Anda di halaman 1dari 28

MODUL 2

TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

Skenario 2

Harus operasi besar nih...

Pasien laki-laki usia 29 tahun datang ke IGD RS Unand dirujuk dari RSUD dengan keluhan patah
rahang bawah dan rahang atas akibat kecelakaan lalu lintas jam yang lalu. Riwayat pingsan (+),mual-
muntah (+),perdarahan hidung dan mulut (+). Hasil pemeriksaan ekstra oral ditemukan
moonface,raccoon eyes,vulnus punctum at regio sunmental dan vulnus laceratum at labii superior. Hasil
pemeriksaan intra oral ditemukaan avulsi gigi 12,11,intrusi gigi 21,mobility derajat 3 gigi 22. Dokter
menegakkan diagnosis suspect fraktur panfasial dan fraktur dentoalveolar. Pasien harus dilakukan initial
treatment berupa wiring menggunakan arch bar dan replantasi gigi avulsi dan rencana operasi ORIF
elektif dalam nekrose umum. Berdasarkan anmnesis dari orangtua,pasien pernah dioperasi penutupan
lubang sinus dan rahang bawah lepas.

Bagaimana saudara menjelaskan penatalaksanaan kasus trauma di atas ?

A. Langkah Seven Jumps


1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal-hal yang dapat menimbulkan
kesalahan interpretasi
2. Menentukan masalah
3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan prior knowledge
4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen permasalahan dan mencari korelasi dan
interaksi antar masing-masing komponen untuk membuat solusi secara terintegrasi
5. Memformulasikan tujuan pembelajaran
6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet, dan lain-lain

7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh

Uraian
Langkah 1: Terminologi

1. Moonface adalah kondisi wajah membengkak secara bertahap sehingga menjadi bulat,karna
penumpukan lemak,karna peradangan.
2. Raccoon eyes adalah daerah gelap disekitar mata sebagai tanda fraktur dasar tengkorak
kepala /hematoma.
3. vulnus punctum adalah uka berupa luka tusuk dari benda tajam ,bekas luka sempit dan dalam.
4. Vulnus laceratum adalah luka yang mengakibatkan robek pada kulit luka tidak rata dimensi
panjang,lebar dan dalam.
5. Operasi ORIF adalah tindakan untuk melihat fraktur langsung dengan cara pembedahaan
meliputi pemasangan pen,skrup atau logam.
6. Wiring adalah manajemen terhadap fraktur dari rahang atau gigi avulsi dengan menempatkan
arch bar pada bagian bukal dan lingual pada gusi.
7. Fraktur panfasial adalah cedera pada tulang wajah melibatkan mandibula wajah bagian
tengan,orbital,frontal.
8. Fraktur dentoalveolar adalah fraktur yang meliputi avulsi,sublukasi atau fraktur gigi yang
berkaitan dengan fraktur tulang alveolar tanpa adanya fraktur bagian tubuh lainnya

Langkah 2: Menentukan masalah

1. Apakah penanganan pada pasien dikatakan terlambat?


2. apa penyebab terjadinya moonface dan raccoon eyes pada pasien?
3. Apa saja tanda-tanda dan gejala dari moonface dan raccoon eyes?
4. Mengapa pasien mengalami mual dan muntah ?
5. apa penatalaksanaan vulnus punctum dan laceratum?
6. Apa etiologi trauma oromaksilofasial?
7. Apa saja klasifikasi fraktur maksilofasial?
8. Apa saja klasifikasi dari fraktur mandibula ?
9. Apa saja klasifikasi fraktur dentoalveolar?
10. Kenapa diagnosa pasien tersebut fraktur dentoalveolar?
11. Bagaimana penatalaksanaan fraktur mandibula?
12. Bagaimana penatalaksanaan fraktur dentoalveolar?
13. Bagaimana penatalaksanaan avulsi?
14. Apa fungsi dari wiring dalam replantasi gigi yang avulsi?
15. Bagaimana tata laksana dislokasi TMJ?
16. Bagaimana tata laksana penutupan lubang sinus?
17. Apa indikasi dan kontaindikasi operasi ORIF?
18. Apa saja alat yang digunakan untuk fiksasi pada trauma oromaksilafasial?
19. Apa hubungan pasien yang pernah dioperasi penutupan lubang sinus dengan keadaan sekarang?

