Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN TUTORIAL

MODUL 2 BLOK 18
TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

Kelompok 5

Tutor : Drg. Fildzah Nurul Fajrin

Ketua : Vikra prasetya waldi

Sekretaris Meja : Ulfa rizalni

Sekretaris Papan : Varen andya antoni

Sarah nabila wiguna

Siti harstsur rahmy

Sonya juita

Syntha mustika yasri dewi

Shafira aulia fikrie

Tatha Febilla

Velya apro

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Andalas

2019
MODUL 2

TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

Skenario 2

Harus operasi besar nih...

Pasien laki-laki usia 29 tahun datang ke IGD RS Unand dirujuk dari RSUD dengan keluhan patah rahang
bawah dan rahang atas akibat kecelakaan lalu lintas jam yang lalu. Riwayat pingsan (+),mual-muntah
(+),perdarahan hidung dan mulut (+). Hasil pemeriksaan ekstra oral ditemukan moonface,raccoon eyes,vulnus
punctum at regio sunmental dan vulnus laceratum at labii superior. Hasil pemeriksaan intra oral ditemukaan avulsi
gigi 12,11,intrusi gigi 21,mobility derajat 3 gigi 22. Dokter menegakkan diagnosis suspect fraktur panfasial dan
fraktur dentoalveolar. Pasien harus dilakukan initial treatment berupa wiring menggunakan arch bar dan replantasi
gigi avulsi dan rencana operasi ORIF elektif dalam nekrose umum. Berdasarkan anmnesis dari orangtua,pasien
pernah dioperasi penutupan lubang sinus dan rahang bawah lepas.

Bagaimana saudara menjelaskan penatalaksanaan kasus trauma di atas ?

A. Langkah Seven Jumps

1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan
interpretasi

2. Menentukan masalah

3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan prior knowledge

4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen permasalahan dan mencari korelasi dan interaksi antar
masing-masing komponen untuk membuat solusi secara terintegrasi

5. Memformulasikan tujuan pembelajaran

6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet, dan lain-lain

7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh


Uraian

Langkah 1: Terminologi

1. Moonface adalah kondisi wajah membengkak secara bertahap sehingga menjadi bulat,karna penumpukan
lemak,karna peradangan.
2. Raccoon eyes adalah daerah gelap disekitar mata sebagai tanda fraktur dasar tengkorak kepala /hematoma.
3. vulnus punctum adalah uka berupa luka tusuk dari benda tajam ,bekas luka sempit dan dalam.
4. Vulnus laceratum adalah luka yang mengakibatkan robek pada kulit luka tidak rata dimensi panjang,lebar
dan dalam.
5. Operasi ORIF adalah tindakan untuk melihat fraktur langsung dengan cara pembedahaan meliputi
pemasangan pen,skrup atau logam.
6. Wiring adalah manajemen terhadap fraktur dari rahang atau gigi avulsi dengan menempatkan arch bar pada
bagian bukal dan lingual pada gusi.
7. Fraktur panfasial adalah cedera pada tulang wajah melibatkan mandibula wajah bagian
tengan,orbital,frontal.
8. Fraktur dentoalveolar adalah fraktur yang meliputi avulsi,sublukasi atau fraktur gigi yang berkaitan dengan
fraktur tulang alveolar tanpa adanya fraktur bagian tubuh lainnya

Langkah 2: Menentukan masalah

1. Apakah penanganan pada pasien dikatakan terlambat?


2. apa penyebab terjadinya moonface dan raccoon eyes pada pasien?
3. Apa saja tanda-tanda dan gejala dari moonface dan raccoon eyes?
4. Mengapa pasien mengalami mual dan muntah ?
5. apa penatalaksanaan vulnus punctum dan laceratum?
6. Apa etiologi trauma oromaksilofasial?
7. Apa saja klasifikasi fraktur maksilofasial?
8. Apa saja klasifikasi dari fraktur mandibula ?
9. Apa saja klasifikasi fraktur dentoalveolar?
10. Kenapa diagnosa pasien tersebut fraktur dentoalveolar?
11. Bagaimana penatalaksanaan fraktur mandibula?
12. Bagaimana penatalaksanaan fraktur dentoalveolar?
13. Bagaimana penatalaksanaan avulsi?
14. Apa fungsi dari wiring dalam replantasi gigi yang avulsi?
15. Bagaimana tata laksana dislokasi TMJ?
16. Bagaimana tata laksana penutupan lubang sinus?
17. Apa indikasi dan kontaindikasi operasi ORIF?
18. Apa saja alat yang digunakan untuk fiksasi pada trauma oromaksilafasial?
19. Apa hubungan pasien yang pernah dioperasi penutupan lubang sinus dengan keadaan sekarang?

Langkah 3: Menganalisa masalah

1. Untuk avulsi belum terlambat tapi sudah melewati waktu yang baiknya sebaiknya kurang dari 1 jam dan
bisa juga sudah dikatakan terlambat karna sudah ada respon dari tubuhnya bisa jadi sudah terjadi infeksi.
2. Moonface:
 rx inflamasi pada wajah
 rx elergi
 rx transfusi darah
 obat
 cedera
 biasanya pada orang obesitas
 raccoon eyes:
 fraktur tengkorak basal
 pecahnya tulang tipis yang mengelilingi mata

3. moonface:

 muka bulat,bengkak,penuh
 penumpukan lemak pada wajah
 hingga bisa sampai telinga

4. berhubungan dengan otak pasien,apakah peredaran darah keotak masih lancar atau tidak yaitu untuk
menghidari geger otak.

5. penatalaksanaan vulnus punctum dan lacteratum

 evaluasi luka
 antiseptik
 pembersihaan luka
 penjahitan luka
 pembalutan luka
 pemberian antibiotik
 pengangkatan jahitan

6. etiologi trauma oromaksilofasial

 trauma
 penyakit sistemik

7. klasifikasi fraktur maksilofasial

 fraktur komplex nasal


 fraktur komplex zygomaticum
 fraktur dentoalveolar\
 fraktur maksila
 fraktur mandibula

8. klasifikasi dari fraktur mandibula

 general
 anatomi
 komplit atau tidak
 mekanisme
 ada tidaknya gigi pada garis fraktur
 arah fraktur dan direposisi

9. klasifikasi fraktur dentoalveolar

 cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa


 cedera pada jaringan periodontal
 cedera pada tulang pendukung

10. karna tanda-tanda klinis menunjukkan ke diagnosa tersebut seperti adanya pembengkakan dan luka pada
gigi,kegoyangan pada gigi,luka pada gusi : fraktur dentoalveolar

Suspect fraktur yaitu melibatkan wajah bagian atas ,tengan , bawah panfasial

11. penatalaksanaan fraktur mandibula

 jalan nafas
 pernafasan
 sirkulasi darah
 pengangan luka jaringan lunak
 immobilisasi sementara
 evaluasi cedera otak
 secara definitif :
 reposisi tertutup
 reposisi terbuka
 penanganan jangka panjang:
 internal fiksasi pada bagian fraktur

12. penatalaksanaan fraktur dentoalveolar

 splinting
 penembalan
 PSA
 Reposisi

13. dilakukan replantasi

14. untuk fiksasi kembali gigi tersebut hingga gigi melekat kembali

15. secara manual : dengan jari pada molar bawah untuk menarik otot elevator dan selanjutnya kebelakang
untuk meletakkan kembali kondilus pada fossa.pemberian anastesi jika sudah terjadi dalam jangka lama

