Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

ANALISA RESEP POLIFARMASI

DISUSUN OLEH:

Wivi Azkia Antami 180600014

Aliffia Putri 180600018

Rizky Yana Putri 180600186

Nadya Arthamevia Devi 180600187

Mulia Listari 180600188

Emalia Elmi Ginting 180600021

MEJA 1 GRUP A2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

MEDAN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Peresepan secara polifarmasi menyebabkan kemungkinan terjadinya interaksi obat baik
secara farmakokinetika dan farmakodinamika semakin besar untuk terjadi.
Interaksi obat dapat bersifat menguntungkan bila interaksi yang terjadi bersifat
sinergisme namun dapat juga merugikan bila bersifat antagonisme (saling meniadakan)

1.2 Tujuan
 mahasiswa dapat menganalisa interaksi obat yang mungkin terjadi pada
pemberian obat secara polifarmasi.
 mahasiswa dapat menjelaskan interaksi farmakodinamik yang mungkin terjadi
pada pemberian obat secara polifarmasi.
 mahasiswa dapat menjelaskan interaksi farmakokinetik yang mungkin terjadi
pada pemberian obat secara polifarmasi.
BAB II

TEORI

Dalam penulisan resep, seorang dokter/dokter gigi tidak hanya dituntut untuk dapat
menulis resep dengan baik, namun juga harus memiliki kemampuan untuk dapat menulis resep
dengan benar. Dalam menulis resep dengan baik dan benar, selain harus memperhatikan kaidah
penulisan resep yang baik dan benar, seorang dokter/dokter gigi juga harus memperhatikan
kemungkinan interaksi yang dapat terjadi apabila diresepkan pemberian obat secara
polifarmasi.

Interaksi yang dapat terjadi berupa interaksi secara farmakokinetik dan secara
farmakodinamik.

Interaksi secara farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lainnya sehingga kadar plasma obat lainnya tersebut
akan meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan
efektifitas obat tersebut.

 Interaksi dalam proses absorbsi disaluran cerna: perubahan pH saluran cerna,


perubahan motilitas saluran cerna
 Interaksi dalam proses distribusi: berkaitan dengan ikatan obat dengan protein
plasma (protein binding property)
 Interaksi dalam proses metabolisme: aktivasi atau inhibisi enzim metabolisme obat
contoh : CYP 450
 Interaksi dalam proses ekskresi: perubahn pH urin

Polifarmasi (jumlah obat ≥5 macam) merupakan masalah serius dalam sistem kesehatan
karena meningkatkan morbiditas serta mortalitas yang amat berhubungan dengan polifarmasi
yang tidak tepat. Polifarmasi akan menyebabkan mahalnya biaya kesehatan secara langsung
maupun tidak langsung. Polifarmasi dapat mengakibatkan interaksi antarobat dan efek
samping obat dan masalahmasalah yang juga berhubungan dengan obatobatan (drug-related
problem=DRP) sehingga dapat mengganggu luaran klinis. Polifarmasi berkaitan dengan
underprescribing, penggunaan medikasi yang tidak tepat (termasuk duplikasi terapi), dan
ketidakpatuhan. Oleh karena itu, para profesional dalam bidang kesehatan harus sadar akan
risiko-risiko dan mengevaluasi semua medikasi pada tiap-tiap kunjungan pasien untuk
mencegah polifarmasi.

Polifarmasi itu dapat didefinisikan sebagai penggunaan satu pengobatan untuk menangani
efek-efek samping akibat pengobatan yang lain atau juga peningkatan jumlah pengobatan yang
digunakan hingga mencapai 5 atau lebih jenis obat. Obat topikal dan herbal tidak termasuk
dalam kriteria polifarmasi. Vitamin dan mineral yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan
juga tidak termasuk dalam pengukuran polifarmasi disebabkan karena keterlibatannya yang
tidak konsisten dalam polifarmasi. Berbagai hal dapat menyebabkan polifarmasi terkait pasien
maupun sarana kesehatan. Kondisi pasien misalnya penambahan usia, pendidikan, status
kesehatan yang buruk, dan komorbiditas. Semakin tua seorang pasien akan semakin besar
kemungkinan menderita penyakit kronik dan degeneratif yang umumnya tidak berdiri sendiri
(komorbiditas) sehingga kemungkinannya terjadi komedikasi. Sarana kesehatan meliputi
jumlah kunjungannya ke tempat pelayanan kesehatan, jaminan asuransi, dan provider yang
multipel.

1. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah nteraksi antara obat yang bekerja pada sistem resepto,
yang dapat bersifat sinergistik atau antagonistik.

Yang termasuk dalam interaksi farmakodinamik antara lain:

 Interaksi pada reseptor


 Interaksi fisiologik
 Perubahan dalam kesetimbangan cairan elektrolit
 Gangguan mekanisme ambilan amin di ujung saraf adrenergik
 Interaksi dengan penghambat Mono Amin Oksidase (MAO)

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang dapat mempengaruhi efek dari


salah satu obat. Interaksi ini dapat menimbulkan efek sinergi dan antagonis karena
memiliki mekanisme aksi sama (Ismail et al., 2013). Interaksi farmakodinamik sinergi
adalah apabila dua obat atau lebih digunakan secara bersamaan dapat memberikan efek
sinergi atau memberikan efek yang lebih menguntungkan daripada penggunaan
tunggal. Sebagai contoh adalah pemberian dua obat yang bersifat sedatif-hipnotik
seperti benzodiazepin dan antihistamin. Efek sedasi dan depresi SSP lebih meningkat
daripada penggunaan tunggal. tetapi, walaupun menguntungkan, tetap dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan, maka penggunaan kombinasi harus secara
tepat, hati-hati, dan terus dikontrol. Interaksi farmakodinamik antagonis terjadi ketika
efek farmakologis dari salah satu obat berkurang karena penggunaan obat secara
bersamaan, tanpa menurunkan kadar obatnya di dalam darah.

Mekanisme interaksi farmakodinamik adalah dengan menempati sisi reseptor


antagonis, sehingga tidak akan menimbulkan efek farmakodinamik, namun
menghalangi agonis endogen untuk menempati reseptor dan menimbulkan efek
farmakodinamik. Ini dapat mempengaruhi theraupetic outcome. Contoh interaksi ini
adalah kombinasi antara TCA dan guanetidin sebagai antihipertensi yang dapat
berakibat pada penurunan efikasi teraupetik. Mekanisme aksi TCA adalah menghambat
reuptake neurotransmitter pada sinapsis noradrenergik. Sisi aksi guanetidin adalah pada
presinap adrenergik neuron dimana aksinya adalah mengganti katekolamin yang berisi
gelembung dari native neurotransmitter, sehingga dapat menimbulkan efek
antihipetensi. Transporter yang dimediasi oleh reuptake norepineprin dihambat oleh
TCA. Sehingga, guanetidin tidak dapat menjangkau sisi aksi yang membuatnya tidak
aktif lagi sebagai antihipertensi. (Ciraulo et al., 2006) Berdasarkan tingkat keparahan
interaksi obat atau drug-drug interaction (DDI) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

1. Major clinical significant

Interaksi ini tercantum atau terdokumentasi dengan baik karena dapat


berpotensi menimbulkan bahaya pada pasien.

2. Moderate clinical significant

Interaksi ini terdokumentasi dengan baik karena dapat berpotensi menimbulkan


bahaya, namun lebih rendah daripada major clinical significant.

3. Minor clinical significant

Interaksi ini kurang signifikan, karena hanya tercantum sedikit dalam


dokumentasi, potensi bahaya pada pasien terkadang diabaikan, dan kejadian
interaksinya rendah. (Folb, 2012)
e. Hati

Sistem enzim pada bayi belum berkembang dengan sempurna, maka


kemampuan untuk mengikat obat lebih rendah. Neonatus memiliki sejumlah zat yang
bersaing dengan obat-obat untuk menempati pengikat protein di plasma. Maka
dibutuhkan dosis obat pengikat protein lebih kecil namun proporsional.Kadar enzim
hati yang rendah juga mempengaruhi laju biotransformasi obat.

f. Ginjal

Laju filtrasi glomerulus bayi 30 - 50% dari individu dewasa, laju matur pada
usia 6 bulan. Sekresi tubular lebih sedikit dihasilkan pada bayi, karena jumlah sel
tubular lebih sedikit, tubulus pendek, aliran darah, dan transport aktif lebih sedikit. Laju
matur dicapai usia 7 bulan. Pada neonatus pH urin lebih asam hingga 24 jam. Organ
ginjal pada pediatri memiliki kemampuan kecil dalam memekatkan atau mengencerkan
urin. Variasi ini dapat memperpanjang waktu paruh obat pada bayi, peningkatan
insidensi dan dehidrasi. Keadaan oligouria atau anuria perlu pemantauan ketat untuk
melihat efek toksik dan pengurangan dosis obat yang dieliminasi oleh ginjal.