Langkah 3: Menganalisa masalah

1. Untuk avulsi belum terlambat tapi sudah melewati waktu yang baiknya sebaiknya kurang dari 1
jam dan bisa juga sudah dikatakan terlambat karna sudah ada respon dari tubuhnya bisa jadi
sudah terjadi infeksi.
2. Moonface:
 rx inflamasi pada wajah
 rx elergi
 rx transfusi darah
 obat
 cedera
 biasanya pada orang obesitas

raccoon eyes:

 fraktur tengkorak basal


 pecahnya tulang tipis yang mengelilingi mata

3. moonface:

 muka bulat,bengkak,penuh
 penumpukan lemak pada wajah
 hingga bisa sampai telinga

4. berhubungan dengan otak pasien,apakah peredaran darah keotak masih lancar atau tidak yaitu
untuk menghidari geger otak.

5. penatalaksanaan vulnus punctum dan lacteratum

 evaluasi luka
 antiseptik
 pembersihaan luka
 penjahitan luka
 pembalutan luka
 pemberian antibiotik
 pengangkatan jahitan

6. etiologi trauma oromaksilofasial

 trauma
 penyakit sistemik

7. klasifikasi fraktur maksilofasial

 fraktur komplex nasal


 fraktur komplex zygomaticum
 fraktur dentoalveolar\
 fraktur maksila
 fraktur mandibula

8. klasifikasi dari fraktur mandibula

 general
 anatomi
 komplit atau tidak
 mekanisme
 ada tidaknya gigi pada garis fraktur
 arah fraktur dan direposisi

9. klasifikasi fraktur dentoalveolar

 cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa


 cedera pada jaringan periodontal
 cedera pada tulang pendukung

10. karna tanda-tanda klinis menunjukkan ke diagnosa tersebut seperti adanya pembengkakan dan
luka pada gigi,kegoyangan pada gigi,luka pada gusi : fraktur dentoalveolar

Suspect fraktur yaitu melibatkan wajah bagian atas ,tengan , bawah panfasial

11. penatalaksanaan fraktur mandibula

 jalan nafas
 pernafasan
 sirkulasi darah
 pengangan luka jaringan lunak
 immobilisasi sementara
 evaluasi cedera otak
 secara definitif :
 reposisi tertutup
 reposisi terbuka
 penanganan jangka panjang:
 internal fiksasi pada bagian fraktur

12. penatalaksanaan fraktur dentoalveolar

 splinting
 penembalan
 PSA
 Reposisi

13. dilakukan replantasi

14. untuk fiksasi kembali gigi tersebut hingga gigi melekat kembali

15. secara manual : dengan jari pada molar bawah untuk menarik otot elevator dan selanjutnya
kebelakang untuk meletakkan kembali kondilus pada fossa.pemberian anastesi jika sudah terjadi
dalam jangka lama

16. tata laksana fistula oroantal : LO

17. indikasi : fraktur terbuka


18. pada fiksasi intramaksila :

 Tasted loop
 Rigid arch

19. sebagian pertimbangan dokter untuk berhati-hati dalam melakukan pengobatan agar lubang
sinusnya tidak terbuka lagi

Langkah 5: Tujuan pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan fraktur maksilofasial


2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan fraktur mandibula
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan fraktur dentoalveolar
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan luka jaringan lunak
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan fistula oroantal
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan alat dan metode fiksasi truma oromaksilofasial
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan dislokasi TMJ (tatalaksana)

Langkah 6: Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet dan lain-lain

1. fraktur maksilofasial

Fraktur Maksilofasial

Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena
berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki
peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi
penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-
fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk
(Singh, 2012). Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan tulang-tulang yang
membentuk
struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain (Japardi, 2004):

1. Os. Nasoorbitoethmoid

2. Os. Zygomatikomaksila

3. Os. Nasal

4. Os. Maksilla

5. Os. Mandibula

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga mandibula
(Muchlis, 2011).

Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)

Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang
paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior
cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon
(MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini
mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di
posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang
frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen,
2010).

Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-Manson. Klasifikasi
Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):

1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.

2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi
atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan
osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi
atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah
terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang dewasa.
Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling
jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010).

Gambar 2.1 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: S. Aktop dalam A Textbook of Advanced Oral and
Maxillofacial Surgery (2013)
7

Gambar 2.2 Klasifikasi Markowitz-Manson

Sumber: T. Galloway dalam Midface Trauma (2012)

Fraktur Zygomatikomaksila

Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting pada struktur, fungsi, dan
estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari
fossa temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter, dan oleh karena itu
berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013).

Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu
zygomaticomaxillary, frontozygomatic (FZ), zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur
ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).

Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North.
Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi
menjadi enam yaitu (Dadas, 2007):
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis
dan radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya
langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi

4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial

5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral

6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang


fragmen utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 5 hanya membutuhkan
reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk
reduksi yang adekuat (Meslemani, 2012).

Fraktur Nasal

Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah
yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan
akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup
51,3% dari seluruh fraktur fasial (Haraldson, 2013).

Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):

1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah

2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah

3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang
septal yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis
tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari
hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan

Gambar 2.3 Klasifikasi Fraktur Nasal

Sumber: M.P. Ondik dalam Archives of Facial Plastic Surgery edisi 11 (2009)
Fraktur Maksila dan LeFort

Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di
inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur
yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik
secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam
nyawa (Moe, 2013).

Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di
Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013):

1. Le Fort I

Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal
dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua
pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris.
Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.

2. Le Fort II

Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal
dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga
inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura
zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.

3. Le Fort III

Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang
langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang
orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita,
melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian
memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan
pterygomaxillary.

Gambar 2.4 Klasifikasi LeFort

Sumber: L. Gartshore dalam British Journal of Oral Maxillofacial Surgery edisi 48

(2010)

Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah trauma tumpul
yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering
kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus
maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah
gaya dari submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur
vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan
zygomatic arches (Moe, 2013).
Fraktur Mandibula

Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada
mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula
merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008)

Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular (TMJ). Fungsi


yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat
mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ,
gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis.
Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle,
ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).

Gambar 2.5 Lokasi Fraktur Mandibula

Sumber: C. Stewart dalam Emergency Medicine Practice volume 10 (2008)

2.fraktur mandibula

Fraktur Mandibula

Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linier atau terjadinya diskontinuitas tulang


yang disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau karena proses
3,4,6
patologis. Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Mandibula
merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya bagian yang
lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang padat dengan
sedikit substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe.
Daerah yang tipis pada mandibula adalah angulus dan subkondilus sehingga bagian ini
termasuk bagian yang lemah dari mandibula. Selain itu titik lemah juga didapatkan pada
foramen mentale, angulus mandibula tempat gigi molar III terutama erupsinya sedikit, kolum
kondilus
mandibula terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya akan
diteruskan kearah belakang.

Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula tergantung
mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya dibawah leher prosesus
kondiloideus akibat perkelahian dan berbentuk hampir vertikal. Namun pada kecelakaan lalu
lintas garis fraktur terjadi dekat dengan kaput kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk
7
oblik. Pada regio angulus garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio molar III
kearah angulus mandibula. Pada fraktur korpus mandibula garis fraktur tidak selalu paralel
dengan sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblik. Garis fraktur dimulai pada regio
7,8
alveolar kaninus dan insisivus berjalan oblik kearah midline. Pada fraktur mandibula,
fragmen yang fraktur mengalami displaced akibat tarikan otot-otot mastikasi, oleh karena itu
reduksi dan fiksasi pada fraktur mandibula harus menggunakan splinting untuk melawan
tarikan dari otot-otot mastikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur
mandibula antara lain: arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur, ada atau
tidaknya gigi pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya kerusakan jaringan lunak. Pada
daerah ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini terfiksasi oleh muskulus
maseter pada bagian lateral dan medial oleh muskulus pterigoideus medialis. Demikian juga
pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh muskulus maseter.

