Anda di halaman 1dari 40

PERAWATAN SALURAN AKAR GIGI NON VITAL

Skenario
Seorang wanita (22 tahun) yang berrofesi sebagai lawyer, datang ke RSGMP
Unsoed dengan keluhan gigi depan atasnya yang berubah warna menjadi kehitaman.
Sekitar 2 bulan yang lalu gigi terasa sakit dan muncul sedikit bengkak. Saat ini gigi
tidak terasa sakit. Pasien terakhir kali datang ke dokter gigi 2,5 tahun yang lalu untuk
menambalkan gigi tersebut. pada pemeriksaan intraoral terlihat tumpatan komposit
klas IV (G.V Black) sisi distal pada gigi 11/12 yang dikeluhkan dengan tepi tumpatan
yang mulai menghitam. Gigi tersebut berwarna gelap dibandingkan gigi lainnya.
Perabaan pada area mukosa gingiva gigi 11/12 ditemukan adanya parulis pada mukosa
labial bagian apikal gigi tersebut. perkusi terasa agak sakit. Pasien tidak merasakan
ngilu saat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan Chlor Ethyl (CE). Pasien ingin
giginya segera dirawat dengan perawatan yang terbaik.

A. Cara diagnosis pasien


1. Identitas pasien : nama, usia, alamat.
Identitas pasien yang terdapat dalam kasus adalah seorang wanita dengan usia
22 tahun.
2. Pemeriksaan subjektif :
a. Chief Complaint : gigi depan atas berubah warna menjadi kehitaman.
Pasien ingin giginya segera dirawat dengan perawatan yang terbaik.
b. Present Illness : sekitar 2 bulan yang lalu gigi pernah terasa sakit dan
muncul bengkak sedikit. Saat ini gigi tidak terasa sakit.
c. Past Medical History : T.A.K.
d. Past Dental History : pasien terakhir kali datang ke dokter gigi 2,5 tahun
yang lalu untuk menambalkan gigi tersebut.
e. Family History : T.A.K.
f. Social History : lawyer.

1
3. Pemeriksaan objektif pada intraoral :
a. Inspeksi : terlihat tumpatan komposit klas IV (GV. Black) sisi distal pada
gigi 11/12 dengan tepi tumpatan yang mulai berwarna menghitam. Gigi
tersebut berwaran lebih gelap dibandingkan gigi lainnya.
b. Palpasi : pada mukosa giginya gigi 11/21 ditemukan adanya parulis pada
mukosa labial bagian apikal gigi 11/21.
c. Perkusi : positif (+)
d. Tes vitalitas : thermal dingin menggunakan Chlor Ethyl, negatif (-).
4. Pemerikasaan penunjang : Radiografi periapikal

B. Diagnosis pasien
Berdasarkan hasil pemeriksaan subjektif dan objektif, dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami nekrosis pulpa, karena pasien mengalami perubahan
warna pada gigi 11/21 menjadi lebih gelap dibandingkan gigi lainnya, pemeriksaan
vitalitas negatif, dan perkusi terasa agak sakit. Pulpa nekrosis adalah matinya pulpa
baik sebagian atau seluruhnya yang dapat terjadi karena inflamasi maupun
rangsangan traumatik. Penyebab nekrosis adalah bakteri, trauma, iritasi bahan
restorasi maupun inflamasi dari pulpa yang berlanjut. Pada beberapa kasus, gigi
nekrotik diawali dengan riwayat sakit yang berangsur-angsur menjadi nekrosis
dengan pulpa nekrotik tidak selalu menimbulkan gejala rasa sakit (Annusavice,
2003). Adanya perubahan warna gigi menjadi keabu-abuan atau kecoklatan
seringkali merupakan indikasi kematian pulpa. Apabila ada rangsang panas gigi
nekrosis akan terasa sakit karena terjadi pemuaian gas yang akan menekan ujung
saraf jaringan vital yang ada disekitarnya, sedangkan dengan rangsang dingin
(Chlor Ethyl) dan stimulasi elektrik pada gigi dengan pulpa nekrotik biasanya tidak
menimbulkan respon (Wwalton dan Torabinejad, 2008).