2. Interaksi Farmakokinetika

Interaksi farmakokinetika adalah interaksi yang disebabkan karena perubahan


pada fase absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi bila dua atau lebih obat
digunakan bersamaan. Interaksi Farmakokinetika dapat diuraikan seperti di bawah ini:

a) Fase absorbsi

Apabila menggunakan dua atau lebih obat pada waktu yang bersamaan, maka
laju absorbsi dari salah satu atau kedua obat akan berubah. Obat tersebut dapat
menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorbsi obat yang lain. Interaksi
pada fase absorbsi dapat terjadi dengan jalan diantaranya memperpendek atau
memperpanjang waktu pengosongan lambung yaitu dengan merubah pH lambung atau
membentuk kompleks obat (Kee and Hayes, 1996). Contoh obat yang dapat
meningkatkan kecepatan pengosongan lambung adalah laksatif yaitu bisakodil dengan
meningkatkan motilitas atau pergerakan lambung dan usus sehingga dapat menurunkan
absorbsi dari digoksin (Wang et al, 1990). Obat yang dapat memperpendek waktu
pengosongan dan menurunkan motilitas GI adalah obat-obat narkotik dan
antikolinergik (obat-obat mirip atropin), sehingga dapat meningkatkan laju absorbsi.
Semakin lama obat berada dalam lambung atau usus halus, maka semakin banyak pula
jumlah obat yang akan diabsorbsi (hanya untuk obat diabsorbsi di lambung). Pada pH
lambung yang asam, maka obat yang bersifat asam seperti aspirin akan lebih mudah
diabsorbsi. Lambung dapat menjadi basa bila diberi antasida seperti Maalox
(Alumunium hidroksida, Magnesium hidroksida dan simetikon) dan Amphojel
(Alumunium hidroksida) yang dapat menurunkan absorbsi obat bersifat asam. Selain
itu, antasida yang mengandung logam alumunium, magnesium dapat membentuk
kompleks dengan tetrasiklin. Tetrasiklin ini juga dapat membentuk kompleks dengan
logam kalsium, besi, susu. Kompleks ini membuat tetrasiklin tidak dapat diabsorbsi
(Kee and Hayes, 1996).

b) Fase distribusi

Interaksi pada fase distribusi dapat terjadi ketika dua obat bersaing untuk
mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Apabila salah satu
obat tergeser dari ikatan protein maka akan banyak obat dalam bentuk bebas yang
bersirkulasi dalam plasma, sehingga dapat meningkatkan kerja obat dan menimbulkan
toksik. Interaksi pada fase distribusi hanya terjadi jika obat tersebut memiliki ikatan
kuat dengan protein (> 90%), obat dengan jendela terapi sempit, volume distribusi kecil
dan memiliki onset yang cepat. Derivat sulfonamide, salisilat, fenilbutazon memiliki
ikatan kuat dengan protein, obat-obat ini dapat menggeser obat yang tidak terikat kuat
dengan protein (Wang, 2008). Fenilbutazon dapat menggeser posisi warfarin yang
berikatan dengan albumin, hal ini dapat meningkatkan jumlah warfarin dalam bentuk
bebas di dalam plasma dan dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin
(Banfield et al, 1983). Jika terdapat dua obat yang berikatan tinggi dengan protein yang
harus dipakai bersamaan, dosis salah satu atau kedua obat tersebut perlu dikurangi
untuk menghindari toksisitas obat (Kee and Hayes, 1996).

c) Fase metabolisme

Metabolisme atau biotransformasi adalah proses memetabolisme atau merubah


senyawa obat yang biasanya bersifat lipofil (non polar) yang sukar dieliminasi menjadi
metabolit inaktif (polar) sehingga mudah untuk dieliminasi dari tubuh melalui urin dan
feses. Proses ini dilakukan oleh enzim pemetabolisme yang ada di hati. Interaksi obat
pada fase ini dapat meningkatkan atau menurunkan kadar obat di dalam darah (Wynn
et al., 2009).

