Anda di halaman 1dari 33

BAB I

DEFINISI
Interaksi obat adalah keadaan dimana efek farmakologik (farmakodinamik
dan/atau farmakokinetik) dari suatu obat mengalami perubahan akibat berinteraksi
antar obat itu sendiri ataupun dengan obat lain.
Perubahan yang terjadi dapat berupa efek yang memang dikehendaki
(Desirable Drug Interaction), misalnya terjadi efek sinergistik (efek obat
meningkat karena adanya obat/senyawa lainnya); ataupun efek yang tidak
dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interaction =ADIs), yang lazinya
menyebabkan efek samping obat dan / atau akibat meningkatnya kadar obat di
dalam plasma, atau menurunnya kadar obat dalam plasma sehingga hasil terapi
menjadi tidak optimal.
Obat yang dipengaruhi efeknya disebut object drug atau index drug
sedangkan obat lainnya yang mempengaruhi disebut precipitant drug.
Contoh index drug antara lain: antikoagulan (warfarin, kumarin), digoksin,
dilantin, obat-obat sitostatika, kontrasptik hormonal.
Contoh precipitant drug antara lain: aspirin, fenilbutazon, sulfa
Warfarin yang diberikan bersama (commitant) dengan aspirin menyebabkan efek
warfarin meningkat dan terjadi efek samping perdarahan hebat.
Selain interaksi antar obat (drug-drug interaction), dapat juga terjadi
interaksi antara obat dengan herbal/tanaman obat (drug-plant interaction), maupun
antar obat dengan makanan/minuman (drug-food interaction).
Contoh:
Jika sedang minum obat-obatan antidepresan golongan monoamine
oksidase inhibitors/MAOI (penghambat monoamine oksidase) tidak boleh
makan makanan yang mengandung tiramin (misalnya keju), karena dapat
terjadi krisis hipertensi.
Jika sedang minum antihiperlipidemia golongan statin tidak boleh
bersamaan dengan minuman grape fruit juice karena efek samping statin
akan meningkat (terjadi robdonyelitis).

1
Pada keadaan tertentu, interaksi dapat terjadi tanpa melibatkan efek
apapun dari suatu obat. Misalnya, adanya suatu obat dalam darah dapat
mempengaruhi beberapa jenis tertentu analisis laboratorium (analytical
interference).Misalnya vitamin C dosis tinggi mempengaruhi analisis
laboratorium untuk glukosa darah, hemoglobin, dan nitrit dalam urin.
Interaksi tersebut diatas dapat terjadi karena pengguna-salahan (misuse)
akibat ketidaktahuan akan adanya zat aktif tertentu dalam suatu
senyawa/tanaman/makanan yang berinteraksi dengan obat yang diminum. Oleh
karena itu adalah sangat penting memahami kemungkinan terjadinya interaksi
dalam penggunaan obat guna menghindari timbulnya efek samping yang
merugikan serta guna tercapainya hasil terapi yang optimal.

2
BAB II
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup interaksi obat mencangkup implikasi klinis dari interaksi
obat, obat indeks dan obat presipitant, mekanisme interaksi obat, pasien beresiko
A. Implikasi Klinis Dari Interaksi Obat.
Impliksi klinis dari interaksi obat terdiri dari interaksi obat yang tidak
dikehendaki dan interaski obat yang dikehendaki.
1. Interaksi obat yang tidak dikehendaki
Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping
obat (adverse drug reaction), yakni jika metabolism suatu obat terganggu akibat
adanya obat lain dan menyebabkan peningkatan kadar plasma obat indeks
sehingga terjadi toksisitas.
Sebaliknya, interaksi antar obat juga dapat menurunkan kadar plasma obat
indeks sehingga efikasi obat tersebut menurun dan efek terapi tidak tercapai.
Interaksi obat demikian tergolong sebagai interaksi obat yang tidak dikehendaki
atau Adverse Drug Interaction (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi
obat adakalanya tidak selalu harus dihindari karena tidak selamanya serius untuk
mencederai pasien.
Banyak factor berperan dalam terjadinya interaksi obat yang tidak
dikehendaki (ADIs) yang bermakna secara klinis, antara lain factor usia, factor
penyakit hati. Pemberian oba, genetic, dan penggunaan obat-obat preskripsi
bersama-sama beberapa obat OTC sekaligus.
a. Usia lanjut lebih rentan mengalami interaksi obat. Pada penderita diabetes
mellitus usia lanjut yang disertai menurunnya fungsi ginjal, pemberian
penghambat ACE (misal : kaptopril) bersama diuretic hemat kalium (misal:
spironolakton, amilorid, triamteren) menyebabkan terjadinya hiperkalemia
yang mengancam kehidupan.
b. Beberapa penyakit seperti:
1) Penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan penghambatan
metabolism obat-obat tertentu yang dimetabolisme di hati. Pemberian obat
yang dimetabolisme di hati bersama dengan obat-obat yang merupakan

3
penghambat enzim pemetabolis hati (misalnya simetidin) pada penderita
kelainan fungsi hati menyebabkan metabolisme obat terlambat sehingga
toksisitasnya meningkat.
2) Pada penderita disfungsi ginjal, ekskresi aminoglikosida menurun
sehingga kadar obat ini dalam plasma meningkat. Pemberian relaksans
otot bersama aminoglikosida pada keadaan ini akan berinteraksi dan
menyebabkan efek relaksans otot meningkat, kelemahan otot meningkat,
dan terjadi depresi pernapasan.
c. Faktor Genetik antara lain polimorfisme adalah salah satu factor genetic yang
berperan dalam interaksi obat. Pemberian fenitoin bersama INH pada
kelompok polimorfisme asetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas
fenitoin meningkat.
d. Obat-obat OTC seperti antasida, NSAID dan rokok yang banyak digunakan
secara luas dapat berinteraksi dengan banyak sekali obat-obatan.
e. Bentuk sediaan obat tertentu, misalnya tablet lepas lambat (sustained release
tablet) akan berada lebih lama di dalam saluran cerna sehingga memperbesar
kemungkinan terjadinya interaksi jika diberikan bersamaan dengan obat lain
yang berpotensi berinteraksi.
f. Cara pemberian obat dapat mempengaruhi efektifitas obat tertentu jika
diberikan bersama makanan/minuman. Misalnya, tetrasiklin akan menurun
efektivitasnya jika diberikan bersama susu. Obat-obat hipnotik/sedative akan
meningkat efeknya jika diminum bersama alcohol. Obat-obat penghambat
MAO jika diminum/diberikan bersama kopi, coklat, keju menyebabkan
hipertensi berat.
g. Urutan Minum Obat harus diperhatikan jika menggunakan lebih dari 1 jenis
obat yang kemungkinan berinteraksi,pemberian masing-masing obat harus
diberi interval/jarak waktu 1-2 jam. Contoh, pemberian tetrasiklin dengan
antasida, tidak boleh bersamaan. Beri antasida terlebih dahulu, 2 jam
kemudian baru tetrasiklin diberikan. Demikian pula,beberapa obat tertentu
(missal antibiotika, statin) dapat terhambat absorbsinya jika diberikan secara
bersamaan dengan kaolin/pectin (antidiare).

