Anda di halaman 1dari 13

Drug Related Problem (DRP) atau masalah terkait obat adalah bagian dari asuhan kefarmasian

(pharmaceutical care) yang menggambarkan suatu keadaan, dimana profesional kesehatan (apoteker)
menilai adanya ketidaksesuaian pengobatan dalam mencapai terapi yang sesungguhnya (Hepler, 2003)
DRP dibagi menjadi 2 : actual dan potensial, DRP actual adalah masalah yang terjadi seketika saat
pasien menggunakan obat (misalkan alergi dll), dan DRP potensial adalah masalah yang akan terjadi
pada saat setelah penggunaan obat (misalnya kerusakan hati, ginjal, dsb). Ada 8 jenis Drug Related
Problem, yaitu :
1. Indikasi yang tidak ditangani (Untreated Indication)
Ada indikasi penyakit/keluhan pasien yang belum ditangani dalam resep tersebut, misalnya pasien
mengeluh nyeri di persendian, sedang dalam resep tersebut tidak ada obat untuk mengatasi masalah
nyeri tersebut.
2. Pilihan Obat yang Kurang Tepat (Improper Drug Selection)
Pemilihan obat dalam resep kurang tepat (salah obat) dan beresiko, misalnya pasien demam dikasih
antibiotik rifampisin, ini jelas pemilihan bat salah. atau obat yang dipilih memiliki kontraindikasi atau
perhatian (caution) terhadap pasien.
3. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi (Drug Use Without Indication)
Obat yang ada dalam resep, tidak sesuai dengan indikasi keluhan penyakit pasien.
4. Dosis Terlalu Kecil (Sub-Therapeutic Dosage)
Dosis obat yang diberikan dalam dosis tersebut terlalu kecil, sehingga efek terapi tidak memadai untuk
mengobati penyakit pasien.
5. Dosis Terlalu Besar (Over Dosage)
Dosis yang diberikan dalam resep terlalu besar, diatas dosis maksimum, hal ini dapat berakibat fatal.
6. Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (Adverse Drug Reactions)
Obat yang diberikan memberikan efek samping yang memberatkan kondisi pasien, misalnya captopril
menyebabkan batuk yang mengganggu (efek samping ini tidak selalu terjadi, karena sensitifitas setiap
orang berbeda-beda).
7.Interaksi Obat (Drug Interactions)
Obat-obatan dalam resep saling berinteraksi seperti warfarin dan vitamin K bersifat antagonis, atau obat
dengan makanan semisal susu dan tetrasiklin membentuk khelat/kompleks yang tidak bisa diabsorpsi.
8. Gagal Menerima Obat (Failure to receive medication)
Obat tidak diterima pasien bisa disebabkan tidak mempunyai kemampuan ekonomi, atau tidak percaya
dan tidak mau mengkonsumsi obat-obatan. atau bisa juga disebabkan obat tidak tersedia di apotek
sehingga pasien tidak dapat memperoleh obat.

Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan screening
resep untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP, serta melakukan konseling pada pasien tersebut agar
masalah terkait penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti tentang pengobatannya yang
bermuara pada meningkatnya kepatuhan pasien dalam pengobatan yang teratur. Hayo jalankan peranmu
apoteker, tunggu apa lagi :D
INTERAKSI OBAT
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efek masing-masing
atau saling berinteraksi. Interaksi tersebut dapat bersifat potensiasi atau antagonis satu obat oleh
obat lainnya, atau kadang dapat memberikan efek yang lain. Interaksi obat yang merugikan
sebaiknya dilaporkan kepada Badan/Balai/Balai Besar POM seperti halnya dengan reaksi obat
merugikan lainnya.

Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik atau farmakokinetik.

Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang  mempunyai efek farmakologi atau
efek samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi
pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang
sama. Interaksi ini  biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi  obat-obat yang
berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga dengan obat
sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada kebanyakan pasien yang
mendapat obat-obat yang saling berinteraksi.
 