16. tata laksana fistula oroantal : LO

17. indikasi : fraktur terbuka

18. pada fiksasi intramaksila :

 Tasted loop
 Rigid arch

19. sebagian pertimbangan dokter untuk berhati-hati dalam melakukan pengobatan agar lubang sinusnya tidak
terbuka lagi
SKEMA

Laki-laki (29THN)

Kecelakaan 7 jam yll

Dirujuk ke RS Unand

Pem.subjektif: Pem.objektif

Pingsan(+),mual,
muntah,pendarah
an hidung dan EO: IO :
mulut
Moonface,raccoon Avulsi 12,11,intrusi 21,mob
eyes, vulnus derajat 3 gigi 22
punctum regio
submental,vulnus
laceratum labii
superior

diagnosis

Fraktur panfasial Fraktur dentoalveolar

Rencana perawatan

Penatalaksanaa Penatalaksanaan fraktur Penatalaksanaan


n fraktur dentoalveolar luka jaringan lunak
panfasial

Langkah 5: Tujuan pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan fraktur maksilofasial


2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan fraktur mandibula
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan fraktur dentoalveolar
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan luka jaringan lunak
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan fistula oroantal
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan alat dan metode fiksasi truma oromaksilofasial
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan dislokasi TMJ (tatalaksana)

Langkah 6: Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet dan lain-lain

1. fraktur maksilofasial

Fraktur Maksilofasial

Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan. Daerah
wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah
maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara,
dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang
buruk (Singh, 2012). Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk

struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain (Japardi, 2004):

 Os. Nasoorbitoethmoid
 Os. Zygomatikomaksila
 Os. Nasal
 Os. Maksilla
 Os. Mandibula

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang
terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan
juga mandibula (Muchlis, 2011).

Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)

Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk
direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang
temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam
frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE
ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang frontal di
kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen, 2010).

Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson
terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):

 Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.

 Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi atau MCT menempel
pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis.
 Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi atau fragmen terlalu
kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas total.

Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE
merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh
kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010)

Gambar 2.1 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: S. Aktop dalam A Textbook of Advanced Oral and
Maxillofacial Surgery (2013)
Gambar 2.2 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: T. Galloway dalam Midface Trauma (2012)

Fraktur Zygomatikomaksila

Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting pada struktur, fungsi, dan estetika
penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan
sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter, dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses
mengunyah (Tollefson, 2013).

Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu zygomaticomaxillary,
frontozygomatic (FZ), zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua
tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).

Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini
turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Dadas,
2007):

 Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan radiologi
 Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk
malar eminence ke dalam
 Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
 Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
 Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
 Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen utama

Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa
fiksasi, sementara fraktur kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat (Meslemani,
2012).

Fraktur Nasal

Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering.
Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan
kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur fasial (Haraldson,
2013).

Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):
 Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
 Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
 Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh

 Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder
terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
 Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka,
dan robeknya jaringan

Gambar 2.3 Klasifikasi Fraktur NasalSumber: M.P. Ondik dalam Archives of Facial Plastic Surgery edisi 11 (2009)
Fraktur Maksila dan LeFort

Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan
yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan
melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada
tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013).

Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi
Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013):

 Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum,
dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus
dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis
dapat timbul.
 Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila
menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian
berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.
 Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level
orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior
dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang
melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.

Gambar 2.4 Klasifikasi LeFort Sumber: L. Gartshore dalam British Journal of Oral Maxillofacial Surgery edisi 48
(2010)

Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah trauma tumpul yang terbatas
dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau
instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction
merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari submental yang diarahkan langsung ke
superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti
alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches (Moe, 2013).
Fraktur Mandibula

Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula,
terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah
tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008)

Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular (TMJ). Fungsi yang baik dari
mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari
gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan
mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan
terdiri dari simfisis, badan, angle, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).

Gambar 2.5 Lokasi Fraktur Mandibula Sumber: C. Stewart dalam Emergency Medicine Practice volume 10 (2008)

2.fraktur mandibula

Fraktur Mandibula

Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linier atau terjadinya diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh ruda
paksa. Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau karena proses patologis. Fraktur mandibula adalah putusnya
kontinuitas tulang mandibula.3,4,6 Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai
adanya bagian yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang padat dengan sedikit
substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada
mandibula adalah angulus dan subkondilus sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah dari mandibula. Selain
itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale, angulus mandibula tempat gigi molar III terutama erupsinya
sedikit,kolumkondilus mandibula terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya akan
diteruskan kearah belakang.

Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula tergantung mekanisme trauma
yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya dibawah leher prosesus kondiloideus akibat perkelahian dan
berbentuk hampir vertikal. Namun pada kecelakaan lalu lintas garis fraktur terjadi dekat dengan kaput kondilus,
garis fraktur yang terjadi berbentuk oblik.7 Pada regio angulus garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang
regio molar III kearah angulus mandibula. Pada fraktur korpus mandibula garis fraktur tidak selalu paralel dengan
sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblik. Garis fraktur dimulai pada regio alveolar kaninus dan insisivus
berjalan oblik kearah midline.7,8 Pada fraktur mandibula, fragmen yang fraktur mengalami displaced akibat tarikan
otot-otot mastikasi, oleh karena itu reduksi dan fiksasi pada fraktur mandibula harus menggunakan splinting untuk
melawan tarikan dari otot-otot mastikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur mandibula
antara lain: arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur, ada atau tidaknya gigi pada fragmen, arah
lepasnya otot dan luasnya kerusakan jaringan lunak. Pada daerah ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena
daerah ini terfiksasi oleh muskulus maseter pada bagian lateral dan medial oleh muskulus pterigoideus medialis.
Demikian juga pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh muskulus maseter.

Beberapa macam klasifikasi fraktur mandibula dapat digolongkan berdasarkan:


1. insiden fraktur mandibula sesuai dengan lokasi anatominya; prosesus kondiloideus (29,1%), angulus mandibula
(24%), simfisis mandibula (22%), korpus mandibula (16%), alveolus (3,1%), ramus (1,7%), prosesus koronoideus
(1,3%)

Gambar.2 Regio mandibula dan frekuensi fraktur mandibulaberdasarkan regio

2. Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur; kelas I: gigi ada pada kedua bagian garis fraktur,
kelas II: gigi hanya ada pada satu bagian dari garis fraktur, kelas III: tidak ada gigi pada kedua fragmen, mungkin
gigi sebelumnya memang sudah tidak ada (edentulous) atau gigi hilang saat terjadi trauma.

