Anda di halaman 1dari 35

TUGAS PELAYANAN KEFARMASIAN

“GANGGUAN GINJAL “

DISUSUN OLEH :

1. HAFIZAH (2030122026)
2. INDRI SUSTIA RAHMI (2030122029)
3. INTAN SUCI MAYASARI (2030122030)
4. IRFAN HARDIANSYAH (2030122031)
5. KHUSNUL KHOTIMAH (2030122032)
6. LATIFA ANNISA (2030122033)
7. LINA PERMATASARI (2030122034)
8. MEILANI VERONICA (2030122036)
9. MELZY PUTRI SANI (2030122037)
10. MEMI MEIYUNI (2030122038)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XXVIII
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih

memberikan kita kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas

pembuatan makalah ini dengan judul “Pelayanan Kefarmasian Tentang Gagal

Ginjal”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pelayan

kefarmasian pada studi profesi apoteker angkatan XXVIII di Universitas Perintis

Indonesia. Dalam makalah ini mengulas tentang pengertian Tinjauan patofisiologi

gagal ginjal, Tinjauan farmakologi, Pilihan farmakoterapi menurut literatur,

Monitoring efek Terapi, Analisis DRP untuk kasus yang dibahas serta

rekomendasinya, Rencana pemantauan efek Terapi, Rencana pemantauan efek

Samping, dan rencana edukasi pasien.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penulis juga

berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat

kami harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki

pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Padang, Februari 2021

Penyusun
I. Patofisiologi agal ginjal

I.1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

GGK

Eritropoetin↓ Retensigaram+air Sekresi kalium↓ GFR ↓

Hemoglobin Produksi renin ↑ Kalium dalam


darah ↑ Ureum&kreatinin↑

Pengikat O2↓ Retensigaram+air hiperkalemia Merangsang Hcl
Lambung
Anemia
Mual&muntah

vasokontriksi Sekresialdosteron Sekrresi ADH ↑

Hipertensi RetensiNa+air

↑Cairan intravaskuler

Udem Penekanan intra abdomen

Sesak

Gambar 1.Skemapatofisiologi GGK (Dipiroed 9, 2015 and K-Dogi,

2012)

Pada penderita Gagal Ginjal Kronik(GGK) akan mengalami penurunan

fungsi ginjal atau penurunan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal menyebabkan

hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron. Hipertrofi ini diperantarai oleh molekul

sitokin, dan growth factor sehigga akan meningkatkan produksi renin,


angiotensin, dan aldosterone. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang

diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat dan diikuti oleh proses maladaptasi berupa

sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini menyebabkan penurunan fungsi

nefron yang progresif. Beberapa hal yang juga berperan terhadap progresifitas

penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan

dyslipidemia (Smeltzeret al, 2001). GGK diklasifikasikan berdasarkan nilai GFR.

Tabel 1.Klasifikasi CKD berdasarkannilai GFR

Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan

daya cadang ginjal, pada keadaan dimana GFR masih normal atau malah

meningkat. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada nilai GFR sebesar 60, pasien masih belum merasakan keluhan

(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Pasien akan mulai mengeluhkan nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan

kurang, dan penurunan berat badan ketika nilai GFR 30. Ketika nilai GFR sudah

<30 dan diatas 15, pasien akan memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang

nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah(hipertensi), gangguan

metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien

juga mudah terkena infeksi, baik infeksi saluiran kemih, saluran napas, maupun

saluran cerna.Selain itu keseimbangan elektrolit juga akan terganggu, antara lain

Na dan K. Pada nilai GFR < 15, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih

serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement

Therapy) antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien

dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal(Dipiroed 9, 2015and K-Dogi, 2012)

Infeksi saluran kemih bias terjadi pada pasien penderita GGK dengan he-

modialisis yang kurang higenis dan atau karena adanya ketidakseimbangan el-

ektrolit. Infeksi bermula apabila bakteri masuk kedalam urin dan mulai tumbuh.

Proses infeksi ini biasanya pada pembukaan uretra di mana urin keluar dari tubuh

dan masuk naik kedalam traktus urinari. Biasanya, dengan miksi ia dapat menge-

luarkan bakteri yang ada dari uretra tetapi jika bakteri yang ada terlalu banyak,

proses tersebut tidak membantu. Bakteri akan naik keatas saluran kemih hingga

kandung kemih dan bertumbuh kembang hingga menjadi infeksi. Infeksi bias

berlanjut melalui ureter hingga keginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi dise-

but pielonefritis yang akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi

dengan tuntas (Balentine, 2009).


