Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG


MENJALANI HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI
DI RUANG HEMODIALISA DR.SOETOMO SURABAYA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

DIMAS DWI NUGROHO (P27820714003)


DEFFY ALLIF UMAMI HUDA (P27820714013)
ARAVIKA NUR HARIADI (P27820714018)
MUHAMMAD IQBAL (P27820714027)
FITRAH NURANI ERBA PUTRI (P27820714030)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


PRODI DIV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
2017-2018
LAPORAN PENDAHULUAN
Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani
Hemodialisa Dengan Komplikasi Overload

1. PENYAKIT GINJAL KRONIK


1.1 Definisi
Chronic kindey disease atau disebut juga gagal ginjal kronis. Penyakit
ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
Menurut Brunner & Suddarth (2001), gagal ginjal kronis atau penyakit
renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
1.2 Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
a. Diabetes Melitus
b. Sistemik
c. Kongenital/bawaan
d. Batu ginjal
e. Hipertensi
f. Infeksi
g. Glomerulonephritis
1.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Pada penderita chronic kindey disease, klasifikasi stadium ditentukan dua
hal, yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas asar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Stadium yang
lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah
(K/DOQI, 2002).
LFG ((ml/mnt/ 1,73m2) = (140 umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronikberdasarkan tingkat LFG, yaitu :
a. Stadium I
Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminuria persisten dan LFG nya
yang masih normal yaitu > 90 ml/menit/1,72 m3
b. Stadium II
Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG antara 60-89
ml/menit/1,73 m3
c. Stadium III
Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit/1,73 m3
d. Stadium IV
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit/1,73 m3
e. Stadium V
Kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m3
1.4 Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal Kronik
a. Nausea/mual
b. Dispneau
c. Anemia
d. Hipertensi
e. Edema
f. Gatal-gatal
1.5 Patofisiologi
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah.
Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah
glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate
(GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam
usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin
sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada
saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN)
biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat
dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan
resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya
natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko
kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance
cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat
ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan
produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada
penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat
menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan
kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan
perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari,
ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Brunner dan Suddarth,
2001).
1.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suhardjono (2001), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien gagal ginjal kronik yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan,
menentukan derajat GGK, menentukan gangguan sistem, dan membantu
menetapkan etiologi. Blood ureum nitrogen (BUN)/kreatinin meningkat,
kalium meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun, protein
menurun.
2. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG). Untuk melihat kemungkinan
hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal
menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
3. Ultrasonografi (USG). Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti
obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah
proses sudah lanjut.
4. Foto Polos Abdomen. Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan
memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain.
5. Pieolografi Intra-Vena (PIV). Dapat dilakukan dengan cara intravenous
infusion pyelography, untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan Pielografi Retrograd. Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi
yang reversibel.
7. Pemeriksaan Foto Dada. Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi
perikadial.
8. Pemeriksaan Radiologi Tulang. Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi
metastatik.
1.7 Terapi Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre,
2008). Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
1) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen
yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti
menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal.
Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila
penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
2) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut.
Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari.
Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia.
3) Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na).
Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan,
edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
4) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus
diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data
asupan dan pengelurana cairan yang dicatat dengan tepat adalah
pengukuran berat badan harian. Asupan yang bebas dapat menyebabkan
beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema. Sedangkan asupan yang
terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi
ginjal. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan
adalah jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml
(IWL). Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam gagal
ginjal kronik, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak
dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien (Wilson, 2006).

2. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)


Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit
gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari
komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi
menjadi dua, antara lain dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan
transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).

