Anda di halaman 1dari 17

PERTEMUAN I

A. INTERAKSI OBAT

Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi
oleh obat lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi
harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan
secara bersamaan atau hampir bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa
pengaruh yang merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam praktek
pengobatan, misalnya saja peristiwa interaksi antara probenesid dengan penisilin, di
mana probenesid akan menghambat sekresi penisilin di tubuh ginjal, sehingga akan
memperlambat ekskresi penisilin dan mempertahankan penisilin lebih lama dalam
tubuh.

1. Obat obyek
Obat-obat yang kemungkinan besar menjadi obyek interaksi atau efeknya
dipengaruhi oleh obat lain, umumnya adalah obat-obat yang memenuhi ciri :
a) Obat-obat di mana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah akan
menyebabkan perubahan besar pada efek klinik yang timbul. Secara farmakologi
obat-obat seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obat dengan kurva dosis respons
yang tajam (curam; steep dose response curve). Perubahan, misalnya dalam hal ini
pengurangan kadar sedikit saja sudah dapat mengurangi manfaat klinik (clinical
efficacy) dari obat.
b) Obat-obat dengan rasio toksis terapik yang rendah (low toxic therapeutic ratio),
artinya antara dosis toksik dan dosis terapetik tersebut perbandinganya (atau
perbedaanya) tidak besar. Kenaikan sedikit saja dosis (kadar)obat sudah
menyebabkan terjadinya efek toksis. Kedua ciri obat obyek di atas, yakni apakah
obat yang manfaat kliniknya mudah dikurangi atau efek toksiknya mudah diperbesar
oleh obat presipitan, akan saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Obat-
obat seperti ini juga sering dikenal dengan obat-obat dengan lingkupterapetik yang
sempit (narrow therapeutic range).

2. Obat presipitan
Obat-obat presipitan adalah obat yang dapat mengubah aksi/efek obat lain.
Untuk dapat mempengaruhi aksi/efek obat lain, maka obat presipitan umumnya adalah
obat-obat dengan ciri sebagai berikut:
a) Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena dengan demikian akan
menggusur ikatan-ikatan yang protein obat lain yang lebih lemah. Obat-obat
yang tergusur ini (displaced) kemudian kadar bebasnya dalam darah akan
meningkat dengan segala konsekuensinya, terutama meningkatnya efek toksik.
Obat-obat yang masuk di sini misalnya aspirin, fenilbutazon, sulfa dan lain lain.
b) Obat-obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau merangsang
(inducer)enzim-enzim yang memetabolisir obat dalam hati. Obat-obat yang
punya sifat sebagai perangsang enzim (enzyme inducer) misalnya rifampisin,
karbamasepin, fenitoin, fenobarbital dan lain-lain akan mempercepat eliminasi
(metabolisme) obat-obat yang lain sehingga kadar dalam darah lebih cepat
hilang. Sedangkan obat-obat yang dapat menghambat metabolisme (enzyme
inhibator) termasuk kloramfenikol, fenilbutason, alopurinol, simetidin dan lain-
lain,akan meningkatkan kadar obat obyek sehingga terjadi efek toksik.
c) Obat-obat yang dapat mempengaruhi /merubah fungsi ginjal sehingga eliminasi
obat-obat lain dapat dimodifikasi. Misalnya probenesid, obat-obat golongan
diuretika dan lain-lain.
A. MEKANISME INTERAKSI OBAT
Pada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi tidak hanya dengan
satu mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi secara umum
mekanisme interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua mekanisme utama,
yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.

Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan
mekanisme berikut:

1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di


cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki
efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat
terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada
sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan
tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi
Interaksi farmakodinamik meliputi aditif , potensiasi, sinergisme dan antagonisme.
Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada
jaringan atau reseptor.

2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi


farmakokinetik).
a) Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit
(misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan
atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).
b) Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam
(sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan
efek secara substansial).
c) Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar
konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak
menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.
d) Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang
sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat
antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-
obat imunosupresan
PERTEMUAN II

A. KEPARAHAN INTERAKSI OBAT

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level :
minor, moderate, atau major.

a) Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan;
konsekuensi mungkin mengganggu tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi.
Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan.

b) Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang tejadi dapat
menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan,
perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit.

c) Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang
menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen
PERTEMUAN III

A. PRAVALENSI INTERAKSI OBAT


Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena
dokumentasinya masih sangat jarang, seringkali lolos dari pengamatan karena
kurangnya pengetahuan pada dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya
interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap
sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa
penurunan efektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain
itu terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan
kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu
lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya
perbedaan kapasitas metabolisme antar individu), penyakit tertentu (terutama gagal
ginjal atau penyakit hati yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat
ditelan bersama-sama, pemberian kronik).

Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) yang


menjadi kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survai
yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat
di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita
yang mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20
macam obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat yang jauh melebihi
peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya
interaksi obat yang juga semakin meningkat.

Estimasi/perkiraan terbaik terhadap prevalensi reaksi obat merugikan berasal


dari program survey yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug dimana interaksi
obat ditetapkan sebanyak 7% dari reaksi obat merugikan di rumah sakit.

Laporan secara keseluruhan terhadap frekuensi interaksi obat-obat


sangat bervariasi di literatur. Laju insidensi yang dilaporkan pada tahun 1970-an
dan 1980-an dalam range 2,2 – 70,3 % untuk pasien rawat jalan, rawat inap,
atau pasien yang mendapat perawatan di rumah. Secara keseluruhan, insidensi
interaksi obat potensial yang berbahaya secara umum rendah, tetapi pada populasi
seperti orang tua, orang-orang dengan kemampuan metabolisme lama atau lambat,
orangorang dengan disfungsi hati dan ginjal, dan orang-orang yang
mendapatkan banyak obat, khususnya penggunaan obat off-label lebih berisiko. Data
yang dikumpulkan pada tahun 1995-1997 menunjukkan bahwa interaksi obat
potensial sebesar 75% pada populasi pasien HIV, dengan insidensi interaksi
yang signifikansi klinisnya aktual sebesar 25% (Piscitelli, 2005).Di Indonesia, sebuah
hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit pendidikan Dr. Sardjito Jogjakarta
menunjukkan bahwa interaksi obat terjadi pada 59% pasien rawat inap dan 69% pasien
rawat jalan.
PERTEMUAN IV

A. REKONSILIASI OBAT
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi,
kesalahan dosis atau interaksi Obat.Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi
pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang
perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit kelayanan kesehatan primer
dan sebaliknya.

Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:


a. Memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien.
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter.
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.

Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:


1. Pengumpulan data Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan,
diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping Obat
yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat
tanggal kejadian, Obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek
samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan. Data riwayat penggunaan Obat
didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada
pasien, dan rekam medik/medication chart. Data Obat yang dapat digunakan tidak
lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik
Resep maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
2. Komparasi, Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan
akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula
terjadi bila ada Obat yang hilang,berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini
dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun
tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat
menuliskan Resep.
3. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi. Bila ada ketidak sesuaian , maka dokter harus dihubungi kurang dari
24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
a) menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja.
b) mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti.
c) memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi Obat.

4. Komunikasi, melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau


perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab
terhadap informasi Obat yang diberikan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Rumah Sakit.
PERTEMUAN V

A. INTERAKSI FARMAKOKINETIK

a. Interaksi Dalam Mekanisme Absorbsi

obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke
dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati
saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana
sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari
daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada
transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion
dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara
transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion
larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk
terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal
absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorbsi biasanya sempurna. Bila kecepatan
absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi, terutama
obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma yang
cepat untuk mendapatkan efek.

b. Interaksi Dalam Mekanisme

Distribusi obat adalah distribusi obat dari dan ke darah dan beberapa jaringan
tubuh ( misalnya lemak, otot, dan aringan otak) dan proporsi relative obat di dalam
jaringan. Setelah suatu obat diabsorbsi ke dalam aliran darah maka obat akan
bersirkulasi dengan cepat ke seluruh tubuh, waktu sirkulasi darah rata – rata adalah 1
menit. Saat darah bersirkulasi obat bergerak dari aliran darah dan masuk ke jaringan –
jaringan tubuh. Sebagian terlarut sempurna di dalam cairan plasma, sebagian diangkut
dalam bentuk molekul terlarut dan dalam bentuk terikat protein plasma (albumin).Ikatan
protein sangat bervariasi, sebagian terikat sangat kuat

Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada
albumin, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam a1-glikoprotein. Oleh karena
jumlah protein plasma terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat bersifat asam
maupun antara obat bersifat basa untuk berikatan dengan protein yang sama.
Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein, maka suatu obat dapat
digeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat bebas
menimbulkan peningkatan efek farmakologinya. Akan tetapi keadaan ini hanya
berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas juga meningkatkan
eliminasinya sehingga akhirnya tercapai keadaan mantap yang baru dimana kadar obat
total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme
konpensasi).