Beberapa macam klasifikasi fraktur mandibula dapat digolongkan berdasarkan:

1. insidenfraktur mandibula sesuai dengan lokasi anatominya; prosesus kondiloideus (29,1%),


angulus mandibula (24%), simfisis mandibula (22%), korpus mandibula (16%), alveolus
(3,1%), ramus (1,7%), prosesus koronoideus (1,3%)
Gambar.2 Regio mandibula dan frekuensi fraktur mandibulaberdasarkan regio

2. Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur; kelas I: gigi ada pada kedua
bagian garis fraktur, kelas II: gigi hanya ada pada satu bagian dari garis fraktur, kelas III: tidak
ada gigi pada kedua fragmen, mungkin gigi sebelumnya memang sudah tidak ada (edentulous)
atau gigi hilang saat terjadi trauma.

3
Gambar 3. Hubungan ada tidaknya gigi pada garis fraktur

3. Berdasar arah fraktur dan kemudahan untuk direposisi dibedakan:


horizontal dan vertikal yang dibagi menjadi favourable dan unfavourable. Kriteria
favourable dan unfavourable berdasarkan arah satu garis fraktur terhadap gaya muskulus yang
bekerja pada fragmen tersebut. Disebut favourable apabila arah fragmen memudahkan untuk
mereduksi tulang waktu reposisi, sedangkan unfavourable bila garis fraktur menyulitkan
3,7
untuk reposisi.

A B

C D

Gambar 4. A. Horizontal favourable fracture, B. Horizontal unfavourable


3
fracture, C. Vertical favourable fracture, D. Vertical unfavourable fracture

4. Berdasar beratnya derajat fraktur, dibagi menjadi fraktur simple atau closed yaitu tanpa
adanya hubungan dengan dunia luar dan tidak ada diskontinuitas dari jaringan sekitar fraktur.
Fraktur compound atau open
yaitu fraktur berhubungan dengan dunia luar yang melibatkan kulit, mukosa atau membran
periodontal.

5. Berdasar tipe fraktur dibagi menjadi fraktur greenstick atau incomplete;


fraktur yang tidak sempurna dimana pada satu sisi dari tulang mengalami fraktur sedangkan
pada sisi yang lain tulang masih terikat. Fraktur greenstick biasanya didapatkan pada anak-
anak karena periosteum tebal. Fraktur tunggal; fraktur hanya pada satu tempat saja. Fraktur
multipel; fraktur yang terjadi pada dua tempat atau lebih, umumnya bilateral. Fraktur
kominutif; terdapat adanya fragmen yang kecil bisa berupa fraktur simple atau compound.
Selain itu terdapat juga fraktur patologis; fraktur yang terjadi akibat proses metastase ke
tulang, impacted fraktur; fraktur dengan salah satu fragmen fraktur di dalam fragmen fraktur
yang lain. Fraktur atrophic; adalah fraktur spontan yang terjadi pada tulang yang atrofi seperti
pada rahang yang tidak bergigi. Indirect fraktur; fraktur yang terjadi jauh dari lokasi trauma.

Gambar 5. Tipe fraktur mandibula. A. Greenstick B. Simple


C. Kominutif D. Compound

Penatalaksanaan Fraktur Mandibula

Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat kedaruratan


seperti jalan nafas atau airway, pernafasan atau breathing, sirkulasi darah termasuk
penanganan syok atau circulation, penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi
sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah
penanganan fraktur secara definitif. Penanganan fraktur mandibula secara umum dibagi
menjadi dua metoda yaitu reposisi tertutup dan terbuka. Pada reposisi tertutup atau
konservatif , reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan menempatkan
peralatan fiksasi maksilomandibular. Reposisi terbuka bagian yang fraktur dibuka dengan
pembedahan, segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat
atau plat yang disebut wire atau plate osteosynthesis. Teknik terbuka dan tertutup tidak
selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadang-kadang dikombinasi. Pendekatan ketiga adalah
merupakan modifikasi dari teknik terbuka yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada
penatalaksanaan fraktur mandibula selalu diperhatikan prinsip-prinsip dental dan
ortopedik sehingga daerah yang mengalami fraktur akan kembali atau mendekati posisi
anatomis sebenarnya dan fungsi mastikasi yang baik.

Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu, penanganan
konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung pada garis fraktur dan
melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin fixation. Indikasi
untuk closed reduction antara lain: a. fraktur komunitif selama periosteum masih utuh
sehingga dapat diharapkan kesembuhan tulang, b. fraktur dengan kerusakan soft tissue
yang cukup berat dimana rekontruksi soft tissue dapat digunakan rotation flap dan free
flap bila luka tersebut tidak terlalu besar. c. edentulous mandibula, d. fraktur pada anak-
anak, e. fraktur condylus. Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara
closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada
fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada
daerah lain dari mandibula. Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka
komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di
tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi, resiko ankilosis
4,9,12
TMJ atau temporomandibular joint dan masalah airway. Beberapa teknik fiksasi
intermaksiler antara lain; a. teknik eyelet atau ivy loop, penempatan ivy loop menggunakan
kawat 24-gauge antara dua gigi yang stabil dengan menggunakan kawat yang lebih kecil
untuk memberikan fiksasi maksilomandibular (MMF) antara loop ivy. Keuntungan teknik ini,
bahan mudah didapat dan sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang
dapat dibuka dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah
putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler,

9
Gambar. Teknik eyelet atau ivy loop

teknik arch bar, indikasi pemasangan arch bar adalah gigi kurang atau tidak cukup
untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila dan didapatkan fragmen dentoalveolar
pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum
dipasang fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar adalah mudah didapat,
biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah menyebabkan keradangan
pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita dengan
edentulous luas
Gambar. Fiksasi maksilomandibular

Reposisi terbuka (open reduction); tindakan operasi untuk melakukan koreksi


deformitas maloklusi yang terjadi pada patah tulang rahang bawah dengan melakukan fiksasi
secara langsung dengan menggunakan kawat (wire osteosynthesis) atau plat (plat
osteosynthesis) . Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction): a. displaced unfavourable
fraktur melalui angulus, b. displaced unfavourable fraktur dari corpus atau parasymphysis, c.
multiple fraktur tulang wajah, d. fraktur midface disertai displaced fraktur condylus bilateral.
Tehnik operasi open reduction merupakan jenis operasi bersih kontaminasi, memerlukan
pembiusan umum. Keuntungan dari open reduction antara lain: mobilisasi lebih dini dan
reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. kerugiannya adalah biaya lebih mahal dan
diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya.

Gambar. Teknik operasi reposisi terbuka (open reduction)


Tindak lanjut setelah dilakukan operasi adalah dengan memberikan analgetika
serta memberikan antibiotik spektrum luas pada pasien fraktur terbuka dan dievaluasi
kebutuhan nutrisi, pantau intermaxilla fixation selama 4-6 minggu. Kencangkan kabel
setiap 2 minggu. Setelah wire dibuka, evaluasi dengan foto panoramik untuk
memastikan fraktur telah union.

3. fraktur dentoalveolar

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,


subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur
dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya,
biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain,
berolahraga atau iatrogenik.
Klasifikasi fraktur dentoalveolar menurut WHO tahun 1995 terdiri atas empat tipe
rudapaksa yaitu:
(1) tipe 1 yang menyangkut jaringan keras gigi dan pulpa
(2) tipe 2 yang mengenai jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
(3) tipe 3 fraktur pada jaringan periodontal, seperti luksasi dan avulsi gigi
(4) tipe 4 pada jaringan lunak, seperti abrasi dan laserasi gingiva atau mukosa.

