai contoh, kurva seperti itu
mungkin tidak mungkin dibangun jika respons farmakologis adalah peristiwa baik-atau
(kuantitatif), seperti pencegahan kejang, aritmia, atau kematian (Katzung, et al, 2011)

Selanjutnya, relevansi klinis dari hubungan dosis-respons kuantitatif dalam seorang pasien
tunggal, tidak peduli bagaimana didefinisikan dengan tepat, mungkin terbatas pada
aplikasi untuk pasien lain, karena variabilitas potensial yang besar di antara pasien dalam
keparahan penyakit dan responsif terhadap narkoba. (Katzung, et al, 2011)
Gambar 2. Plot efek dosis kuantitatif. Kotak yang
diarsir (dan yang menyertai kurva berbentuk
lonceng) menunjukkan distribusi frekuensi dosis
obat yang diperlukan untuk menghasilkan efek
tertentu; itu adalah, persentase hewan yang
membutuhkan dosis tertentu untuk menunjukkan
Efeknya. Kotak terbuka (dan kurva berwarna yang
sesuai) menunjukkan distribusi frekuensi kumulatif
tanggapan, yang didistribusikan secara normal.
Beberapa kesulitan ini dapat dihindari dengan menentukan dosis obat yang diperlukan untuk
menghasilkan besarnya efek tertentu pada sejumlah besar pasien individu atau hewan
percobaan dan merencanakan distribusi frekuensi kumulatif responden versus dosis log
(Gambar 2). (Katzung, et al, 2011)

Efek kuantitatif yang ditentukan dapat dipilih berdasarkan relevansi klinis (misalnya,
menghilangkan sakit kepala) atau untuk pelestarian keamanan subjek eksperimental
(misalnya, menggunakan rendah dosis stimulan jantung dan menentukan peningkatan
denyut jantung 20 bpm sebagai efek quantal), atau mungkin juga inheren quantal
peristiwa (misalnya, kematian hewan percobaan). (Katzung, et al, 2011)

Untuk sebagian besar obat, dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek kuantitatif
tertentu pada individu didistribusikan secara lognormal; yaitu distribusi frekuensi tanggapan
tersebut diplot terhadap log dosis menghasilkan kurva variasi normal gaussian (area
berwarna, Gambar 2). (Katzung, et al, 2011)
Catatan Dosen
Ketika tanggapan ini dirangkum, hasilnya kumulatif distribusi
frekuensi merupakan kurva efek dosis kuantitatif (atau kurva dosis-
persen) dari proporsi atau persentase individu yang menunjukkan
efek yang diplot sebagai fungsi dosis log. (Katzung, et al, 2011)

Akhirnya, perhatikan bahwa kurva efek dosis kuantitatif dan bertingkat kurva dosis-
respons merangkum set informasi yang agak berbeda, meskipun keduanya tampak
berbentuk sigmoid pada semilogaritmik plot (bandingkan Gambar 1 dan 2). Informasi
penting diperlukan untuk membuat keputusan terapi yang rasional dapat diperoleh dari
masing-masing jenis kurva. Kedua kurva memberikan informasi tentang potensi dan
selektivitas obat; dosis-respons bergradasi kurva menunjukkan kemanjuran maksimal
obat, dan jumlah kurva dosis-efek menunjukkan kemungkinan variabilitas responsive di
antara individu. (Katzung, et al, 2011)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN DOSIS OBAT DAN EFEK OBAT

Dosis obat yang diberikan kepada penderita dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu factor
obat, cara pemberian obat tersebut dan penderita. Terutama factor-faktor penderita
seringkali kompleks sekali, karena perbedaan individual terhadap respon obat tidak selalu
dapat diperkirakan. Ada kemungkinan ketiga factor tersebut di bawah ini didapati
sekaligus yaitu: (Putri, 2016)
a. Faktor Obat (Putri, 2016)
 Sifat fisika: daya larut obat dalam air atau lemak, Kristal atau
amorf.
 Sifar kimiawi: asam, basa, garam, ester, garam kompleks, pH, pKa.
 Toksisitas: dosis obat berbanding terbalik dengan toksisitasnya.
b. Faktor cara pemberian obat kepada penderita: (Putri, 2016)
 Oral: dimakan atau diminum
 Parenteral : Subcutan, intramuscular, intravena, dan lain-
lain
 Rectal, vaginal, uretral
 Lokal, topical
 Lain-lain: Implantasi, sublingual, intrabukal.

c. Faktor Penderita (Putri, 2016)


