Anda di halaman 1dari 10

KANDIDIASIS PSEUDOMEMBRAN AKUT

(ORAL THRUSH)

Oleh :
Sondy Wildan Antatorich
10610037

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI
WIYATA
KEDIRI
2016
1.  Definisi

Candidiasis atau candidosis merupakan bentuk paling umum dari mikosis oral
superficial. Candidiasis oral merupakan infeksi oportunistik yang paling umum
mempengaruhi mukosa oral. Pada sebagian besar kasus, lesi tersebut disebabkan
oleh jamur Candida albicans (Greenberg, dkk. 2018).

2.      Etiologi

Candidiasis utamanya disebabkan oleh Candida albicans, dan jarang karena


spesies candida lainnya.1 Candida albicans, Candida tropicalis, Candida glabrata
bersama terdiri lebih dari 80% dari spesies yang terisolasi dari infeksi Candida
pada manusia (Greenberg, dkk. 2018).

3.      Patogenesis

Untuk menginvasi lapisan mukosa, mikroorganisme harus menempel ke


permukaan epitel, oleh karena itu, strain Candida dengan potensi adhesi yang
lebih baik lebih patogenik daripada strain dengan adhesi yang kurasa.
Penetrasi jamur dari sel-sel epitel difasilitasi oleh produksi lipase mereka, dan
agar jamur bertahan diepitel, mengatasi deskuamasi konstan sel epitel permukaan.
Terdapat hubungan yang jelas antara kandidiasis oral dan pengaruh faktor
predisposisi lokal dan umum. Faktor predisposisi lokal yang mampu untuk
mempromosikan pertumbuhan candida atau mempengaruhi respon imun oral
mucosa. Faktor predisposisi umum biasanya berhubungan dengan status imun dan
endokrin pasien (Greenberg, dkk. 2018).

4.      Faktor Predisposisi

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya candidiasis.


Faktor-faktor tersebut adalah faktor predisposisi dan terbagi menjadi faktor
predisposisi lokal dan umum.
Status kekebalan tubuh dapat dipengaruhi oleh obat-obatan juga penyakit, yang
menekan sistem imun bawaan. Candidiasis pseudomembranous juga berhubungan
dengan infeksi jamur pada anak-anak, yang tidak memiliki sistem imun yang
berkembanga sempurna.

Faktor Predisposisi Umum Oral kandidiasis


Penyakit yang menekan sistem imun.
Status kesehatan yang terganggu.
Obat yang menekan sistem imun.
Kemoterapi.
Kelainan endokrin.
Kekurangan hematin.
Gambar 1. Daftar Predisposisi dari oral kandidosis

5.      Klasifikasi Oral Candidiasis.

Klasifikasi oral kandidiasi secara umum dijelaskan dalam gambar berikut :

Gambar 2. Klasifikasi Kanidiasis

6.         Pseudomembranous Candidiasis.(Oral Thrush)

Bentuk akut dari pseudomembran candidiasis (thrush) dikelompokkan ke


primary oral candidiasis dan dikenal sebagai infeksi candida yang klasik. Infeksi
biasanya mempengaruhi pasien yang mengkonsumsi antibiotik, obat
imunosupresan, atau penyakit yang menekan sistem imun.
Infeksi ini biasanya menampilkan membrane yang melekat longgar yang terdiri
dari organisme jamur dan debris cellular yang meninggalkan sebuah peradangan,
terkadang area perdarahan jika pseudomembran dihilangkan.
Gejala klinis kandidiasis pseudomembran akut dan kronis dapat dibedakan.
Bentuk kronis terjadi sebagai akibat infeksi HIV dimana pasien dengan penyakit
ini dapat terkena infeksi candida pseudomembran untuk waktu yang lama. Pasien
yang dirawat dengan inhaler steroid juga dapat terkena lesi pseudomembran yang
kronis. Pasien jarang melaporkan lesi mereka, walau beberapa ketidaknyamanan
dirasakan saat adanya pseudomembran (Greenberg, dkk. 2018). 

6.1 Gambaran Klinis


Thrush berbentuk halus, rapuh, plak berwarna seperti krim yang terdapat pada
mukosa. Ciri ciri utama lesi ini dapat dikerok dengan mudah, dan meninggalkan
bercak kemerahan pada mukosa. Ukuran lesi bervariasi mulai dari berupa bitik
kecil sampai berupa plak yang menyebar luas (Cawson & Odell, 2003).

Gambar 3. Kondisi Klinis Oral Thrush

6.2 Patologi

Pada pewarnaan gram menunjukkan banyak serabut hifa yang memisahkan sel
epital dan juga leukosit. Pemeriksaan biopsi menunjukkan adanya hiperplastik
pada epitel oleh karena oedema dan infiltrasi sel radang terutama neutrofil.
Pewarnaan dengan PAS menunjukkan banyak hifa kandida tumbuh kebawah
menembus epitel sampai ke perlekatan plak pada lapisan spinosum. Pada
kedalaman ini akan terjadi konsentrasi dari eksudat dan sel radang. Jika infiltrasi
lebih dalam maka akan terjadi hiperplastik epitel tetapi strukturnya menipis,
proses penipisan disertai perumbuhan kedalam dari hifa kandida ke korium, dan
dikelilingi oleh infiltrasi ringan dari limpoplasmitik (Cawson & Odell, 2003).
Gambar 4. Gambaran serabut hifa pada kandida

Gambar 5. Kondisi Epitel yang terpisah karena oedema dan infiltrasi sel radang,
terlihat juga hifa yang menginfiltrasi lapisan epitel.

6.3 Diagnosa Banding


Lesi putih kandida secara umum memiliki diagnosa banding sebagai berikut :
chemical burn, traumatik ulser, mucous patch dari sifilis, dan juga lesi putih
keratotik. (Regezi dkk, 2012).