Interaksi  Farmakokinetik
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau
ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang
tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek farmakologinya. Tidak mudah untuk
memperkirakan interaksi jenis ini   dan  banyak diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian
kecil pasien yang mendapat kombinasi obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik yang terjadi
pada satu obat belum tentu akan terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki
sifat-sifat  farmakokinetik yang sama .
Interaksi farmakokinetik dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok:

Mempengaruhi absorpsi
Kecepatan absorpsi atau total jumlah yang diabsorpsi dapat dipengaruhi oleh interaksi obat. Secara
klinis, absorpsi yang tertunda kurang berarti kecuali diperlukan kadar obat dalam plasma yang tinggi
(misal pada pemberian analgesik). Namun demikian penurunan jumlah yang diabsorbsi dapat
menyebabkan terapi menjadi tidak efektif.
Menyebabkan perubahan pada  ikatan protein
Sebagian besar obat berikatan secara lemah dengan protein plasma karena ikatan protein tidak
spesifik, satu obat dapat menggantikan obat yang lainnya, sehingga jumlah bentuk bebas meningkat
dan dapat berdifusi dari plasma ketempat kerja obat. Hal ini akan menghasilkan peningkatan efek
yang terdeteksi hanya jika kadar obat yang berikatan sangat tinggi (lebih dari 90%) dan tidak
terdistribusikan secara luas di  seluruh tubuh. Walaupun demikian, penggantian posisi jarang
menyebabkan potensiasi yang lebih dari potensiasi sementara, karena meningkatnya bentuk bebas
juga akan meningkatkan kecepatan eliminasi obat. Penggantian posisi  pada tempat ikatan protein
penting  pada potensiasi warfarin oleh sulfonamid dan tolbutamid. Tetapi hal ini menjadi penting
terutama karena metabolisme warfarin juga dihambat.
Mempengaruhi metabolisme.
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi terhadap sistem enzim mikrosomal hati oleh salah satu
obat dapat menyebabkan perubahan kecepatan metabolisme obat lainnya secara bertahap,
sehingga menyebabkan rendahnya kadar plasma dan mengurangi efek obat. Penghentian obat
penginduksi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya kadar plasma obat yang lainnya sehingga
terjadi gejala toksisitas. Barbiturat, griseofulvin, beberapa antiepilepsi dan rifampisin adalah
penginduksi enzim yang paling penting. Obat yang dipengaruhi antara lain warfarin dan kontrasepsi
oral.
Sebaliknya, saat suatu obat menghambat metabolisme obat lain, akan terjadi peningkatan kadar
plasma, sehingga menghasilkan peningkatan efek secara cepat dan juga meningkatkan risiko.
Beberapa obat yang meningkatkan potensi warfarin dan fenitoin memiliki mekanisme  seperti di
atas.

Mempengaruhi ekskresi ginjal


Obat dieliminasi melalui ginjal, melalui filtrasi glomerulus dan melalui sekresi aktif di tubulus ginjal.
Kompetisi terjadi antara obat-obat yang menggunakan mekanisme transport aktif yang sama di
tubulus proksimal. Contohnya salisilat dan beberapa AINS menghambat ekskresi metotreksat;
toksisitas metotreksat yang serius dapat terjadi.
 

PENTINGNYA INTERAKSI
Banyak interaksi obat tidak berbahaya tetapi banyak juga interaksi yang potensial berbahaya hanya
terjadi pada sebagian kecil pasien. Terlebih, derajat keparahan suatu interaksi bervariasi dari satu
pasien ke pasien lain. Obat-obat dengan indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan obat-obat yang
memerlukan kontrol dosis yang ketat (antikoagulan, antihipertensi dan antidiabetes) adalah obat-
obat yang paling sering terlibat.
Pasien dengan peningkatan risiko mengalami interaksi obat adalah lansia dan orang-orang dengan
gagal ginjal atau hati.

Interaksi Yang Berbahaya.


Simbol • dicantumkan pada interaksi yang potensial berbahaya serta apabila pemberian kombinasi
obat-obat yang terkait sebaiknya dihindari (atau hanya diberikan dengan peringatan dan
pemantauan  yang memadai).
Interaksi yang tidak ditandai dengan simbol biasanya tidak mempunyai  akibat yang serius.