1.2 Patofisiologi Gagal Ginjal Akut

Kondisi gagal ginjal akut disebabkan oleh 3 faktor pemicu yaitu pre renal,

renal dan post renal. Ketiga factor ini memiliki kaitan yang berbeda-beda. Pre

renal berkaitan dengan kondisi dimana aliran darah (blood flow) ke ginjal men-

galami penurunan (hipoperfusi). Kondisi ini dipicu oleh kondisi hipovolemi,

hipotensi, vasokontriksi dan penurunan cardiac output. Dengan adanya kondisi

ini, maka GFR (Glomeruler Filtration Rate) akan mengalami penurunan dan

meningkatkan reabsorbsi tubular. Untuk factor renal berkaitan dengan adanya ke-

rusakan pada jaringan parenkim ginjal. Kerusakan ini dipicu oleh trauma maupun

penyakit-penyakit pada ginjal itu sendiri jaringan yang menjadi tempat utama fisi-

ologis ginjal, jika rusak akan mempengaruhi berbagi fungsi ginjal. Sedangkan

factor post renal berkaitan dengan adanya obstruksi pada saluran kemih, sehingga

akan timbul stagnansi bahkan adanya refluks urine flow pada ginjal. Dengan

demikian beban tahanan / resistensi ginjal akan meningkatkan dan akhirnya men-

galami kegagalan (Judith, 2005).


Gambar 2. Bagan patofiologi Gagal Ginjal Akut
II. Tinjauan farmakoterapi

2.1 Tujuan farmakoterapi

 Tujuan Farmakoterapi Gagal Ginjal Akut (GGA)

Tujuan Farmakoterapi Gagal ginjal akut adalah untuk mencegah Gag

al Ginjal Akut (GGA). Jika GGA sudah berkembang, tujuannya adalah unt

uk menghindari atau meminimalkan kerusakan ginjal lebih lanjut yang aka

n menunda pemulihan dan untuk memberikan langkah-langkah yang mend

ukung sampai fungsi ginjal kembali (Wells B.G et al, 2009).

 Penyakit ginjal kronis (CKD)

Tujuannya adalah untuk menunda perkembangan CKD, meminimalk

an perkembangan atau keparahan komplikasi kembali (Wells B.G et al, 20

09).

2.2 Pilihan farmakoterapi menurut literature (handbook, guidline)


2.3 Terapi Farmakologi

 Tatalaksana preventif

Asam askorbat dan N-asetil sistein. Keduanya berperan untuk menjadi

antioksidan.

 Tatalaksana kuratif

1. Diuretik loop (furosemid, bumetanid, torsemid dan asam etachrynic)

Diuretic loop dapat meningkatkan ekskresi natrium dan air

2. Diuretik hemat kalium (spironolakton, amiloride, triamterene)


a. Gagal ginjal dengan hipertensi

b. Gagal ginjal dengan hiperlipidemia

Tujuan utama terapi penurunan lipid pada gagal CKD adalah untuk

mengurangi resiko aterosklerosis pada penyait kardiovaskular


Golongan statin dapat diberikan untuk usia 18 sampai 49 tahun dengan

gagal ginjal tetapi tidak dengan transplantasi ginjal. Statin atau statin/ezetimibe

kombinasi untuk umur >50 tahun dengan GFR < 60 ml/min/1.73m2, tetapi tidak

dengan transplantasi ginjal( dipiro edisi VII)

Menurut pedoman ClinicalPractice Guideline for the Evaluation and

Management of Chronic KidneyDisease (KDIGO, 2012) manajemen terapi GGK

dapat dilihat pada tabel 2.

c. Anemia

pada GGK disebabkan oleh kekurangan eriropoiten, kekurangan zat besi ,

dan penurunan umur pada seldarah merah.