Gambar 3. Hubungan ada tidaknya gigi pada garis fraktur3

3. Berdasar arah fraktur dan kemudahan untuk direposisi dibedakan:

horizontal dan vertikal yang dibagi menjadi favourable dan unfavourable. Kriteria favourable dan unfavourable
berdasarkan arah satu garis fraktur terhadap gaya muskulus yang bekerja pada fragmen tersebut. Disebut favourable
apabila arah fragmen memudahkan untuk mereduksi tulang waktu reposisi, sedangkan unfavourable bila garis
fraktur menyulitkan untuk reposisi.3,7
A B

C D

Gambar 4. A. Horizontal favourable fracture, B. Horizontal unfavourable fracture, C. Vertical favourable fracture,
D. Vertical unfavourable fracture3

4. Berdasar beratnya derajat fraktur, dibagi menjadi fraktur simple atau closed yaitu tanpa adanya hubungan dengan
dunia luar dan tidak ada diskontinuitas dari jaringan sekitar fraktur. Fraktur compound atau open yaitu fraktur
berhubungan dengan dunia luar yang melibatkan kulit, mukosa atau membran periodontal.

5. Berdasar tipe fraktur dibagi menjadi fraktur greenstick atau incomplete;

fraktur yang tidak sempurna dimana pada satu sisi dari tulang mengalami fraktur sedangkan pada sisi yang lain
tulang masih terikat. Fraktur greenstick biasanya didapatkan pada anak-anak karena periosteum tebal. Fraktur
tunggal; fraktur hanya pada satu tempat saja. Fraktur multipel; fraktur yang terjadi pada dua tempat atau lebih,
umumnya bilateral. Fraktur kominutif; terdapat adanya fragmen yang kecil bisa berupa fraktur simple atau
compound. Selain itu terdapat juga fraktur patologis; fraktur yang terjadi akibat proses metastase ke tulang, impacted
fraktur; fraktur dengan salah satu fragmen fraktur di dalam fragmen fraktur yang lain. Fraktur atrophic; adalah
fraktur spontan yang terjadi pada tulang yang atrofi seperti pada rahang yang tidak bergigi. Indirect fraktur; fraktur
yang terjadi jauh dari lokasi trauma.
Gambar 5. Tipe fraktur mandibula. A. Greenstick B. Simple C. Kominutif D. Compound

Penatalaksanaan Fraktur Mandibula

Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat kedaruratan seperti jalan nafas atau
airway, pernafasan atau breathing, sirkulasi darah termasuk penanganan syok atau circulation, penanganan luka
jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah
penanganan fraktur secara definitif. Penanganan fraktur mandibula secara umum dibagi menjadi dua metoda yaitu
reposisi tertutup dan terbuka. Pada reposisi tertutup atau konservatif , reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula
dicapai dengan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Reposisi terbuka bagian yang fraktur dibuka
dengan pembedahan, segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat yang
disebut wire atau plate osteosynthesis. Teknik terbuka dan tertutup tidak selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadang-
kadang dikombinasi. Pendekatan ketiga adalah merupakan modifikasi dari teknik terbuka yaitu metode fiksasi
skeletal eksternal. Pada penatalaksanaan fraktur mandibula selalu diperhatikan prinsip-prinsip dental dan ortopedik
sehingga daerah yang mengalami fraktur akan kembali atau mendekati posisi anatomis sebenarnya dan fungsi
mastikasi yang baik.

Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu, penanganan konservatif dengan melakukan
reposisi tanpa operasi langsung pada garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau
eksternal pin fixation. Indikasi untuk closed reduction antara lain: a. fraktur komunitif selama periosteum masih
utuh sehingga dapat diharapkan kesembuhan tulang, b. fraktur dengan kerusakan soft tissue yang cukup berat
dimana rekontruksi soft tissue dapat digunakan rotation flap dan free flap bila luka tersebut tidak terlalu besar. c.
edentulous mandibula, d. fraktur pada anak-anak, e. fraktur condylus. Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur
mandibula secara closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada fraktur
daerahcondylusdan4-6minggupada daerah lain dari mandibula. Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih
efisien, angka komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di tingkat
poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi, resiko ankilosis TMJ atau temporomandibular
joint dan masalah airway.4,9,12 Beberapa teknik fiksasi intermaksiler antara lain; a. teknik eyelet atau ivy loop,
penempatan ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara dua gigi yang stabil dengan menggunakan kawat yang
lebih kecil untuk memberikan fiksasi maksilomandibular (MMF) antara loop ivy. Keuntungan teknik ini, bahan
mudah didapat dan sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat dibuka dengan hanya
mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler,

Gambar. Teknik eyelet atau ivy loop9

teknik arch bar, indikasi pemasangan arch bar adalah gigi kurang atau tidak cukup untuk pemasangan cara lain,
disertai fraktur maksila dan didapatkan fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi
sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar
adalah mudah didapat, biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah menyebabkan keradangan
pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita dengan edentulous luas

Reposisi terbuka (open reduction); tindakan operasi untuk melakukan koreksi deformitas maloklusi yang terjadi
pada patah tulang rahang bawah dengan melakukan fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wire
osteosynthesis) atau plat (plat osteosynthesis) . Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction): a. displaced
unfavourable fraktur melalui angulus, b. displaced unfavourable fraktur dari corpus atau parasymphysis, c. multiple
fraktur tulang wajah, d. fraktur midface disertai displaced fraktur condylus bilateral. Tehnik operasi open reduction
merupakan jenis operasi bersih kontaminasi, memerlukan pembiusan umum. Keuntungan dari open reduction antara
lain: mobilisasi lebih dini dan reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. kerugiannya adalah biaya lebih mahal
dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya.

Gambar.Teknikoperasireposisiterbuka(openreduction)

Tindak lanjut setelah dilakukan operasi adalah dengan memberikan analgetika serta memberikan antibiotik spektrum
luas pada pasien fraktur terbuka dan dievaluasi kebutuhan nutrisi, pantau intermaxilla fixation selama 4-6 minggu.
Kencangkan kabel setiap 2 minggu. Setelah wire dibuka, evaluasi dengan foto panoramik untuk memastikan fraktur
telah union.

3. fraktur dentoalveolar

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan
dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh
lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga atau iatrogenik.

Klasifikasi fraktur dentoalveolar menurut WHO tahun 1995 terdiri atas empat tipe rudapaksa yaitu:

 tipe 1 yang menyangkut jaringan keras gigi dan pulpa


 tipe 2 yang mengenai jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
 tipe 3 fraktur pada jaringan periodontal, seperti luksasi dan avulsi gigi
 tipe 4 pada jaringan lunak, seperti abrasi dan laserasi gingiva atau mukosa.

Penatalaksanaan

Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin karena penundaan perawatan akan
mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih
serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu.

Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan
senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien serta
kompleksitas fraktur.

Trauma pada Gigi Sulung

Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak berbeda dengan perawatan gigi tetap. Gigi
sulung yang intrusi biasanya akan erupsi secara spontan. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak menyebabkan
gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur dentoalveolar yang kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena
elastisitas tulang alveolar.

Trauma pada Gigi Tetap

A. Trauma yang mengenai jaringan keras gigi

1. Fraktur mahkota

Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang tajam, atau penambalan dengan komposit. Fraktur dentin
sebaiknya ditambal sesegera mungkin, khususnya pada pasien muda karena penetrasi bakteri melalui tubulus dentin
cepat terjadi. Penambalan dengan semen kalsium hidroksida dan restorasi komposit sudah cukup ideal. Bila patahan
gigi cukup besar, fragmen mahkota dapat disemen kembali menggunakan resin komposit. Fraktur pulpa dapat
dirawat dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.