Interaksi fase metabolisme dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu :

(i). Induksi enzim

Pada peristiwa ini dapat menurunkan kadar dari salah satu obat di dalam plasma
dan mempercepat eliminasinya. Hal ini dikarenakan enzim pemetabolisme diinduksi
sehingga produksi enzim lebih banyak dan lebih aktif untuk memetabolisme obat. Obat
penginduksi enzim ini dapat menurunkan kerja dari obat lain. Contoh obat penginduksi
enzim adalah barbiturat (fenobarbital) yang meningkatkan metabolisme penghambat
reseptor beta (propanolol).

(ii). Inhibisi enzim

Obat penginhibisi enzim dapat meningkatkan kadar obat lain di dalam plasma
dan memperlama eliminasinya. Interaksi ini dapat meningkatkan kerja obat, tetapi juga
dapat menimbulkan toksisitas. Contohnya adalah obat antitukak lambung (simetidin)
menurunkan metabolisme teofilin (antiasma) dalam plasma. Dosis teofilin harus
diturunkan untuk menghindari toksisitas. Jika simetidin dihentikan, maka dosis teofilin
perlu disesuaikan.

d) Fase ekskresi

Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada fase ekskresi melalui empedu,
sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal dan perubahan pH urin. Interaksi obat fase
ekskresi melalui ekskresi empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit
obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin dapat menurunkan ekskresi
empedu digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu dari rifampisin. Obat –
obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu P – glikoprotein.
Interaksi obat fase ekskresi pada sirkulasi enterohepatik dapat terjadi akibat supresi
flora normal usus yang berfungsi untuk menghidrolisis konjugat obat, akibat supresi
flora normal usus konjugat obat tidak dapat dihidrolisis dan direabsorbsi. Contohnya
adalah antibiotik rifampisin dan neomisin dapat mensupresi flora normal usus dan dapat
mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat kontrasepsi oral atau
hormonal, sehingga kontrasepsi oral tidak dapat dihidrolisis, reabsorbsinya terhambat
dan efek kontrasepsi menurun (Gitawati, 2008). Interaksi obat pada sekresi tubuli
ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport
yang sama, terutama sistem transport untuk obat bersifat asam dan metabolit yang
bersifat asam. Contohnya adalah fenilbutazon dan indometasin dapat menghambat
sekresi tubuli ginjal obat – obat diuretik thiazid dan furosemid, sehingga efek
diuretiknya menurun. Interaksi obat karena perubahan pH urin dapat mengakibatkan
perubahan klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal.
Interaksi ini akan bermakna klinik bila fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal
cukup besar (> 30%) dan obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 – 10 atau asam lemah
dengan pKa 3,0 – 7,5. Contohnya adalah efedrin yang merupakan basa lemah dengan
obat yang dapat mengasamkan urin seperti Ammonium Klorida dapat menyebabkan
klirens ginjal efedrin menurun. Fenobarbital yang bersifat asam dengan obat yang
membasakan urin seperti antasida dapat menyebabkan klirens ginjal fenobarbital
menurun dan efeknya juga menurun.
BAB III
METODOLOGI
1. Bahan dan Alat

Bahan

1. Kasus yang berisi interaksi obat


2. Buku teks farmakologi/IMS/MIMS/ISO
3. Panduan Formularium Nasional(FORNAS)/Daftar Obat Esensial Nasional(DOEN)

Alat

1. Alat tulis
2. Lembar kerja
3. LCD/Proyektor

2. Prosedur Praktikum

Pelaksanaan

Praktikan mendapatkan suatu resep yang berisikan pemberian obat secara polifarmasi sesuai
dibawah ini :

Nama : dr. XX

Alamat : Komplek Suka Indah, Medan

SIP : ................

Medan, ........
2019

R/Tab. Amoxyclav 625 No.XV

S 3 dd tab I

R/Tab. Cataflam 50 mg No.XV


S 3 dd tab I

R/Lameson No.XV

S 3 dd tab I

R/Tab. Doloneurobion No.V

S 1 dd tab I

Pro : Nn. X

Umur : 20 tahun

Pengamatan

Berdasarkan kasus diatas, mahasiswa melakukan:

1. Mencari nama generik (bahan aktif obat). Absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi,
mekanisme kerja serta efek dari obat yang dikonsumsi pasien tersebut
2. Menganalisis interaksi obat yang terjadi dalam bentuk table berikut!
3. Menjelaskan berdasarkan jawaban nomor 2,apakah resep polifarmasi diatas
rasional/tidak rasional? Jelaskan alasan anda
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Mencari nama generik (bahan aktif obat). Absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi,
mekanisme kerja serta efek samping dari obat yang dikonsumsi pasien tersebut
a. AMOXYCLAV

Nama generik : Amoxicillin

Farmakodinamik
Amoxicillin adalah turunan penisilin yang tahan asam, tapi tidak tahan terhadap
penilinase. Obat ini Stabil dalam suasana asam lambung, dan aktif melawan bakteri
gram positif yang tidak menghasilkan beta-laktamase, serta beberapa bakteri gram
negatif karena obat tersebut dapat menembus pori-pori di membran fosfolipid bakteri.

