Anda di halaman 1dari 12

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LAPORAN KASUS
PERAWATAN FRAKTUR AKAR HORIZONTAL: EMPAT
LAPORAN KASUS
Disadur dari:
Kucukyilmaz E, Botsali MS, Keser G. Treatments of horizontal root fractures: four
case reports. J Pediatric Dentistry 2013; 1(1): 19-23.

Disusun oleh:
Raviarasan (130600172)
Sarah Muchfida Harahap (180631052)
Khairun Nisah (180631011)
Annisa Zahra Purba (140600024)
Yuli Kartilla Panjaitan (180631026)

Dosen Pembimbing:
Zulfi Amalia Bachtiar, drg., MDSc.
NIP: 198408282009122007

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2020
Abstrak:

Fraktur akar horizontal merupakan tipe fraktur yang jarang terjadi dibandingkan
dengan jenis cedera lainnya yang dilaporkan dengan prevalensi pada literatur sebesar
0,5% dan 7%. Perawatan dan prognosis fraktur akar tergantung banyaknya variabel,
yang paling penting adalah lamanya waktu terjadinya trauma dan perawatan, tingkat
dislokasi dan mobiliti, lokasi fraktur, kedalaman, tingkat perkembangan akar, usia
pasien, dan kualitas perawatan. Jenis penyembuhan yang ideal adalah penyembuhan
jaringan keras. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk memperlihatkan perbedaan
empat kasus dengan fraktur akar horizontal pada gigi permanen yang belum tertutup
sempurna yang dirawat dengan reposisi dan fiksasi dengan hasil penyembuhan yang
baik. Pasien dirujuk ke klinik dengan keluhan mobiliti pada gigi insisivus sentralis
rahang atas akibat cedera orofasial. Hasil pemeriksaan radiografi, didiagnosa terjadi
fraktur akar horizontal. Gigi dilakukan reposisi dan dilakukan fiksasi. Splint
dipertahankan sekitar 12 minggu. Setelah splint dilepaskan, pasien dijadwalkan untuk
kontrol dengan interval 3 bulan. Setelah dilakukan pemeriksaan kembali dan
radiografi pada kunjungan berikutnya, semua gigi menunjukkan respon yang positif
pada pulpa dan menunjukkan penyembuhan pada fraktur akar. Gigi permanen yang
belum tertutup sempurna menunjukkan gambaran radiografi perkembangan akar yang
masih berlanjut, warna gigi dan mobiliti normal serta tidak ada rasa sakit saat
diobservasi pada saat tes perkusi. Pasien melaporkan tidak ada ketidaknyamanan
dengan giginya. Penggunaan splint tanpa perawatan lebih lanjut ditemukan berhasil
pada perawatan fraktur akar horizontal.

Kata kunci: Fraktur Akar Horizontal, Gigi yang belum Tertutup Sempurna,
Perawatan

Pendahuluan
Fraktur akar umumnya didefenisikan sebagai fraktur yang melibatkan dentin,
email, pulpa dan ligamen periodontal. Dibandingkan dengan trauma gigi lainnya,
fraktur akar relatif jarang terjadi. Prevalensi fraktur akar hanya 0,5-7% pada gigi
permanen dan 2-4% pada gigi desidui.
Pendekatan sistematis dengan pemeriksaan klinis dan radiografi sangat
penting dalam mendiagnosa trauma pada gigi. Pemeriksaan klinis umum yang terjadi
luksasi injuri pada fragmen koronal dan peningkatan mobiliti. Pemeriksaan radiografi
menegaskan diagnosis dan memperlihatkan garis horizontal atau radiolusen yang
memisahkan fragmen koronal tergeser ke apikal. Manajemen klinis fraktur akar
tergantung pada lokasi dan vitalitas pulpa. Pada fragmen koronal yang mengalami
perpindahan maka dilakukan perawatan konservatif dengan mereposisi gigi dan
perbaikan oklusi. Hasil perawatan telah dilaporkan sebesar 80% kasus yang berhasil
dilakukan. Perawatan gigi yang mengalami mobiliti dilakukan segera dalam 1 jam
pasca trauma memberikan hasil yang terbaik. Jika fragmen koronal nonvital atau
terdapat gejala patologis selama kunjungan berikutnya maka perawatan endodonti
harus dilakukan pada apikal dari fragmen koronal. Perawatan lebih lanjut dapat
digunakan splintting intraradikular dan perawatan restorasi.
Penyembuhan fraktur akar dikategorikan menjadi 4 jenis yaitu sebagai
berikut: (I) Pembentukan kalsifikasi jaringan (callus formation); (II) Pembentukan
dari jaringan ikat yang ditandai dengan pembulatan tepi fraktur; (III) Pembentukan
tulang dan jaringan ikat yang secara radiografi ditandai dengan pemisahan dari dua
fragmen; dan (IV) Pembentukan jaringan granulasi yang disebabkan oleh pulpa yang
terinfeksi atau nekrotik.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk menyajikan 4 pasien yang
berbeda yang memiliki fraktur akar horizontal pada gigi permanen yang dirawat
dengan reposisi dan fiksasi dan terjadi penyembuhan sebagai jaringan terkalsifikasi.