Penatalaksanaan
Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin karena
penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur
dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih serius, perawatan dapat
dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu.
Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi
organ pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh
keadaan umum dan usia pasien serta kompleksitas fraktur.
Trauma pada Gigi Sulung

Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak berbeda dengan
perawatan gigi tetap. Gigi sulung yang intrusi biasanya akan erupsi secara spontan. Gigi
yang tidak terlalu bergeser dan tidak menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi
saja. Fraktur dentoalveolar yang kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena
elastisitas tulang alveolar.
Trauma pada Gigi Tetap

A. Trauma yang mengenai jaringan keras gigi

1. Fraktur mahkota

Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang tajam, atau


penambalan dengan komposit. Fraktur dentin sebaiknya
ditambal sesegera mungkin, khususnya pada pasien muda karena penetrasi bakteri
melalui tubulus dentin cepat terjadi. Penambalan dengan semen kalsium hidroksida
dan restorasi komposit sudah cukup ideal. Bila patahan gigi cukup besar, fragmen
mahkota dapat disemen kembali menggunakan resin komposit. Fraktur pulpa dapat
dirawat dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.
2. Fraktur akar
Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva (fraktur mahkota-akar). Bila
garis fraktur tidak terlalu jauh ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup ditambal dengan
restorasi komposit. Bila fraktur meluas sampai jauh ke apikal, atau bila gigi terbelah
secara vertikal, umumnya ekstraksi harus dilakukan.

Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis
fraktur terletak di dekat gingiva, fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan
perawatan endodontik serta pembuatan mahkota pasak. Bila garis fraktur terletak
jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi.
B.Trauma yang mengenai jaringan

periodontal

1. Malposisi

Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi
gigi selama 7-21 hari. Setelah periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut
harus diperiksa.
2. Avulsi

Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu
tahap perkembangan akar, lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya
penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi dilakukan sesegera
mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak mengering, yakni
tidak lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.
C. Trauma yang mengenai tulang alveolar

Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan
paling baik dilakukan segera setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup
biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti dengan splinting. Imobilisasi
tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar kadang-
kadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak
menghasilkan imobilisasi yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar.
Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk fraktur alveolar, kecuali bila merupakan bagian
dari perawatan fraktur rahang.

Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan
penutupan segera dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen
untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk mencegah timbulnya fistula oro-
antral.

D. Trauma yang mengenai jaringan lunak mulut


Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip perawatannya terdiri
atas pembersihan, pembuangan jaringan nekrotik (debridement), penghentian
6
perdarahan dan penjahitan. Pada bagian dalam laserasi degloving sering ditemukan
debris atau kotoran tanah, sehingga debridement perlu diikuti dengan irigasi yang
cermat. Fraktur dentoalveolar sering mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu
diberikan antibiotik profilaksis dan obat kumur antiseptik.
4. panataksanaan luka jaringan lunak