4
h. Polifarmasi (penggunaan lebih dari satu jenis obat sekaligus/bersamaan)
meperbesar resiko terjadinya interaksi obat. Semakin banyak jumlah jenis
obat yang diberikan semakin besar kemungkinan terjadinya interaksi.
Kemungkinan banyaknya interaksi dijelaskan dengan rumus berikut:
Jumlah interaksi = n (n-1)
n = jumlah jenis obat
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis jika:
1) Obat indeks memiliki batas keamanan sempit (narrow margin of safety),
contoh antikoagulan (warfarin), antikonvulsan (fenitoin), digitalis.
2) Mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam;
3) Dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam
kehidupan, misalnya terjadi perdarahan berat karena antikoagulan
diberikan bersama dengan antiplatelet.
4) Obat indeks dan presipitant lazim digunakan dalam praktek klinik secara
bersamaan dalam kombinasi, misalnya obat-obat psikotropik untuk
gangguan psikiatrik.
5) Oleh karena memiliki implikasi klinis, maka dalam penggunaan berama
obat-obat lain harus benar-benar diperhatikan kemungkinan terjadinya
interaksi yang merugikan.
2. Interaksi obat yang dikehendaki
Adakalanya penambahan obat lain (presipitant) justru diperlukan untuk
meningkatkan atau mempertahankan/memelihara (maintenance) kadar plasma
obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek terapeutik yang diharapkan. Selain itu,
penambahan obat lain diharapkan dapat mengantaisipasi atau mengantagonis efek
obat (index drug) yang berlebihan.
Penambahan obat lain dalam bentuk kombinasi (tetap ataupun tidak tetap)
kadang-kadang disebut pharmacoenhancement, juga sengaja dilakukan untuk
mencegah perkembangan resistensi, meningkatkan kepatuhan, dan menurunkan
biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang diberikan.
Berikut adalah contoh-contoh interaksi antar obat yang diharapkan menghasilkan
efek yang dikehendaki:

5
a. Kombinasi anti-aritmia yang memiliki waktu paruh seingkat (misalnya
prokainamid), dengan simetidin dapat mengubah parameter farmakokinetik
prokainamid. Simetidin akan memperpanjang waktu paruh prokainamid dan
memperlambat eliminasinya. Dengan demikian frekuensi pemberian dosis
prokainamid sebagai antiaritmia dapat dikurangi setiap 4-6 jam menjadi setiap
8 jam/hari,sehingga kepatuhan pasien dapat ditingkatkan.
b. Dalam regimen pengobatan HIV, diperlukan kombinasi obat-obat penghambat
protease untuk terapi HIV dengan tujuan mengubah profil farmakokinetik
obat-obat tersebut. Misalnya, penghambat protease lopinavir jika diberikan
tunggal menunjukkan bioavailabilitas rendah sehingga tidak dapat mencapai
kadar plasma yang memadai sebagai antivirus. Dengan mengkombinasikan
lopinavir dengan ritonavir dosis rendah, maka bioavailabilitas lopinavir akan
meningkat dan obat mampu menunjukkan efikasi sebagai antiviral. Ritonavir
dosis rendah tidak memiliki efek antiviral namun cukup adekuat untuk
menghambat metabolism lopinavir di usus dan hati.
c. Kombinasi obat-obat anti malaria dengan mula kerja cepat tetapi waktu
paruhnya singkat (misal, artemisin) dengan obat anti malaria lain yang
memiliki waktu paruh kebih panjang (misal lumefantrin), akan meningkatkan
efektivitas obat anti malaria tersebut dan mengurangi relaps.
d. Kombinasi obat-obat anti tuberkolosis diharapkan akan memperlambat
terjadinya resistensi, kombinasi amoksisilin dengan asam clavulanat untuk
mencegah terjadinya resistensi.
e. Pemerian obat presipitant sebagai antagonis atau antidotum untuk mengkonter
efek samping obat indeks adalah contoh lain dari interaksi antar obat yang
dikehendaki. Misalnya, pemberian antikolinergik untuk mengatasi efek
samping ekstrapiramidal dari obat-obat anti emetic dan anti psikotik;
pemberian nalokson untuk mengatasi overdosis opium; pemberian atropine
untuk intoksikasi antikolinesterase, pemberian adrenalin untuk mengatasi syok
anafilaktik obat.

6
B. Obat Indeks dan Obat Presipitan
1. Obat Indeks
Obat indeks (index drug) adalah obat yang diubah atau dipengaruhi efek
farmakologiknya oleh obat/bahan lain.
Citi-ciri obat indeks sbb:
a. Obat-obat dimana adanya perubahan sedikit saja pada dosis obat akan
berakibat terjadinya perubahan besar pada efek klinik obat tsb. Secara
farmakologik, obat-obat ini mempunyai kurva dosis respon tajam dimana jika
kadar oat berkurang sedikit saja, maka efikasi kliniknya akan menurun cukup
signifikan.
b. Obat-obat yang memiliki low margin of safety/low toxic-theraupetic ratio.
Adanya peningkatan sedikit saja dosis/kadar obat tersebut dapat
menimbulkan peningkatan efek toksik yang signifikan.
Contoh obat indeks:
Antikoagulan : warfarin, dikumarol
Antikonvulsan : fenitoin
Antiaritmia : lidokain,prokainamid
Antidiabetik oral : tolbutamid, klorpropamid
Antibiotika : aminoglikosida (gentamisin,vankomisin)
Glikosida jantung : digoksin
Imunosupresan : sikloserin
Kontraseptik hormonal
Obat-obat SSP : gol. Benzodiazepine,lithium
Sitostatika : 5-fluorourasil, metotreksat
Teofilin
2. Obat Presipitan (precipitant drug) adalah obat lain yang
mempengaruhi/mengubah efek obat indeks.
Ciri-ciri obat presipitant sbb:

7
a. Obat-obat yang mempunyai ikatan protein (albumin) kuat. Obat-obat ini
akan menggusur (displaced) obat lain (obat indeks) yng ikatan proteinnya
lebih lemah, sehingga kadar plasma obat yang tergususr akan meningkat.
Contoh obat precipitant dengan ciri ini adalah : aspirin, fenilbutazon, sulfa.
b. Obat-obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau merangsang
(inducer) enzim-enzim pemetabolisme di hati.
Enzyme inhibitor : menghambat metabolism obat indeks, kadar obat
indeks, toksisitas.
Enzyme inducer : mempercepat eliminasi (metabolism) obat indeks,
kadar plasma obat indeks, efikasi
c. Obat-obat yang dapat mempengaruhi/mengubah ungsi ginjal sehingga
eliminasi obat-obat lain (obat indeks) akan dimodifikasi.
Contoh: probenesid,diuretika
Ciri-ciri obat presipitant seperti dijelaskan diatas adalah yang terkait dengan
interaksi secara farmakokinetik, terutama pada proses distribusi (ikatan protein),
metabolism, dan ekskresi ginjal.
C. Mekanisme Interaksi Obat
Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni:
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompabiitas farmasetik
bersifat langsung dan dapat secara fisika atau kimuawi, misalnya terjadi
presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya
menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Sering terjadi pada obat-obat yang
dicampur dalam cairan secara bersamaan, misal dalam infuse atau injeksi.
Contoh: interaksi karbenisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin
dengan larutan dextrose 5% terjadi presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl
fisiologik terjadi presipitasi.
2. Interaksi secara Farmakokinetik
Interaksi dalamproses farmakokinetik, yaitu absorbs, distribusi,
metabolism dan ekskresi (ADME) yang terjadi di saluran cerna, hati, ginjal,dan
dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara

8
farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak berlaku untuk obat lainnya
meskipun masih dalam satu kelas terpi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat
fisikokimia yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya,
interaksi farmakokinetik oleh simetidin (H2-bloker) tidak dimiliki oleh H2-bloker
lainnya, interaksi farmakokinetik oleh terfenadin, aztemizole (antihistamin non
sedative) tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya.
3. Interaksi secara Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi
efek yang aditif, potensiasi, sinergitik, atau antagonistic, tanpa ada perubahan
kadar plasma atau profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik
umumnya dapat berlaku ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi (class effect), karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik
dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme
kerja obat.
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistic misalnya:
interaksi antara -bloker dengan agonis 2 pada penderita asma; interaksiantara
penghambat reseptor dopamine (haloperidol, metokloperamid) dengan levodopa
pada pasien Parkinson.
Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara
lain sebagai berikut: interaksi antara aminoglikosida dengan furosemid akan
meningkatkan rasio ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; -bloker
dengan verapamil menimbulkan gagal jantung, blok AV, dan brakikardi berat;
benzodiazepine denga etanol meningkatkan depresi susunan saraf pusat
(SSP);kombinasi obat-obat trombolitik, antikoagulan dan antiplatelet menyebakan
perdarahan.
Penggunaan diuretic kuat (misal furosemid) yang menyebabkan perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan
toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama. Pemberian furosemid bersama
relaksan otot (misal, d-tubokurarin) menyebakan paralisis berkepanjangan.