a. Dialisis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan fungsi tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan
kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali.
Dialisis dilakukan dalam penanganan pasien dengan edema yang tidak
responsif terhadap terapi, koma hepatikum, hiperkalemia, hiperkalsemia,
hipertensi dan uremia. Dialisis akut diperlukan bila terdapat kadar kalium
yang tinggi dan meningkat, kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner
yang mengancam, asidosis yang meningkat, perikarditis dan konfusi yang
berat. Dialisis kronis atau pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis
dalam keadaan berikut : (1) terjadi tanda dan gejala uremia yang mengenai
seluruh sistem tubuh (mual muntah, anoreksia berat, letargi, dan konfusi
mental) ; (2) kadar kalium serum yang meningkat ; (3) muatan cairan berlebih
yang tidak responsif terhadap terapi diuretik serta pembatasan cairan ; dan (4)
penurunan status kesehatan yang umum. Selain itu, terdengarnya suara
gesekan perikardium (pericardial friction rub) merupakan hasil aukultasi yang
merupakan indikasi yang mendesak untuk dilakukan dialisis untuk pasien
gagal ginjal kronis (Brunner & Suddarth, 2002).
1) Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser). Dialiser ini
memiliki fungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan produk sisa
metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2005; Ignatavicius, 2006 dalam
Septiwi, 2011).
Prinsip dari pelaksanaan hemodialisis adalah darah dikeluarkan
dari tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke dalam
sebuah mesin besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang
dipisahkan oleh sebuah membran semipermeabel. Darah dimasukkan ke
salah satu ruang, sedangkan ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis
dan diantara keduanya akan terjadi difusi. Darah dikembalikan ke tubuh
melalui sebuah pirau vena (Corwin, 2009).
2) Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal dilakukan dengan cara menanamkan sampai 2
L larutan glukosa isotonik atau hipertonik dalam rongga peritoneal pasien
melalui pemasangan kateter Silastic permanen. Terjadi ekuilibrium
cairan, melalui membran peritoneal seluas 2 m 2 dengan darah di kapiler
peritoneum. Setelah beberapa jam cairan yang mengandung sisa buangan
toksik ditarik keluar. Prosedur ini diulangi tiga atau empat kali sehari.
Kelebihan cairan diambil oleh larutan hipertonik. Komplikasi utama
adalah peritonitis, biasanya akibat Staphylococcus epidermidis atau
S.aureus (Rubenstein et.al, 2007).
b. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu
terapi definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan
gagal ginjal yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini
adalah pencangkokan ginjal sehat ke dalam tunuh pasien. ginjal sehat tersebut bisa
didapatkan dari donor manusia yang sehat dan masih hidup atau bisa juga dari
donor yang baru saja meninggal. Permasalahan yang paling sering dihadapi dalam
cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien sebagai resepien
terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal yang paling cocok sehingga
memberikan reaksi penolakan yang paling minimal. Setelah pelaksanaan
transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat imunosupresan seumur
hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru
dalam tubuhnya (Aziz, 2008).

2. PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN KOMPLIKASI


OVERLOAD
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah.
Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah
glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate
(GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam
usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin
sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada
saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN)
biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat
dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan
resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya
natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko
kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance
cairannya.
2.1 Tanda dan Gejala Overload pada pasien Gagal Ginjal Kronik
a. Sesak nafas
b. Edema
c. Ortopnea
2.2 Etiologi Overload pada pasien Gagal Ginjal Kronik
Overhidrasi terjadi jika asupan cairan lebih besar daripada pengeluaran
cairan.
Kelebihan cairan dalam tubuh menyebabkan konsentrasi natrium dalam aliran
darah menjadi sangat kecil. Minum air dalam jumlah yang sangat banyak
biasanya tidak menyebabkan overhidrasi jika kelenjar hipofisa, ginjal dan
jantung berfungsi secara normal. Overhidrasi lebih sering terjadi pada orang-
orang yang ginjalnya tidak membuang cairan secara normal. Sehingga harus
membatasi produksi minum.

3. HEMODIALISIS
3.1 Definisi
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk membuang sisa
metabolisme tubuh dan menggantikan fungsi ginja yang rusak dengan ginjal
bauatan (dialyzer)
3.2 Indikasi
PGA
- PGA dengan komplikasi oedema paru berat- kelebihan volume cairan
berat
- PGA dengan hiperkalemia berat aritmia
- PGA dengan asidosis metabolic berat
- PGA dengan toksik uremia berat
PGK
- PGK Stadium V dengan GFR <15