Untuk kekurangan eritropoiten dapat diberikan :

1. Epoetin alfa secara SC,karena SC dapat memberikan target terapi sebesar

15 – 50%

2. Darbepoetin alfa , memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan

epoetin alfa
d. Gagal ginjal akut

Terapi non farmakologi

 Mempertahankan curah jantung dan tekanan darah yang cukup untuk

mengoptimalkan perfusi jaringan ketika fungsi renal dikembalikan ke

baseline pra-ARF

 Terapi penggantian ginjal (RRT)

 RRT dengan jeda (intermitten)

 Beberapa RRT kontinu telah dikembangkan . RRT kontinu mengeluarkan

cairan dengan toleransi yang lebih baik pada pasien kritis

Terapi Farmakologi

 Diuretik dapat memfasilitasi pengaturan kelebihan cairan. Diuretik yang

paling efektif adalah manitol dan diuretik loop (furosemid)

 Manitol 20 biasanya mulai diberikan pada dosis 12.5 – 25 g secara IV

selama 3 sampai 5 menit

 Dosis ekuipoten dari diuretic loop (furosemid, bumetanid, torsemid, asam

etakrinat) memiliki efikasi yang mirip

e. Gagal ginjal kronis

Terapi non farmakologi

 Terapi diet rendah protein (0,6 sampai 0,75 g/kg/hari) dapat membantu

memperlambat perkembangan CKD pada pasien dengan atau tanpa

diabetes, meskipun efeknya terlalu kecil


Terapi farmakologi

 Pada hiperglikemia: Terapi intensif pada pasien diabetes tipe 1 dan 2

dapat mengurangi komplikasi mikrovaskular, termasuk nefropati.

 Pada hipertensi: Terapi antihipertensi untuk pasien CKD dengan

diabetes atau tanpa diabetes sebaiknya diawali dengan pemberian

inhibitor ACE.

 Pada hiperlipidemia: Pembatasan asupan protein, penggunaan obat-

obat penurun kolesterol, penghentian kebiasaan merokok.

III. Monitoring Efek Terapi

Pemantauan terapi obat merupakan suatu proses yang meliputi semua

fungsi yang perlu untuk menjamin terapi obat kepada pasien yang aman,

efektif/rasional dan ekonomis.

3.1 Tujuan monitoring efek terapi:

1. Mengoptimalkan terapi obat dengan memastikan secara efektif, efisien,

efekasi terapi.

2. Meminimalkan toksisitas pada obat

3.2 Monitoring Efek Terapi:

1) Monitor tanda-tanda vital pasien seperti tekanan darah, denyut nadi, nafas,

dan lain-lain yang berhubungan dengan efek yang mungkin ditimbulkan

obat.
2) Tes harian lainnya berupa : urinalisis, tes darah untuk mengukur elektrolit

serum, BUN, kreatinin dan jumlah sel darah lengkap.

3) Monitoring keseimbangan asam basa tubuh untuk mencegah terjadinya

komplikasi penyakit lain.

4) Monitoring obat obat dengan indeks terapi sempit.

5) Monitoring ada atau tidak efek yang diinginkan diberikan oleh obat untuk

menilai ketepatan pemilihan dan dosis obat.

6) Monitoring interaksi yang mungkin di timbulkan antara obat dengan obat

dan antara obat dengan organ lain

IV. Lembaran Drug Therapy P roblem (DRP)

belumm

V. Rencana Asuhan/Pelayanan kefarmasian untuk kasus di atas

berupa

5.1 Rencana pemantauan Monitoring Efek Terapi

Pemantauan terapi obat merupakan suatu proses yang meliputi semua

fungsi yang perlu untuk menjamin terapi obat kepada pasien yang aman,

efektif/rasional dan ekonomis.

Pasien RS yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami

masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons

pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal

tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO (pemantauan terapi obat) dalam


praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang

tidak dikehendaki. Aspek ini merupakan bagian penting dalam standar akreditasi

RS versi KARS 2012, khususnya dalam Bab MPO (Manajemen dan Penggunaan

Obat).

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup

kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi

pasien. Kegiatan tersebut mencakup pengkajian pilihan obat, dosis, cara

pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), serta

rekomenasi atau alternatif terapi. PTO harus dilakukan secara berkesinambungan

dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun

kegagalan terapi dapat diketahui. PTO merupakan bagian dari tugas pokok dan

fungsi pelayanan kefarmasian RS dalam Permenkes 1197/2004 tentang Standar

Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Kondisi pasien yang perlu dilakukan PTO antara lain:

1. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit  sehingga

menerima polifarmasi.

2. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.

3. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.