Laporan kasus
Kasus 1
Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dirujuk ke Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Selcuk, Departemen Pedodonti dengan keluhan gigi mobiliti dan nyeri
pada gigi insisivus kanan yang merupakan trauma dentoalveolar sekitar 10 hari
sebelumnya. Tidak ada simptom pada ekstraoral. Pada pemeriksaan intraoral tidak
ada perpindahan fragmen koronal tetapi gigi mengalami mobiliti derajat 3.
Pemeriksaan radiografi menunjukkan bahwa gigi insisivus kanan atas belum tertutup
sempurna, pertumbuhan akar masih pada tahap dua pertiga apikal dan apeks masih
terbuka. Fraktur akar horizontal berada pada sepertiga tengah akar (Gambar 1a).
Diagnosa kasus adalah fraktur akar horizontal, dengan perawatan awal yaitu reposisi
segmen koronal dengan tekanan jari dan menggunakan fixed splintting rigid
(diameter kawat 0,7 mm dengan komposit) dengan menggunakan anestesi lokal.
Intruksi menyikat gigi dengan lembut, berkumur dengan larutan antiseptik, diet lunak
dan menghindari mengunyah pada gigi insisivus atas. Splint dipertahankan selama 12
minggu. Pemeriksaan lanjutan dilakukan pada bulan ke- 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan
setelah trauma (Gambar 1b hingga e). Selama periode follow-up tidak ada simptom
patologis yang terlihat, termasuk perubahan warna segmen koronal pada gigi yang
patah, mobiliti, atau respon positif pada tes perkusi.

Gambar 1: (a) Radiografi awal yang menunjukkan fraktur akar horizontal. (b)
Radiografi periapikal gigi setelah 3 bulan. (c) Radiografi follow-up setelah 6 bulan.
(d) Radiografi follow-up setelah 1 tahun (e) Radiografi follow-up setelah 2 tahun.
Kasus 2
Seorang anak perempuan berusia 8 tahun datang ke klinik mengalami trauma pada
gigi insisivus sentralis kiri rahang atas. Pasien mengalami trauma rahang atas akibat
jatuh yang terjadi 1 jam sebelumnya. Tidak ada simptom pada pemeriksaan ekstra
oral tetapi pada gigi insisivus lateralis kiri rahang atas mengalami mobiliti derajat 2
dan terdapat sensitivitas terhadap pemeriksaan intra oral. Perkembangan akar dan
foramen apikal sudah sempurna dan terjadi fraktur akar horizontal pada sepertiga
tengah akar (Gambar 2a). Anastesi lokal diberikan kemudian gigi direposisi
menggunakan tekanan jari dan difiksasi menggunakan splint rigid (stainless steel
wire 0,7 mm dan komposit) selama 12 minggu. Pasien datang kontrol kembali sesuai
dengan jadwal. Tidak ada gejala patologis saat dilakukan kontrol 1 tahun.

Kasus 3
Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dirujuk ke klinik setelah mengalami trauma
pada gigi insisivus kiri rahang atas sekitar 1 jam sebelumnya. Gigi mobiliti derajat 2
dan nyeri pada saat test perkusi dan palpasi. Gambaran radiografi periapikal,
pembentukan ujung akar hampir sempurna tetapi dengan foramen apikal terbuka, dan
terlihat adanya fraktur akar horizontal (gambar 3a). Lokasi fraktur berada pada
sepertiga apikal akar. Perawatan awal dengan memberikan anestesi lokal. Pada
kontrol setelah 6 bulan, terlihat deposisi jaringan terkalsifikasi pada garis fraktur akar.