2. Fraktur akar
Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva (fraktur mahkota-akar). Bila garis fraktur tidak terlalu jauh
ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup ditambal dengan restorasi komposit. Bila fraktur meluas sampai jauh ke
apikal, atau bila gigi terbelah secara vertikal, umumnya ekstraksi harus dilakukan.

Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis fraktur terletak di dekat gingiva,
fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan perawatan endodontik serta pembuatan mahkota pasak. Bila garis
fraktur terletak jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi.

B.Trauma yang mengenai jaringan

periodontal

1. Malposisi

Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi gigi selama 7-21 hari. Setelah
periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut harus diperiksa.

2. Avulsi

Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu tahap perkembangan akar,
lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi
dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak mengering, yakni tidak
lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.

C. Trauma yang mengenai tulang alveolar

Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan paling baik dilakukan segera
setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti
dengan splinting. Imobilisasi tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar kadang-
kadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan imobilisasi
yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk fraktur alveolar,
kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang.

Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan penutupan segera dengan flap bukal.
Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk mencegah
timbulnya fistula oro-antral.

D. Trauma yang mengenai jaringan lunak mulut

Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip perawatannya terdiri atas pembersihan, pembuangan
jaringan nekrotik (debridement), penghentian perdarahan dan penjahitan.6 Pada bagian dalam laserasi degloving
sering ditemukan debris atau kotoran tanah, sehingga debridement perlu diikuti dengan irigasi yang cermat. Fraktur
dentoalveolar sering mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu diberikan antibiotik profilaksis dan obat kumur
antiseptik.

4. panataksanaan luka jaringan lunak

Tipe Penyembuhan luka

Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang
hilang.

Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi setelah diusahakan
bertautnya tepi luka, biasanya dengan jahitan, plester, skin graft, atau flap. Hanya sedikit jaringan yang hilang dan
Luka bersih. Jaringan granulasi sangat sedikit. Re-epitelisasi sempurna dalam 10-14 hari, menyisakan jaringan parut
tipis.

Kontraindikasi Penutupan Luka Sec Primer:

 Infeksi
 Luka dg jaringan nekrotik.
 Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali luka di area wajah.
 Masih tdpt benda asing dlm luka
 Perdarahan dr luka

 Diperkirakan tdpt “dead space” stla dilakukan jahitan.


 Tegangan dlm luka atau kulit di sekitar luka terlalu tinggi
 perfusi jaringan buruk.

Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer.
Dikarakteristikkan oleh luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Tidak ada tindakan aktif
menutup luka, luka sembuh secara alamiah (intervensi hanya berupa pembersihan luka, dressing, dan pemberian
antibiotika bila perlu). Proses penyembuhan lebih kompleks dan lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka dan
terbentuk jaringan granulasi yang cukup banyak. Luka akan ditutup oleh re-epitelisasi dan deposisi jaringan ikat
sehingga terjadi kontraksi. Jaringan parut dapat luas/ hipertrofik, terutama bila luka berada di daerah presternal,
deltoid dan leher.

Indikasi Penutupan luka secara sekunder:

 Luka kecil (<1.5 cm)


 Struktur penting di bawah kulit tidak terpapar
 Luka tidak terletak di area persendian & area yg penting secara kosmetik
 Luka bakar derajat 2.
 Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali bila luka di area wajah.
 Luka terkontaminasi (highly contaminated wounds)
 Diperkirakan terdapat “dead space” setelah dilakukan jahitan
 Darah terkumpul dlm dead space
 Kulit yg hilang cukup luas
 Oedema jaringan yg hebat sehingga jahitan terlalu kencang dan mengganggu vaskularisasi yang dapat
menyebabkan iskemia & nekrosis.

Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe
penyembuhan luka yang terakhir. Delayed primary closure yang terjadi setelah mengulang debridement dan
pemberian terapi antibiotika.

Fase Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Satu fase dengan fase yang
lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.

Fase Inflamasi

Berlangsung segera setelah jejas terjadi dan berlanjut hingga 5 hari. Merupakan respon vaskuler dan seluler yang
terjadi akibat perlukaan jaringan lunak yang bertujuan untuk mengontrol perdarahan, mencegah koloni bakteri,
menghilangkan debris dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. Disebut juga fase lamban karena reaksi
pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang lemah.

Awal fase, kerusakan jaringan menyebabkan keluarnya platelet yang akan menutupi vaskuler yang terbuka dengan
membentuk clot yang terdiri dari trombosit dengan jala fibrin dan mengeluarkan zat yang menyebabkan
vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Terjadi selama 5 – 10
menit.

Setelah itu, sel mast akan menghasilkan sitokin, serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi eksudasi cairan, pengumpulan sel radang, disertai vasodilatasi lokal. Tanda dan gejala klinik radang
menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor).

Eksudasi mengakibatkan terjadinya pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) terutama
neutrofil menuju luka karena daya kemotaksis mengeluarkan enzim hidrolitik berfungsi untuk fagositosis benda
asing dan bakteri selama 3 hari yang kemudian digantikan fungsinya oleh sel makrofag yang berfungsi juga untuk

sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi bersama makrofag, memproduksi Growth Factor untuk re
epitelialisasi, dan proses angiogenesis.

Fase Proliferasi

Berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Disebut juga fase fibroplasias karena fase ini didominasi
proses fibroblast yang berasal dari sel mesenkim undifferentiate, yang akan berproliferasi dan menghasilkan
kolagen, elastin, hyaluronic acid, fifbronectin, dan proteoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru.
Fase ini terdiri dari proses proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, dan kontraksi luka.

Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian dengan tegangan pada luka yang cenderung
mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir
fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat
kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.

Luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari
sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab
epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan
menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan
jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses maturasi.

Fase Maturasi

Berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang
sudah hilang. Pada fase ini terjadi proses maturasi yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih,
pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya remodelling jaringan yang baru terbentuk. Tubuh berusaha
menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel
muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya
mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas
serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit
mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah
penyembuhan.

5. penatalaksanaan fitula oroantal

Oroantral communication (OAC) yang selanjutnya disebut sebagai komunikasi oroantral (KOA) adalah
suatu keadaan patologis terjadinya hubungan antara rongga hidung/antrum dengan rongga mulut. Keadaan ini
merupakan komplikasi pasca pencabutan gigi posterior rahang atas yang insidennya berkisar 0,31%-3,8% dan sering
menyebabkan ketidaknyamanan karena dapat menjadi masalah sistemik yang lebih serius.

Tindakan pencabutan gigi merupakan bread and butter bagi seorang dokter gigi seperti halnya penambalan
gigi. Pasien biasanya mengeluhkan gigi yang rusak dan ingin dicabut saja. Dokter gigi yang bijak, seyogyanya
membuat perencanaan yang tepat meliputi pembuatan foto ronsen saat akan melakukan pencabutan gigi di regio
posterior rahang atas. Menurut kepustakaan, akar gigi molar pertama dan kedua rahang atas memiliki kemungkinan
paling tinggi terhadap hubungannya dengan sinus maksilaris.2

Komunikasi oroantral yang berdiameter < 2 mm sembuh secara spontan, sedangkan yang berdiameter > 6
mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak, maka kemungkinan terjadinya fistula oroantral (FOA) sangat
tinggi.3

Pentingnya informed consent sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas harus
dipahami oleh dokter gigi, mengingat tingginya resiko terjadinya KOA pasca pencabutan gigi. Kemampuan
identifikasi dan pencegahan terhadap terjadinya KOA sangat diharapkan dimiliki oleh seorang dokter gigi, sekaligus
dapat melakukan tata laksana sederhana untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Untuk itu pada makalah ini
akan dibahas mengenai etiologi dan penanganan komunikasi oroantral.