9
Sebaliknya penggunaan diuretic hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama
dengan penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi
antihipertensi dengan obat-obat anti inflamasi non-steroid (NSAID) yang
menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama,
dapat menurunkan efek antihipertensi.
D. Pasien Beresiko
Kelompok pasien yang beresiko tinggi untuk mengalami interaksi obat
adalah sebagai berikut:
1. Pasien geriatric (usia lanjut > 65 th)
Pada proses penuaan (degeneratif) yang normal atau normal aging, terjadi
penurunan fungsi-fungsi fisiologi tubuh dan penurunan homostatis. Hal ini
menyebabkan terjadinyaperubahan dalam parameter farmakokinetik dan
farmakodinamik obat, yang berakibat terjadinya perubahan respons efek samping
obat (adverse drug reaction) taupun peningkatan toksisitas.
Selain itu, adanya berbagai penyakit yang di derita sekaligus (multiple
disease) pada kelompok usia lanjut menyebabkan penggunaan berbagai macam
obat sekaligus (polifarmasi) yang akan memperbesar resiko terjadinya interaksi
obat.
Beberapa perubahan parameter farmakokinetik akibat perubahan fungsi fisiologis
pada usia lanjut adalah sebagai berikut :
a. Absorpsi Oral : perubahan fungsi fisiologis di saluran cerna pada usia lanjut
antara lain menurunnya sekresi asam lambung, sehingga pH lambung
meningkat (lebih basa); hal ini menyebabkan penurunan disolusi obat-obat
a.1 ketokonazol, itrakonazol dan preparat besi yang berpengaruh pada
absorpsinya. Pada usia lanjut, area absorpsi usus mengalami penurunan (20-
30%), demikian juga aliran darah (40%) dan motilitas saluran cerna, serta
transport aktif. Hal ini berakibat pada menurunnya absorpsi beberapa obat,
antara lain vitamin (B1,B12), zat besi dan kalsium.
b. Metabolism lintas pertama: dipengaruhi oleh fungsi fisiologis yang antara
lain menurunnya aliran darah hepar. Hal ini berpengaruh terhadap
metabolisme obat-obat yang memiliki ratio ekstraksi tinggi (> 0,7) (misalnya,

10
propanolol, metoprolol, labetalol, calcium channel blocker, mofrin) dimana
bioavalabilitas obat-obat tsb meningkat signifikan.
c. Distribusi obat: pada usia lanjut mengalami perubahan yang disebabkan
karena:
- Menurunnya total body water (10-15%) berpengaruh pada obat-obat yang
larut dalam air (misalnya : simetidi, antipirin, alcohol), dimana volume
distribusi obat tersebut (Vd) menurun berakibat pada peningkatan kadar
plasa obat.
- Menurunnya laen body mass (10-15%) berpengaruh terhadap volume
distribusi (Vd) digoksin (menurun) sehingga kadar plasma meningkat
dibutuhkan pengurangan loading dose.
- Menurunnya body fat : menurunnya lemak tubuh berpengaruh pada obat-
obat yang larut dalam lemak (triopental, diazepam, klobazepam,
klordiazepoksid), dimana volume distribusi obat tsb meningkat, dan
menyebabkan peningkatan 1 obat-obat tsb.
d. Ikatan Protein Plasma: pada usia lanjut mengalami perubahan yang
disebabkan karena:
- Menurunnya plasma albumin (6-20%) berpengaruh pada obat-obat sama
yang terikat kuat dengan albumin (a.1. fenilbutason, salsilat, naproksen,
fenitoin, asam valproat, warfarin). Berkurangnya ikatan protein
menyebabkan fraksi obat bebas menigkat resiko ES meningkat.
- Meningkatnya a-1 acidglycoprotein plasma, berpengaruh pada obat-obat
basa yang terikat kuat dg protein tsb. (a.1. propanolol, lidokain,
impramin), menyebabkan peningkatan ikatan obat-protein sehingga
fraksi obat bebas menurun efektivitas obat menurun.
e. Metabolism Hepar: perubahan metabolism obat pada usia lanjut disebabkan
oleh adanya perubahan fisiologis yaitu:
- Perubahan enzim pemetabolisme (dari segi jumlah dan aktivitasnya)
- Penurunan masa hepar sehingga jumlah obat yang dimetabolisme
menurun.
- Penurunan aliran darah hepar (35%), menyebabkan menurunnya perfusi
hepar (10-15%)

11
Obat-obat yang dipengaruhi adalah obat basa yang dimetabolisme oleh
enzim hepar, a.1. propanolol, labetalo, calcium channel blocker, clonidin,
teofilin, barbiturate, benzodiazepine, anti depresa trisiklik (ADT). Klirens
hepar obat-obat ini menurun sehingga t obat menigkat.
f. Ekskresi Ginjal : pada usia lanjut mengalami perubahan yang disebabkan
karena:
- Menurunnya masa ginjal (25-30%)
- Menurunnya renal blod flow (1% per tahun setelah usia 40 th)
- Menurunnya GFR ( Glomerular Filtration Rate) (35%)
Obat-obat yang dipengaruhi adalah obat yang dieliminasi via ginjal yaitu:
ACE-Inhibitor, HCT, Atenolol,Sotalol, Prokainamid, digoksin,furosemid,
simetidin, ranitidine, metformin, aminoglikosida, litium. Klirens ginjal obat-
obat ini menurun sehingga t t meningkat.
Contoh-contoh interkasi obat pada usia lanjut dengan adanya penyakit :
- Ulkus peptic + Antikoagulan atau NSAID meningkatkan terjadinya
perdarahan lambung.
- Gangguan / insufiensi ginjal kronik + NSAID, atau aminoglikosida, atau
bahan kontras media dapat terjadi gagal ginjal akut.
- Diabetes mellitus + diuretic, atau kortikosteroid meningkatkan
hyperglikemia.
- Hipokalemia + digoksin, meningkatkan kejadian aritmia jantung
- Hipertensi + NSAID, atau phenilpropanolol amin ( PPA) meningkatkan
tekanan darah.
- Hipotensi postural + diuretic, atau antidepresan trisiklik (ADT), atau a-
bloker dapat terjadi sinkop, terjatuh, fraktur.
Beberapa jenis obat yang merupakan komposisi/komponen obat flu pada obat-
obat OTC dapat berinteraksi dan beresiko menimbuklan ESO pada usia lanjut,
misalnya :
- Antihistamin (difenhidramin), memiliki ES antikolinergik, pada usia lanjut
dapat meningkatkan retensi urin, konstipasi, pandangan (mata) kabur,
glukoma, mulut kering, gangguan memori.
- Nasal dekongestan/a agonis (fenilpropanolol amin, fenilefrin, pseudo
efedrin), pada usia lanjut dapat meningkatkan tekanan darah.
2. Pasien Pediatrik