3.3 Prinsip Hemodialisa


Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen : 1. Kompartemen darah,
2.kompartemen cairan pencuci (dialisat) 3.ginjal buatan (dialyzer). Darah
dikeluarkan dari pembuluh draah vcena dengan kecepatan tertentu, kemudian
masuk kedalam mesin dengan proses pemompaan setelah terjadi proses
dialysis, darah yang telah bersih masuk ke pembuluh balik, selanjutnya
beredar kedalam tubuh. Proses dialysis (pemurnian) darah terjadi dalam
dialyzer
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan
ini dengan larutan lain (kompoartemen dialisat) melalui membrane semi
permiabel. (dialyzer)
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Pengkajian
a) Demografi.
Penderita Penyakit Ginjal Kronik kebanyakan berusia diantara 30 tahun,
namun ada juga yang mengalami Penyakit Ginjal Kronik dibawah umur
tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan,
penggunaan obat-obatan dan sebagainya.
b) Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum Penyakit Ginjal Kronik
seperti DM, glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme,
obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat
memicu kemungkinan terjadinya Penyakit Ginjal Kronis.
c) Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan
air naik atau turun.
d) Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan
darah dan suhu.
Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit
parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya
adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya
seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik
atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak
dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktivitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan
dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan,
penurunan kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema,
citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan
percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan
dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan
agama seperti biasanya.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien
dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-
pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat
ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang,
dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
6. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan
adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya
kurang dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin
seperti pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir ,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya
albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui
urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena
kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg,
sering sama dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih
dan adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluk kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit
tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat
pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi,
obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai
selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
. Diagnosa Keperawatan dan Rencana Tindakan yang mungkin timbul
pada klien dengan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) adalah sebagai berikut :
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan
glomerulo filtration rate.
Tujuan : Keseimbangan cairan dan elektrolit
Kriteria :
1. Rasio intake dan output pada batas normal
2. Berat badan normal
3. Tekanan darah dalam batas ketentuan (140/90 mmHg) dan elektrolit K, Ca, Mg,
Fosfat, Na pada batas normal.
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji adanya edema a. Merupakan tanda-tanda lethargi cairan yang menambah kerja
dengan distensi vena dari jantung dan menuju edema pulmoner dan gagal jantung.
jugolaris, dispnea,
tachikardi, peningkatan
tekanan darah crakles
pada auskultasi. b. Tanda-tanda hipernatremia dihasilkan dari tanda fungsi tubular
b. Kaji kelemahan otot tidak ginjal.
adanya reflek tendon
dalam, kram abdomen
dengan diare, tidak
teraturnya nadi. c. Tanda-tanda hipertermia dihasilkan dari ketidakmampuan
c. Kaji kelemahan, nefron untuk memfiltrasi keluar Na.
kelelahan, penurunan d. Tanda-tanda hipokalsemia dihasilkan dari ketidakmampuan
reflek tendon ginjal untuk memetabolisme vitamin D diperlukan aibsorps Ca
d. Kaji kram otot, kaku atau dari intestinum.
gatal-gatal jari, ibu jari,
perubahan dalam 10 hari.e. Tanda-tanda hipokalsemia dihasilkan dari ketidakmampuan
e. Kaji kram otot parastesia ginjal untuk mengeluarkan fosfat.
Tanda-tanda dari hipermagnesia di hasilkan dari
ketidakmampuan untuk mengeluarkan magnesium.
f. Kaji nausea, muntah,
hipotensi, bradikardi dan
perubahan reflek tendon g. Ketentuan batas cairan jika terjadi oliguri.
dalam
g. Monitor intake dan output
setiap 4-8 jam dengan
memperhatikan output di
bawah 30 ml/jam h. Tanda-tanda peningkatan elektrolit
h. Monitor tanda-tanda vital
setiap 4 jam untuk
meningkatkan tekanan
darah Fungsi ginjal diketahui dan peningkatan BUN lebih dari 25
i. Monitor BUN, kreatinin, mg/dl dan kreatiniin lebih dari 1,5 mg/dl.
asam urat Ketentuan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urine
j. Monitor urinalisasi ekskresi elekrolit dan kerusakan pada ginjal.
sampai hematuria,
penurunan kreatinin
clerence, ekskesi
elektrolit, penurunan gaya
berat khas dan ketidak
normalan lainnya.
k. Monitor elektrolit untuk k. Evaluasi untuk kalium 5.0 mEq/dl Ca dibawah 6.0 mEq/dl P
K, Na, Ca, Mg dan P lebih dari 2.0 mEq/dl Mg lebih dari 3.0 mEq/dl.
tingkatkan. Bekerja sebagai obat diuresis (untuk mengeluarkan kelebihan
b. l. Kolaborasi pemberian cairan dalam tubuh)
obat diuretik, HCT
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan ureum pada saliva
mulut/peningkatan asam gastrin
Tujuan : Kebutuhan nutrisi adekuat dalam batas normal
Kriteria :
1. Hilangnya anoreksia
2. Hilangnya mual dan muntah
3. Intake 2000 kalori perhari
4. Porsi makan di habiskan
5. Berat Badan
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji anoreksia, nausea dan muntah Merupakan tanda dan gejala dari
b. Kaji penerimaan ketidaksukaan peningkatan azotemia.
diet pembatasan protein. Penurunan intake nutrisi akan mengubah
c. Kolaborasi pemberian obat anti kebutuhan nutrisi
emetik (metociropmid) Bertugas untuk mengurangi muntah dengan
d. Kolaborasi pemberian multivitamin menambah asam gastrin
Melengkapi dukungan pembatasan diet