 Umur: umur pasien merupakan suatu pertimbangan yang penting untuk menentukan
dosis obat, khususnya anak-anak dan orang lanjut usia.
 Berat badan: pasien obesitas mempunyai akumulasi jaringan lemak yang lebih besar,
dimana jaringan lemak mempunyai proporsi air yang lebih kecil dibandingkan dengan
jaringan otot.
 Jenis Kelamin: wanita dianggap lebih sensitive terhadap pengaruh obat dibandingkan
pria. Pemberian obat pada wanita hamil juga harus mempertimbangkan
terdistribusinya obat ke janin seperti obat-obat anestesi, antibiotic, narkotik dan
sebagainya yang dapat menyebabkan kematian janin atau kerusakan kongenital.
Catatan Dosen
Jadi pasien obesitas mempunyai proporsi cairan tubuh terhadap
berat badan yang lebih kecil daripada pasien dengan berat badan
normal, sehingga mempengaruhi volume distribusi obat. (Putri,
2016)

Lanjutan Faktor Penderita


 Toleransi: efek toleransi obat yaitu obat yang dosisnya harus diperbesar
untuk menjaga respon terapi tertentu. Toleransi ini biasanya terjadi pada
pemakaian obat-obatan seperti antihistamin, dan analgetik narkotik.
 Keadaan pato-fisiologi: kelainan pada saluran cerna mempengaruhi absorbs
obat, penyakit hati mempengaruhi metabolism obat, kelainan pada ginjal
mempengaruhi eksresi obat.
 Bentuk sediaan dan cara pemakaian: dosis obat dapat berbeda-beda
tergantung pada bentuk sediaan yang digunakan dan cara pemakaian,
perbedaan kecepatan dan luasnya absorpsi obat. (Putri, 2016)
Catatan Dosen
Seperti bentuk sediaan tablet memerlukan proses desintegrasi dan
disolusi lebih dahulu sebelum diabsorpsi sehingga dosisnya lebih
besar dibandingkan bentuk sediaan larutan. (Putri, 2016)

Lanjutan Faktor Penderita


 Cara Pemberian obat: cara pemberian obat juga akan mempengaruhi
proses farmakokinetik
 Waktu pemakaian: waktu ketika obat itu dipakai kadang-kadang
mempengaruhi dosisnya. Hal ini terutama pada pemberian obat melalui
oral dalam hubungannya dengan kemampuan absorpsi obat oleh saluran
cerna dengan adanya makanan. (Putri, 2016)

Catatan Dosen
Ada beberapa obat yang lebih efektif bila dipakai sebelum makan atau sesudah makan.
Untuk obat-obat yang mengiritasi lambung dan saluran cerna lebih baik dipakai segera
sesudah makan. (Putri, 2016)
Lanjutan Faktor Penderita
 Pemakaian bersama obat lain (interaksi obat): obat-obat yang diberikan
secara bersamaan akan terjadi interaksi obat secara fisika dan kimiawi yang
dapat berupa efek yang diinginkan atau efek yang mengganggu. (Putri,
2016)

d. Perhitungan Dosis (Putri, 2016)