Daftar Interaksi Obat


Berikut ini adalah daftar berdasarkan alfabetis dari obat-obat dan interaksinya. Untuk menghindari
perujukan silang yang berlebihan, setiap obat atau golongan obat dimasukkan dua kali: dalam daftar
alfabetisme dan juga terhadap obat atau kelompok obat yang berinteraksi dengannya.
Pemberian Obat Pada Ibu Hamil Dan
Menyusui
TIDAK dipungkiri bahwa selama kehamilan dan menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai
keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Pemahaman mengenai keamanan
penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui belum dimengerti dengan baik di masyarakat, dalam
kalangan tenaga kesehatan sendiri pun sih belum dapat memaksimalkan pemahaman penggunaan
obat bagi ibu hamil dan menyusui. Secara umum patokan pada penggunaan dan penggolongan
keamanan obat pada ibu hamil dan menyusui masih mengarah pada panduan FDA (Food and Drug
Administration) Amerika Serikat.
Masa kehamilan
Banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode organogenesis sedang berlangsung
sehingga resiko terjadi cacat janin lebih besar, di sisi lain.Mengingat beberapa jenis obat dapat
melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu hati-hati. Selama trisemester
pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir (teratogenesis), dan resiko terbesar adalah kehamilan 3-
8 minggu. Selama trisemester kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan secara fungsional pada janin atau dapat meracuni plasenta.
Berikut kategori tingkat keamanan penggunaan obat pada ibu hamil dari FDA (Food Drug
Administration) :
 Kategori A
Aman untuk janin seperti vitamin C asam folat, vit B6, parasetamol, zinc, dan sebagainya.
 Kategori B
Cukup aman untuk janin seperti amoksisilin, ampisilin, azitromisin, bisakodil, cefadroksil,
cefepim, cefixim, cefotaxim, ceftriaxon, cetirizin, klopidogrel, eritromisin, ibuprofen,
insulinlansoprazol, loratadin, me penem, metformin, metildopa, metronidazol, dan sebagainya.
 Kategori C
Dapat beresiko, digunakan jika perlu. Obat dianjurkan hanya jika manfaat yang diperoleh oleh
ibu atau janin melebihi resiko yang mungkin tim bul pada janin. Contohnya albendazol,
allopurinol, aspirin, amitriptilin, kalsitriol, kalsium laktat, kloramfe nikol, ciprofloksasin,
klonidin, kotrimoksazol, codein + parasetamo dektrometorfan, digoksin, enalapril, efedrin,
flukonazol dan sebagainya.
 Kategori D
Ada bukti positif dari resiko, digunakan jika darurat. Pengunaan obat diperlukan untuk mengatasi
situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang lebih aman tidak efektif
atau tidak dapat diberikan. Contohnya alprazolam, amikasin, amiodaron, carbamazepin, klordiaz
epoksid, diazepam, kanamisin, fenitoin, asam valproat, dan sebagainya.
 Kategori X
Kontraindikasi dan sangat berbahaya bagi janin, conhnya (amlodipi atorvastatin), atorvastatin,
(kafein + ergotamin), (desogestrel + etinil es tradiol), ergometrin, estradol, miso prostol,
oksitosin, simvastatin, warfarin.
Efikasi, kemanjuran (benefit) vs resiko (risk) adalah pertimbangan utama menggunakan obat
khususnya untuk A dan B, untuk obat yang masuk kategori C dan D dianjurkan untuk benar-benar
melalui pertimbangan dokter dengan mempertimbangkan manfaat, keselamatan jiwa yang lebih besar
dibandingkan resikonya, untuk obat kategori X tidak boleh digunakan pada masa kehamilan.
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi farmakokinetika obat.
Perubahan fisiologi tersebut misalnya perubahan volume cairan tubuh yang dapat menyebabkan
penurunan kadar puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di air dan obat
dengan volume distribusi yang rendah.

Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia) yang
menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin sehing ga obat bebas banyak terakumulasi dalam darah
dan berpotensi meningkatkan efek yang merugikan. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinis kara
bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan bertambahnya kecepatan
metabolisme obat.