Tipe Penyembuhan luka


Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah
jaringan yang hilang.
1. Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi
setelah diusahakan bertautnya tepi luka, biasanya dengan jahitan, plester, skin graft, atau
flap. Hanya sedikit jaringan yang hilang dan Luka bersih. Jaringan granulasi sangat sedikit. Re-
epitelisasi sempurna dalam 10-14 hari, menyisakan jaringan parut tipis.
Kontraindikasi Penutupan Luka Sec Primer:
a. Infeksi
b. Luka dg jaringan nekrotik.
c. Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali luka di area wajah.
d. Masih tdpt benda asing dlm luka
e. Perdarahan dr luka
f. Diperkirakan tdpt “dead space” stla dilakukan jahitan.
g. Tegangan dlm luka atau kulit di sekitar luka terlalu tinggi
h. perfusi jaringan buruk.
2. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami
penyembuhan primer. Dikarakteristikkan oleh luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam
jumlah besar. Tidak ada tindakan aktif menutup luka, luka sembuh secara alamiah (intervensi
hanya berupa pembersihan luka, dressing, dan pemberian antibiotika bila perlu). Proses
penyembuhan lebih kompleks dan lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka dan terbentuk
jaringan granulasi yang cukup banyak. Luka akan ditutup oleh re-epitelisasi dan deposisi
jaringan ikat sehingga terjadi kontraksi. Jaringan parut dapat luas/ hipertrofik, terutama bila
luka berada di daerah presternal, deltoid dan leher.
Indikasi Penutupan luka secara sekunder:
a. Luka kecil (<1.5 cm)
b. Struktur penting di bawah kulit tidak terpapar
c. Luka tidak terletak di area persendian & area yg penting secara kosmetik
d. Luka bakar derajat 2.
e. Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali bila luka di area wajah.
f. Luka terkontaminasi (highly contaminated wounds)
g. Diperkirakan terdapat “dead space” setelah dilakukan jahitan
h. Darah terkumpul dlm dead space
i. Kulit yg hilang cukup luas
j. Oedema jaringan yg hebat sehingga jahitan terlalu kencang dan mengganggu
vaskularisasi yang dapat menyebabkan iskemia & nekrosis.
3. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka
selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka
dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir. Delayed
primary closure yang terjadi setelah mengulang debridement dan pemberian terapi
antibiotika.
Fase Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi.
Satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.
a. Fase Inflamasi
 Berlangsung segera setelah jejas terjadi dan berlanjut hingga 5 hari. Merupakan respon
vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan jaringan lunak yang bertujuan untuk
mengontrol perdarahan, mencegah koloni bakteri, menghilangkan debris dan
mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. Disebut juga fase lamban karena reaksi
pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang lemah.
 Awal fase, kerusakan jaringan menyebabkan keluarnya platelet yang akan menutupi vaskuler
yang terbuka dengan membentuk clot yang terdiri dari trombosit dengan jala fibrin dan
mengeluarkan zat yang menyebabkan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang
putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Terjadi selama 5 – 10 menit.
 Setelah itu, sel mast akan menghasilkan sitokin, serotonin dan histamin yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pengumpulan sel radang, disertai
vasodilatasi lokal. Tanda dan gejala klinik radang menjadi jelas berupa warna kemerahan
karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan
(tumor).
 Eksudasi mengakibatkan terjadinya pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah
(diapedesis) terutama neutrofil menuju luka karena daya kemotaksis mengeluarkan enzim
hidrolitik berfungsi untuk fagositosis benda asing dan bakteri selama 3 hari yang kemudian
digantikan fungsinya oleh sel makrofag yang berfungsi juga untuk sintesa kolagen,
pembentukan jaringan granulasi bersama makrofag, memproduksi Growth Factor untuk re
epitelialisasi, dan proses angiogenesis.
b. Fase Proliferasi
Berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Disebut juga fase fibroplasias karena fase
ini didominasi proses fibroblast yang berasal dari sel mesenkim undifferentiate, yang akan
berproliferasi dan menghasilkan kolagen, elastin, hyaluronic acid, fifbronectin, dan
proteoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru. Fase ini terdiri dari proses
proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, dan kontraksi luka.
 Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian dengan tegangan
pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast,
menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai
25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen
bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.
 Luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan granulasi. Epitel tepi
luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka.
Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi
hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat bermigrasi ke
arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup
seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan
pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses maturasi.
c. Fase Maturasi
Berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir
bila tanda radang sudah hilang. Pada fase ini terjadi proses maturasi yang terdiri dari
penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan
akhirnya remodelling jaringan yang baru terbentuk. Tubuh berusaha menormalkan kembali
semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel
muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih
diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan
jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat
pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan
regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah
penyembuhan.
5. penatalaksanaan fitula oroantal
Oroantral communication (OAC) yang selanjutnya disebut sebagai komunikasi oroantral (KOA)
adalah   suatu  keadaan  patologis   terjadinya   hubungan  antara   rongga   hidung/antrum   dengan  rongga
mulut.   Keadaan   ini   merupakan   komplikasi   pasca   pencabutan   gigi   posterior   rahang   atas   yang
insidennya berkisar 0,31%­3,8% dan sering menyebabkan ketidaknyamanan karena dapat menjadi
masalah sistemik yang lebih serius.