C. Klasifikasi karies pasien

2
1. Klasifikasi karies menurut G.V. Black terdiri atas enam kelas yaitu (Haesman,
2006 dalam Anggraini, 2016):

a. Kelas I. Karies yang terjadi pada bagian oklusal (pit dan fissure) gigi
posterior yaitu gigi premolar dan molar dan dapat juga terdapat pada gigi
anterior di foramen caecum.
b. Kelas II. Karies yang terdapat pada bagian approximal (mesial dan distal)
dari gigi posterior yang umumnya meluas sampai bagian oklusal.
c. Kelas III. Karies yang terdapat pada bagian approximal dari gigi anterior,
tetapi belum mencapai incisal edge gigi.
d. Kelas IV. Karies pada bagian approximal gigi anterior dan sudah
mencapai incisal edge gigi.
e. Kelas V. Karies yang terdapat pada 1/3 cervical dari permukaan
buccal/labial atau lingual palatinal dari seluruh gigi-geligi.
f. Kelas VI. Karies yang terdapat pada incisal edge gigi anterior dan cusp
oklusal pada gigi posterior yang disebabkan oleh abrasi, atrisi atau erosi.

Berdasarkan kasus disebutkan bahwa pada pemeriksaan intraoral terlihat


tumpatan komposit klas IV (GV. Black) sisi distal pada gigi 11/12 dengan tepi
tumpatan yang mulai berwarna menghitam. Sehingga karies pada kasus
tersebut termasuk klasifikasi karies GV Black Kelas IV.

3
2. Klasifikasi karies menurut ICDAS (International Caries Detection and
Assessment System) (Saputra, 2013):

a. D0 : Permukaan tampak normal, tidak terdapat karies.


b. D1 : Perubahan awal pada email yang tampak secara visual. Biasa dilihat
dengan cara mengeringkan permukaan gigi, dan tampak adanya lesi putih
di gigi tersebut.
c. D2 : Perubahan pada email yang jelas tampak secara visual. Terlihat lesi
putih pada gigi walaupun gigi masih dalam keadaan basah.
d. D3 : Kerusakan email tanpa keterlibatan dentin (karies email).
e. D4 : Terdapat bayangan gelap dari dentin dengan atau tanpa kerusakan
email. Karies pada tahap ini sudah menuju dentin, berada pada perbatasan
dentin dan email (dentino-enamel junction).
f. D5 : Kavitas karies yang tampak jelas dan juga terlihatnya dentin (karies
sudah mencapai dentin) yang melibatkan kurang dari setengah permukaan
gigi.

4
g. D6 : Karies dentin yang sudah sangat meluas, melibatkan pulpa dan lebih
dari setengah gigi.

Berdasarkan kasus tersebut dijelaskan bahwa terlihat tumpatan komposit klas


IV (GV. Black) sisi distal pada gigi 11/12 dengan tepi tumpatan yang mulai
berwarna menghitam, sehingga termasuk dalam klasifikasi ICDAS D6 karena
karies sudah mencapai pulpa yang menyebabkan gigi berubah warna menjadi
lebih gelap dari gigi sebelumnya.

3. Klasifikasi karies menurut G.J Mount and WR.Hume (Graham, 2009):


a. Berdasarkan site (lokasi):
1) Site 1 : karies terletak pada pit dan fissure.
2) Site 2 : karies terletak di area kontak gigi (proksimal), baik anterior
maupun posterior.
3) Site 3 : karies terletak di daerah servikal, termasuk enamel/permukaan
akar yang terbuka.
b. Berdasarkan size (ukuran):
1) Size 0 : Lesi dini. Perawatan dengan mengeliminasi penyebab dan
tidak memerlukan perawatan lanjutan.
2) Size 1 : Karies minimal, belum melibatkan dentin. Perawatan dengan
remineralisasi dan dapat digunakan bahan restorasi untuk mencegah
akumulasi plak lanjutan.
3) Size 2 : Terdapat keterlibatan dentin. Perawatan dengan preparasi
kavitas dimana gigi tersebut masih kuat untuk mendukung.
4) Size 3 : Karies yang berukuran lebih besar, sehingga preparasi kavitas
di perluas agar restorasi dapat digunakan untuk melindungi struktur
gigi yang tersisa dari retak/patah.
5) Size 4 : Karies yang luas dan sudah terjadi kehilangan sebagian besar
struktur gigi seperti cups/sudut insisal.