Berikut beberapa obat yang dapat digunakan pada masa kehamilan :


1. Pereda Nyeri dan Demam: Obat parasetamol termasuk obat yang aman mengatasi nyeri atau
demam, untuk sakit kepala, lain dengan mengkonsumsi parasetamol juga bisa diatasi dengan
kompres dingin dan beristirahat. Untuk demam, bisa dibantu mengatasinya dengan kompres air
hangat.
2. Batuk Pilek : Obat batuk pilek yang banyak dijual bebas biasanya berupa kombinasi sebaiknya
dihindari pada saat hamil.
Dekongestan adalah obat yang berfungsi mengatasi hidung tersumbat seperti phenylephrine dan
pseudoe fedrin. Pada saat hamil harus dihindari penggunaan dekongestan oral (minum). Ibu
hamil yang membutuhkan dekongestan sebaiknya disarankan menggunakan semprot (spray).
Obat dekongestan semprot lebih aman karena mekanisme kerja secara lokal di area hidung, dosis
rendah serta paparan obat dengan tubuh lebih singkat, seperti penggunaan tetes hidung saline.
Obat batuk pada ibu hamil pili pertama adalah dektrometorphan (untuk mengatasi batuk kering),
un tuk batuk berdahak bisa menggunakan asetilsistein. Hindari sediaan obat batuk yang
mengandung alkohol. Selain obat, bisa mengkonsumsi air lemon, maupun air madu.
3. Sembelit dan Diare: Bisa menggunakan obat laksatif atau metilselulosa.
Sementara untuk diare, bisa menggunakan obat loperamid. Untuk menggantikan cairan elektrolit
tubuh yang hilang bisa diganti dengan oralit. Sembelit juga bisa diatasi dengan konsumsi
makanan tinggi serat dan cukup cairan. Olahraga ringan, seperti berenang atau jalan kaki, dapat
membantu mengatasi sembelit karena dapat meningkatkan sirkulasi yang dapat merangsang
sistem pencernaan.
4. Alergi: Bagi ibu hamil yang mengalami alergi bisa menggunakan obat cetirizin yang aman bagi
ibu hamil.
Masa Menyusui
Banyak ibu yang sedang menyusui menggunakan obat-obatan yang dapat memberikan efek yang
tidak dikehendaki pada bayi yang disusui. Pada umumnya, hampir semua obat yang diminum dapat
terdeteksi dalam ASI, namun dengan konsentrasi yang umumnya rendah. Konsentrsi obat dalam
darah ibu merupakan faktor utama yang berperan dalam proses transfer obat ke ASI. Pada umumnya,
kadar puncak obat di ASI adalah sekitar 1-3 jam sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat
membantu mempertimbangkan untuk tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui
tetap harus meminum obat yang potensial berbahaya terhadap bayinya maka untuk sementara ASI
tidak diberikan. ASI dapat diberikan kembali setelah dapat dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini
dapat diperhitungkan setelah 5 kali waktu paruh obat.
Penggunaan obat yang tidak diperlukan harus dihindari, jika pengobatan memang diperlukan,
perbandingan manfaat/resiko harus dipertimbangkan pada ibu maupun bayinya. Pada neonatus
(khusus bayi yang lahir prematur) mempunyai resiko lebih besar terhadap paparan obat melalui ASI.
Kategori penggunaan obat bagi ibu menyusui :

 L1: Paling aman, contohnya parasetamol, ibuprofen, loratadin


 L2: Aman, contohnya cetirizin, dimenhidrinat, guaiafenesin.
 L3: Cukup aman,contohnya pseudoefedrin, lorazepam, aspirin
 L4: Kemungkinan berbahaya, contohnya kloramfenikol, sibutramin
 L5: Kontraindikasi, contohnya amiodaron
Berikut Tips Bagi Ibu Hamil dalam penggunaan Obat !
 Ibu hamil harus cermat dan selektif dalam memilih obat.
 Berkonsultasilah dengan dokter maupun apoteker.
 Sebaiknya seminimal mungkin mengkonsumsi obat saat hamil, kecuali adanya riwayat penyakit
kronis yang mengharuskan minum obat dengan adanya pertimbangan manfaat/resiko.
 Jika terpaksa membeli obat yang di jual bebas, pilihlah obat yang mencantumkan keterangan
aman untuk ibu hamil dan pastikan anda mendapatkan informasi mengenai obat langsung kepada
Apoteker.
Berikut Tips Bagi Ibu Menyusui dalam penggunaan Obat !
 Berkonsultasi lah dengan para dokter, jelaskan kondisi ibu yang sedang menyusui.
 Jika memang harus mengkonsumsi obat, mintalah dosis yang serendah mungkin dan dikonsumsi
dalam waktu yang sesingkat mungkin.
 Jika terpaksa membeli obat yang di jual bebas, pilihlah obat yang mencantumkan keterangan
aman untuk ibu hamil dan menyusui dan pastikan anda mendapatkan informasi mengenai obat
langsung kepada Apoteker.
 Aturlah waktu meminum obat, misalnya setelah menyusui, atau pada saat si kecil tidur untuk
waktu yang agak lama. Hal ini untuk memperkecil resiko masuknya pengaruh obat dalam ASI
yang dikonsumsi bayi.
 Perhatikan gejala-gejala yang tampak, apakah si kecil jadi rewel, timbul ruam atau bercak
merah/biru, sakit, kejang perut/kholik, atau ada peru bahan pada pola tidur dan makannya. Bila
muncul salah satu gejala ini segera beritahu dokter, termasuk jenis obat yang anda konsumsi.
Penjelasan diatas tetap harus didukung dengan konsultasi kepada dokter maupun apoteker terkait
keamanan penggunaan obat bagi ibu hamil dan menyusui termasuk penggunaan obat bebas yang
sering dilupakan.
FARMAKOGNOSI 2