Amoxicillin memiliki efek bakterisidal yang bekerja terhadap bakteri yang sensitif
terhadap obat ini. Obat ini bekerja dengan cara menghambat biosintesis dinding sel
mukopeptida. Pemberian oral adalah pilihan, karena diabsorpsi lebih baik daripada obat
derivat penisilin lain yang diberikan secara parenteral.

Amoxicillin terutama diekskresikan ke urine, dalam bentuk yang tidak berubah.


Ekskresinya dapat dihambat dengan pemberian probenesid sehingga memperpanjang
efek terapi. Dikeluarkannya enzim penisilinase oleh bakteri dalam menghadapi
serangan obat ini, menyebabkan inaktifasi oleh plasmid, sehingga obat ini tidak dapat
kehilangan efek terapinya.

Farmakokinetik

Farmakokinetik amoxicillin cukup baik terutama bila diberikan per oral.


Bioavailabilitas bisa mencapai 95% per oral.

Absorpsi

Amoxicillin diabsorpsi dengan cepat dan baik pada saluran pencernaan, dan tidak
tergantung adanya makanan. Bioavailabilitas berkisar antara 74─92%, dan bisa
mencapai 95% per oral. Konsentrasi puncak dalam serum terjadi dalam 1─2 jam .
Waktu puncak dalam plasma darah bergantung pada bentuk sediaan, dimana waktu
puncak akan dicapai dalam 2 hari untuk obat bentuk kapsul, 3 hari untuk obat bentuk
tablet extended release, dan 1 hari untuk obat bentuk suspensi. Karena amoxicillin
diekskresikan terutama di ginjal, konsentrasi dalam serum akan meningkat pada
penderita gangguan ginjal
Absorpsi per oral pada neonatus lebih lambat dibandingkan anak-anak yang lebih besar.
Konsentrasi puncak dalam serum pada neonatus, didapat dalam 3─4,5 jam.

Distribusi

Distribusi amoxicillin terbanyak dalam cairan tubuh dan tulang, termasuk paru-paru,
sekresi bronkial, sekresi sinus maxilaris, empedu, cairan pleura, sputum, dan cairan
telinga tengah. Dalam cairan serebrospinal amoxicillin dapat ditemukan dalam
konsentrasi <1%. Dalam ikatan protein plasma, 17─20%. Pada wanita hamil,
amoxicillin dapat melewati sawar plasenta.

Metabolisme

Bio transformasi amoxicillin terjadi di hepar. Waktu paruh amoxicillin kurang lebih 1
jam pada orang dewasa. Waktu paruh pada anak bisa lebih singkat. Pada neonatus,
waktu paruh berkisar 3-4jam jam untuk neonatus cukup bulan. Pada infant dan anak-
anak, berkisar antara 1-2 jam. Waktu paruh akan memanjang pada penderita dengan
gagal ginjal.

Eliminasi

Amoxicillin diekskresikan melalui urine. Sekitar 50-80% dosis amoxicillin diksresikan


ke urine tanpa berubah bentuk. Ekskreasi obat ke ginjal akan lebih lama pada neonatus
dan infant karena fungsi ginjal yang belum berkembang sempurna.

Mekanisme Kerja

Merupakan turunan dari ampicillin dan memiliki spektrum antibakteri yang serupa
(gram positif dan gram negatif); aksi bakterisida (membunuh kuman) sama seperti
penisilin, bekerja pada bakteri yang dituju ketika melakukan tahap multiplikasi
(memperbanyak diri) dengan menghambat biosintesis (pembentukan) dinding sel
mukopeptida pada kuman, namun memiliki bioaviabilitas superior dan lebih stabil
menahan asam lambung dan memiliki aktivitas spektrum bakteri yang lebih luas
daripada penislin, kurang aktif daripada penisilin ketika melawan Streptococcus
pneumococcus, strain penislin resisten juga nantinya akan resisten terhadap amoksilin,
namun ketika diberikan dosis yang lebih besar mampu efektif, dan daripada penisilin,
amoksilin lebih efektif melawan organisme gram negatif (seperti Neiseria meningitidis,
Hemophilus influenza)