5
Berdasarkan kasus, karies pada kasus menurut klasifikasi G.J. Mount
termasuk kedalam karies #2.3 karena karies terjadi pada area proksimal gigi
anterior dan karies sudah mencapai pulpa.

4. Klasifikasi karies berdasarkan kedalamannya (Istiqomah, dkk., 2016):

a. Karies Superfisial : Karies mengenai email, belum mencapai dentin.


b. Karies Media : Karies telah mencapai dentin, namun belum melebihi
setengah dentin.
c. Karies Profunda : Karies telah mencapai lebih dari setengah dentin dan
terkadang sudah mencapai pulpa.

Berdasarkan kasus, karies pada kasus menurut kedalamannya termasuk


kedalam karies profunda karena karies telah mencapai lebih dari setengah
dentin dan sudah mencapai pulpa.

5. Klasifikasi karies menurut WHO (Tarigan, 2014):

a. D1 : Secara klinis dideteksi lesi email.


b. D2 : Kavitas pada email.
c. D3 : Kavitas mengenai dentin.
d. D4 : Lesi meluas ke pulpa.

Berdasarkan kasus, karies pada kasus menurut WHO termasuk kedalam D4


karena adanya parulis pada mukosa labial bagian apikal gigi.

D. Rencana perawatan pasien


Rencana perawatan pada kasus tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pembongkaran tumpatan sebelumnya
2. Melakukan rewalling pada mahkota gigi 11/21
3. Perawatan Saluran Akar non vital
4. Radiografi periapikal

E. Tahapan kerja pasien

6
1. Isolasi Daerah Kerja
Isolasi daerah kerja kerja yaitu gigi 11/21 menggunakan rubber dam. Rubber
dam merupakan isolator berbahan dasar karet dan silikon tipis yang dgunakan
untuk mengisolasi gigi selama perawatan.

2. Access Opening
Access opening bertujuan untuk memperoleh akses yang lurus. Preparasi akses
meliputi pembukaan akses agar instrumen dapat masuk ke orifice dengan
mudah. Access opening sebagai tahapan awal dalam melakukan perawatan
saluran akar yaitu pembukaan akses jalan masuk benar ke kamar pulpa yang
menghasilkan penetrasi garis lurus ke orifice saluran akar. Pembukaan atap
ruang pulpa diteruskan menggunakan round bur sampai akses masuk ke orifice
melebar dan terbuka sempurna.

(Sumber: Widyawati, 2016, Buku Petunjuk


Praktikum Pre-Klinik Endodontik, Bagian

7
Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Baiturahman, Padang)

Tahapan access opening :

a. Preparasi akses dilakukan tepat ditengah permukaan palatal gigi 12/22


diatas singulum berbentuk segitiga membulat menggunakan endo access
bur atau round bur dengan arah tegak lurus dengan sumbu gigi sedalam 2-
3 mm.
b. Posisikan bur sejajar dengan sumbu gigi 11/21 hingga menembus atap
pulpa. Seluruh atap pulpa dihilangkan dengan menarik endo access bur dari
arah kamar pulpa ke arah insisal.
c. Periksa atap pulpa mengunakan sonde lurus untuk mengetahui apakah
seluruh atap pulpa sudah dihilangkan atau masih terdapat sisa atap pulpa
yang belum hilang. Apabila terdapat sudut- sudut yang tajam pada dinding
kavitas, dapat dirapikan menggunakan bur fissure.

3. Pengambilan Jaringan Pulpa


Lakukan eksplorasi untuk menemukan jalan masuk ke saluran akar melalui
orifice dengan menggunkaan jarum Miller/ smooth broach/ eksplorer.
Kemudian, lakukan ekstirpasi pada jalan masuk saluran akar yang bertujuan
untuk membuang jaringan pulpa pada saluran akar dengan menggunakan
barbed broach atau jarum ekstirpasi. Pengambilan jaringan pulpa dilakukan
dengan cara memasukan jarum ekstirpasi sedalam 2/3 panjang saluran akar
kemudian diputar 180o searah jarum jam lalu diputar berlawan arah dan di tarik
keluar. Langkah ekstirpasi ini dapat dilakukan berulang sampai dirasa jaringan
pulpa telah terambil seluruhnya.