Penatalaksanaan

Jika KOA telah terjadi, seorang dokter gigi harus mampu mengevaluasi terjadinya KOA dan menilai
seberapa jauh KOA tersebut terjadi. Pada pasien dengan keadaan umum yang baik tanpa kelainan sinus, maka jika
diameter KOA yang terjadi < 2 mm, maka tindakan yang perlu dilakukan hanya menekan soket dengan tampon
selama 1-2 jam dan memberikan instruksi pasca ekstraksi gigi dengan perlakuan khusus pada sinus (sinus
precaution), yaitu hindari meniup, menyedot-nyedot ludah, menghisap-hisap soket, minum melalui sedotan atau
merokok selama 24 jam pertama. Namun, jika KOA yang terjadi berukuran sedang (diameter 2-6 mm), maka perlu
tindakan tambahan yaitu meletakkan sponge gauze serta penjahitan soket gigi secara figure of eight (gambar 3)
untuk menjaga agar bekuan darah tetap berada dalam soket. Selain itu ditambah dengan pemberian instruksi sinus
precaution selama 10- 14 hari dan pemberian obat-obatan antibiotika seperti penisilin atau klindamisin selama 5
hari, serta dekongestan oral maupun nasal spray untuk menjaga ostium tetap paten sehingga tidak terjadi sinusitis
maksilaris. Jika ukuran KOA > 6 mm maka sebaiknya dilakukan tindakan penutupan soket dengan flap supaya
terjadi penutupan primer. Flap harus bebas dari tarikan dan posisi flap sebaiknya terletak di atas tulang. Variasi jenis
flap yang sering dilakukan untuk penutupan KOA antara lain buccal flap, palatal flap, buccal fat pad, gold foil dan
lain sebagainya.

Gambar 3. Teknik jahitan figure of eight (Sumber: Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New
Delhi: Elsevier; 2007.p.330-5).8

Pada pasien dengan riwayat sinusitis kronik, maka terjadinya KOA yang berdiameter kecil sekalipun akan sukar
sembuh dan dapat menyebabkan KOA permanen serta terepitelialisasi menjadi fistula. Sebaiknya pada pasien
dengan riwayat penyakit tersebut, segera dilakukan penjahitan secara figure of eight dan beri instruksi sinus
precaution

6. alat dan metode fiksasi trauma oromaksilofasial

TINJAUAN UMUM PERAWATAN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang
lain (trauma multiple). Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang lainnya.
Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut 4 :

1. Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit

 Mempertahankan jalan napas


 Menghentikan perdarahan eksternal
 Stabilisasi fraktur
 Stabilisasi tulang belakang
 Tranportasi cepat (Ambulatory)

2. Resusitasi dan penanganan primer


 ABC (Airway, Breathing, Circulation)
 Resusitasi cairan
 Pemantauan

3. Diagnosis dan penanganan sekunder

 Pemeriksaan fisik menyeluruh


 Radiografi
 Pemeriksaan Laboratorium
 Resusitasi dan pemantauan lanjut

4. Perawatan Definitif

 Pembedahan
 Perawatan non operatif
 Nutritional support

5. Rehabilitasi

Penanganan Sebelum Dibawa ke Rumah Sakit

Tujuan penanganan sebelum penderita dibawa ke rumah sakit yaitu menyelamatkan jiwa penderita sebelum
mendapatkan penanganan yang lebih lanjut di rumah sakit. Penyebab kematian paling sering sebelum penderita tiba
di rumah sakit adalah trauma pada otak dan sumsum tulang belakang. Perawatan penderita cedera akut dengan
faktur pada daerah wajah, pertama kali harus ditujukan pada penyelamatan jiwa dengan memperhatikan jalan nafas
dan pernafasan, dan sirkulasi (Air ways, Breathing, Circulation), serta kontrol perdarahan 4.

Jalan nafas penderita dengan fraktur oromaksilofasial dapat terganggu dengan adanya sumbatan dari jalan
nafas, yang dapat disebabkan oleh gigi palsu yang terdorong masuk ke jalan pernafasan, fragmen tulang, gigi yang
terlepas ke daerah tenggorokan, gumpalan darah yang membeku, dinding faring yang kolaps, lidah terkulai ke
belakang, sehingga menyebabkan hipoksia pada otak. Pada keadaan ini penolong dapat memberikan nafas buatan
dan jika perlu dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.

Gambar. Pemasangan Tube Endotrakeal5


 insisi kulit
 rawat perdarahan
 anestesi local
 melubangi trakea

Gambar. Trakeostomi5

Kematian pada penderita dengan trauma oromaxillofasial juga dapat disebabkan oleh perdarahan yang tidak cepat
diatasi. Perdarahan dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Pada perdarahan internal hanya dapat diatasi di
rumah sakit. Penanganan perdarahan di tempat kecelakaan diutamakan pada perdarahan eksternal. Cara
mengatasinya dengan melakukan penekanan pada luka dan jika perdarahan masih berlangsung terus dilakukan
pengikatan (ligasi). Perdarahan yang keluar dari hidung dapat diatasi dengan meletakan tampon di lubang hidung
depan dan belakang5.

Gambar. Penanganan Perdarahan hidung5

Pemberian cairan intravena dapat diberikan jika transportasi diperkirakan memerlukan waktu lebih dari 30 menit,
atau perdarahan berat melebihi 50 cc permenit. Pergunakan cairan hipertonik4.

Sebelum penderita dibawa ke rumah sakit usahakan dilakukan stabilisasi dari frakturnya dengan cara
menggunakan splint/spalk atau pengikatan. Penderita hanya boleh dipindahkan jika tidak terdapat fraktur tulang
belakang atau leher. Lakukan stabilisasi fraktur tulang terlebih dahulu sebelum memindahkan pasien dengan cara
menggunakan neck colar hard (penyangga leher yang kaku) dan scoop stretcher untuk fraktur tulang belakang.
Untuk fraktur pada daerah oromaksilofasial dapat dilakukan dengan pengikatan dari atas kepala ke dagu5.

Resusitasi dan Penanganan Primer

Seringkali trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh lain (trauma
multiple), misalnya trauma mengenai cerebro kardiovaskuler, saraf, dada, dan anggota gerakan lainnya. Pada
keadaan ini kita mendahulukan penanganan trauma yang paling mengancam jiwa. Untuk penderita dengan trauma
oromaksilofasial pendekatan awal sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan
terhadap saluran pernafasan dan kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital,
keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa penderita.