Efek Samping

Efek samping amoxicillin yang umum terjadi adalah mual, muntah, diare,
dan staining pada gigi yang bersifat sementara. Penggunaan dalam jangka waktu
panjang sering menyebabkan tumbuhnya jamur, baik oral thrush atau infeksi jamur
pada vagina.
Pada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap penicillin, penggunaan amoxicillin
dapat menimbulkan reaksi alergi. Reaksi awalnya ditandai dengan bercak kemerahan
pada kulit, kemudian rasa gatal. Selanjutnya, gatal-gatal akan menyebar pada wajah,
lidah, dan tenggorokan. Apabila berlanjut dapat timbul reaksi anafilaksis berupa gejala
syok seperti rasa melayang, dizziness, dan nafas sesak.
Efek samping berat jarang terjadi. Apabila timbul efek samping berat, dapat
berupa yang pernah dilaporkan mual-muntah yang terus menerus, urine berwarna
gelap, nyeri lambung, nyeri abdomen, ikterus, mudah berdarah, demam, diare, atau
sakit tenggorokon yang persisten.

b. CATAFLAM

Nama generik : kalium diklofenac

Kalium diklofenak merupakan zat kombinasi antara diklofenak dan garam kalium.
Diklofenak sendiri merupakan agen antiinflamasi nonsteroid yang memiliki dua
bentuk; natrium diklofenak dan kalium diklofenak. Kedua obat ini memiliki zat aktif
yang sama (diklofenak) hanya berbeda pada kandungan ionnya; sodium (Na) atau
potasium (K).

Kalium Diklofenak memiliki efek analgesik dan antiinflamasi untuk meringankan nyeri
ringan sampai sedang. Bahkan ada sumber yang mengatakan bisa mengatasi nyeri berat.
Efek ini diperantarai oleh penghambatan biosintesa prostaglandin yang merupakan
zat penyebab munculnya respon peradangan dan rasa sakit pada tubuh.

Obat ini umumnya tersedia dalam bentuk tablet salut enterik dengan nama generik
kalium diklofenak 25 mg dan kalium diklofenak 50 mg. Tersedia banyak merek
dagang, salah satu contoh Cataflam yang terkenal sebagai obat sakit gigi.

Farmakokinetik

Absorpsi
Bioavailabilitas
Diabsorpsi dengan baik setelah penggunaan oral. mengalami metabolisme lintas
pertama; hanya 50-60% dari dosis mencapai sirkulasi sistemik sebagai obat tidak
berubah, Konsentrasi plasma puncak biasanya dicapai dalam waktu sekitar 1 jam
(kalium diklofenak tablet konvensional), 2 jam (tablet natrium diklofenak tertunda-
release), atau 5,25 jam (natrium diklofenak tablet extended-release) .
Diserap ke dalam sirkulasi sistemik setelah pemberian topikal gel atau sistem
transdermal; konsentrasi plasma umumnya sangat rendah dibandingkan dengan
penggunaan oral .
Setelah penerapan diklofenak sistem epolamine transdermal tunggal untuk kulit utuh
pada lengan atas, konsentrasi plasma puncak terjadi pada 10-20 jam.
Setelah aplikasi topikal dari natrium diklofenak 1% gel, konsentrasi plasma puncak
terjadi pada sekitar 10-14 jam.
Olahraga ringan tidak mengubah penyerapan sistemik dioleskan diklofenak (sistem
transdermal atau 1% gel)
Penerapan patch panas selama 15 menit sebelum penerapan 1% gel tidak
mempengaruhi absorpsi sistemik. Belum ditentukan apakah aplikasi panas berikut
aplikasi gel mempengaruhi absorpsi sistemik.
Onset
Dosis 50- atau 100 mg tunggal kalium diklofenak memberikan bantuan nyeri dalam
waktu 30 minutes.
Durasi
Efek pengurangan Nyeri berlangsung hingga 8 jam setelah pemberian dosis tunggal 50-
atau 100-mg diklofenak potassium.
Makanan
Makanan menundaan waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak tetapi tidak
mempengaruhi tingkat absorpsi setelah pemberian sebagai konvensional, tertunda-
release, atau diperpanjang-release tablets.
Distribusi
Luas di hewan.
Setelah pemberian oral, konsentrasi dalam cairan sinovial dapat melebihi mereka yang
di plasma.
Protein Plasma Binding
> 99%
Metabolisme
Dimetabolisme di hati melalui hidroksilasi dan konjugasi. Beberapa metabolit mungkin
menunjukkan aktivitas anti-inflamasi,
Eliminasi
Rute Eliminasi
Diekskresikan dalam urin (65%) dan dalam kotoran melalui eliminasi empedu (35%)
sebagai metabolites.
Efek Samping