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan
apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia terdiri atas  3 jenis yaitu, simplisia nabati,  hewani dan mineral (pelikan) dengan uraian
sebagai berikut:

1. Simplisia Nabati, adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat
tanaman, atau gabungan antara ketiganya. Simplisia nabati tidak hanya seluruh bagian tumbuhan,
tetapi sering juga berupa bagian atau organ tumbuhan seperti akar, kulit akar, batang, kulit
batang, kayu, bagian bunga dan sebagainya. contoh : bunga cengkeh (clove), lada hitam , daun
sereh , kulit kayu manis.
2. Simplisia Hewani, adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan (Oleum
ieconis asselli) dan madu (Mel depuratum).
3. Simplisia Mineral atau pelikan, adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang
belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni,
contohnya serbuk seng dan tembaga.
Keunggulan simplisia antara lain :
 Efek sampingnya relatif lebih kecil dari pada obat-obatan kimia karena berasal dari alam, adanya
 Komposisi yang saling mendukung untuk mencapai efektivitas pengobatan.
 lebih sesuai untuk penyakit metabolik dan degenaratif.
Kekurangan Simplisia :
 Memiliki efek farmakologis yang lemah.
 bahan baku belum terstandar.
 Sebagaian besar Belum dilakukan uji klinik
 Mudah tercemar berbagai mikroorganisme.
Pembuatan simplisia meliputi beberapa tahap diantaranya :
 Sortasi basah : pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar
 Pencucian : dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada
bahan simplisia.
 Perajangan : Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan untuk memperoleh proses
pengeringan, pengepakan dan penggilingan.
 Pengeringan : bertujuan untuk menurunkan kadar air , menghilangkan aktivitas enzim ,
memudahkan dalam hal pengolahan proses selanjutnya (ringkas, mudah disimpan, tahan lama,
dan sebagainya)
 Sortasi kering : pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan.
 Penyimpanan : simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling
bercampur antara simplisia satu dengan lainnya
Untuk mengetahui mutu simplisia, maka dilakukan analisis yang meliputi analisis kuantitatif dan
kuantitatif. Pengujian mikroskopik termasuk dalam analisis kuantitatif. Uji mikroskopik dilakukan 
menggunakan mikroskop yang derajat pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia 
dapat diuji berupa sayatan melintang, radial, paradermal, membujur ataupun serbuk. Dari pengujian
ini akan diketahui jenis simplisia berdasarkan pragmen pragenal spesifik masing-masing simplisia.

Serbuk dari simplisia memiliki beberapa persyaratan yaitu:


1.Kadar air. Kurang dari 10%
2.Angka Lempeng Total. kurang dari 10
3.Angka Kapang dan Khamir. Kurang dari 10
4.Mikroba Patogen: Negatif
5.Aflatoksin kurang dari 30 bpj.
 Aflatoksin adalah segolongan senyawa toksik yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi
manusia dan hewan.
 Larutan dengan konsentrasi 1 bpj artinya mengandung 1 gram zat terlarut didalam tiap 1 juta
gram larutan atau 1 mg zat terlarut dalam tiap 1 kg larutan.
Pada pembuatan bahan dasar obat harus  dilakukan beberapa uji coba yaitu uji organoleptik.  Uji
organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indra manusia sebagai alat utama
untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik dapat memberikan
indikasi kebusukan, kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari produk.