4. Pasien geriatri dan pediatri.

5. Pasien hamil dan menyusui.

6. Pasien dengan perawatan intensif.


7. Pasien yang menerima  regimen yang  kompleks: Polifarmasi, Variasi

rute pemberia , Variasi aturan pakai, Cara pemberian khusus (contoh:

inhalasi, Drip intravena (bukan bolus), dsb

Adapun pasien dikatakan menerima obat dengan risiko tinggi, yaitu bila

menerima:

 obat dengan indeks terapi sempit (contoh: Digoksin, fenitoin)

 Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik

 Sitostatika (contoh: metotreksat)

 Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),

 Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid, AINS)

 Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin)

Metode pelaksanaan PTO adalah dengan menggunakan kerangka S-O-A-P

sebagai berikut:

 S  (Subjective)

Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien.

Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.

 O (Objective)

Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan.

Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh,

denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan

diagnostik.
 A (Assessment)

Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis terkait obat.

 P (Plans)

Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun

rencana yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.

Pemeriksaan TTV
Parameter Hasil
Tekanan darah 120/90 mmHg
Nadi 84x/ menit
Nafas 20x/menit
Suhu 37˚C

Pemeriksaan laboratorium
Parameter Hasil pemeriksaan Nilai normal Keterangan
Ureum 17 mg/dl Pada wanita 6-21 Normal
mg/dl
Serum kreatinin 3.3 mg/dl 0,6-1,3 mg/dl Tidak normal
Kadar albumin 2.5 g/dl 0-0,04g/dl Tidak normal
Kolesterol total 340 mg/dl 200-239 mg/dl Tidak normal
Kolesterol LDL 220 g/dl 100-129 mg/dl Tidak normal

Pemeriksaan urine
Parameter Hasil pemeriksaan Nilai normal Keterangan
Mikroskopis
- Warna - Kuning - Kuning - Normal
- Kejernihan - Keruh muda - Tidak
- jernih normal
Kimia
- Bj - 1,025 - 1,003 - Normal
- pH - 6,5 -1,030 - Normal
- Protein - +3 - 4,6-8 - Tidak
- Glukosa - Negative - Negative normal
- Bilirubin - Negative - Negative - Normal
- Eritrosit - +3 - Negative - Normal
- Negative - Tidak
normal
Mikroskopis
- Leukosit - 18-24 - Negative - Tidak
- Eritrosit /LPB - Negative normal
- Slinder - 20-25 - Tidak
Gambar /LPB - Negative normal
slinder - Negative
Lico slinder - 5-7 - Negative - Tidak
Erit slinder - 2-3 - Negative normal
- Epitel - 2-3 - Tidak
- +2 normal
- Tidak
normal
- Tidak
normal

Terapi yang diberikan


Obat Dosis
Diruang IGD
- IVFD NaCl 0,9 % /24 jam
- Ranitidine injeksi 2 x 1 iv
- Metil prednisolone 4 mg tablet 3 x 1 po
- Spironolakton 100 mg tablet 1x 1 po
- Ulsafate syrup 3x 1 C po
Di ruang perawatan
- IVFD NaCl 0,9 % /24 jam.
- Ranitidine injeksi 2 x 1 iv
- Metil prednisolone 4 mg tablet 3 x 1 po
- Spironolakton 100 mg tablet 1 x 1 po
- Furosemide 40 mg tablet 1 x 1 po
- Sucralfat syrup 3 x 1 C po
- Simvastatin 20 mg tablet 1 x 1 malam

Pharmaceutical care plan


I. Identitas pasien
Nama pasien :-
Ruang : UGD
Umur : 19 tahun
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan :-
Tanggal MRS : 20 juni 2019
Tanggal KRS :-
Diagnosa : CKD

II. Subyektif
2.1 Keluhan utama
- Mata sembab sejak 3 hari yang lalu
- Nyeri perut
- Pinggang sakit
- Pasien merasa mual tapi tidak muntah
- Buang air besar normal
- Buang air kecil tersendat sendat
2.2 Keluhan tambahan
-
2.3 Riwayat penyakit dahulu
- Sindrom nefrotik
2.4 Riwayat pengobatan
-
2.5 Riwayat penyakit keluarga
-
2.6 Alergi obat
-
III. Obyektif
3.1 Tanda vital
Parameter Normal Hasil Keterangan
120/80 mmHg Pasien tidak
Tekanan darah 120/90 mmHg (Normal) mengalami
hipertensi
Nadi 50-90x/ menit 84x/ menit (Normal)
13-16x / menit Meningkatny
a nilai RR
20x/menit (Tidak mengindikasi
Nafas
Normal) kan pasien
mengalami
CVD
Suhu 36,5 ˚C -37,5 ˚C 37˚C (Normal)