Tindakan pencabutan gigi merupakan  bread  and butter  bagi seorang dokter gigi seperti halnya


penambalan gigi. Pasien biasanya mengeluhkan gigi yang rusak dan ingin dicabut saja. Dokter gigi
yang bijak, seyogyanya membuat perencanaan yang tepat meliputi pembuatan foto ronsen saat akan
melakukan  pencabutan  gigi  di  regio  posterior  rahang atas.  Menurut  kepustakaan,  akar  gigi  molar
pertama dan kedua rahang atas memiliki kemungkinan paling tinggi terhadap hubungannya dengan
2
sinus maksilaris.

Komunikasi   oroantral   yang   berdiameter   <   2 mm sembuh   secara   spontan,   sedangkan   yang
berdiameter > 6 mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak, maka kemungkinan terjadinya
3
fistula oroantral (FOA) sangat tinggi.

Pentingnya informed consent sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas
harus dipahami oleh dokter gigi, mengingat tingginya resiko terjadinya KOA pasca pencabutan gigi.
Kemampuan identifikasi dan pencegahan terhadap terjadinya KOA sangat diharapkan dimiliki oleh
seorang dokter gigi, sekaligus dapat melakukan tata laksana sederhana untuk menghindari komplikasi
lebih lanjut. Untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai etiologi dan penanganan komunikasi
oroantral.

Penatalaksanaan

Jika KOA telah terjadi, seorang dokter gigi harus mampu mengevaluasi terjadinya KOA dan menilai
seberapa jauh KOA tersebut terjadi. Pada pasien dengan keadaan umum yang baik tanpa kelainan
sinus, maka jika diameter KOA yang terjadi < 2 mm, maka tindakan yang perlu dilakukan hanya
menekan soket dengan tampon selama 1­2 jam dan memberikan instruksi pasca ekstraksi gigi dengan
perlakuan   khusus   pada   sinus   (sinus   precaution),   yaitu   hindari   meniup,   menyedot­nyedot   ludah,
menghisap­hisap soket, minum melalui sedotan atau merokok selama 24 jam pertama. Namun, jika
KOA   yang   terjadi   berukuran   sedang   (diameter   2­6   mm),   maka   perlu   tindakan   tambahan   yaitu
meletakkan sponge gauze serta penjahitan soket gigi secara figure of eight (gambar 3) untuk menjaga
agar bekuan darah tetap berada dalam soket. Selain itu ditambah dengan pemberian instruksi  sinus
precaution  selama   10­ 14 hari   dan   pemberian   obat­obatan   antibiotika   seperti   penisilin   atau
klindamisin selama 5 hari, serta dekongestan oral maupun nasal spray untuk menjaga ostium tetap
paten   sehingga   tidak   terjadi   sinusitis   maksilaris.   Jika   ukuran   KOA   >   6   mm   maka   sebaiknya
dilakukan tindakan penutupan soket dengan flap supaya terjadi penutupan primer. Flap harus bebas
dari tarikan dan posisi flap sebaiknya terletak di atas tulang. Variasi jenis flap yang sering dilakukan
untuk   penutupan   KOA antara   lain  buccal   flap,   palatal   flap,   buccal   fat  pad,   gold   foil  dan   lain
sebagainya.
Gambar 3. Teknik jahitan figure of eight (Sumber: Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New
8
Delhi: Elsevier; 2007.p.330­5).

Pada pasien dengan riwayat sinusitis kronik, maka terjadinya KOA yang berdiameter kecil
sekalipun akan sukar sembuh dan dapat menyebabkan KOA permanen serta terepitelialisasi menjadi
fistula. Sebaiknya pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut, segera dilakukan penjahitan secara
figure of eight dan beri instruksi sinus precaution

6. alat dan metode fiksasi trauma oromaksilofasial

Anda mungkin juga menyukai