Adapun syarat-syarat yang harus ada dalam uji organoleptik adalah ada contoh yang diuji yaitu
benda perangsang, ada panelis sebagai pemroses respon, ada pernyataan respon yang jujur respon
dan spontan, tanpa penalaran, imaginasi, ilusi atau meniru orang lain atau  asosiasi. Tujuan uji
organoleptik adalah untuk:

1. Pengembangan produk dan perluasan pasar


2. Pengawasan mutu, bahan mentah, dan komoditas
3. Perbaikan produk
4. Membandingkan produk sendiri dengan produk pesaing
5. Evaluasi penggunaan bahan, formulasi, dan peralatan baru
Pemanfaatan simplisia sebagai obat tradisional, sebaiknya menggunakan simplisia dari kelompok
obat fitofarmaka, yang telah teruji khasiat dan keamanannya, teruji secara klinis, bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta memenuhi indikasi medis.

ENZIM

Enzim adalah biokatalisator organik yang dihasilkan organisme hidup di dalam protoplasma,
yang terdiri atas protein atau suatu senyawa yang berikatan dengan protein. Ada 2 fungsi pokok
enzim, yakni mempercepat atau memperlambat reaksi kimia; dan mengatur sejumlah reaksi
yang beda-beda dalam waktu yang sama.