3.2 Hasil pemeriksaan laboratorium


Parameter Nilai normal Hasil pemeriksaan Keterangan
Ureum 6-21 mg/dl -
17 mg/dl (Normal)
(wanita)
Serum 0,6-1,3 mg/dl 3.3 mg/dl (Tidak Terjadi pada pasien
kreatinin normal) nefritis, penyumbatan
saluran urine,
penyakit otot dan
dehidrasi akut.
Kreatinin serum 2-3
mg/dl menunjukkan
fungsi ginjal menurun
50% hingga 30% dari
fungsi normal.
Kadar 0-0,04g/dl 2.5 g/dl (Tidak Terjadi pada pasien
albumin normal) yang mengalami
gangguan pada
glomerulus ginjal
Kolesterol 200-239 mg/dl 340 mg/dl (Tidak Dapat terjadi pada
total normal) pasien gagal ginjal
Kolesterol 100-129 mg/dl 220 g/dl (Tidak kronik yang kadar
LDL normal) homosistein, hormon
paratiroid dan fosfor
di darah yang tinggi.

Perhitungan stage CKD : rumus jellife


[98−0,8 x(umur−20)]
GFR/ClCr = x 0,9
Scr
98−0,8 x (19−20)
= x 0,9
3,3 mg/dl
= 26,94 ml/min/1.73 ml

IV. Assesment
4.1 Terapi pasien
Obat Golongan Indikasi Dosis
(rute)
IVFD NaCl 0,9 % Mengganti cairan tubuh /24 jam
Ranitidine injeksi Antagonis Tukak lambung, tukak 2 x 1 iv
reseptor H2 duodenum, refluks
esofagitis
Metil prednisolone 4 mg Kortikosteroid Antiinflamasi, alergi, 3 x 1 po
tablet penyakit hematologi
Spironolakton 100 mg Diuretik Edema, sindroma 1 x 1 po
tablet hemat kalium nefrotik
Ulsafate syrup 3x 1 C
po
Furosemide 40 mg tablet Loop diuretik Edema, asites, sindrom 1 x 1 po
nefrotik
Sucralfat syrup Sukralfat Tukak lambung, tukak 3x1C
duodenum po
Simvastatin 20 mg tablet Hipolipidemik Menurunkan kolesterol 1x1
malam

Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya

masalah terkait obat (Hepler dan Strand). Masalah yang dapat ditemukan antara

lain sebagai berikut.

1. Ada indikasi tetapi tidak di terapi :Pasien yang diagnosisnya telah

ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu

diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi

dengan obat.

2. Pemberian obat tanpa indikasi ,pasien mendapatkan obat yang tidak

diperlukan.

3. Pemilihan obat yang tidak tepat. Pasien mendapatkan obat yang bukan

pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat

yang tidak cost effective, kontra indikasi

4. Dosis terlalu tinggi

5. Dosis terlalu rendah

6. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

7. Interaksi obat
Dalam PTO, petugas perlu memahami jenis-jenis efek samping obat

sebagai berikut.

Efek samping yang dapat diperkirakan:

 Aksi farmakologik yang berlebihan

 Respons karena penghentian obat

 Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek samping yang tidk  dapat diperkirakan:

 Reaksi alergi

 Reaksi karena faktor genetik

 Reaksi idiosinkratik

5.2 Rencana Pemantauan Efek Samping Obat

a. IVFD NaCl 0,9 %

1) Belum ada laporan mengenai efek penggunaan obat natrium klorida.

Namun, Anda harus segera menghubungi dokter jika ada efek samping

berikut:

- Detak jantung cepat

- Demam

- Gatal-gatal atau ruam

- Suara serak
- Iritasi

- Nyeri sendi, kaku, atau bengkak

- Dada sesak

- Pembengkakan pada wajah, bibir, tenggorokan, atau lidah

b. Ranitidin injeksi

1) Efek samping ranitidin dapat dibagi per sistem organ sebagai berikut:

- Sistem saraf pusat: sefalgia, malaise, insomnia, vertigo, gangguan

status mental sementara seperti agitasi, depresi, halusinasi namun

sangat jarang

- Kardiovaskular: aritmia seperti takikardia, bradikardia, AV blok,

PVC (premature ventricular beats)