Gangguan jalan napas dapat dilihat dari beberapa keadaan seperti stridor (napas berbunyi), sianosis,
takhipnea lebih dari 25 kali permenit, retraksi interkostal dan bernapas menggunakan otot tambahan. Gangguan
jalan napas pada trauma oromaksilofasial dapat disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti glossoptosis floating
maksila pada fraktur Le Fort II dan III. Glossoptosis pada umumnya karena fraktur mandibula segmental dan
dislokasi sehingga lidah seakan-akan lepas dari organnya, akibatnya dapat terjadi gangguan napas dan mengganggu
proses menelan, sehingga air ludah, darah, pecahan gigi akan terkumpul dalam rongga mulut. Pada penderita dengan
gangguan kesadaran dapat menyebabkan aspirasi. Floating maksila pada fraktur maksila Le Fort II dan III dimana
maksila terlepas dari segmen atas dan menyumbat jalan napas. Untuk mengatasi keadaan–keadaan ini dengan cara
membersihkan orofaring dari hematom, muntahan, benda-benda asing seperti gigi palsu dengan bantuan penghisap
yang mempunyai lubang besar (plastik Yankauer). Pergunakan laringoskop untuk memeriksa dan membantu dalam
pengisapan orofaring dari laring. Disamping itu dapat dilakukan dengan cara manual yaitu dengan menggunakan jari
yang diletakkan di lateral (daerah pipi) dengan ujung jari di belakang mulut, kemudian jari mengorek ke medial dan
depan untuk mengeluarkan debris. Jari jangan didorong lurus sebab mengakibatkan debris terdorong masuk ke
dalam saluran pernapasan kemudian diulangi pada bagian mulut seberangnya 5.

Untuk mengatasi obstruksi napas oleh karena floating maksila pada fraktur maksila Le Fort II dan III
dimana maksila terlepas dari segmen atas dengan cara menarik maksila ke depan. Masukkan jari telunjuk dan jari
tengah ke dalam mulut dan letakkan di belakang atas palatum mole, sedangkan ibu jari diletakkan di tempat gigi
incisivus
Gambar : Cara mengatasi obstruksi napas oleh karena fraktur maksila Le Fort II dan III 5

Fraktur corpus mandibula bilateral atau fraktur simfisis dapat menyebabkan insersi lidah jatuh ke belakang
ada saat penderita tidur terlentang, hal ini menyebabkan penutupan pada orofaring. Cara mengatasinya dengan
melakukan retraksi lidah dengan benang yang dijahitkan transversal di daerah dorsum lidah, kemudian meletakkan
tarikan benang tersebut ke wajah samping dengan bantuan plester 7.

Gambar : Cara mengatasi obstruksi napas pada fraktur mandibula bilateral5.

Pemberian pernafasan dapat menggunakan sungkup (Face Mask) atau kanula hidung. Pada fraktur wajah
penggunaaan sungkup tidak dimungkinkan sehingga pemberian oksigen melalui hidung segera dilakukan. Jika
dengan cara tersebut belum mencukupi dilakukan intubasi melalui mulut atau hidung, dan diberikan oksigen 100%.
Kadang-kadang pada trauma oromaksilofasial yang luas intubasi tidak dapat dilakukan sehingga diperlukan
trakeostomi. Intubasi dan trakeostomi hanya dapat dilakukan pada penderita yang tidak sadar. Perdarahan dari
fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari
basis cranii) atau perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila).

Penanganan perdarahan eksternal pada trauma oromaksilo fasial sudah harus dilakukan saat sebelum tiba di rumah
sakit. Jika belum dilakukan, hendaknya dilakukan bersamaan dengan penanganan jalan nafas. Penjepitan pembuluh
darah secara acak harus dihindari karena dapat membahayakan pembuluh darah balik dan saraf. Perdarahan yang
banyak bisa mengakibatkan syok hipovolemik. Untuk cukup atau tidaknya aliran darah dapat diketahui dengan
memperhatikan keadaan-keadaan seperti tensi yang menurun, denyut nadi yang melemah, nafas yang cepat, dan
perabaan pada daerah akral dari ektremitas. Resusitasi cairan dapat diberikan sesuai dengan keadaan klinis.

PERAWATAN DEFINITIF TRAUMA OROMAKSILOFASIAL


Perawatan definitif trauma oromaksilofasial/fraktur rahang dilakukan setelah keadaan umum penderita lebih baik,
terkontrol, dan telah melewati masa kritis melalui perawatan gawat darurat. Pada prinsipnya perawatan definitif
trauma oromaksilofasial terdiri atas tindakan reduksi/reposisi, fiksasi, dan imobilisasi 1,3,8

Reduksi atau Reposisi


Reduksi atau reposisi dari fraktur rahang adalah mengembalikan fragmen – fragmen tulang yang
mengalami farktur ke posisi anatomi semula. Pedoman yang paling baik dalam tindakan reduksi adalah oklusi dari
gigi geligi. Secara umum terdapat dua metode dalam tindakan reduksi rahang, yaitu reduksi tertutup (closed
reduction) dan reduksi terbuka (open reduction)3.

Reduksi tertutup

Adalah suatu tindakan reduksi fraktur tanpa melakukan pembedahan atau operasi, fiksasi dan imobilisasi biasanya
menggunakan alat yang sama. Indikasinya:

 Jika gigi – gigi pada kedua rahang atas dan bawah cukup tersedia sehingga oklusi dapat dibangun kembali,
dan gigi – gigi tersebut dapat dijadikan sebagai penyangga alat fiksasi.
 Pada fraktur rahang yang masih baru dengan celah antar fragmen yang tidak terlalu lebar.
 Pada fraktur dengan garis fraktur yang berlawanan dengan arah tarikan otot (favorable fracture) dengan
minimal displacement.

Reduksi terbuka

Adalah tindakan reduksi fraktur dengan cara pembedahan atau operasi. Pada reduksi terbuka tindakan
reposisi, fiksasi, dan imobilisasi biasanya menggunakan alat yang berbeda. Reposisi dapat menggunakan alat berupa
suatu interosseus wiring, bone plate with screw, intramedullary wire, pin dan rods. Reduksi terbuka merupakan
metode paling akurat dalam tindakan reposisi segmen – segmen fraktur, karena dengan metode ini dapat diperoleh
pandangan langsung terhadap lokasi tulang yang mengalami fraktur. Indikasinya:

 Tidak terdapat cukup gigi untuk mendapatkan oklusi pada reduksi terttutup.
 Fraktur dengan displacement fragmen yang sangat lebar.
 Pada kasus - kasus: non-union, mal-union, dan fibrous fracture
 Pada garis fraktur yang tidak menguntungkan (unfavorable fracture)
 Jika dibutuhkan bone grafting.

Fiksasi dan Immobilisasi

Tindakan utama perawatan trauma oromaksilofasial adalah pada tahap perawatan definitif yang
dimaksudkan untuk mereposisi dan merekontruksi tulang – tulang oromaksilofasial sedapat mungkin seperti
keadaan sebelum terjadi trauma. Namun tentu saja perawatan definitif ini harus dilakukan setelah keadaan umum
pasien stabil, terkontrol, dan telah melewati masa kritis. Seperti telahdisebutkan diatas bahwa perawatan definitif
trauma oromamaksilofasial meliputi tiga tindakan, yaitu: reposisi/reduksi, fiksasi, dan imobilisasi.