Dalam ilmu biologi, enzim didefinisikan sebagai biokatalisator yang berfungsi mempercepat
reaksi biologis di dalam tubuh. Dengan adanya enzim, proses reaksi biologis di dalam tubuh
bisa terjadi tanpa ikut bereaksi dengan subtrat (komponen yang akan dipecah oleh enzim).
Enzim juga termasuk bagian penting di tubuh manusia. Dikutip dari livescience, enzim
merupakan katalis yang sangat selektif. Artinya setiap enzim hanya mempercepat reaksi
tertentu. Beberapa enzim membantu memecah molekul besar menjadi potongan-potongan kecil
yang lebih mudah diserap tubuh. Namun ada juga enzim yang membantu mengikat dua molekul
menjadi satu untuk menghasilkan molekul baru. Contoh Jenis Enzim Berikut ini beberapa
contoh jenis enzim di tubuh manusia seperti dilansir Medical News Today: Lipase: sekelompok
enzim yang membantu mencerna lemak di usus. Amilase: membantu mengubah pati menjadi
gula, ditemukan dalam air liur. Maltase: juga ditemukan dalam air liur, memecah gula maltosa
menjadi glukosa. Maltosa ditemukan dalam makanan seperti kentang, pasta, dan bir. Tripsin:
ditemukan di usus kecil, memecah protein menjadi asam amino. Laktase: juga ditemukan di
usus kecil, memecah laktosa, gula dalam susu, menjadi glukosa dan galaktosa.
Asetilkolinesterase: memecah neurotransmitter asetilkolin di saraf dan otot. Helikase:
mengungkap DNA. DNA polimerase: mensintesis DNA dari deoksiribonukleotida. Enzim hati:
memecah racun dalam tubuh. Komponen Enzim Sebagian besar enzim, terdiri atas dua
komponen penyusun, yakni protein (apoenzim) dan non-protein (gugus prostetik). Apoenzim
adalah komponen paling dominan dalam struktur enzim. Selain itu, apoenzim ini bersifat labil
karena mudah dipengaruhi oleh perubahan suhu dan pH, serta tidak tahan panas. Adapun
gugus prostetik terdiri dari ion anorganik dan ion organik kompleks. Ion anorganik dalam gugus
prostetik disebut sebagai kofaktor. Fungsi kofaktor ialah katalis yang mampu meningkatkan
kerja enzim. Sedangkan ion organik dalam gugus prostetik disebut koenzim, yang berfungsi
untuk memindahkan zat kimia dari satu enzim ke enzim lain. Sifat-sifat Enzim Secara umum,
Enzim memiliki setidaknya enam sifat yang khas. Pertama, enzim hanya mengubah kecepatan
reaksi. Jadi, enzim tidak mengubah produk akhir yang dibentuk atau mempengaruhi
keseimbangan reaksi, hanya meningkatkan laju suatu reaksi. Kedua, enzim bekerja secara
spesifik. Maka itu, enzim hanya mempengaruhi substrat tertentu. Ketiga, enzim merupakan
protein. Oleh karena itu, enzim memiliki sifat seperti protein, antara lain bekerja pada suhu
optimum, umumnya suhu kamar. Enzim akan kehilangan aktivitasnya karena pH yang terlalu
asam atau basa kuat, dan pelarut organik. Panas yang terlalu tinggi akan membuat enzim
terdenaturasi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Keempat, enzim diperlukan dalam jumlah sedikit, sesuai dengan fungsinya sebagai katalisator.
Kelima, enzim bekerja secara bolak-balik. Reaksi-reaksi yang dikendalikan enzim dapat
berbalik. Ini berarti enzim tidak menentukan arah reaksi tetapi hanya mempercepat laju reaksi
sehingga tercapai keseimbangan. Enzim dapat menguraikan suatu senyawa menjadi senyawa-
senyawa lain, dan juga sebaliknya, menyusun senyawa-senyawa menjadi senyawa tertentu.
Keenam, enzim dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja
enzim adalah suhu, pH, aktivator (pengaktif), dan inhibitor (penghambat), serta konsentrasi
substrat. Fungsi dan Cara Kerja Enzim Enzim bertindak sebagai katalis dalam organisme hidup.
Enzim mengatur laju reaksi kimia tanpa dirinya sendiri berubah dalam proses tersebut. Molekul
yang bekerja dengan enzim disebut dengan istilah substrat. Substrat berikatan dengan suatu
daerah pada enzim yang disebut tapak aktif. Ada dua model cara kerja enzim. Pada model
gembok dan kunci (Lock and key), situs aktif enzim dibentuk secara tepat untuk menampung
substrat tertentu. Sementara di model induced-fit atau kecocokan yang terinduksi, situs aktif
dan media tidak cocok satu sama lain, tetapi keduanya mengubah bentuknya agar terhubung.
Dikutip dari Britannica, enzim mengkatalisasi banyak aspek dari metabolisme sel yang
mempunyai fungsi berikut: Pencernaan makanan di mana molekul nutrisi yang besar (seperti
protein, karbohidrat, dan lemak) dipecah menjadi molekul yang lebih kecil. Konservasi dan
transformasi energi kimia. Konstruksi makromolekul seluler dari prekursor yang lebih kecil.
Setiap sel di tubuh mengandung DNA. Setiap sel membelah, DNA perlu disalin. Enzim
membantu dalam proses ini dengan melepaskan gulungan DNA dan menyalin informasi. Enzim
juga dibutuhkan di industri makanan dan medis. Fermentasi anggur, ragi roti, pengentalan keju,
dan pembuatan bir telah dipraktekkan sejak awal, tetapi baru pada abad ke-19 reaksi ini
dipahami sebagai hasil dari aktivitas katalitik enzim. Sejak itu, enzim menjadi semakin penting
dalam proses industri yang melibatkan reaksi kimia organik. Di dunia medis, penggunaan enzim
untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit, mempercepat penyembuhan luka,
hingga mendiagnosis penyakit tertentu.

PROTEIN

A. Pengertian Protein

Protein terbentuk dari polimerisasi peptida-peptida. Peptida merupakan


polimerisasi dari asam amino-asam amino yang berbeda. Jadi, protein dapat
dikatakan sebagai suatu kopolimer.

Ikatan yang terjadi antar protein selain ikatan peptida antara asam amino dan
penyusunnya, juga terjadi ikatan-ikatan yang lain. Misalnya, ikatan hidrogen yang
terjadi pada gugus –NH dan gugus –OH, serta ikatan disulfida -S-S- yang
menyokong terjadinya ikatan yang kompleks pada protein. Ikatan ion pada protein
juga terjadi jika di dalamnya terdapat gugus ion logam dan ikatan koordinasi,
misalnya ikatan koordinasi antara ion Fe3+ dengan hemoglobin pada darah.