Kasus 4
Seorang anak perempuan berusia 8 tahun datang ke klinik dengan keluhan sakit pada
gigi anterior kanan rahang atas yang disebabkan karena trauma 2 jam sebelumnya.
Selama pemeriksaan intra oral, terdapat mobiliti derajat 2 dan terjadi perdarahan pada
gingiva. Pemeriksaan radiografi menunjukkan fraktur akar horizontal pada sepertiga
tengah akar dengan pertumbuhan dua pertiga apikal akar dan apeks masih terbuka
(Gambar 4a). Setelah dilakukan splintting dan reposisi gigi selama 12 minggu, pasien
diobservasi kembali secara klinis dan radiografi sampai 24 bulan (Gambar 4b-e).
Semua gigi menunjukkan respon positif terhadap tes pulpa elektrik dan
termal dan menunjukkan warna dan mobiliti yang normal dan tidak ada rasa sakit
pada test perkusi horizontal dan vertikal. Dalam setiap kasus, pemeriksaan klinis dan
radiografi memperlihatkan proses penyembuhan pasien tetap di follow-up.
Diskusi
Langkah pertama perawatan kasus fraktur akar horizontal adalah diagnosis
yang akurat. Evaluasi radiografi dibutuhkan untuk mengetahui fraktur tersebut
merupakan fraktur akar.

Gambar 2: (a) Radiografi periapikal awal pada kasus. (b) Radiografi periapikal gigi
setelah 3 bulan. (c) Radiografi setelah 6 bulan. (d) Radiografi setelah 12 bulan.

Gambar 3: (a) Radiografi awal menunjukkan fraktur akar horizontal pada seperti
apikal akar pada gigi insisivus kiri. (b) Evaluasi radiografi pada bulan ketiga.
(c) Evaluasi radiografi pada 6 bulan.

Lebih dari satu gambaran radiografi dibutuhkan untuk mendeteksi semua fraktur akar.
Andreasen et al. menunjukkan jika angulasi diarahkan dalam kisaran maksimum 15-
20o terhadap bidang fraktur maka fraktur akar akan terlihat secara jelas. Pada waktu
bersamaan, lokasi fraktur dapat mempengaruhi paparan radiografi. Fraktur apikal atau
sepertiga tengah mengikuti kedalaman ke arah insisal. Namun sepertiga servikal lebih
cenderung horizontal. Hal ini, pengambilan paling sedikit dua gambaran radiografi
periapikal.
Klasifikasi fraktur akar horizontal berdasarkan lokasi garis fraktur
(sepertiga apikal, sepertiga tengah atau sepertiga servikal) secara radiografi dan pada
derajat dislokasi fragmen koronal. Fraktur akar horizontal yang berada di sepertiga
tengah atau apikal akar akan memperlihatkan prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan fraktur di sepertiga servikal akar. Fraktur sepertiga servikal penyembuhannya
bergantung pada kedekatan fraktur dengan sulkus gingiva, sehingga kemungkinan
terjadi kontaminasi. Tiga dari kasus ini memilki fraktur akar horizontal pada sepertiga
tengah dan kasus lainnya mengalami fraktur sepertiga apikal. Selama periode pada
kunjungan berikutnya, semua kasus menunjukkan prognosis yang menguntungkan.
Jenis splint merupakan faktor yang masih diperdebatkan dalam perawatan
fraktur akar. Andreasen et al. menyatakan bahwa jenis splint tampaknya tidak
memiliki hubungan dengan hasil penyembuhan. Pada kasus ini, untuk membuat gigi
menjadi tidak mobiliti digunakan splint rigid dengan kawat ortodonti diameter 0,7
mm dan komposit untuk memperoleh mobiliti fisiologi. Stabilitas fraktur gigi
menggunakan splint selama 3-4 minggu direkomendasikan. Namun, menurut lokasi
fraktur akar, perkembangan akar, derajat mobiliti gigi, splint digunakan dalam
beberapa periode waktu. Studi retrospektif pada sampel 208 gigi dengan fraktur gigi
intra-alveolar ditemukan efek yang signifikan dari durasi dan tipe splintting dalam
penyembuhan fraktur. Pasien dengan mobiliti pada semua gigi yang trauma pada
akhir bulan kedua; oleh karena itu durasi yang cukup lama dari pemakaian alat
dianggap aman untuk penyembuhan. Setelah 10-12 minggu dilaporkan tidak ada
mobiliti, tidak ada gejala fisiologis dan respon vitalitas gigi di observasi.
Keberhasilan perawatan dan jenis penyembuhan berhubungan dengan usia,
derajat perkembangan akar, diastasis fragmen terutama derajat dislokasi fragmen
koronal dan kondisi pulpa.
Gambar 4: (a) Radiografi periapikal menunjukkan fraktur akar horizontal pada
sepertiga tengah gigi insisivus kanan rahang atas.(b) Radiografi periapikal pada bulan
ketiga setelah mengalami trauma. (c) Radiografi periapikal pada bulan keenam
setelah mengalami trauma. (d) Radiografi periapikal setelah 1 tahun. (e) Radiografi
periapikal setelah 2 tahun.

