TRAUMA OROMAKSILOFASIAL
Skenario 2
Pasien laki-laki usia 29 tahun datang ke IGD RS Unand dirujuk dari RSUD dengan keluhan patah
rahang bawah dan rahang atas akibat kecelakaan lalu lintas jam yang lalu. Riwayat pingsan (+),mual-
muntah (+),perdarahan hidung dan mulut (+). Hasil pemeriksaan ekstra oral ditemukan
moonface,raccoon eyes,vulnus punctum at regio sunmental dan vulnus laceratum at labii superior. Hasil
pemeriksaan intra oral ditemukaan avulsi gigi 12,11,intrusi gigi 21,mobility derajat 3 gigi 22. Dokter
menegakkan diagnosis suspect fraktur panfasial dan fraktur dentoalveolar. Pasien harus dilakukan initial
treatment berupa wiring menggunakan arch bar dan replantasi gigi avulsi dan rencana operasi ORIF
elektif dalam nekrose umum. Berdasarkan anmnesis dari orangtua,pasien pernah dioperasi penutupan
lubang sinus dan rahang bawah lepas.
Uraian
Langkah 1: Terminologi
1. Moonface adalah kondisi wajah membengkak secara bertahap sehingga menjadi bulat,karna
penumpukan lemak,karna peradangan.
2. Raccoon eyes adalah daerah gelap disekitar mata sebagai tanda fraktur dasar tengkorak
kepala /hematoma.
3. vulnus punctum adalah uka berupa luka tusuk dari benda tajam ,bekas luka sempit dan dalam.
4. Vulnus laceratum adalah luka yang mengakibatkan robek pada kulit luka tidak rata dimensi
panjang,lebar dan dalam.
5. Operasi ORIF adalah tindakan untuk melihat fraktur langsung dengan cara pembedahaan
meliputi pemasangan pen,skrup atau logam.
6. Wiring adalah manajemen terhadap fraktur dari rahang atau gigi avulsi dengan menempatkan
arch bar pada bagian bukal dan lingual pada gusi.
7. Fraktur panfasial adalah cedera pada tulang wajah melibatkan mandibula wajah bagian
tengan,orbital,frontal.
8. Fraktur dentoalveolar adalah fraktur yang meliputi avulsi,sublukasi atau fraktur gigi yang
berkaitan dengan fraktur tulang alveolar tanpa adanya fraktur bagian tubuh lainnya
1. Untuk avulsi belum terlambat tapi sudah melewati waktu yang baiknya sebaiknya kurang dari 1
jam dan bisa juga sudah dikatakan terlambat karna sudah ada respon dari tubuhnya bisa jadi
sudah terjadi infeksi.
2. Moonface:
rx inflamasi pada wajah
rx elergi
rx transfusi darah
obat
cedera
biasanya pada orang obesitas
raccoon eyes:
3. moonface:
muka bulat,bengkak,penuh
penumpukan lemak pada wajah
hingga bisa sampai telinga
4. berhubungan dengan otak pasien,apakah peredaran darah keotak masih lancar atau tidak yaitu
untuk menghidari geger otak.
evaluasi luka
antiseptik
pembersihaan luka
penjahitan luka
pembalutan luka
pemberian antibiotik
pengangkatan jahitan
trauma
penyakit sistemik
general
anatomi
komplit atau tidak
mekanisme
ada tidaknya gigi pada garis fraktur
arah fraktur dan direposisi
10. karna tanda-tanda klinis menunjukkan ke diagnosa tersebut seperti adanya pembengkakan dan
luka pada gigi,kegoyangan pada gigi,luka pada gusi : fraktur dentoalveolar
Suspect fraktur yaitu melibatkan wajah bagian atas ,tengan , bawah panfasial
jalan nafas
pernafasan
sirkulasi darah
pengangan luka jaringan lunak
immobilisasi sementara
evaluasi cedera otak
secara definitif :
reposisi tertutup
reposisi terbuka
penanganan jangka panjang:
internal fiksasi pada bagian fraktur
splinting
penembalan
PSA
Reposisi
14. untuk fiksasi kembali gigi tersebut hingga gigi melekat kembali
15. secara manual : dengan jari pada molar bawah untuk menarik otot elevator dan selanjutnya
kebelakang untuk meletakkan kembali kondilus pada fossa.pemberian anastesi jika sudah terjadi
dalam jangka lama
Tasted loop
Rigid arch
19. sebagian pertimbangan dokter untuk berhati-hati dalam melakukan pengobatan agar lubang
sinusnya tidak terbuka lagi
1. fraktur maksilofasial
Fraktur Maksilofasial
Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena
berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki
peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi
penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-
fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk
(Singh, 2012). Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan tulang-tulang yang
membentuk
struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain (Japardi, 2004):
1. Os. Nasoorbitoethmoid
2. Os. Zygomatikomaksila
3. Os. Nasal
4. Os. Maksilla
5. Os. Mandibula
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga mandibula
(Muchlis, 2011).
Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang
paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior
cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon
(MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini
mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di
posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang
frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen,
2010).
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-Manson. Klasifikasi
Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):
2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi
atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan
osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi
atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah
terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang dewasa.
Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling
jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010).
Gambar 2.1 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: S. Aktop dalam A Textbook of Advanced Oral and
Maxillofacial Surgery (2013)
7
Fraktur Zygomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting pada struktur, fungsi, dan
estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari
fossa temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter, dan oleh karena itu
berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013).
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu
zygomaticomaxillary, frontozygomatic (FZ), zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur
ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North.
Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi
menjadi enam yaitu (Dadas, 2007):
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis
dan radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya
langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah
yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan
akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup
51,3% dari seluruh fraktur fasial (Haraldson, 2013).
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):
1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang
septal yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis
tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari
hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan
Sumber: M.P. Ondik dalam Archives of Facial Plastic Surgery edisi 11 (2009)
Fraktur Maksila dan LeFort
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di
inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur
yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik
secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam
nyawa (Moe, 2013).
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di
Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013):
1. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal
dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua
pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris.
Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal
dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga
inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura
zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.
3. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang
langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang
orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita,
melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian
memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan
pterygomaxillary.
(2010)
Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah trauma tumpul
yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering
kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus
maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah
gaya dari submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur
vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan
zygomatic arches (Moe, 2013).
Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada
mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula
merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008)
2.fraktur mandibula
Fraktur Mandibula
Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula tergantung
mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya dibawah leher prosesus
kondiloideus akibat perkelahian dan berbentuk hampir vertikal. Namun pada kecelakaan lalu
lintas garis fraktur terjadi dekat dengan kaput kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk
7
oblik. Pada regio angulus garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio molar III
kearah angulus mandibula. Pada fraktur korpus mandibula garis fraktur tidak selalu paralel
dengan sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblik. Garis fraktur dimulai pada regio
7,8
alveolar kaninus dan insisivus berjalan oblik kearah midline. Pada fraktur mandibula,
fragmen yang fraktur mengalami displaced akibat tarikan otot-otot mastikasi, oleh karena itu
reduksi dan fiksasi pada fraktur mandibula harus menggunakan splinting untuk melawan
tarikan dari otot-otot mastikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur
mandibula antara lain: arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur, ada atau
tidaknya gigi pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya kerusakan jaringan lunak. Pada
daerah ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini terfiksasi oleh muskulus
maseter pada bagian lateral dan medial oleh muskulus pterigoideus medialis. Demikian juga
pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh muskulus maseter.
2. Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur; kelas I: gigi ada pada kedua
bagian garis fraktur, kelas II: gigi hanya ada pada satu bagian dari garis fraktur, kelas III: tidak
ada gigi pada kedua fragmen, mungkin gigi sebelumnya memang sudah tidak ada (edentulous)
atau gigi hilang saat terjadi trauma.
3
Gambar 3. Hubungan ada tidaknya gigi pada garis fraktur
A B
C D
4. Berdasar beratnya derajat fraktur, dibagi menjadi fraktur simple atau closed yaitu tanpa
adanya hubungan dengan dunia luar dan tidak ada diskontinuitas dari jaringan sekitar fraktur.
Fraktur compound atau open
yaitu fraktur berhubungan dengan dunia luar yang melibatkan kulit, mukosa atau membran
periodontal.
Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu, penanganan
konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung pada garis fraktur dan
melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin fixation. Indikasi
untuk closed reduction antara lain: a. fraktur komunitif selama periosteum masih utuh
sehingga dapat diharapkan kesembuhan tulang, b. fraktur dengan kerusakan soft tissue
yang cukup berat dimana rekontruksi soft tissue dapat digunakan rotation flap dan free
flap bila luka tersebut tidak terlalu besar. c. edentulous mandibula, d. fraktur pada anak-
anak, e. fraktur condylus. Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara
closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada
fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada
daerah lain dari mandibula. Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka
komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di
tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi, resiko ankilosis
4,9,12
TMJ atau temporomandibular joint dan masalah airway. Beberapa teknik fiksasi
intermaksiler antara lain; a. teknik eyelet atau ivy loop, penempatan ivy loop menggunakan
kawat 24-gauge antara dua gigi yang stabil dengan menggunakan kawat yang lebih kecil
untuk memberikan fiksasi maksilomandibular (MMF) antara loop ivy. Keuntungan teknik ini,
bahan mudah didapat dan sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang
dapat dibuka dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah
putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler,
9
Gambar. Teknik eyelet atau ivy loop
teknik arch bar, indikasi pemasangan arch bar adalah gigi kurang atau tidak cukup
untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila dan didapatkan fragmen dentoalveolar
pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum
dipasang fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar adalah mudah didapat,
biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah menyebabkan keradangan
pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita dengan
edentulous luas
Gambar. Fiksasi maksilomandibular
3. fraktur dentoalveolar
Penatalaksanaan
Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin karena
penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur
dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih serius, perawatan dapat
dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu.
Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi
organ pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh
keadaan umum dan usia pasien serta kompleksitas fraktur.
Trauma pada Gigi Sulung
Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak berbeda dengan
perawatan gigi tetap. Gigi sulung yang intrusi biasanya akan erupsi secara spontan. Gigi
yang tidak terlalu bergeser dan tidak menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi
saja. Fraktur dentoalveolar yang kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena
elastisitas tulang alveolar.
Trauma pada Gigi Tetap
1. Fraktur mahkota
Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis
fraktur terletak di dekat gingiva, fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan
perawatan endodontik serta pembuatan mahkota pasak. Bila garis fraktur terletak
jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi.
B.Trauma yang mengenai jaringan
periodontal
1. Malposisi
Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi
gigi selama 7-21 hari. Setelah periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut
harus diperiksa.
2. Avulsi
Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu
tahap perkembangan akar, lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya
penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi dilakukan sesegera
mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak mengering, yakni
tidak lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.
C. Trauma yang mengenai tulang alveolar
Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan
paling baik dilakukan segera setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup
biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti dengan splinting. Imobilisasi
tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar kadang-
kadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak
menghasilkan imobilisasi yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar.
Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk fraktur alveolar, kecuali bila merupakan bagian
dari perawatan fraktur rahang.
Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan
penutupan segera dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen
untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk mencegah timbulnya fistula oro-
antral.
Komunikasi oroantral yang berdiameter < 2 mm sembuh secara spontan, sedangkan yang
berdiameter > 6 mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak, maka kemungkinan terjadinya
3
fistula oroantral (FOA) sangat tinggi.
Pentingnya informed consent sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas
harus dipahami oleh dokter gigi, mengingat tingginya resiko terjadinya KOA pasca pencabutan gigi.
Kemampuan identifikasi dan pencegahan terhadap terjadinya KOA sangat diharapkan dimiliki oleh
seorang dokter gigi, sekaligus dapat melakukan tata laksana sederhana untuk menghindari komplikasi
lebih lanjut. Untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai etiologi dan penanganan komunikasi
oroantral.
Penatalaksanaan
Jika KOA telah terjadi, seorang dokter gigi harus mampu mengevaluasi terjadinya KOA dan menilai
seberapa jauh KOA tersebut terjadi. Pada pasien dengan keadaan umum yang baik tanpa kelainan
sinus, maka jika diameter KOA yang terjadi < 2 mm, maka tindakan yang perlu dilakukan hanya
menekan soket dengan tampon selama 12 jam dan memberikan instruksi pasca ekstraksi gigi dengan
perlakuan khusus pada sinus (sinus precaution), yaitu hindari meniup, menyedotnyedot ludah,
menghisaphisap soket, minum melalui sedotan atau merokok selama 24 jam pertama. Namun, jika
KOA yang terjadi berukuran sedang (diameter 26 mm), maka perlu tindakan tambahan yaitu
meletakkan sponge gauze serta penjahitan soket gigi secara figure of eight (gambar 3) untuk menjaga
agar bekuan darah tetap berada dalam soket. Selain itu ditambah dengan pemberian instruksi sinus
precaution selama 10 14 hari dan pemberian obatobatan antibiotika seperti penisilin atau
klindamisin selama 5 hari, serta dekongestan oral maupun nasal spray untuk menjaga ostium tetap
paten sehingga tidak terjadi sinusitis maksilaris. Jika ukuran KOA > 6 mm maka sebaiknya
dilakukan tindakan penutupan soket dengan flap supaya terjadi penutupan primer. Flap harus bebas
dari tarikan dan posisi flap sebaiknya terletak di atas tulang. Variasi jenis flap yang sering dilakukan
untuk penutupan KOA antara lain buccal flap, palatal flap, buccal fat pad, gold foil dan lain
sebagainya.
Gambar 3. Teknik jahitan figure of eight (Sumber: Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New
8
Delhi: Elsevier; 2007.p.3305).
Pada pasien dengan riwayat sinusitis kronik, maka terjadinya KOA yang berdiameter kecil
sekalipun akan sukar sembuh dan dapat menyebabkan KOA permanen serta terepitelialisasi menjadi
fistula. Sebaiknya pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut, segera dilakukan penjahitan secara
figure of eight dan beri instruksi sinus precaution
6. alat dan metode fiksasi trauma oromaksilofasial