4. Negosiasi Saluran Akar

8
Negosiasi saluran akar juga disebut dengan menentukan glide path. Hal ini
dilakukan untuk memahami mengenai bentuk saluran akar gigi yang akan
dilakukan PSA dan memastikan bahwa file dapat masuk kedalam saluran akar
tanpa adanya hambatan. Negosiasi saluran akar dapat dilakukan dengan
menggunakan file yang memiliki nomor kecil (6/8/10) pada saluran akar
(Torabinejad, 2009).

5. Pengukuran Panjang Kerja (Working length)


Panjang kerja merupakan jarak dari titik referensi pada bagian mahkota gigi
sampai titik yang teridentifikasi pada bagian apikal akar. Pengukuran panjang
kerja dapat dilakukan dengan 2 cara yakni sebagai berikut :
a. Radiografi
1) Langsung
a) Mengukur panjang gigi awal pada radiograf diagnostik (radiograf
preoperatif) pasien, yaitu dari foramen apikal sampai ke titik
referensi.
b) Panjang gigi awal pada radiografi kemudian dikurangi 1 mm. Hal
ini dilakukan sebagai pengaman apabila foto radiografi ini terjadi
distorsi.
c) Ukur instrumen (file/reamer) yang akan digunakan untuk mengukur
panjang kerja dan diberi batas atau tanda menggunakan stopper
d) Instrumen tersebut dimasukan ke dalam saluran akar sesuai dengan
panjang kerjanya
e) Lakukan foto radiografi lagi dengan instrumen (file/reamer) tetap
pada saluran akar gigi
f) Ukur selisih ujung instrumen dengan foramen apikal pada hasil
radiografi. Hasil selisih ini dijumlahkan dengan hasil pengukuran
panjang gigi sebelumnya. Hasil penjumlahan ini merupakan
panjang gigi sebenarnya. Panjang kerja = panjang gigi sebenarnya
– 1 m.

9
2) Perbandingan (menggunakan rumus)
a) Masukkan file berukuran 6/8/10 pada saluran akar gigi dan berikan
tanda berupa stopper pada titik referensi gigi
b) Lakukan foto radiografi pada gigi tersebut, kemudian ukur panjang
gigi pada foto (PGF) dan panjang alat pada foto (PAF)
menggunakan penggaris biasa. Sementara pengukuran panjang alat
sebenarnya (file diukur dari ujung file sampai dengan stopper)
menggunakan penggaris endodontic.
c) Lakukan perhitungan perbandingan untuk menentukan panjang
kerja dengan rumus
𝑃𝐺𝑆 𝑥 𝑃𝐴𝑆
PGS = 𝑃𝐴𝐹

Panjang kerja = PGS – 1


Keterangan :
PGS = panjang gigi sebenarnya
PGF = panjang gigi pada foto
PAS = panjang alat sebenarnya
PAF = panjang alat ada foto (Pasril, 2017).

b. Elektrik
Pengukuran panjang kerja dengan alat elektrik yakni menggunakan alat root
canal meter / apex locater. Alat ini memiliki beberapa keuntungan,
diantaranya :
1) Mempersingkat waktu perawatan.
2) Mengurangi dosis radiasi apabila dibandingkan dengan cara radiografi.
3) Dapat mendeteksi adanya perforasi.
Langkah kerja apex locator :
1) Irigasi saluran akar dengan NaOCl dan keringkan dengan paper point.
2) File dimasukkan ke saluran akar sampai layar pengukuran EAL terbaca
0 mm pada apeks. Indikator apeks sudah tercapai, apabila nada sudah
dapat terdengar.

10
3) File dikunci posisinya dan panjang kerja ditentukan dengan mengurangi
EAL dengan 0,5 atau 1 mm (EAL – 0.5 atau 1 mm) (Miletic, dkk.,
2011).