12
Interaksi obat dapat terjadi pada setiap tahap proses farmakokinetik
misalnya pada tahap absorpsi. Pada neonates dan bayi (infant), belum
sempurnanya fungsi-fungsi fisiologis tubuh menyebabkan terjadinya perubahan
dalam parameter farmakokinetik obat.
a. Absorpsi obat : pengaruh masih terbatasnya motilitas usus dan lambatnya
pengosongan lambung menyebabkan tercapainya kadar plasma obat
berlangsung lebih lambat. Contoh, absorpsi mernurun pada obat-obat
parasetamol, fenobarbital, fenitoin. Adanya obat/ zat lain seperti kalsium, zat
besi, mangan, senyawa Al, akan menurunkan laju kecepatan dan jumlah (rate
& extent) absorpsi obat sefalosporin dan fluorokuinon.
b. Metabolisme obat : interaksi paling sering terjadi dengan melibatkan enzim-
enzim pemetabolisme hati, terutama enzim CYP yang pada pediatric masih
belum nature (immature). Obat-obat inhibitor enzim (e.g. simetidin,
omeprazol, eritromisin, siprofloksasin) sering dipreskripsi untuk anak akan
meningkatkan metabolisme obat-obat a.1. teofilin, kodein, kortikosteroid,
metronidazol sehingga toksisitas obat-obat ini akan meningkat. Obat- obat
induktor enzim (e.g. fenobarbital, rifampisin, fenitoin, karbamazepin) akan
meningkatkan metaboisme obat-obat indeks sehingga kadar plasma dan efek
obat akan menurun. Data pada pengaruh enzim hati pada pediatric masih
terbatas antra lain karena adanya issue etik dimana studi-studi yang
melibatkan subyek anak sangat terbatas.
c. Ekskersi ginjal : proses maturasi fungsi ginjal pada pediatric berlangsung
bertahap dan mencapai kematangan dalam waktu 1 sampai 2 tahun.
Glomerulus filtration rate (GFR) pada neonates hanya 30-40% GFR orang
dewasa.obat-obat yang dieliminasi via ginjal (e.g. aminoglikosid, penisilin,
metotreksat) perlu diperhatikan untuk penyesuaian dosis. Eliminasi obat-obat
tersebut terhambat, dapat menyebabkan introksikasi. Contoh: metotreksat +
salisilat sekresitubular metotreksat dihambat menyebabkan toksisitas
metroteksat meningkat.
3. Pasien sakit berat/kritis (critically ill patients)

13
Terjadi perubahan fisiologi pada beberapa sistem organ tubuh akibat
penyakit berat yang dideritanya, misalnya pada pasien dengan penyakit ginjal,
hepar, paru, jantung, dementia-alzheimer, miastenia gravis yang memerlukan
beberapa jenis obat. Digunakannya beberapa jenis obat menyebabkan interaksi
obat meningkat, selain itu karena penyakitnya indeks terapi obat menyempit.
Adanya perubahan efek obat yang relative kecil akan bermakna klinik dan
menimbulkan adverse drug reaction (ADR), toksisitas, serta menurunnya efiksi.
4. Pasien HIV/AIDS
Pada pasien ini resiko gagal fungsi organ meningkat akibat barbagai
infeksi oportunis. Pasien akan sering menerima obat-baru (yang masih minim
informasi) dalam jumlah banyak sehingga akan meningkatkan resiko interaksi
obat, dan meningkatkan efek toksik.
5. Pasien pasif (passive patiens)
Pasien pasif adalah pasein yang tidak memahami alasan pengobatan yang
diberikan padanya, misalnya pasien psikiatri, pasien usia lanjut yang tanpa
pendampingan. Penggunaan obat pada pasien ini beresiko untuk terjadinya
ketidak-rasionalan dan interkasi antara lain karena masalah-masalah
compliance/adherence (ketidak-patuhan).
Pada perinsipnya, dokter dan farmasis harus bertanggung jawab dalam menangani
passive patient, meminimalkan dosis dan jumlah pengobtan untuk mengurangi
resiko yang tidak dikehendaki.
6. Penyalah-guna Obat (Drug abusers)
Penyalahguna obat seringkali juga mengkonsumsi rokok, alcohol, obat-
obat psikotropik/ narkotik dan OTC dalam jumlah besar. Oleh karena itu resiko
terjadinya interaksi obat meningkat, dengan konsekuensi adverse evens juga
meningkat.
BAB III
Interaksi Obat dalam Saluran Cerna
Interaksi obat yng terjdi pada saat absorpsi di saluran cerna berlangsung
melalui beberapa mekanisme atau akibat beberapa hal antara lain:
A. Interaksi Langsung

14
Merupkan interaksi secara fisik atau kimiawi antar obat dalam lumen
saluran cerna sebelum obat diabsorpsi. Interaksi terjadi pada obat-obat yang
diberikan per oral yang absorpsinya lewat membrane mukosa. Interaksi ini dpat
dihindarkan atau sangat berkurang jika obat yang berinteraksi diberikan dengan
jarak waktu minimal 2 jam. Interaksi obat yang terjadi langsung akan
menyebabkan penurunan laju/kecepatan dan jumlah (rate and extent) absorpsi
obat.
- Untuk obat yang diberikan single dose (misalnya, hipnotik, analgetik)
dimana diharapkan kadar plasma obat yang tinggi harus cepat dicapai,
maka jika kecepatan (rate) absorpsi menurun, jumlah (extent) obat yang
diabsorpsi juga menurun sehingga kadar plasma yang adekuat tidak
tercapai mnyebabkan terjadi kegagalan terapi.
- Untuk obat yng diberikan secara kronik/ regimen multiple dose (misalnya,
antikoagulan) dimana kecepatan (rate) absorpsi tidak penting, maka
jumlah total obat yang diabsorpsi (extent) tidak terlalu dipengruhi.
Berikut adalah contoh interaksi obat secara langsung :
Tabel 1. Beberapa Contoh Interaksi Obat Secara Lngsung
OBAT INDEKS OBAT PRESIPITAN EFEKINTERAKSI
Tetrasiklin Kation multivalent Ca Terbentuk kelat yang
tidak diabsorpsi
jumlah obat indeks yang
diabsorpsi
Digoksin, tiroksin, asam Kolestiramin Terbentuk komplek
valporat, siklosporin dengan kolestiramin
absorpsi obat indeks
Penisilamin, anti infeksi Antasid mengandung Terbentuk komplek kelat
golongan kuinolon Al, Mg; makanan sukar larut absorpsi
(siprofloksasin) preparat besi obat indeks
Digoksin, linkomisin Kaolin, pektin Obat indeks di
absorpsi jumlah obat
indeks yang diabsorpsi

B. Adanya Perubahan pH Cairan Saluran Cerna

15
Obat melintasi membrane mukosa secara difusi pasif, absorpsinya
ditentukan oleh jumlah obat yang tidak terion dan kelarutan dalam lemak.
Absorpsi dipengaruhi akan oleh pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH cairan
saluran cerna dan formulasi obat. Pemberian obat yang dapat mengubah pH cairan
saluran cerna akan mempengaruhi absorpsi. Berikut adalah contoh interaksi obat
yang dipengaruhi oleh perubahan pH cairan saluran cerna.

Tabel 2. Beberapa Contoh Interaksi Obat yang dipengaruhi perubahan pH


OBAT (A) OBAT (B) EFEK INTERAKSI
Aspirin Antasida, NaHCO Disolusi (A) kecepatan (A)
Eritromisin Antasida pH lambung diabsorpsi obat (A)
Tablet Besi Antasida pH lambung diabsorpsi obat (A)
Tablet Besi Vitamin C pH lambung diabsorpsi obat
(A)
Tetrasiklin NaHCO Kelarutan (A) diabsorpsi obat
(A)
Glibenclamid, Antasida, H2- Ph Lambung absorbsi obat (A)
glipizid, blocker, proton
tolbutamid pump inhibitor

Ketokonazol, Antasida, H2- Ph Lambung absorbsi obat (A)


itrakonazol(basa blocker, proton
lemah) pump inhibitor
Seruroksin asetil, Obat-obat yang Ph Lambung absorbsi obat (A)
Sefrodoksin meningkatkan pH
Proksetil(butuh cairan saluran cerna
deesterifikasi pada
suasana asam
sebelum
diabsorpsi)
Note: H2- blocker, mislnya simetidin, ranitidine; proton pump inhibitor misalnya, omeprazol