Setelah perawatan awal fraktur akar, jenis penyembuhan dapat dibagi menjadi lima
kelompok: (1) penyembuhan fraktur, (2) nekrosis pulpa, (3) kalsifikasi atau obliterasi
saluran akar, (4) resorpsi dan (5) tidak terjadi penyembuhan fraktur. Hasil ideal dari
fraktur akar horizontal adalah penyembuhan fraktur dengan interposisi dari kalsifikasi
jaringan. Jenis penyembuhan ini, pulpa yang mengalami trauma harus utuh dan
fragmen koronal tidak boleh dislokasi. Hal ini, pulpa tetap vital dan mobiliti gigi
dalam batas fisiologis tertentu. Pada kasus ini, penyembuhan pulpa dan pembentukan
jaringan keras juga diobservasi.
Nekrosis pulpa relatif jarang terjadi (20-44%) pada sepertiga apikal atau
sepertiga tengah. Lebar foramen yang belum tertutup sempurna yang mengalami
trauma gigi mempengaruhi kelangsungan hidup pulpa. Banyak informasi tentang
penyembuhan fraktur akar tanpa perawatan endodonti. Pemeriksaan klinis dan
radiografi pada pasien tidak menunjukkan perpindahan yang jelas dan apeks akar
belum bertutup; semua kondisi ini mendukung penyembuhan jaringan keras pada
segmen fraktur. Menentukan vitalitas gigi yang fraktur, observasi dilakukan selama
lebih dari satu tahun. Perawatan endodonti tidak dilakukan setelah perawatan awal.
Kenyataannya perawatan saluran akar tidak diperlukan saat follow-up. Pemeriksaan
radiografi saat kunjungan berkala, semua gigi menunjukkan respon positif terhadap
tes pulpa elektrik menunjukkan perbaikan fraktur akar. Pemeriksaan radiografi pada
kunjungan berikutnya menunjukkan terjadi pengembangan akar pada gigi yang belum
tertutup sempurna, warna gigi normal, tidak ada mobiliti dan rasa sakit saat
diobservasi tes perkusi horizontal dan vertikal. Pasien melaporkan tidak ada
ketidaknyamanan yang terjadi pada gigi. Kasus-kasus ini menunjukkan hasil yang
menguntungkan menggunakan teknik ini, terjadi penyembuhan jaringan keras, pulpa
tetap vital, dan terjadi perkembangan akar. Pendekatan konservatif harus dilakukan
sebelum melakukan perawatan saluran akar.