c. Interaksi Dalam Mekanisme Metabolisme Hepatik

Ada 2 kategori utama reaksi metabolisme yaitu fase I dan Fase II. Reaksi Fase I
adalah serangkaian reaksi yang menimbulkan perubahan kimia yang relative kecil,
membuat lebih banyak senyawa menjadi hidrofilik. Metabolisme fase I bias terjadi
selama proses absorbsi

1. Metabolisme obat dipercepat

Berbagai interaksi obat terjadi karena adanya suatu obat yang merangsang metabolisme
obat lain. Di samping itu pemberian secara kronis obat-obat tertentu dapat pula
merangsang metabolisme selanjutnya. Interaksi ini terjadi akibat meningkatnya aktivitas
enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat tersebut. peningkatan aktivitas
enzim ini dapat disebabkan oleh :

a) Peningkatan sintesis enzim sehingga jumlahnya meningkat, yang disebut induksi


enzim
b) Penurunan kecepatan degradasi enzim, Senyawa yang dapat menginduksi enzim
hepatik digolongkan atas dua golongan yaitu :
c) Golongan fenobarbital dan senyawa-senyawa yang kerjanya mirip fenobarbital.
Golongan ini yang paling banyak berperan untuk berbagai obat.
d) Golongan hidrokarbon polisiklik, hanya untuk beberapa obat. Akibat induksi enzim
adalah peningkatan metabolisme obat, yang terjadi karena 3 kemungkinan, yaitu :
e) Obat merangsang metabolismenya sendiri, karena pemberian kronis. Obat-obat yang
memiliki gejala ini antara lain barbiturat, antihistamin, fenitoin, meprobamat,
tolbutamid, fenilbutazon, dan probenesid
f) Obat mempercepat metabolisme obat lain yang diberikan bersamaan
g) Obat merangsang metabolisme sendiri dan juga metabolisme obat lain. Akibat
farmakologis dari induksi enzim ini adalah :
h) peningkatan bersihan ginjal
i) penurunan kadar obat di dalam plasma

2. Metabolisme obat dihambat

sejumlah reaksi obat didasarkan pada penghambatan obat tertentu oleh obat lain,
sehingga terjadi peningkatan durasi dan intensitas aktivitas farmakologi dari obat yang
dihambat. Penyebab terhambatnya metabolisme obat, yaitu :

a) Penghambatan ireversibel terhadap enzim yang bertanggung jawab untuk


biotransformasi obat
b) Suatu obat bersaing dengan obat lain untuk bereaksi dengan enzim pemetabolisis
yang sama, di mana obat yang terdesak akan meng-alami pengahambatan
metabolisme.

d. Interaksi Dalam Mekanisme Ekskresi

1. Interaksi Obat dengan Perubahan pH Urin

Perubahan pH urin mengakibatkan perubahan bersihan ginjal, melalui perubahan


jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal, yang hanya bermakna secara klinis bila:

a) Fraksi obat yang diekskresikan melalui ginjal cukup besar, lebih dari 30%
b) Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 – 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 –
7,5.

Interaksi yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal hanya akan nyata secara
klinis bila obat atau metabolit aktifnya tereliminasi secara berarti oleh ginjal. pH urin
dapat mempengaruhi aktivitas obat dengan mengubah kecepatan bersihan ginjal.Bila
berada dalam bentuk tak terion, maka obat akan lebih cepat berdifusi dari filtrat
glomerular kembali ke dalam aliran darah. Dengan demikian, untuk obat basa, seperti
amfetamin, sebagian besar berada dalam bentuk tak terion dalam urin basa, sehingga
banyak yang tere-absorbsi ke dalam darah, yang akibatnya dapat memperlama
aktivitasnya.

Senyawa yang dapat meningkatkan pH urin adalah natrium bikarbonat, sehingga


bila diberikan bersamaan dengan amfetamin dosis tunggal, maka efek amfetamin dapat
berlangsung selama beberapa hari.

Sebaliknya, obat yang bersifat asam, seperti salisilat, sulfonamid, fenobarbital, lebih
cepat terekskresi bila urin alkalis (pH tinggi). Oleh karena itu pemberian bersama-sama
obat ini dengan obat yang me-ningkatkan pH urin, seperti diuretik penghambat karbonat
anhidrase (asetazolamid), atau antasida sistemik (natrium bikarbonat), dapat
mempercepat bersihan obat asam sehingga efeknya cepat hilang.