Protein ditentukan dengan kegagalan ginjal


e. Batasi protein 20-60 gram perhari,
dan tingkat BUN: karbohidrat untuk
intake karbohidrat 100 gram
perhari 2000 kalori perhari mencegah lemak untuk menghancurkan
katabolisme jaringan
keseluruhan intake.
Peningkatan merupakan indikasi
f. Kaji berat badan perhari dengan
ketidakadekutan intake nutrisi.
(pakaian, waktu skala yang sama)
Informasi peningkatan keluhan, makan
g. Beri informasi alasan untuk
sedikit tapi sering mengurangi nausea
pembatasan protein dan bagaimana
memantang makanan selama 24
Iritasi stomatistik meningkatkan nausea
jam.
Protein komplek mengandung seluruh asam
h. Hindari minum berkafein, juice
amino
makanan panas/berbau
b. i. Berikan intake ayam, ikan
sebagai sumber protein.
c. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan produksi eritrosit menurun
Tujuan : Kebutuhan aktivitas sehari-hari dapat terpenuhi
Kriteria :kontinuitas partisipasi ADL, mengemukakan kemampuan untuk memelihara
tingkat energi, hilangnya komplikasi.

INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji tingkat aktivitas dan toleransi, Merupakan data dasar terhadap kemampuan
pola aktivitas kemampuan dalam beraktivitas dan untuk tindakan berikutnya.
ADL keadaan bedrest Peningkatan yang cepat indikasi terhadap
b. Kaji perubahan tekanan darah dan aktivitas
pola selama aktivitas Tanda dan gejala anemia dengan penurunan
c. Kaji kelemahan dyspnoe, pucat dan produksi eritropoetin yang menstimulasi
pusing produksi.
d. Kaji perdarahan dari gusi, luapan Hasil dan penurunan fungsi penurunan
menstruasi berat saluran
gastrointestinal. Penurunan merupakan indikasi suspek
e. Monitor jumlah darah merah, anemia, kehilangan darah.
hematokrit, hemoglobin, jumlah
platelet RBC kurang dari 6 juta Hct
kurang dari 20% Hgb kurang dari 10
g/dl Tekanan darah menurun dengan kehilangan
f. Kaji tanda-tanda vital setiap 4 jam darah, pols meningkat, peningkatan
berhubungan dengan aktivitas
Bertugas untuk memelihara eritpoesis normal
dan stimulasi produksi sel darah merah,
g. Obat parrous sulpat (feosl, folic pembekuan (folic acid atau sebagai pengganti
acid/flovite) besi/farros sulfat)
Menyimpan energi dan mengurangi tuntutan
Membangun dan memelihara ketahanan
Izinkan untuk mengontrol pasien ketika
mencapai perkembangan dan menghindari
h. Bantu klien ketika diperlukan dalam
kelelahan
pemenuhan ADL
i. Tingkatan aktivitas bila
memungkinkan dan mendukung
Kecenderungan berdarah menyebabkan
j. Ajari klien bagaimana untuk
hilangnya darah terutama jaringan
merencanakan pembatasan untu
memodifikasi atau meningkatkan
aktivitas yang disetujui pada tingkat
Cegah komplikasi serius berkembang.
toleransi dan tujuan realistis
k. Hindari aktivitas atau mengunakan
alat (sikat gigi, pisau cukur) yang
mungkin menyebabkan trauma pada
jaringan: catat setiap perdarahan dari
mukosa memar berlebih
b. l. Kontrol dan catat tekanan darah
meningkat atau menurun