6. Cleaning and Shaping


a. Preparasi saluran akar
1) Teknik Konvensional
Teknik konvensional yaitu teknik preparasi saluran akar yang
dilakukan pada gigi dengan saluran akar lurus dan akar telah tumbuh
sempurna. Preparasi saluran akar pada teknik konvensional
menggunakan file tipe K-flex dengan gerakan alat diputar dan ditarik.
Sebelum preparasi stopper file terlebih dahulu harus dipasang sesuai
dengan panjang kerja gigi. Stopper dipasang pada jarum preparasi
setinggi puncak tertinggi bidang insisal. Stopper digunakan sebagai
tanda batas preparasi saluran akar. Preparasi saluran akar dengan file
dimulai dari nomor yang terkecil hingga lebih besar dengan panjang
kerja tetap sama untuk mencegah terjadinya step atau ledge atau
terdorongnya jaringan nekrotik ke apikal.
Selama preparasi setiap penggantian nomor jarum preparasi ke
nomor yang lebih besar harus dilakukan irigasi pada saluran akar. Hal
ini bertujuan untuk membersihkan sisa jaringan nekrotik maupun
serbuk dentin yang terasah. Irigasi harus dilakukan secara bergantian
antara H2O2 3% dan aquadest steril, bahan irigasi terakhir yang dipakai
adalah aquadest steril. Bila terjadi penyumbatan pada saluran akar
maka preparasi diulang dengan menggunakan jarum preparasi yang
lebih kecil dan dilakukan irigasi lain. Bila masih ada penyumbatan
maka saluran akar dapat diberi larutan untuk mengatasi penyumbatan
yaitu larutan largal, EDTA, atau glyde (pilih salah satu). Preparasi
saluran akar dianggap selesai bila bagian dari dentin yang terinfeksi

11
telah terambil dan saluran akar cukup lebar untuk tahap pengisian
saluran akar.
2) Teknik Step Back
Yaitu teknik preparasi saluran akar yang dilakukan pada saluran akar
yang bengkok dan sempit pada 1/3 apikal. Pada teknik preparasi ini
tidak dapat digunakan jarum reamer karena saluran akar bengkok
sehingga preparasi saluran akar harus dengan pull and push motion, dan
tidak dapat dengan gerakan berputar. Oleh karena itu, dapat
menggunakan file tipe K-Flex atau NiTi file yang lebih fleksibel atau
lentur. Preparasi saluran akar dengan jarum dimulai dari nomor
terkecil:
No. 15 s/d 25 = sesuai panjang kerja
File No. 25 : Master Apical File (MAF)
No. 30 = panjang kerja – 1 mm MAF
No. 35 = panjang kerja – 2 mm MAF
No. 40 = panjang kerja – 3 mm MAF
No. 45 = panjang kerja – 4 mm MAF, dst
Setiap pergantian jarum file perlu dilakukan pengontrolan panjang
kerja dengan file no. 25, untuk mencegah terjadinya penyumbatan
saluran akar karena serbuk dentin yang terasah. Preparasi selesai bila
bagian dentin yang terinfeksi telah terambil dan saluran akar cukup
lebar untuk dilakukan pengisian. Adapun kelebihan teknik preparasi
ini adalah:
a) Tidak begitu mudah menyebabkan trauma periapikal.
b) memudahkan pengambilan lebih banyak debris.
c) Flare lebih besar yang dihasilkan instrumentasi memudahkan
pemampatan kerucut gutta-perca yang ditambahkan baik dengan
metode kondensasi lateral maupun kondensasi vertikal.
d) perkembangan suatu matriks apikal atau stop mencegah
penumpatan berlebih saluran akar.