16
C. Adanya Perubahan Dalam Pengosongan Lambung dan Motilitas Saluran
Cerna
Perubahan motolitas saluran cerna berakibat pada perubahan kecepatan /
laju pengosongan lambung. Interaksi obat yang terkait dengan perubahan motilitas
saluran cerna bergantung pada karakteristik disolusi, kelarutan obat, dan
kecepatan terhadap laju/kecepatan (rate) dan jumlah (extent) absorpsi obat, yakni
dapat meningkat atau menurun.
- Obat yang mempercepat / memperpendek waktu pengosongan lambung
(misalnya, motoklopramid) akan mempercepat absorpsi obat lain
- Obat yang memperlambat / memperpanjang waktu pengosongan lambung
(misalnya, antihistamin, antikolinergik, analgetik narkotik, antidepresan
trisiklin) akan memperlambat absorpsiobat lain.
Usus halus (intestine) adalah tempat absorpsi utama dari semua obat. Absorpsi di
intestine berlangsung jauh lebih cepat daripada absorpsi di lambung, semakin
cepat obat sampai di intestine, maka laju absorpsi makin cepat demikian juga
jumlah obat yang diabsopi makin meningkat.
Dari lambung, obat akan masuk ke intestine dan transit di sana untuk
waktu tertentu. Waktu transit intestinal adalah lama waktu yang dibutuhkan oleh
obat/zat untuk berada (singgah) di intestine, yang biasanya tidak mempengaruhi
absorpsi obat di intestine, kecuali untuk :
- Obat-obat yang sukar larut dalam saluran cerna: digoksin,kortikosteroid
- Obat-obat yang sukar diabsorpsi: dikumarol
- Obat yang diabsorpsi secara aktif hanya di satu segmen intestine saja:
misal Fe dan ribloflavin (di segmen intestine bagian atas); vitamin B12 (di
ileum)
Berikut adalah contoh interaksi obat yang dipengruhi oleh perubahan waktu
pengosongan lambung dan waktu transit usus.

Table 3. Beberapa Contoh Interaksi Obat yang dipengaruhi oleh perubahan


waktu pengosongan lambung dan transit usus
OBAT (A) OBAT (B) EFEK INTERAKSI
Antikolinergik, Levodopa Obat (A) memperpanjang waktu

17
antidepresan trisiklik pengosongan lambung
biovailabilitas obat (B)
Al(OH) INH, idem
klorpromazin
Litium Klorpromazin idem
Antikolinergik Digoksin Obat (A) memperpanjang waktu
transit usus biovabilitas obat (B)
Antidepresan trisiklik dikumarol idem
Metoklopramid Parasetamol, Obat (A) mempercepat waktu
diazepam, pengosongan lambung
propanolol mempercepat absorpsi obat (B)
Metoklopramid Levodopa Obat (A) mempercepat waktu
pengosongan lambung
bioavailabilitas obat (B)

Metoklopramid Digoksin Obat (A) memperpendek waktu


transit usus bioavailabilitas obat
(B)
Mg(OH)2 Digoksin, idem
prednisone,
dikumarol

D. Adanya Hambatan Transport Aktif Saluran Cerna


Transporter di saluran cerna protein yang berperan dalam transport aktif
(up-take and efflux) zat / obat dari saluran cerna melalui membrane mukosa
saluran cerna
Protein Uptake transporter di saluran cerna, antara lain adalah :
- OATP (Organic Anionic Transporting Polypeptide) : untuk anion organilk
- OCT ( Organic Cation Transporter ) : untuk kation organic
Protein Efflux transporter (terdapat di usus, hati, ginjal, sel endotel) adalah :
- P-glikoprotein
Adanya hambatan pada transporter OATP, OCT oleh suatu zat / obat akan
berakibat terjadinya penurunan atau peningkatan kadar plasma/biovailabilitas
obat yang merupakan substrat transporter tersebut, contoh:

18
- Jus buah grapefruit adalah inhibitor OATP, obat-obat betabloker,
fexofenadin (= substart OATP) jika diberikan bersama jus grapefruit,
maka kadar plasma/bioavailitas obat-obat tersebut akan menurun.
- Siklosporin (inhibitor OATP) jika diberikan bersama atorvastatin (substart
OATP) maka bioavailabilitas atorvastatin meningkat.
Adanya penghambatan pada transporter P-glikoprotein (P-gp) oleh suatu
zat/obat berakibat terjadinya penurunan atau peningkatan kadar
plasma/bioavailabilitas obat yang merupakan substart transporter tersebut, contoh:
- Ketokonazol, kuinidin, amiodaron (=inhibitor P-gp) jika diberikan
bersama digoksin (= substart P-gp) maka akan terjadi peningkatan
absorpsi dan kadar plasma digoksin, terjadi penurunan ekskresi empedu
dan penurunan sekresi tubular proximal digoksin terjadi gagal jantung.
E. Adanya perubahan flora normal usus
Flora normal usus berperan dalam: sintesis vit.K, metabolisme obat,
hidrolisis glukuronid, konversi obat menjadi komponen aktif. Perubahan flora
usus (terjadi supresi) dapat terjadi misalnya akibat penggunaan antibiotika broad
spectrum (tetrasiklin, kloramfenikol, ampisilin). Contoh interaksi akibat
perubahan flora usus:
- Koagulan oral (vit.K) diberikan bersama antibiotika broad spectrum kadar
plasma vitamin K menurun efektivitas vit. K menurun, dan terjadi
perdarahan.
- Efektifitas sulfasalazin menurut karena tidak terjadi konversi obat obat
tersebut menjadi komponen aktif akibat adanya perubahan flora usus
(karena pemberian antibiotika broad spectrum)
F. Adanya Pengaruh Makanan
Adanya makanan yang deiberikan bersama obat berpengaruh terhadap
kinetic dari beberapa obat berikut, yaitu akan:
- Meningkatkan absorpsi: HCT, nitrofurantain, fenitoin, halofantrin,
mebendazol
- Menurunkan absorpsi obat: parasetamol, aspirin, INH, rifampisin,
tetrasiklin.
- Menurunkan metabolism lintas pertama: propanolol, metoprolol,
hidralazin sehingga bioavailabilitas obat-obat tersebut meningkat.
- Makanan berlemak akan meningkatkan sekresi asam empedu:
G. Interaksi Obat Terkait Proses Distribusi Obat

19
Distribusi obat adalah proses suatu obat yang secara reversible
meninggalkan aliran darah dan masuk ke interstisium (cairan ekstrase) dan / atau
ke sel-sel jaringan interaksi obat yang terjadi dalam proses distribusi berlangsung
sewaktu terjadi trasportasi obat dalam darah.
Distribusi obat berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh, ada 2 fase yaitu :
- Distribusi obat ke dalam organ yang perfusinya sangat baik, missal:
jantung, paru-paru ginjal dan otak.
- Distribusi ke jaringan yang perfusinya kurang baik, missal: jaringan
lemak, tulang, otot, kulit, dan jaringan ikat.
Parameter yang berperan dalam proses distribusi dan transportasi obat
dalam darah antara lain adalah: volume distribusi (Vd), aliran darah, permeabilitas
kapiler, derajat ikatan protein plasma.
Volume distribusi (Vd):
adalah volume (hipotetik) dimana obat terlarut dan terdistribusi dalam
tubuh, Vd berguna untuk memperkirakan kadar plasma obat jika jumlah obat
dalam tubuh diketahui.
Besar volume distribusi dihitung dengan rumus:
Vd = D/C, dimana C = kadar obat dalam plasma dan D = jumlah/
banyaknya obat dalam tubuh.
- Vd berguna untuk memperkirakan dosis yang dibutuhkan untuk
mencapai kadar plasma obat tertentu.
- Vd menunjukkan luasnya distribusi dan peningkatan dari obat.
Jika obat diakumulasi di jaringan maka obat yang beredar di
plasma berkurang Vd besar
Obat yang terikat kuat protein plasma memiliki Vd kecil
Protein Plasma
Plasma darah mengandung 93% air dan 7% bahan-bahan terlarut terutama
protein. Fraksi protein terpenting adalah albumin (5% dari plasma) yang akan
berkaitan dengan obat. Protein terdapat dalm plasma dan jaringan. Jenis protein
penting yang dapat berkaitan dengan obat adalah:
1. Albumin :meningkat obat bersifat asam, obat netral dan zat endogen
2. A1-acid glycoprotein (AGP) : meningkat obat-obat bersifat basa (misal,
propanolol) dan hormone.
3. Corticosteroid Binding Globulin (CBG): mengikat kortikosteroid
4. Sex Steroid Binding Globulin (SSBG): protein yang khusus mengikat
hormone sex , terutama testoteron dan estradiol.