e. Kesalahan dosis atau Over Dosis (OD)
Akibat Kelebihan Dosis
 Pernapasan akan tertekan atau sesak nafas
 Mual-mual atau muntah
 Berkurnagnya tingkat kesadaran
 Pusing
 Penanganan kelebihan dosis sesuai dengan gejala, misalnya sesak nafas
dengan cara penambahan oksigen
f. Persiapan pemberian obat
Tindakan-tindakan dalam persiapan pemberian obat: (Putri, 2016)
1. Tepat Obat
 Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
 Menanyakan ada tidaknya alergi obat
 Menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan obat
 Mengecek label obat 3 kali (saat melihat kemasan, sebelum menuangkan,
dan setelah menuangkan obat) sebelum memberikan obat
 Mengetahui interaksi obat
 Mengetahui efek samping obat
 Hanya memberikan obat yang disiapkan diri sendiri
2. Tepat dosis
 Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
 Mengecek hasil hitungan dosis dengan perawat laian (double check)
 Mencampur/ mengoplos obat sesuai petunjuk pada label/ kemasan obat
f. Persiapan pemberian obat
Tindakan-tindakan dalam persiapan pemberian obat: (Putri, 2016)
3. Tepat waktu
 Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
 Mengecek tanggal kadaluarsa obat
 Memberikan obat dalam rentang 30 menit sebelum sampai 30 menit
setelah waktu yang diprogramkan
4. Tepat Pasien
 Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
 Memanggil nama pasien yang akan diberikan obat
 Mengecek identitas pasien pada papan/ kardeks di tempat tidur pasien
yang akan diberikan obat
f. Persiapan pemberian obat
Tindakan-tindakan dalam persiapan pemberian obat: (Putri, 2016)
5. Tepat cara pemberian
 Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
 Mengecek cara pemberian pada label/ kemasan obat
 Pemberian per oral: mengecek kemampuan menelan, menunggui pasien
sampai meminum obatnya
 Pemberian melalui intramuskular: tidak memberikan obat >5cc pada satu
lokasi suntikan
6. Tepat dokumentasi
 Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
 Mencatat nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat
 Mencantumkan nama/ inisial dan paraf
 Mencatat keluhan pasien
 Mencatat penolakan pasien
 Mencatat jumlah cairan yang digunakan untuk melarutkan obat (pada
pasien yang memerlukan pembatasan cairan)
 Mencatat SEGERA setelah memberikan obat
g. Penggunaan Unit Dosis Obat (Putri, 2016)
Jika obat digunakan dibawah dosis lazimnya, maka suatu obat tidak akan
cukup memberikan khasiat sedangkan apabila dosis yang diberikan melebihi
dosis maksimalnya maka efek racun dari suatu obat akan terjadi pada
penggunanya. Ada beberapa macam jenis obat berdasarkan fungsinya, yaitu:
 Diagnosis
 Pencegahan
 Memperelok tubuh
 Mengurangi/menghilangkan gejala
 Menyembuhkan penyakit

h. Pencegahan Injuri Pengobatan.


Dalam resiko cedera sebagai hasil dari interaksi kondisi lingkungan dengan
respon adaptif indifidu dan sumber pertahanan. (Putri, 2016)
 Faktor Resiko
 NOC: Risk Kontrol
 NIC: Environment Management (manajemen lingkungan)
EFEK OBAT TERHADAP RESEPTOR

Klasifikasi agonis-antagonisme

Agonis

a. Adalah Obat yang meniru efek ligan endogen dan mengeluarkan respon ketika berikatan
dengan reseptor
 Afinitas: kemampuan agonis untuk berikatan dengan reseptor (cont. Salbutamol β2-
agonist memiliki afinitas yang lebih besar pada reseptor β2 dari pada reseptor β1)
 Efikasi: kemampuan rekapitulasi respons endogen melalui interaksi reseptor (cont. Ikatan
salbutamol dengan reseptor β2 akan menghasilkan relaksasi otot polos)
b. Agonis penuh: dapat memperoleh efek maksimal pada reseptor .
c. Agonis parsial: hanya memperoleh efek parsial, berapapun konsentrasinya pada reseptor.
Antagonis

a. Adalah Obat yang dapat menghampat aksi agonis atau ligan endogen
b. Antagomisme kimia: interaksi kimia langsung antara agonis dan antagonis untuk
mencegah ikatan agonis-reseptor (contoh. Agen kelasi untuk membuang logam berat)
c. Anatagonisme fungsional: dua agonis yang bertindak independen pada reseptor yang
berbeda dan memiliki efek fisiologis yang berlawanan (contoh. Asetilkolin pada reseptor
muskarinik dibandingkan dengan epinefrin pada reseptor adrenergik)
d. Antagonisme kompetitif reversibel dan irreversibel
 Obat yang digunakan tidak memiliki efek ketika berikatan pada reseptornya
 Antagonis kompetitif reversibel secara reversibel berikatan dengan reseptor yang sama
dengan agonis, menyebabkan pergeseran agonis (contoh. Naloxone adalah antagonis
untuk morfin atau heroin)
 Bentuk antagonis irreversibel merupakan suatu iktan kovalen dengan reseptor , yang
menghambat substrat untuk berikatan seraca irreversibel (contoh. Phenoximenzamin
membentuk suatu ikatan kovalen dengan reseptor adrenergik untuk mencegah adrenalin
dan norepinefrin berikatan dengan reseptor)
e. Antagonisme non kompetitif
Ikatan antagoni pada lokasi alternatif dekat lokasi agonis, menghasilkan efek alosterik yang
merubah kemampuan agonis untuk berikatan (contoh Organofosfat berikatan dengan
asetilkolinesterase secara irreversibel)
Gambar. Mekanisme Agonis dan Antagonis Berdasarkan uraian diatas
terimakasih

Anda mungkin juga menyukai