Untuk mendapatkan hasil penyembuhan fraktur yang baik, fragmen – fragmen tulang harus terikat dengan kuat pada
posisi anatomi semula. Adanya pergerakan antar fragmen tulang dapat mengganggu proses penyembuhan dan
meningkatkan resiko terjadinya fibrous union. Fiksasi yang baik menghsilkan terbentuknya kalus pada proses
penyembuhan fraktur dimana terjadi remodeling tulang secara perlahan sehingga terbentuk kontur tulang yang
normal. Pada prinsipnya fiksasi dapat berupa alat yang rigd, semi-rigid, atau non-rigid dimana penempatannya dapat
internal maupun eksternal. Posisi yang akurat, oklusi dan angulasi yang baik, tidak adanya interposisi jaringan lunak
serta reduksi yang benar sangat penting untuk memastikan terjadinya penyembuhan tulang yang baik. Penutupan
jaringan lunak baik itu mukosa maupun kulit sangat penting khususnya dalam kasus – kasus penggunaan fiksasi
internal5.

Pada makalah ini akan dibahas khususnya metode dan jenis – jenis fiksasi yang sering digunakan pada perawatan
trauma oromaksilofasial. Secara umum fiksasi pada trauma oromaksilofasial dapat dibagi menjadi tiga jenis 3:

Fiksasi Intramaksila
Yaitu suatu cara fiksasi dengan jalan pengikatan gigi geligi hanya pada rahang atas atau rahang bawah saja.
Misalnya metode wiring eyelet, Essig, rigid arch bar pada satu rahang, dan lain – lain. Twisted loop atau Eyelet
Method

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Ivy, kawat yang digunakan biasanya jenis stainless steel ukuran
0,4 mm atau 0,5 mm sepanjang ± 20 cm. Kawat tersebut dilipat dan dipilin sehingga salah satu ujungnya
membentuk bulatan (loop), kedua ujung kawat yang bebas kemudian dilewatkan dari permukaan luar lengkung gigi
melalui ruang interproksimal dua gigi yang berdekatan. Salah satu ujung kawat tersebut dilewatkan sekeliling
permukaan lingual gigi depannya, ujung kawat lainnya dilewatkan sekeliling gigi dibelakangnya. Kedua kawat akan
bertemu dipermukaan luar lengkung gigi, kemudian diikatkan dengan kuat satu sama lainnya sehingga membentuk
satu eyelet6.

Tahap – tahap pembuatan eyelet4

Gambar 1. Eyelet & Essig Method1,4

Fiksasi Intermaksiler

Adalah suatu cara fiksasi fraktur rahang dengan cara mengunci gigi geligi rahang atas dan rahang bawah dalam
keadaan oklusi dengan menggunakan kawat atau rubber elastic band. Misalnya metode Gilmer, Ivy’s loop, Stout
continous, arch bar dari Jelenko, Winter, Erich, Austin, dan penggunaan splint dari logam atau akrilik. Untuk
perawatan kasus fraktur rahang edentulous dapat digunakan denture atau Gunning splint yang dikombinasikan
dengan kawat atau rubber elastic band.
A B

Fiksasi intermasiler: A. screw & wire, B. Gunning splint untuk rahang edentulous 9

Fiksasi intermaksiler dengan Erich bar & rubber elastic

Fiksasi Ekstramaksiler

Adalah suatu cara fiksasi yang dilakukan dari luar rongga mulut, dapat dibagi menurut penempatannya: cranial,
fasial, oksipital, frontal, dan servikal. Sedangkan alat yang digunakan dapat berupa: bandage, head cap strips,
adhesive tape, head gear, head frame, dll.

Fiksasi Extramaksiler1,3

Open Reduction and Rigid Internal Fixation (ORIF)


Adalah salah satu bentuk fiksasi pada fraktur rahang yang dilakukan dengan cara mengaplikasikan langsung alat
fiksasi pada tulang rahang sehingga didapatkan suatu kekuatan fiksasi yang adekuat. Alat yang digunakan berupa
plate & screw dan untuk kasus fraktur maksilofasial biasanya dari jenis miniplate

Bone plate & screw fixation1

Prosedur Pemasangan Interdental Wiring (IDW) di RSHS

 Melakukan tindakan aseptik yaitu sterilisasi alat, bahan dan daerah operasi termasuk juga operator
kemudian pasang duk bolong pada pasien,
 Melakukan anestesi lokal yaitu blok n. alveolaris superior kiri – kanan dan n.nasopalatinus untuk rahang
atas, sedangkan untuk rahang bawah dilakukan blok mandibular.
 Fragmen tulang direposisi sedemikian rupa sehingga posisinya kembali seperti keadaan semula sebelum
kejadian fraktur.
 Mengukur Erich bar disesuaikan lengkung rahang. Erich bar kemudian diadaptasikan pada permukaan
bukal/labial lengkung gigi rahang atas dan bawah pada daerah sepertiga apikal mahkota gigi mulai gigi
M@ kiri sampai dengan M2 kanan.
 Erich bar diikatkan pada gigi geligi dengan cara melewatkan kawat stainless steel 0.4 mm pada ruang
interproksimal gigi menyilang Erich bar, di bagian lingual/palatal kawat harus berada di bawah garis servik
gigi caranya ditekan dengan luniatscheck (lidah ular). Kedua ujung kawat dijepit dengan arteri clam lurus
ditarik dan diputar searah jarum jam kemudian dipotong dan disisakan ±0,5 cm. Sisa kawat yang sudah
dipilin ditekuk dan disembunyikan disela – sela gigi agar tidak mengiritasi gusi dan mukosa. Kemudian
dites apakah Erich bar tersebut sudah kencang ikatannya.
 Pasien disuruh menutup mulut, kalau oklusi sudah tercapai dengan baik maka Erich bar pada rahang atas
dan bawahlangsung diikat dengan kawat stainless steel melalui kaitannya (hook). Tetapi kalau oklusi belum
tercapai dengan baik dipasang dahulu rubber elastic baru berikutnya diganti dengan kawat jika oklusi sudah
baik.
 Pada perawatan dengan open reduction Erich bar bisa dipasang satu hari sebelum operasi atau bisa juga
bersamaan dengan waktu operasi. Jika langsung dilakukan fiksasi intermaksiler maka harus dipasang pula
nasogastric tube.
 Pemberian obat – obatan: antibiotik, analgetik, vitamin, dll.
 Intruksi pada pasien yang tidak dirawat inap untuk diet lunak atau cair, kebersihan mulut harus selalu
dijaga dengan cara disemprot (spooling) atau berkumur sesring mungkin. Setiap seminggu sekali pasien
diintruksikan untuk kontrol
 Pada minggu keempat atau keenam, dibuat foto panoramik atau foto lainnya pada daerah fraktur sehingga
dapat dilihat proses penyembuhan tulang, jika tulang sudah menyatu dengan baik kawat intermaksiler
dilepas. Pasien diintruksikan untuk melatih sendi dan otot – otot pengunyahannya serta mulai membiasakan
makan makanan yang padat. Satu minggu kemudian Erich bar pada rahang atas dilepas, minggu berikutnya
baru Erich bar rahang bawah.
 Jika terjadi komplikasi berupa gangguan sendi dan otot – otot pengunyahan yang tidak dapat ditanggulangi
dengan latihan sendiri. Pasien diinstruksikan untuk mendapatkan perawatan rehabilitatif di Unit
Rehabilitasi Medis.