20
Tempat (site) protein albumin berkaitan dengan obat dikenal ada beberapa, yaitu:
- Warfarin site: mengikat warfarin, fenilbutazon, fenitoin, asam valporat,
tolbutamid, sulfonamide, bilirubin
- Diazepam site: mengikat diazepam dan benzodiazepine lainnya, asam-
asam kaboksilat (terutama NSAID), penisilin &derivatnya
- Asam-asam lemak mempunyai tempat ikatan yang khusus pada albumin
Protein plasma (pp) berfungsi untuk peningkatan dan transport obat dan
zat-zat endogen. Obat yang terikat protein plasma (obat-pp) berada dalam
keseimbangan dengan fraksi obat bebas (tidak terikat pp); fraksi obat bebas ini
bersifat aktif secara farmakologis.
Peningkatan obat oleh protein plasma mempengaruhi nasib obat dalam
tubuh, yakni mempengaruhi lama dan intensitas kerja obat tsb. Adanya fraksi obat
bebas dalam sirkulasi darah mempengaruhi kecepatan eliminasi.
Konsekuensi dari adanya ikatan obat dengan protein plasma (obat-pp)
berpengaruh terhadap hal-hal sebagai berikut :
1. Aktifitas farmakologi : hanya obat bebas yang dapat berdifusi melalui
barrier membran menuju ke organ target dan berinteraksi dengan reseptor,
sehingga menghasilakn efek farmakologi (baik berupa efikasi/efektifitas
ataupun toksisitas)
2. Distribusi obat: ikatan obat-pp yang kuat akan membantu distribusi obat
untuk sampai ke orgasn target yang jauh dari tempat pemberian.
3. Biotransformasi obat: ikatan obat-pp membatasi obat yang
dibiotransformasi dengan lambat (misalnya, warfarin,fenilbutazon)
4. Ekskresi ginjal : ikatan obat-pp membatasi kecepatan filtrasi melalui
glomerulus.
Factor-faktor yang mempengaruhi ikatan obat-protein plasma :
- Umur : pada neonates dan usia lanjut, ikatan protein umumnya tidak kuat
sehingga lebih banyak fraksi obat bebas.
- Adanya variasi individu dalam pengikatan obat basa-protein plasma,
disebabkan oleh factor genetic.
- Pengaruh penyakit.
- Adanya obat lain, beresiko terjadinya interaksi,
Kepentingan Klinik Ikatan Obat-PP
1. Interaksi Obat

21
- Karena jumlah protein plasma terbatas, maka dapat terjadi kompetisi
antara obat bersifat asam dan obat bersifat basa untuk berikatan dengan
protein yang sama.
- Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein plasma, maka
suatu obat dapat digusur (displaced) dari ikatannya dengan protein oleh
obat lain sehingga kadar fraksi obat bebas yang tergusur meningkat dan
efek farmakologinya juga meningkat.
- Obat dengan ikatan protein kuat akan menggusur obat lain yang ikatan
proteinnya lebih lemah.
2. Dampak klinik akibat interaksi ini penting jika:
- Obat yang tergusur mempunyai margin of safety sempit sehingga
peningkatan kadar fraksi obat bebas menyebabkan efek toksik meningkat.
- Obat yang tergusur mempunyai ikatan obat-pp cukup kuat ( 85%)
dengan Vd kecil, dan terutama obat bersifat asam sedikit saja obat ini
dibebaskan, maka akan meningkatkan kadar fraksi bebasnya hingga 2-3
kali lipat.
3. Adanya kelainan/penyakit yang diderita :
- Hipoalbuminemia : kondisi ini menyebabkan ikatan obat albumin
berkurang, sehingga fraksi obat bebas akan meningkat dan efek
farmakologinya meningkat.
- Penyakit ginjal (gagal ginjal akut, kronik,nefrosis) pada kondisi ini terjadi
hipoalbuminemia dan uremia, sehingga dapat terjadi akumulasi metabolit
yang akan berkompetisi dengan obat dalam berkaitan dengan albumin. Hal
ini menyebabkan ikatan obat-pp berkurang, sehingga fraksi obat bebas
meningkat dan efek farmakologi menigkat.
- Sirosis hati: pada kondisi ini terjadi hipoalbuminemia dan
hiperbilirubinemia. Bilirubin berkompetisi dengan obat untuk berkaitan
dengan albumin menyebabkan ikatan obat-pp berkurang, sehingga kadar
fraksi obat bebas meningkat dengan konsekuensi efek farmakologi juga
meningkat.
Tabel 4. Interkasi Obat Ikatan Protein
OBAT A OBAT B EFEK INTERAKSI
(DISPLACED DRUG) (DISPLACING)
Warfarin dan other Fenilbutazon Pendarahan,

22
highly albumin bound Oksifenbutazon Hiperprotombinemia
Asam Mefenamat
Salisilat
Asam etakrinat
Asam nadiksat
Klofibrat
Tolbutamid, Idem Hipoglikemia
Klorpropamid
Metotreksat Salisilat Pansitopenia (ES Mtx)
Sufonamid

Implikasi adanya ikatan obat-protein pada terapi obat


- Jika ikatan obat-albumin subnormal, maka dosis obat pada pemberian
single dose harus kecil.
- Obat yang memiliki afinitas tinggi terhadap albumin dan memiliki Vd
kecil maka dosis obat pada pemberian kronik harus disesuaikan.

H. Interaksi Obat pada Tahap Metabolisme


Metabolism obat adalah perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam
tubuh dan dikatalisisi oleh enzim. Proses metabolism mengubah molekul obat
menjadi lebih polar sehingga lebih mudah di ekskresi oleh ginjal, dan proses ini
sangat penting dalam mengakhiri kerja obat, mengubah obat menjadi
metabolitnya yang inaktif.
Adanya variabilitas yang besar pada metabolisme obat untuk setiap
individu yang antara lain karena pengaruh fakor genetic, lingkungan, dan status
penyakit, menyebabkan pemberian obat dengan dosis yang sama akan
menghasilkan respons yang berbeda pada tiap individu.
Reaksi biokimia yang terjadi pada metabolism terdiri atas 2 fase reaksi yaitu :
- Reaksi fase I: meliputi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Fase ini
mengubah obat menjadi metabolit polar yang inaktif, kurang aktif atau
lebih aktif dari senya induknya.

23
- Reaksi fase II: adalah reaksi konjungsi obat atau hasil metabolit obat
dengan substrat endogen. Reaksi konjungsi menghsilkan senyawa yang
jauh lebih polar dan akan jauh lebih mudah dieliminasi/ekskresikan.