2. Interaksi Obat dengan Perubahan Transpor Aktif

Penghambatan sekresi pada tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antarobat atau
antarmetabolit untuk sistem transpor aktif yang sama, terutama sistem transpor untuk
obat asam atau metabolit yang bersifat asam. Proses ini mungkin melibatkan sistem
enzim di dalam ginjal. Obat-obat tersebut diangkut dari darah melintasi sel-sel tubuli
proksimal dan masuk ke urin, melalui transpor aktif.

Bila obat diberikan bersamaan maka salah satu di antaranya dapat mengganggu
eliminasi obat lainnya.Sebagai contoh, pemberian bersamaan antara probenesid dan
penisilin. Probenesid menghambat ekskresi penisilin sehingga kadar antibiotik ini di
dalam darah tetap tinggi dan efeknya lama. Waktu paruh eliminasi penisilin akan
meningkat 2 – 3 lebih lama. Hal ini merupakan interaksi yang menguntungkan untuk
pengobatan infeksi.

Contoh lain adalah antara fenilbutazon dan asetoheksamid. Fenilbutazon


meningkatkan efek hipoglikemik dari asetoheksamid dengan menghambat ekskresi
metabolit aktif-nya, yakni hidroksiheksamid, se-hingga kadar metabolit tersebut dalam
darah lebih tinggi dari normal, sehingga insulin plasma meningkat dan glukosa darah
berkurang.
PERTEMUAN VI

A. FARMAKODINAMIK

Farmakodinamik ialah salah satu ilmu yang mampelajari tentang efek obat secara
biokoimiawi dan fisiologi, serta mekanisme kerjanya. Dengan memahami farmakologi
diharapkan diketahui bagaimana interaksi obat dengan sel dan bagaimana efek dan
respon yang terjadi.

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,
sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma. Hal ini
terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem
fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan seperti interaksi-
interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi
tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek farmakologi obat yang dipengaruhi.

Interaksi farmakodinamik terjadi di mana efek dari satu obat yang diubah oleh
kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Kadang-kadang obat secara langsung bersaing
untuk reseptor tertentu.

1. INTERAKSI ANTAGONIS

Interaksi Antagonis adalah interaksi yang terjadi Ketika satu obat mengganggu
dengan aksi lain, menyebabkan netralisasi atau penurunan efek satu obat. Antagonisme,
saling menurunkan khasiat dari masing-masing obat. Kegiatan obat pertama dikurangi
atau bahkan ditiadakan sama sekali oleh obat kedua yang bertentangan.

Secara farmakodinamika dibedakan menjadi 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme


fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat
bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan pengurangan atau
penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini merupakan interaksi obat.
Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedangkan obat yang
efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya
dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek
obat lain disebut obat presipitan.

2. INTERAKSI SINERGIS

a. Merupakan interaksi antara 2 obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau inti
yang sama dengan efek farmakologi yang sama. adalah kerja sama antara dua obat
dan dikenal dua jenis:
 Adisi (sunmasi). Efek kombinasi adalah sama dengan jumblah kegiatan dari
masing-masing obat, misalnya kombinasi asetosal dan parasitamol, juga trisulfa.
 Potensiasi (= meningkatkan potensi). Kedua obat saling memperkuat khasiatnya,
sehingga terjadi efek yang melebihi jumblah matematis dari a+b. kedua obat
kombinasi dapat memiliki kegiatan yang sama, seperti estrogen dan progesteron,
sulfametoksazol dan trimetoprin, asetosal dan kodein.
DAFTAR PUSTAKA

Stockley I 1981. Drug Interactions and Their Mechanisms, 3rd reprint. Cambridge
University Press, Cambridge.
Grahame-Smith DG & Aronson JK 1985. Oxford Textbook of Clinical Pharmacology
and Drug Therapy. Oxford University Press, Oxford
Fradgley S, 2003, Interaksi obat , dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju
Pengobatan Rasionaldan Penghargaan Pilihan Pasien (Aslam M, Tan CK, Prayitno A,
Ed), PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, hal 119 – 134.
Jankel CA and Speedie SM, 1990, Detecting drug interactions: a review of
literature, Ann
pharmacother, Vol. 24, p. 982 - 989 .
Bauman,JL.the role of pharmacokinetics, drug interactions and pharmacogenetics in the
acquired long QT syndrome. Eur Heart j.suppl.2001;3:93-100

Anda mungkin juga menyukai