7. dislokasi TMJ (penatalksaan)

TMJ disorder adalah suatu gangguan yang sering ditemukan dalam praktek dokter gigi sehari-hari.
Penderita dengan gangguan ini akan merasa tidak nyaman walaupun gangguan ini jarang disertai dengan rasa sakit
yang hebat. Pada zaman modern ini, semakin banyak penyakit yang dihadapi para dokter gigi salah satu diantaranya
yaitu TMJ disorder

Penatalaksanaan Dislokasi TMJ meliputi terapi non bedah & terapi bedah, sesuai dengan indikasinya:

 1.Terapi non bedah : Medikamentosa,Reposisi,Fiksasi & imobilisasi,Perbaikan oklusi gig


 2.Perawatan Dislokasi dgn Prosedur Bedah : Reduksi terbuka,Miotomi otot pteygoideus eksternus,
“Blocking” & Penjangkaran :Menisektomi & Eminektomi,Kondilotomi, Kondilektomi & Menisektomi

Penatalaksanaan dislokasi TMJ (temporomandibular joint) tergantung pada kejadian dislokasi. Pada keadaan akut,
sebaiknya segera dilakukan reposisi secara manual sebelum spasme otot bertambah dalam. Sedangkan pada keadaan
kronisrekurendiperlukantindakan

pembedahan dan non pembedahan lainnya untuk menghindari redislokasi. Prosedur terapi manual merupakan
metode reduksi yang telah lama diperkenalkan. Tahapan penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:

 Jika kemungkinan ada fraktur, perlu dilakukan rontgen foto terlebih dahulu. Jika tidak ada trauma, dapat
dilakukan proses penanganan secara langsung.
 Pasien ditempatkan pada kursi yang tidak bersandaran dan menempel dinding sehingga punggung dan
kepala pasien bersandar pada dinding.
 Sebelum melakukan pertolongan, balut ibu jari dengan kain kasa yang agak tebal untuk mencegah
tergigitnya ibu jari karena setelah berada pada posisi yang benar maka rahang akan mengatup dengan cepat
dan keras. Setelah itu gunakan sarung tangan.
 Posisi operator berada di depan pasien.
 Letakkan ibu jari pada daerah retromolar pad (di belakang gigi molar terakhir) pada kedua sisi mandibula
setinggi siku-siku operator dan jari-jari yang lain memegang permukaan bawah mandibula (A).
 Berikan tekanan pada gigi-gigi molar rahang bawah untuk membebaskan kondilus dari posisi terkunci di
depan eminensia artikulare (B).
 Dorong mandibula ke belakang untuk mengembalikan ke posisi anatominya (C & D).
 Jika tidak mudah untuk direlokasi, operator dapat merujuk untuk dilakukan rontgen foto
 Dapat dilakukan pemberian midazolam intra vena (untuk mengendorkan otot) dan 1-2 ml 1% lidokain
intraarticular (untuk mengurangi nyeri). Injeksi dilakukan pada sisi kiri daerah yang tertekan dari kondilus
yang displacement.
 Pemasangan Barton Head Bandage untuk mencegah relokasi dan menghindari pasien membuka mulut
terlalu lebar dalam 24-48 jam. Pasien juga diinstruksikan untuk diet makanan lunak.
 Pemberian obat berupa analgetik dan pelemas otot (jika perlu)

Pada penatalaksanaan kasus dislokasi TMJ antara lain:

a. Medikamentosa :
Indikasi; mengatasi nyeri & spasme otot yg menyertai dislokasi.
Tidakan ini dilakukan dgn menggunakan obat-obatan, sbb :
- Analgetika : Nyeri hilang, spasme otot hilang, reposisi
Contoh:

- Anti-inflamasi : Radang hilang, nyeri hilang, spasme otot hilang,reposisi spontan.

Contoh:

Tranquilizer : Gangguan emosi diatasi, spasme hilang reposisi. Contoh:

Sedativa : Ketegangan saraf diatasi, spasme hilang, reposisi.

Contoh :

Muscle relaxant : Relaksasi diperoleh, reposisi.

Injeksi anestesi lokal intra artikular/intra muskular pd otot pengunyahan : Mengatasi nyeri & relaksasi otot, reposisi
Injeksi Intra Artikular TMJ
Teknik injeksi intra muscular :

Teknik ini meliputi ke empat otot pendukung sendi temporomandibula, yakni otot-otot : maseter, temporal,
pterigoideus eksternus dan otot pterigoidues internus. Pada teknik ini efek anestesi dicapai setelah 5 menit pasca
injeksi. Jika pada saat injeksi, serat-serat motoris

nervus fasialis ikut teranestesi, maka terjadi kelumpuhan palpebra serta daerah fasial lainnyayang diinervasi oleh
nervus tersebut

A. Teknik injeksi otot maseter :

Jarum diinsersikan sedikit ke sebelah anterior badan otot, menembus otot dalam beberapa sudut dan kedalaman guna
mencapai efek anastesi yg luas,baik di permukaan luar maupun dalam otot mesester. Pada setiap sudut & kedalaman
setelah dilakukan aspirasi, maka secara perlahan–lahan larutan anestesi dideponer secukupnya.

B. Teknik injeksi otot temporal :

Penetrasi jarum dilakukan pada beberapa titik ( diberi tanda x ) di bagian atas arkus zigomatikus, guna mencapai
lebih banyak serabut otot temporal yang teranastesi. Setelah diaspirasi pada kedalaman secukupnya, maka pelahan-
lahan larutan anastesi dideponer secukupnya.

C. Teknik injeksi otot pterigoideus eksternus :

Penetrasi jarum pd daerah insisura mandibula, sedikit kearah superior dan lebih ke arah dalam, dgn kedalaman 35-
40 mm. Setelah aspirasi larutan anastesi dideponer secara perlahan-lahan. Jangan mendeponer larutan anastesi saat
penetrasi jarum ataupun saat jarum ditarik, karena kemungkinan serat-serat motoris nervus fasialis dapat teranestesi

D. Teknik injeksi otot pterigoideus internus :

Lokasi dan cara injeksi hampir serupa sebagaimana pada otot pterigoideus eksternus, hanya arah penetrasi jarum
mengarah ke inferior.
b. Reposisi :

Dilakukan dengan maksud mengembalikan posisi kondilus ke posisi semula, baik secara manual atau dibantu terapi
medikamentosa.

Prosedur reposisi manual menurut Mead

 Reposisi manual menurut Gottlieb


 Reposisi manual menurut Yurino’s
 Reposisi dengan bantuan anestesi menurut Johnson,
 Reposisi manual (Mead&Yurino’s)

c. Fiksasi dan imobilisasi :

Tujuan utama mengistirahatkan sendi selam masa penyembuhan pasca reposisi.

Tujuan lainnya adalah traksi guna memperoleh reposisi kondilus pada dislokasi disertai fraktur kondilus sederhana.

Tindakan ini dapat dilakukan baik secara ekstra oral atau intra oral.

d. Perbaikan oklusi gigi :

Merupakan tindak lanjut dari perawatan dislokasi TMJ.

Tujuan untuk mengeliminasi faktor predisposisi.


Meliputi perbaikang hubungan oklusi antara gigi-gigi rahang atas dengan rahang bawah & perawatan terhadap
maloklusi.

Fiksasi & Imobilisas

Immobilisasi rahang menggunakan Fiksasi intermaksilar


.

Anda mungkin juga menyukai