B. Struktur Protein

Struktur protein (Sumber: assignmenthelp.net)


Dengan memperhatikan ikatan-ikatan yang terjadi pada protein, bisa disimpulkan
bahwa struktur protein merupakan struktur yang kompleks. Struktur protein
terdiri atas beberapa macam struktur lho Squad, diantaranya;

1. Struktur primer merupakan ikatan-ikatan peptida dari asam amino-asam


amino pembentuk protein tersebut.
2. Struktur sekunder terbentuk dari ikatan hidrogen yang terjadi antara
gugus-gugus amina dengan atom hidrogen pada rantai samping asam
amino, sehingga membentuk lipatan-lipatan, misalnya membentuk α-heliks.
3. Struktur tersier. Interaksi struktur sekunder yang satu dengan struktur
sekunder yang lain melalui ikatan hidrogen, ikatan ion, atau ikatan disulfida
(-S-S-),misalnya terbentuk rantai dobell-heliks.
4. Struktur kuartener. Struktur yang melibatkan beberapa peptida sehingga
membentuk suatu protein.Pada peristiwa ini, kadang-kadang terselip
molekul atau ion lain yang bukan merupakan asam amino, misalnya pada
hemoglobin, yang pada proteinnya terselip ion Fe3+.

C. Sifat-sifat Protein

1. Sukar larut dalam air karena ukuran molekulnya yang sangat besar.
2. Dapat mengalami koagulasi oleh pemanasan dan penambahan asam atau
basa.
3. Bersifat amfoter karena membentuk ion zwitter. Pada titik isoelektriknya,
protein mengalami koagulasi sehingga dapat dipisahkan dari pelarutnya.
4. Dapat mengalami kerusakan (terdenaturasi) akibat pemanasan. Pada
denaturasi, protein mengalami kerusakan mulai dari struktur tersier sampai
struktur primernya.

D. Protein Konjugasi

Protein konjugasi merupakan senyawa protein yang mengikat (terikat dengan)


molekul lain yang bukan protein. Protein konjugasi terdiri atas :

1. Nukleoprotein, merupakan protein yang terikat pada asam nukleat,


terdapat pada inti sel dan kecambah biji-bijian.
2. Glikoprotein, merupakan protein yang berikatan dengan karbohidrat,
terdapat pada musin kelenjar ludah, hati dan tendon.
3. Posfoprotein, merupakan protein yang berikatan dengan fosfat yang
mengandung lesitin, terdapat pada susu atau kuning telur.
4. Lipoprotein, merupakan protein yang terikat pada lipid (lemak), misalnya
serum darah, kuning telur atau susu.
5. Kromoprotein (metaloprotein), merupakan protein yang mengikat pigmen
atau ion logam, misalnya hemoglobin.

E. Fungsi Protein

Protein sangat besar peranannya dalam proses metabolisme tubuh, terutama


dalam pembentukan sel-sel baru untuk menggantikan sel yang rusak. Selain itu,
fungsi protein lainnya adalah:
1. Sebagai enzim. Enzim merupakan biokatalis. Bagian utama molekul enzim
yang disebut apoenzim merupakan molekul protein.
2. Alat angkut (protein transport). Hemoglobin merupakan protein yang
berperan mengangkut oksigen dalam eritrosit, sedangkan mioglobin
berperan dalam pengangkutan ion besi di dalam plasma darah yang
selanjutnya dibawa ke dalam hati.
3. Pengatur gerakan (protein kontraktil). Gerakan otot disebabkan oleh dua
molekul protein yang saling bergeseran.
4. Penyusun jaringan (protein struktural). Berfungsi sebagai pelindung
jaringan dibawahnya, misalnya keratin pada kulit dan lipoprotein yang
menyusun membran sel.
5. Protein cadangan. Merupakan protein yang berfungsi sebagai cadangan
makanan, misalnya kecambah dan ovalbumin.
6. Antibodi (protein antibodi). Berperan dalam melindungi tubuh dari
mikroorganisme patogen.
7. Pengatur reaksi (protein pengatur). Berfungsi sebagai pengatur reaksi di
dalam tubuh, misalnya insulin yang berperan dalam mengubah glukosa
menjadi glikogen.
8. Pengendali pertumbuhan. Bekerja sebagai penerima (reseptor) yang dapat
memengaruhi fungsi bagian-bagian DNA.

Anda mungkin juga menyukai