Kesimpulan
Kesimpulan ini menunjukkan bahwa fraktur akar secara spontan dapat
disembuhkan jika vitalitas pulpa tetap dipertahankan. Penggunaan splint tanpa
perawatan lebih lanjut dinyatakan berhasil pada pewrawatan fraktur akar horizontal.
Kunjungan berkala pasien yang trauma penting dilakukan karena perubahan patologis
dapat terjadi pada beberapa orang dalam beberapa tahun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakland LK, Andreasen JO. Dental traumatology: essential diagnosis and


treatment planning. Endod Topics 2004;7:14‑34.
2. Caliskan MK, Pehlivan Y. Prognosis of root‑fractured permanent incisors. Endod
Dent Traumatol 1996;12:129‑36.
3. Molina JR, Vann WF Jr, McIntyre JD, Trope M, Lee JY. Root fractures in
children and adolescents: diagnostic considerations. Dent Traumatol.
2008;24:503‑9.
4. Flores MT, Andersson L, Andreasen JO, Bakland LK, Malmgren B, Barnett F, et
al. Guidelines for the management of traumatic dental injuries. I. Fractures and
luxations of permanent teeth. Dental Traumatol 2007;23:66‑71.
5. Andreasen JO, Hjorting‑Hansen E. Intra‑alveolar root fractures: Radiographic
and histologic study of 50 cases. J Oral Surg 1967;25:414‑26.
6. Özbek M, Serper A, Calt S. Repair of untreated horizontal root fracture: A case
report. Dent Traumatol 2003;19:296‑7.
7. Birch R, Rock WB. The incidence of complications following root fractures in
permanent anterior teeth. Br Dent J 1986;160:119‑22.
8. Hovland EJ. Horizontal root fractures. Treatment and repair. Dent Clin North Am
1992;36:509‑25.
9. Hargreaves JA. The traumatized tooth. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
1972;34:503‑15.
10. Trope M, Maltz DO, Tronstad L. Resistance to fracture of restored endodontically
treated teeth. Endod Dent Traumatol 1985;1:108‑11.
11. Cheung SP, Walker RT. Root fractores: A case of dental nonintervention. Endod
Dent Traumatol 1988;4:186‑8.
12. Andreasen JO, Andreasen FM, editors. Root fractures. In: Textbook and color
atlas of traumatic injuries to the teeth, 3rd ed. Copenhagen: Munksgaard; 1994. p.
79‑314.
13. Andreasen JO, Andreasen FM, Andersson L. Root fractures. In: Textbook and
color atlas of traumatic injuries to the teeth, 4th ed. Blackwell Munksgaard; 2007.
p. 338‑40.
14. Zachrinsson BU, Jacobsen I. Long‑term prognosis of 66 permanent anterior teeth
with root fractures. Scand J Dent Res 1975;83:345‑54.
15. Bender IB, Freedland JB. Clinical considerations in the diagnosis and treatment
of intra‑alveolar root fractures. J Am Dent Assoc 1983;107:595‑600.
16. Andreasen JO, Andreasen FM, Mejàre I, Cvek M. Healing of 400 intra‑alveolar
root fractures. 2. Effect of treatment factors such as treatment delay,
repositioning, splinting type and period and antibiotics. Dent Traumatol
2004;20:4:203‑11.
17. Flores MT, Andersson L, Andreasen JO, Bakland LK, Malmgren B, Barnett F,et
al. Guidelines for the management of traumatic dental injuries. I. Fractures and
luxations of permanent teeth. Dent Traumatol 2007;23:66‑71.
18. Kindelan SA, Kindelan JD, Spencer JR, Duggal MS Dental trauma: An overview
of its influenceon the management of orthodontic treatment. Part 1. J Orthod
2008;35:68‑78.
19. Deshpande A, Deshpande N. Flexible wire composite splinting for root fracture
of immature permanent incisors: A case report. Pediatr Dent 2011;33:63‑6.
20. Cvek M, Andreasen JO, Borum MK, Healing of 208 intra‑alveoler root fractures
in patients aged 7‑17 years. Dent Traumatol 2001;17:53‑62.
21. Mata E, Gross MA, Koren LZ. Divergent types of repair associated with root
fractures in maxillary incisors. Endod Dent Traumatol 1985;1:150‑3.
22. Jacobsen I. Root fracture in permanent anterior teeth with incomplete root
formation. Scand J Dent Res 1976;84:210‑7.
23. Tziafas D, Margelos I. Repair of untreated root fracture: A case report. Endod
Dent Traumatol 1993;9:40‑3.
24. Caliskan MK, Pehlivan Y. Prognosis of root‑fractured permanent incisors. Endod
Dent Traumatol 1996;2:129‑36.
25. FitzGerald LJ. Treatment of intra‑alveoler root fractures. General Dent
1988;36:412‑13

Anda mungkin juga menyukai