- Gastrointestinal: konstipasi, diare, mual/muntah, nyeri perut

- Hepatik: kolestasis, hepatitis dengan atau tanpa kuning, gangguan

fungsi liver, dan hepatotoksisitas. Pada keadaan ini ranitidin harus

segera dihentikan

- Muskuloskeletal: atralgia dan mialgia

- Hematologi: leukopenia, granulositopenia, dan trombositopenia

reversibel

- Endokrin: ginekomastia, impotensi, dan penurunan libido namun

insidensi sangat jarang

- Integumen: ruam kemerahan termasuk eritema multiforme

- Respiratori: risiko lebih besar untuk terkena pneumonia, namun

hubungan kausal masih belum diketahui


- Lainnya: kasus hipersensitivitas (bronkospasme, eosinofilia, ruam

kemerahan), anafilaksis, dan peningkatan serum kreatinin

      Setelah pemberian obat beritahu pasien atau keluarga pasien untuk

melaporkan gejala-gejala yang dialami pada petugas kesehatan.

2) Bolus intravena ranitidin harus diberikan secara lambat karena

administrasi injeksi secara cepat dapat menyebabkan bradikardia.

      (Clark et.al 2009; Sharma, 2003)

c. Metil prednisolon tablet

1) Terdapat perbedaan dosis dan jadwal minum untuk obat ini. Anda

mungkin diharuskan untuk mengonsumsi metilprednisolon dalam

ukuran dan dosis yang berbeda.

2) Perhatikan selalu dosis yang diresepkan untuk Anda dan ukuran tablet

untuk memastikan Anda mendapat takaran dosis yang tepat.

3) Jangan menambah dosis tanpa sepengetahuan dokter. Memperbanyak

dosis tidak menjamin kecepatan proses penyembuhan. Hal ini justru

dapat meningkatkan risiko efek samping.

4) Jika Anda diharuskan meminum obat ini dalam dosis yang berbeda-

beda setiap hari, atau jika Anda diminta meminum obat ini hanya

beberapa hari sekali, tandai kalender Anda sebagai pengingat.

Konsultasikan pada dokter atau apoteker Anda jika ada pertanyaan.

5) Jangan berhenti minum obat tanpa persetujuan dokter. Beberapa

kondisi bisa menjadi lebih parah, atau Anda bisa mengalami gejala

putus obat saat pengobatan dengan metilprednisolon tiba-tiba

dihentikan.
6) Cari bantuan tenaga medis segera jika Anda mengalami reaksi alergi

obat:

- Gatal-gatal

- Kesulitan bernapas

- Bengkak pada wajah, bibir, lidah, atau tenggorokan

7) Hentikan pengobatan segera hubungi dokter jika Anda mengalami efek

samping serius dari methylprednisolone, seperti:

- Masalah dengan penglihatan

- Pembengkakan, kenaikan berat badan secara cepat, napas pendek

- Depresi parah, pikiran dan perilaku berbeda dan tak biasa, kejang-

kejang

- Feses berdarah atau hitam, batuk berdarah

- Pankreatitis (rasa sakit tak tertahankan di perut bagian atas dan

menyebar ke punggung, mual dan muntah, detak jantung cepat)

- Potasium rendah (kebingungan, detak jantung tak teratur, kehausan

parah, sering buang air kecil, kaki tidak nyaman, lemah otot dan

perasaan lumpuh)

- Tekanan darah sangat tinggi (sakit kepala parah, penglihatan

buram, telinga berdengung, rasa cemas, bingung, sakit dada, napas

pendek, detak jantung tidak teratur, kejang-kejang)

8) Efek samping yang lebih ringan dari metilprednisolon biasanya

berupa:

- Sulit tidur (insomnia)

- Perubahan suasana hati


- Jerawat, kulit kering, kulit menipis, memar, dan perubahan warna

- Luka yang tak kunjung sembuh

- Produksi keringat meningkat

- Sakit kepala, pusing, ruangan terasa berputar

- Mual, sakit perut, kembung

- Perubahan pada bentuk dan lokasi lemak tubuh (terutama di

lengan, kaki, leher, wajah, payudara, dan pinggang)

Tidak semua orang mengalami efek samping berikut ini. Mungkin ada

beberapa efek samping yang tidak disebutkan di atas.Bila Anda memiliki

kekhawatiran mengenai efek samping tertentu, konsultasikanlah pada dokter atau

apoteker Anda. Informasikan dokter jika kondisi Anda tidak membaik atau malah

memburuk.

d. Spironolakton tablet

1) Efek samping yang mungkin terjadi selama pengunaan Spironolactone,

antara lain:

 Sakit kepala.