Konsekuensi proses metabolism obat akan menghasilkan :


- Senyawa / metabolit inaktif
- Metabolit aktif
- Senyawa mirip dengan senyawa induk (parent drug)
- Senyawa yang lebih akti dibandingkan parent drug
- Senyawa lain dengan efek baru
- Metabolit yang toksik
Proses metabolism berlangsung di mikrosom hati dan sitosol. Proses
oksidasi di mikrosom hati diperantarai oleh sistem enzim sitokrom P450 (CYP).
Aktivitas CYP dapat dirangsang (induksi) atau dihambat (inhibasi) oleh zat kimia
(obat) tertentu. Sistem enzim sitokrom P450 (CYP) mmpunyai beberapa
isoform/isozim, antara lain yang terpenting dalam proses metabolism obat adalah:
CYP3A; CYP2D6; CYP1A2; CYP2C9; dan CYP2C19.penulisan (nomenklatur)
sitokrom P450 berdasarkan genetic, dan tidak mempunyai implikasi fungsional.
Contoh, CYP2D6

24
CYP = sitokrom P450
2 = genetic family
D = genetic sub-family
6 = gen spesifik
Sistem CYP terutama mempengaruhi (memetabolisme) substart enzim
mikrosomal di hati. CYP3A adalah isozim yang memetabolisme sebagian besar
( 60%) obat pada manusia, selain di mikrosom hati juga ditemukan di intestinal
dan ginjal. CYP2D6 : adalah CYP yang pertama kali dikenal, juga dinamakan
debrisokuin hidroksilase.
Obat-obatan yang merupakan substrat CYP3 a.1
- Ca-chanel blocker (sebagian besar)
- Benzodiazepine (sebagian besar)
- HIV protease inhibitor (sebagian besar)
- Statin (HMG-Co-A reductase inhibitor)
- Non-sedating antihistamins (sebagian besar)
- Casapride
- Steroid (estradiol)
Obat-obat yang merupakan substrat CYP2D6 a.1
- Kodein
- Beta blocker (banyak)
- Antidepresan trisiklik (banyak)

Obat-obat yang merupakan substrat CYP2C9 a.1


- Kebanyakan NSAID, termasuk Cox-2
- Fenitoin
- S-warfarin (bentuk aktif warfarin)
Obat-obatan yang juga dimetabolisme (merupakan substrat) CYP2C19 a.1.
- Dizepam
- Fenitoin
- Omeprazol
Obat-obat yang dimetabolisme (merupakan substrat) CYP1A2 :
- Teofilin
- Imipramin
- Propanolol
- Klozapin

25
Interaksi obat dalam proses metabolism terutama terjadi karena adanya :
- Hambatan proses metabolism
- Induksi proses metabolism
- Adnya perubahan aliran darah hati
- Gangguan dalam ekskresi bilier (empedu) dan siklus enterohepatik
1. Hambatan proses metabolism
Tergantung jenis obatnya (substrat), hambatan trhadap enzim
pemetabolisme obat dapat menyebabkan : efek terapetik menurun, atau efek
toksik senyawa yang tidak dimetabolisme meningkat.
Obat-obat yang merupakan inhibitor CYP3A a.1: Ketokonazol,
itrakonazol, fukonazol, simetidin, klaritromisin, eritromisin, troleandromisin,
(grape fruit juice). Obat-obat yang merupakan inhibitor CYP lainya adalah,:
flukonazol (CYP2C9) ; omeprazol, INH, ketokonazol (CYP2C19) ; antibiotic
fluorokuinon (ofloxacin), simetidin, flufoksamin (CYP1A2).

Table 5. Interaksi Obat terkait Hambatan Metabolisme


SUBSTRAT INHIBITOR EFEK INTERAKSI
CYP3A CYP3A
Terfenaden, Ketokonazol, Konsentrasi substrat QT
Astemizol, itrakonazol,eritromisin, interval memanjang aritmia
Norastemizol, klaritromisin,simetidin, ventricular (torsades de
Loratadin, grape fruit juice pointes) fatal
Cisaprid
Felodipin, Idem Bioavailabilitas substrat
Siklosporin
Benzodiazepin Idem Konsentrasi substrat ES
(miopati, rhabdomyolitis)
Benzodiazepin Idem ES Drowsines

SUBSTRAT INHIBITOR EFEK INTERAKSI

26
CYP2D6 CYP2D6
Antipsikotik, Kuinidin, Konsentrasi substrat efek
Antidepresan trisiklik Halloperidol, sedasi
Fluoksetin, Paroksetin
Simetidin, Ritonavir
Betabloker, Sildenafil Idem Konsentrasi substrat
hipotensi
Kodein Idem Kodein tidak dapat diubah
menjadi bentuk metabolit aktif
efek

SUBSTRAT INHIBITOR EFEK INTERAKSI


CYP2D6 CYP2D6
NSAID, COX-2 Flukonzol Konsentrasi substrat ES
inhibitor (celecoxib,
refecoxib)
Fenitoin Flukonazol Konsentrasi substrat ES
Warfarin Flukonazol Konsentrasi substrat ES terjadi
perdarahan

2. Induksi proses metabolisme


Zat penginduksi (induktor) dapat menginduksi enzim tanpa perlu menjadi
substratnya. Jika pajanan induktor dihentikan, maka efek induksi akan hilang
secara bertahap. Beberapa obat ada yang bersifat auto induktor, yang dapat
merangsang metabolismenya sendiri sehingga timbul toleransi.
Obat-obat yang merupakan induktor CYP450 antara lain adalah :
- Rifampisin, deksametason, fenitoin
- Etanol
- Asap rokok/hidrokarbon polisiklik aromatic
- St.John Wort (Hypericum perforatum, herba antidepresan)
Tabel 6. Interaksi Obat terkait Induksi Metabolisme
SUBSTRAT CYP INDUKTOR CYP EFEK INTERAKSI
Kontraseptik oral Rifampisin Kadar estrogen kegagalan
terapi
Siklosporin Fenitoin, Kadar siklosporin penolakan

27
Karbamazepin. organ transplant (transplant
St.John Wort rejection)
Parasetamol Alkohol (kronik) Hepatotoksisitas pada dosis kecil
Kortikosteroid Fenitoin, Rifampisin Metabolisme kortikosteroid
gagal terapi

3. Perubahan terapi darah hepar.


Perubahan aliran darah hepar berpengaruh pda obat-obat dengan ratio
ekstraksi hepar tinggi, contohnya lidokain, propanolol (obat indeks).
- Jika obat-obat ini (sebagai obat indeks) diberikan bersama obat-obat yang
menurunkan aliran darah hepar (contoh, betabloker lainnya), maka klirens
obat indeks akan menurun.
- Jika obat-obat tsb. Diberikan bersama obat-obt yang dapat meningkatkan
aliran darah hepar (contoh, isoproterenol, nifedipin), maka klirens obat
indeks akan meningkat.
4. Gangguan ekskresi empedu/ bilier
Diketahui ada 3 transporter yang berperan untuk sekresi bilier (biliary
secretion) yaitu:
- P-glikoprotein (P-gp) untuk kation organic (misalnya kuinidin) yang dapat
menurunkan biliary excretion digoksin
- P-gp unyuk anion organic (misalnya probenecid), dapat menurunkan
biliary excretion rifampisin
- P-gp untuk konjugat (misalnya, glukuronid atau glutation konjungat)
5. Gangguan sirkulasi enterohepatik (EHC)
Obat terkonjungsi yang dihidrolisis oleh flora usus, parent drug nya di
reabsorpsi akan mengganggu siklus enterohepatik (EHC).
Antibiotika spectrum luas menekan flora usus, mengganggu EHC dapat
menyebabkan kegagalan kontrasepsi.