d. Gangguan integrasi kulit berhubungan dengan garukan akiba gatal-gatal


Tujuan : kulit tetap utuh
Kriteria :
1. Kemerahan tidak ada
2. Pecah dan erosi kulit tidak ada akibat garukan
3. Tidak terjadi mucosa mulut
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji gatal-gatal, pecah dalam kulit, a. Gatal-gatal hasil dari kekeringan kulit,
kemerahan pada titik tekanan. kristalisasi urea pada kulit (embun beku
urine) tkanan konstan pada kulit
menunjukkan penurunan pada jaringan dan
pecahan.
b. Kaji mukosa oral ada stomatitis dan b. Hasil dari peningkatan urea dan amonia
pernafasan bau ammonia dari pecahan bakteri dan urea.
c. Dyspnea, krakles sputrum tebal
kekuning-kuningan c. Indikasi dan infeksio pulmonal
d. Kering, rambut mudah rusak dan kuku d. Hasil dari retensi urine dan
pucat, warna pada kulit. penurunan/peningkatan
e. Dyspnea, frekuensi, urgency urin bau
atau kotor. e. Indikasi infeksi blas urine
f. Monitor suhu setiap 4 jam
Peningkatan adanya indikasi-indikasi dari
CRF
g. Monitor sputum dan kultur urine g. Jumlah bakteri indikasi infeksi
h. Kolaborasi pemberian obat anti biotikh. Bertugas untuk menahan dingin sel,
(ampicilin). membentuk mikro organisme.
i. Jaga tekhnik aseptik pada seluruh Mencegah kontaminasi yang predisposisi
teknik keperawatan catatan, pakaian. Pergerakan lembut beku uremi dan
j. Kesungguhan obat yang lembut yang memenangkan gatal-gatal.
seperti baking soda/jagung kaji pada
bak mandi gunakan sabun dan kering
rambut. k. Meningkatkan ketenangan dan kenyamanan
k. Suhu ruangan dingin, kompres dingini gatal-gatal.
pada daerah gatal-gatal Menurunkan gatal-gatal
l. Anjurkan klien untuk menghindari
pemakaian dari bahan kapas m. Menurunkan kecenderungan gatal-gatal
m. Ajari klien untuk menekan area yang n. Mengurangi gatal-gatal.
gatal
n. Ajari klien gunakan aktivitas
penyimpanan/ hiburan untuk
menghindari garukan.
e. Gangguan pada eliminasi defekasi : konstipasi berhubungan dengan pembatasan
makanan yang berserat dan cairan
Tujuan : Eliminasi menjadi lancer
Kriteria :
1. Klien menyatakan dapat buang air besar
2. Feaces lembek
3. Tidak terdapat benjolan pada saat palpasi di bagian epigastrium bawah kiri.
INTERVENSI RASIONAL
a. Lakukan aktivitas yang cukup Membantu dalam melancarkan bolus dan
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk feacese untuk keluar
pemberian nutrisi yang tinggi seratb. Dapat membant dalam usus dan dapat
c. Kolaborasi dengan dokter melembabakan feacese yang keras
pemberian laksative Dapat membantu melembabkan feacese
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta :
EGC

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans:

Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:

Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000

Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal
Kronik

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.


Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-
2017. United Kingdom: Blackwell.
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (N
IC) fourth edition. Missouri: Mosby
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan klasifikasi, diakses p
ada 29 Oktober 2017, (Online), http://www.jevuska.com/2017/10/29/gagal-ginjal-kronik-
atau-ckd/.
http://bandungsehat.blogspot.co.id/2009/04/konsep-dasar-gagal-ginjal-kronik.html
http://mudiarsa.blogspot.co.id/2010/06/askep-kelebihan-volume-cairan.html

Anda mungkin juga menyukai