 Mengantuk.

 Gangguan lambung.

 Ataksia (Gangguan koordinasi gerakan).

 Kebingungan mental.

 Ketidak teraturan menstruasi.

 Impotensi (memulai ereksi).

 Ruam kulit.
 Ginekomastia (pembesaran jaringan kelenjar payudara yang terjadi

pada pria)

 Jarang terjadi : pembesaran payudara, hiponatremia (Kondisi yang

terjadi ketika kadar natrium dalam darah terlalu rendah),

hiperkalemia (kondisi ketika jumlah kalium dalam darah sangat

tinggi). Setelah pemberian obat beritahu pasien atau keluarga

pasien untuk melaporkan gejala-gejala yang dialami pada petugas

kesehatan.

e. Ulsafate sirup

1) Efek samping obat

 Frekuensi buang air besar yang lebih sedikit dari biasanya.

 Diare.

 Mual.

 Muntah.

 Tidak nyaman di perut.

 Buang angin.

 Rasa gatal pada kulit.

 Mengantuk.

 Sakit perut.

 Nyeri pada bagian belakang.

 Sakit kepala.

 Ruam pada kulit.

 Gangguan kesulitan tidur (insomnia).


 Kondisi yang membuat penderitanya mengalami pusing, sampai

merasa dirinya atau sekelilingnya berputar (vertigo).

 Mulut kering.

 Gatal.

 Gangguan pada saluran pencernaan.

 Nyeri pada punggung.

 Ruam pada kulit.

2) Perhatian Khusus

 Pasien penderita gangguan fungsi ginjal.

 Pasien dengan gangguan menelan.

 Pemberian sukralfat dan nutrisi enteral harus berjarak 1 jam.

 Pasien yang memiliki masalah pada perut atau usus seperti waktu

pengosongan lambung yang tertunda.

Setelah pemberian obat beritahu pasien atau keluarga pasien untuk

melaporkan gejala-gejala yang dialami pada petugas kesehatan.

f. Furosemide tablet

1) Ada beberapa efek interaksi obat yang dapat terjadi jika furosemide

digunakan bersama obat-obatan lain, di antaranya:

- Peningkatan risiko terjadinya kerusakan ginjal, jika digunakan

bersama antibiotik golongan sefalosporin dan obat antiinflamasi

nonsteroid (OAINS)

- Peningkatan risiko terjadinya kerusakan telinga, jika digunakan

bersama antibiotik golongan aminoglikosida


- Peningkatan risiko terjadinya hiperkalemia, jika digunakan

bersama dengan obat diuretik hemat kalium

- Peningkatan risiko terjadinya kerusakan jantung, jika digunakan


bersama dengan obat glikosida jantung,
seperti digoxin atau antihistamin
- Peningkatan risiko terjadinya hiponatremia, jika digunakan
bersama carbamazepine
- Penurunan kadar furosemide di dalam darah, jika digunakan
bersama obat aliskiren
- Penurunan risiko efek samping furosemide, jika digunakan
bersama indometacin

2) Efek Samping dan Bahaya Furosemide


- Penggunaan furosemide berpotensi menyebabkan sejumlah efek
samping, antara lain:
 Pusing
 Vertigo
 Mual dan muntah
 Diare
 Penglihatan buram
 Sembelit

3) Lakukan pemeriksaan ke dokter jika keluhan di atas tidak kunjung


membaik. Segera ke dokter jika Anda mengalami reaksi alergi obat,
seperti muncul ruam yang gatal, bengkak di mulut dan bibir, atau
mengalami efek samping yang serius, seperti:
 Kram perut
 Merasa lelah
 Mulut terasa kering
 Aritmia
 Telinga berdenging
 Kulit menguning
 Mudah mengantuk
 Pingsan (Elison et.al, 2018)

g. Sucrafalt syrup
1) Efek samping yang mungkin timbul setelah mengonsumsi sukralfat
adalah:
 Konstipasi
 Sakit kepala
 Mulut kering
 Pusing
 Diare
 Insomnia
 Perut kembung
 Mual atau muntah