28
BAB IV
Interaksi Obat pada Ginjal (tahap Ekskresi)
Proses eksresi obat dan metabolitnya menunjukkan berakhirnya aktivitas
serta keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh
dikeluarkan kembali melalui berbagai mekanisme, tergantung apakah obat
mengalami absorpsi atau tidak. Obat yang tidak diabsorpsi, setelah pemberian oral
akan dikeluarkan dari tubuh bersama fases, contohnya norit,sulfaguanidin (SG, Al
(OH)3. Sedangkan obat yang diabsorpsi akan masuk ke sirkulasi sistemik, setelah
proses metabolism selanjutnya akan dieksresi/eliminasi dari tubuh bersama
berbagai cairan tubuh melalui beberapa rute, yaitu melalui urin (ginjal), ASI,
saliva, kulit atau organ genitelia. Molekul obat dieliminasi dari dalam tubuh
melalui biotransformasi menjadi senyawa inaktif.
Organ yang berperan dalam proses eksresi melalui urin adalah ginjal.
Ginjal berperan dalam hemostatis volume dan komposisi cairan extra selular
melalui mekanisme filtrasi glomerolus, sekresi tubular dan re-absorpsi tubular.
Nefron, adalah unit fungsional dari ginjal yang menentukan eliminasi dan re-
absorpsi dari zat/obat (terdapat sekitar 1 juta nefron untuk setiap ginjal).
Sementara itu satu unit nefron terdiri dari :
- Bagian kapiler ( kapsul Bowman) dengan glomerulus, afferent & efferent
arteriol yang berfungsi untuk filtrasi glomerulus.
- Bagian tubular terdiri dari :
tubular convoluted proximal (loop Henle), berfungsi untuk sekresi
aktif ;
Distal convoluted tube, berfungsi untuk reabsorpsi pasif dan aktif

29
Setelah keluar dari nefron, sisa zat/obat yang terlarut akan dikumpulkan dalam
collecting duct (kandung kemih) dan selanjutnya diekskresikan bersama urin.
Interaksi obat dalam tahap ekskresi ginjal dapat terjadi oleh karena :
1. Adanya gangguan/kerusakan fungsi ginjal akibat obat (due to drug-
induced renal impairment). Obat yang menyebabkan kerusakan ginjal
antara lain adalah aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B. Obat-obat
yang dieliminasi oleh ginjal (aminoglikosida, digoksin, fusitosin) jika ada
gangguan fungsi ginjal konsentrasinya akan meningkat dan menyebabkan
toksisitas menignkat.
2. Adanya kompetisi pada tahap sekresi aktif tubuli ginjal (Competition for
active renal tubular secretion).
3. Adanya perubahan pH urin.
Perubahan ini akan menghasilkan klirens ginjal yang berarti secara klinik
hanya bila :
- Fraksi obat yg diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%)
- Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 10 atau asam lemah
dengan pKa b 3,0 7,5
Contoh :
Asam lemah (pKa 7,5 10 ) misalnya NaHCO 3 akan meningkatkan
pH urin, sehingga ionisasi obat seperti fenobarbital/ salisilat
meningkat ekskresi meningkat. Contoh : pada intoksikasi
fenobarbital/salisilat, urin dibuat basa dengan NaHCO3 agar ekskresi
fenobarbital/salisilat ditingkatkan sehingga intoksikasinya dapat
berkurang.
Basa lemah (pKa 7,5 -10) misalnya NH4CL menurunkan pH urin
ionisasi metabolit amfetamin (pseudoefedrin) ditingkatkan
ekskresi pseudoefedrin menigkat.
4. Adanya perubahan aliran darah ginjal
Aliran darah di ginjal terutama dipengaruhi oleh produksi
prostaglandin di ginjal. Jika sintesis prostaglandin dihambat (missal oleh
pemberian NSAD) maka akan menurunkan ekskrsi beberapa obat,
misalnya litium (obat psikiatrik untuk gejala manic depresion),

30
diekskresi terutama via ginjal sehingga jika ekskresinya dihambat kadar
serum litium meningkat dan terjadi intoksikasi.

Tabel 7. Interaksi Obat terkait perubahan Ekskrsi Ginjal


OBAT INDEKS O.PRESIPITAN EFEK INTERAKSI
Sefalosporin, Probenesid Kadar plasma obat indeks
Dapson, kemungkinan tokisitas
Indometasin,
Penisilin.
Metotrksat (Mtx) Salisilat, beberapa Kadar plasma toksisitas Mtx
NSAID lain
Asetoheksamid Fenilbutazon Efek hipoglikemik dan lebih lama
Glibenklamid akibat ekskresi ginjal
Tolbutamid

Beberapa Contoh Interaksi Obat dengan Diuretik.


1. Diuretic hemat kalium (spironolakton, amilorid, triamteren) dengan
supleman Kalium dan garam Kalium :
- Memberikan efek adatif
- Diuretic hemat K + suplemen K menyebabkan hiperkalemia, dengan
tanda-tanda antara lain terjadi kelemahan otot, fatigue, paraestesia
(kesemutan), bradikardi, syok, dan EKG abnormal.
- Hindarkan pemberian suplemen K pada pasien yang sedang mendapat
terapi diuretic hemat K kecuali jika pasien mengalami hipokalemia (kadar
K rendah)
2. Diuretic dengan trimetropin (TMP)/ kotrimoksazol :
- Pemberian secara bersamaan menghasilkan efek aditif
- Tiazid + TMP / kotrimoksazol terjadi penurunan kadap plasma Na
(hiponatremia) dengan tanda-tanda a.1.: nausea, anoreksia
3. Furosemid dengan Kloralhidrat (obat hipnotik-sedatif)
- Mekanisme belum diketahui secara pasti.
- Diduga :

31
Furosemid menggeser asam trikloroasetat (metabolit kloralhidrat)
dari ikatan protein plasma dan akan menggeser hormone tiroksin
Terjadi perubahan pH plasma sehingga terjadi peningkatan kadar
tiroksin bebas
- Furosemid injeksi (bukan per oral) diberikan bersama kloralhidrat
menyebabkan berkeringat, hotflush , takikardi, gelisah. Reaksi ini cepat
terjadi ( 15 menit ). Hindarkan pemberian furosemid IV pada pasien
setelah mendapatkan kloralhidrat.
4. Furosemid dengan kolestiramin/kolestipol
Kolestiramin / kolestipol adalah resin penukar anion yang akan
meningkatkan furosemid di usus sehingga absorpsi dan efak furosemid
menurun. Absorpsi furosemid relative cepat, sehingga jika akan diberikan
bersamaan harus diberikan 2-3 jam sebelum pemberian kolestiramin/
kolestipol.
5. Furosemid diberikan bersama klorfibrat pada pasien nefrotik sindrom
akan meningkatkan diuresis dan gejala muscular. Mekanisme: peningkatan
diuresis terjadi akibat kompetisi dan pergeseran furosemid oleh klofibrat
dari ikatan protein plasma. Klofibrat menyebabkan gejala muscular, yang
dapat diperparah pada kondisi hilangnya Na & K via urin (akibat
diueresis) dan akan meningkatkan t klofibrat (16 jam menjadi 36 jam)
6. Furosemid diberikan bersama makanan, akan menurunkan bioavilabilitas
dan efek furosemid. Mekanisme interaksi ini belum jelas. Penanganannya
adalah dengan menghindari pemberian furosemid bersama makanan, yaitu
dengan memberikan jarak waktu 2-3 jam.
7. Furosemid bumetamid diberikan bersama indometasin, NSAID lain.
Efek diuretic furosemid akan menurun dengan mekanisme sebagai berikut:
Diuretik menyebabkan ekskresi Na. adanya gangguan sintesis
prostaglandin di ginjal oleh pemberian NSAID menyebabkan penurunan
diuretic dan aliran darah ginjal. Jika penggunaan bersama tidak bisa
dihindarkan, berikan interval waktu pemberian obat.

BAB V

32
DOKUMENTASI

1. Investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/dilaksanakan oleh Tim


Instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan
2. Tim Instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan akan membuat laporan dan
rekomendasi untuk perbaikan serta Pembelajaran
3. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi.
4. Rekomendasi untuk Perbaikan dan Pembelajaran diberikan umpan balik
kepada unit kerja terkait.
5. Unit Kerja membuat analisis dan trend kejadian di satuan kerjanya
masing-masing.
6. Dilakukan monitoring dan evaluasi perbaikan.

33

Anda mungkin juga menyukai