6.4.      Pemeriksaan Laboratorium.

Adanya candida sebagai anggota flora normal mempersulit untuk membedakan


saat normal dan infeksi. Sangat penting bahwa baik temuan klinis dan data
laboratorium seimbang untuk sampai pada diagnosis yang tepat. Terkadang obat
antifungal diberikan untuk membantu proses diagnosis.
Noda dari daerah terinfeksi, yang terdiri dari sel epitel, menciptakan peluang
untuk deteksi jamur. Bahan yang diperoleh diletakkan pada isopropyl alcohol dan
udara kering diberikan sebelum pewarnaan dengan periodic acid-Schiff. Deteksi
jamur dipertimbangkan sebagai tanda infeksi. Untuk meningkatkan sensitivitas,
gesekan kedua dapat ditransfer ke transport medium diikuti dengan budidaya pada
agar Sabouraud. Untuk membedakan antara spesies Candida yang berbeda,
pemeriksaan tambahan dilakukan pada agar Pagano-Levin (Greenberg, dkk.
2018).

Gambar 6. Daftar pemeriksaan lab kandida

6.5.      Perawatan.

Sebelum memulai medikasi antifungal, penting untuk mengidentifikasi faktor


predisposisi. Faktor lokal biasanya diidentifikasi namun kadang tidak mungkin
dikurangi. Disitulah terdapat peran penting obat antifungal. Obat antifungal yang
paling sering digunakan adalah golongan polyenes atau azoles. Polien seperti
nystatin dan amphotericin B adalah alternative pertama pada perawatan
candidiasis oral primer dan ditoleransi dengan baik. Polien tidak diserap pada
saluran pencernaan dan tidak terkait dengan perkembangan resisten. Mereka
mengerahkan tindakan melalui efek negatif pada produksi ergosterol, yang sangat
penting untuk integritas membrane sel candida.
Gambar 7. Macam-macam obat antifungal untuk perawatan kandidiasis

Gambar 8. Obat antifungal topikal untuk pengobatan kandidiasis


Gambar 9. Obat antifungal sistemik untuk pengobatan kandidiasis

7. Diagnosis HIV

Tes untuk HIV merupakan tes serologic untuk deteksi antibodi terhadap HIV
maupun keberadaan virus. Deteksi adanya virus HIV dilakukan dengan isolasi dan
biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetic dalam darah pasien. Di
Indonesia, pemeriksaan yang biasa digunakan merupakan pemeriksaan antibody
HIV yaitu dengan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Teknik
pemeriksaan antibody lainnya dapat berupa teknik aglutinasi atau dot-blot
immunobinding assay.

Dalam perkembangan HIV, terdapat window period, yang mana antibodi


terhadap HIV belum terdeteksi meski sudah terjadi infeksi HIV. Antibodi dapat
mulai terbentuk dalam 4-8 minggu setelah infeksi. Jika seseorang memiliki resiko
infeksi yang tinggi menunjukan hasil negatif, terutama dalam jangka waktu
tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian. 
Berdasarkan tujuan dari pemeriksaan serta keadaan pasien, WHO
merekomendasikan 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV. Pada strategi I
hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Jika hasilnya reaktif, dianggap sebagai kasus
infeksi HIV sedangkan jika negative dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagen yang
digunakan untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang
tinggi >99%. Strategi ini dapat diterapkan untuk keamanan transfuse dan
transplantasi serta surveillance pada prevalensi HIV >10%. Sedangkan untuk
keperluan diagnosis, strategi I diterapkan pada pasien yang sudah menunjukan
gejala infeksi HIV/AIDS.
Strategi II diterapkan pada pasien tanpa gejala dengan prevalensi HIV 10-30%
serta untuk kepentingan surveillance dengan prevalensi HIV ≤10%. Strategi ini
menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama
memberikan hasil reaktif. Sedangkan jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non
reaktif, dilaporkan sebagai hasil tes HIV negatif.

Pemeriksaan kedua dilakukan dengan reagen yang lebih spesifik serta berbeda
jenis antigen atau tekniknya daripada pemeriksaan pertama. Jika hasil
pemeriksaan kedua reaktif, dapat disimpulkan bahwa itu adalah kasus infeksi
HIV. Namun, jika hasilnya non reaktif, pemeriksaan harus diulang dengan kedua
metode. Hasil dapat dilaporkan sebagai indeterminate jika kedua hasil
pemeriksaannya tetap berbeda.
Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Pasien disimpulkan mengalami
infeksi HIV apabila pada ketiga pemeriksaan hasilnya reaktif. Jika ada hasil yang
non reaktif, pasien dengan riwayat pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi
tertular HIV, disimpulkan sebagai equivocal atau indeterminate. Sedangkan jika
tidak ada riwayat atau resiko tersebut, dilaporkan sebagai non-reaktif. Pada
strategi ini, pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau
teknikna serta spesifisitas yang lebih baik.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil reaktif, dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan konfirmasi dengan western blot (WB) (Djoerban & Djauzi, 2012).

Kepustakaan

Djoerban Z, Djauzi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: HIV/AIDS di Indonesia.


Jakarta. 2012

Joseph A.Regezi, James J. Sciubba, Richard C.K. Jordan. Oral Pathology Sixth
Ed. USA: Elsevier. 2012

Martin S. Greenberg, Michael Glick, Jonathan A. Ship. Burket’s Oral Medicine.


11th Ed. Ontario : BC Decker Inc. 2008.

R. A. Cawson, E. W. Odell, Cawson’s Essential of Oral Pathology and Oral


Medicine, UK: Churchill Livingstone. 2003

Anda mungkin juga menyukai