 Efek samping Cataflam (Diclofenac) yang umum misalnya, gangguan


pada saluran gastrointestinal seperti mual, muntah, sembelit, nyeri
perut, diare, dispepsia, kembung, perdarahan / perforasi, mulas, ulkus lambung dan
duodenum. Penggunaan obat yang mengandung Diclofenac secara jangka panjang,
pasien biasanya diberikan obat seperti misoprostol, ranitidine 150 mg,
atau omeprazole 20 mg pada waktu tidur, sebagai
pencegahan pendarahan gastrointestinal.
 Orang-orang yang menderita gagal jantung, penyakit jantung atau stroke sebaiknya
tidak menggunakan obat ini meskipun banyak penelitian mengatakan efek samping
terhadap resiko terjadinya infark miokardial relatif kecil.
 Efek samping pada organ hati jarang terjadi, dan biasanya reversibel. Meski demikian,
kasus-kasus seperti nekrosis hati, sakit kuning, hepatitis fulminan dan gagal hati telah
dilaporkan terjadi pada pemakaian jangka panjang dan dalam dosis yang lebih tinggi.
 ,Anemia aplastic juga dilaporkan terjadi pada pasien yang menggunakan obat-obat
NSAID. Pasien pada pengobatan jangka panjang, kadar hemoglobin dan hematokrit
harus diperiksa jika mereka menunjukkan tanda-tanda gejala anemia.

c. LAMESON

Nama generik:

Farmakokinetik

Mekanisme kerja

Lameson® adalah suatu glukokortikoid sintetik yang mempunyai efek antiinflamasi


kuat. Lameson® bekerja dengan menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel yang
responsif. Kemudian kompleks steroid reseptor ini berikatan dengan DNA yang
selanjutnya akan mempengaruhi sintesa berbagai protein. Beberapa efek penting yang
timbul akibat ini ialah berkurangnya produksi prostaglandin dan leukotrien,
berkurangnya degranulasi mest cell, berkurangnya sintesis kolagen,dll.

Absorbsi

Methylprednisolone adalah salah satu jenis obat kortikosteroid yang dapat menekan
sistem kekebalan tubuh dan mengurangi reaksi peradangan serta gejalanya, seperti
pembengkakan, nyeri, atau ruam. Yang di absorbsi dan bekerja dengan menekan sistem
imun, sehingga tubuh tidak melepas senyawa kimia yang memicu terjadinya
peradangan. Selain lupus dan multiple sclerosis, beberapa penyakit lain yang dapat
menyebabkan reaksi peradangan adalah rheumatoid arthritis, psoriasis, kolitis ulseratif,
dan Crohn’s disease.

Distribusi
Umumnya dipasarkan dengan kadar 0.5 mg dan 0.75 mg tablet atau caplet. Sediaan
dexamethasone injection biasanya dengan kadar 5 mg / 5 ml. Sediaan generiknya
diproduksi oleh berbagai pabrik misalnya pabrik obat Harsen. Sediaan obat dexa harsen
berupa dexamethasone 0.5 mg dan dexamethasone 0.75 mg tablet.

Umumnya dipasarkan dengan kadar 0.5 mg dan 0.75 mg tablet atau caplet. Sediaan
dexamethasone injection biasanya dengan kadar 5 mg / 5 ml. Sediaan generiknya
diproduksi oleh berbagai pabrik misalnya pabrik obat Harsen. Sediaan obat dexa harsen
berupa dexamethasone 0.5 mg dan dexamethasone 0.75 mg tablet.

Metabolisme

Di metabolisme secara eksentif di liver.

Eksresi

Di eksresi tidak melalui ginjal dan memakan waktu paruh sekitar 3 – 3.5 jam.

Mekanisme kerja

Menghambat kaskade respon imun awal dalam respon inflamasi serta menginslasi
secara resolusi di inflamasi tersebut.