2) Periksakan ke dokter jika efek samping di atas tak kunjung reda atau
justru semakin memburuk. Segera temui dokter bila terjadi reaksi alergi
obat yang bisa ditandai dengan munculnya ruam yang gatal di kulit,
kesulitan bernapas, atau bengkak pada bibir dan kelopak mata, setelah
mengonsumsi sucralfate. (Bramhall, 2020)
h. Simvastatin tablet
1) Efek Samping Mengonsumsi Simvastatin
Semua obat berpotensi menyebabkan efek samping, termasuk
simvastatin. Beberapa efek samping yang dapat terjadi saat
mengonsumsi simvastatin adalah:
 Bersin-bersin
 Pilek
 Sakit tenggorokan
 Mual
 Sembelit
2) Selain beberapa efek samping di atas, simvastatin juga bisa
menyebabkan gangguan pada organ hati. Segera periksakan diri ke
dokter bila muncul gejala di bawah ini:
 Muntah
 Sakit perut
 Merasa sangat lelah
 Urine berwarna gelap seperti teh
 Mata dan kulit menguning
3) Periksakan ke dokter jika efek samping di atas tak kunjung reda atau
justru semakin memburuk.
(Ward et.al, 2019)

5.3 Rencana edukasi pasien (Peran Apoteker)

a. Apoteker memiliki peran penting dalam penilaian dan pemantauan cedera

ginjal akut dan penyakit ginjal kronis

b. Proses penilaian sistematis mencakup evaluasi penanda fungsi ginjal yang

relevan bersama dengan riwayat klinis dan presentasi pasien.

c. Skrining dan penilaian fungsi ginjal yang ditargetkan harus terjadi pada

pasien-   pasien dengan risiko tertinggi, termasuk mereka yang menderita

diabetes,    hipertensi, penyakit pembuluh darah, orang lanjut usia, dan

mereka yang    menerima obat nefrotoksik yang dihilangkan secara

potensial atau berpotensi.


DAFTAR PUSTAKA

Batine,J.R,Stoppler,M.C.
(ed),2009.UrinaryTractInfections.http://www.emedicinehealth.com/urin
ary_tract_infections/article_em.
Bramhall, S., Mourad, M. (2020). Is There Still a Role for Sucralfate in The
Treatment of Gastritis?. World Journal of Meta-Analysis. 8(1): 1-3.

Clark, K.; Lam, L. T.; Gibson, S.; Currow, D. "The effect of ranitidine versus
proton pump inhibitors on gastric secretions: a meta-analysis of randomised
control trials". 2009. Anaesthesia. 64 (6): 652–657

DiPiro, J.T., Barbara, G.W., Terry, L.S., and Cecily, V.D., 2012,
Pharmacotherapy Handbook 9th Edition, Mc. Graw Hill, Medical
Publishing Division, New York.

Ellison, et al. (2018). Diuretic Treatment in Heart Failure--from Physiology to


Clinical Trials. The New England Journal of Medicine, 378 (5), pp. 492.
Oh, Se Won., Han, Sang Youb. (2015). Loop Diuretics in Clinical Practice.
Electrolyte & Blood Pressure, 13 (1), pp. 17-21.

Hartono, A.,2005. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Buku Kedokteran.
Yogyakarta AHFS. AHFS Drug Information, American Society of Health System
Pharmacists. Bethesda: American Hospital Formulary Service; 2011.

Judith.2005.Pathophysiology A 2-in-1 Reference for


Nurses.Philadelphia;Lippincott Williams & Wilkins.

KDIGO, 2012.Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of


Chronic Kidney Disease.Kidney international supplements. National
Kidney Foundations

Luntungan, P. Tjitrosantoso, H. Yamlean, P. 2016. Potensi Drug Related


Problems (Drps) Pada Pasien Gagal Ginjal Di Rawat Inap Rsup Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado.UNSRAT. PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT
Vol. 5 No. 3 AGUSTUS 2016 ISSN 2302 – 2493Manado. Hal 23-33.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare.(2001). Buku Ajar KeperawatanMed-


ikalBedah Brunner &Suddarth.Edisi 8.Jakarta :EGC

Sharma MP, Ahuja V.Current Management of Acid Peptic Disorders. 2003. J Ind
Acad Clin Med. 4(3): 228-33

Ward, N., Watts, G., & Eckel, R. (2019). Statin Toxicity – Mechanistic Insights
and Clinical Implications. Circulation Research, 124(2), pp. 328-50.
Pinal-Fernandez, I., Casal-Dominguez, M., & Mammen, A. (2018). Statins: Pros
and Cons. Medicina Clinica, 150(10), pp. 398-402.

Anda mungkin juga menyukai