Efek samping

efek samping Lameson yang pernah terindikasi:

 Penumpukan lemak di wajah hingga membentuk wajah bulat


 Tekanan darah tinggi
 Lemah otot
 Perut buncit atau obesitas sentral
 Menurunnya kepadatan tulang atau osteoporosis
 Meningkatkan kadar gula darah sehingga berbahaya untuk diabetes
 Tukak lambung
 Sakit kepala atau vertigo
 Terganggunya sekresi hormon reproduksi
 Pembekuan darah
 Pembengkakan akibat gangguan elektrolit dalam tubuh
 Menurunnya imunitas tubuh
 Radang pankreas
 Menghambat pertumbuhan, terutama pada anak

2. Menganalisis interaksi obat yang terjadi dalam bentuk table berikut!

Amoxyclav Cataflam Lameson Doloneurobion


Amoxyclav - Sinergisme Sinergisme Sinergisme
positif positif positif
Cataflam Sinergisme - Sinergisme Sinergisme
positif negatif positif
Lameson Sinergisme Sinergisme - Sinergisme
positif negatif positif
Doloneurobion Sinergisme Sinergisme Sinergisme -
positif positif positif

3. Menjelaskan berdasarkan jawaban nomor 2, apakah resep polifarmasi di atas


rasional/tidak rasional? Jelaskan alasan anda!

Cataflam+Lameson = sinergisme negatif (tidak rasional). Hal itu terjadi karena beberapa
hal berikut:
 Cataflam termasuk golongan NSAID yang memblok cox-I, cox-II, dan cox-III
menghasilkan prostaglandin yang berfungsi melindungi lapisan perut karena dihambat
produksinya, maka golongan obat NSAID ini berpotensi menyebabkan radang perut.
 Lameson, penggunaan dosis yang kurang tepat, penggunaan jangka panjang dan
kondisi tertentu bias membuat obat ini menimbulkan efek samping, salah satunya
adaalh tukak lambung.

Uraian diatas menyebutkan bahwa cataflam dan lameson memiliki efek samping
yang sama terhadap lambung dan menimbulkan sinergisme negatif, maka resep poifarmasi
di atas tidak rasional.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah akibat adanya obat lain (precipitant
drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang
dikehendaki atau efek yang tidak dikehendaki yang lazimnya menyebabkan efek samping obat
dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya
menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal.
Interaksi yang dapat terjadi berupa interaksi secara farmakokinetik dan farmakodinamik.
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,
sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik
lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasi- kan ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya.
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat
secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak
berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya
perbedaan sifat fisik kimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda.
pada analisa praktikum, obat tidak rasional untuk diberikan kepada pasien karena
terjadinya sinergisme negatif pada Cataflam dan Lameson. Sinergisme negatif terjadi akibat
kedua obat menempuh pathway yang sama sehingga efek samping dari kedua obat akan lebih
besar daripada efek terapinya.

5.2 Saran

Pada praktikum diharapkan kepada praktikan untuk teliti dalam menganalisa obat dan
interaksi obat agar tidak terjadi kesalahan pada hasil akhir.
DAFTAR PUSTAKA

1. May RJ. I n : Pharmacotherapy a pathophysiologic approach. Adverse drug reactions


and interactions. DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, et al. Appleton & Lange, 1997:101-
16.

2. Ament PW, Bertolino JG, Liszewski JL.Clinical pharmacology: clinically significant


drug interactions. Am Fam Physician. 2000; 61:1745-54.

3. Rahmawati Y, Sri Sunarti. Permasalahan pemberian obat pada pasien geriatri di ruang
perawatan RSUD Saiful Anwar Malang. J Ked Brawijaya 2014. Malang:141-5.

4. Bushardt RL, Massey EB, Simpson TW, Ariail JC, Simpson KN. Polypharmacy:
misleading, but manageable. Clin Interventions Aging. 2008;3(2):383−9.
5. Venturini CD, Engroff P, Ely LS, Zago LFA, Schoeter G, Gomes I, dkk. Gender
differences, polypharmacy, and potential pharmacological interactions in the elderly.
Clinics. 2011;66(11):1867−72.
6. Andriane Y, Sastramihardja HS, Ruslami R, Determinan Peresepan Polifarmasi pada
Resep Rawat Jalan di Rumah Sakit Rujukan. Global Medical and Health
Communication, 2016; Vol. 4; No. 1; hal : 67.

Anda mungkin juga menyukai