12
e) Tekanan kondensasi lebih besar dapat digunakan yang sering
digunakan untuk mengisi saluran lateral dengan bahan penutup.

kekurangan teknik preparasi ini adalah:


a) Pada akar yang sempit instrument tersendat dan mudah patah.
b) Kebersihan daerah apical dengan irigasi sulit dicapai
c) Resiko terdorongnya debris kearah periapikal
d) Prosedur peralatan membutuhkan waktu lama
e) Membutuhkan banyak peralatan

3) Teknik Balance Force


Menggunakan alat preparasi file tipe R- Flex atau NiTi Flex
Menggunakan file no. 10 dengan gerakan steam wending, yaitu file
diputar searah jarum jam diikuti gerakan setengah putaran berlawanan
jarum jam. Preparasi sampai dengan no. 35 sesuai panjang kerja. Pada
2/3 koronal dilakukan preparasi dengan Gates Glidden Drill (GGD).
a) GGD #2 = sepanjang 3 mm dari foramen apical
b) GGD #3 = sepanjang GGD #2 – 2 mm
c) GGD #4 = sepanjang GGD #3 – 2 mm
d) GGD #5 = sepanjang GGD #4 – 2 mm
e) GGD #6 = sepanjang GGD #5 – 2 mm
Preparasi dilanjutkan dengan file no. 40 s/d no.45 dan dilakukan
irigasi. Keuntungan teknik balance force :
a) Hasil preparasi dapat mempertahankan bentuk semula
b) Mencegah terjadinya ledge dan perforasi
c) Mencegah pecahnya dinding saluran akar
d) Mencegah terdorongnya kotoran keluar apeks

4) Teknik Crown Down Presureless

13
Teknik ini disebut juga dengan teknik step down, merupakan
modifikasi dari teknik step back. Menghasilkan hasil yang serupa yakni
seperti corong yang lebar dengan apeks yang kecil (tirus). Bermanfaat
pada saluran akar yang kecil dan bengkok di molar RA dan RB. Saluran
akar sedapat mungkin dibersihkan dengan baik sebelum instrument
ditempatkan di daerah apeks sehingga kemungkinan terjadinya
ekstruksi dentin ke jaringan periapeks dapat dikurangi. Menggunakan
instrument nikel-titanium, baik yang genggam maupun digerakkan
mesin. Keuntungan teknik crown-down:
a) Membuang penyempitan servikal
b) Akses ke apical lurus
c) Instrumentasi apical efisien
d) Irigasi mudah
e) Pengeluaran debris mudah
f) Mencegah debris terdorong ke arah apeks
g) Instrumen yang digunakan lebih sedikit
h) Waktu lebih cepat
i) Preparasi menghasilkan taper lebih besar
Keuntungan teknik crown-down dengan alat putar (rotary
instrument):
a) Menggunakan sedikit peralatan/instrument
b) Waktu perataan lebih cepat
c) Tidak menggunakan jari sehingga kelelahan berkurang
d) Reparasi bentuk taper lebih lebar sehingga bentuk saluran lebih
baik
e) Obturasi lebih mudah
f) Keberhasilan peralatan lebih mudah dicapai
Pada kasus ini menggunakan teknik preparasi step back, agar bisa
mempertahankan ukuran foramen apical dan tidak mudah menyebabkan

14
trauma periapikal, memudahkan pengambilan lebih banyak debris, dan
mencegah penumpatan berlebih saluran akar.

b. Irigasi saluran akar


Irigasi saluran akar merupakan tahapan penting dalam menunjang
keberhasilan perawatan saluran akar, karena irigasi memudahkan
pengeluaran jaringan nekrotik, mikroorganisme dan serpihan dentin dari
saluran akar terinfeksi dengan aksi bilasan larutan irigasi. Selain itu, larutan
irigasi dapat membilas dan melarutkan timbunan endapan jaringan keras
atau lunak terinfeksi di saluran akar. Hal tersebut merpakan salah satu dari
prinsip perawatan endodontic, yaitu triad endodontic treatment (Haapasalo,
dkk., 2005). Larutan irigasi yang ideal memiliki efek antibakteri dengan
spektrum yang luas, sifat desinfektan yang tinggi, tidak toksik, mampu
melarutkan sisa jaringan pulpa nekrotik, mencegah terbentuknya smear
layer selama preparasi saluran akar atau mampu melarutkannya segera
setelah terbentuk, tidak memicu alergi, memiliki tegangan permukaan
rendah untuk menjangkau area yang sulit diakses dengan alat, dan memiliki
efek anti-bakterial jangka panjang (Zehnder, 2006).
Berikut beberapa jenis larutan irigasi saluran akar:
1) Sodium Hipoklorit (NaOCl)
NaOCl merupakan bahan irigasi utama berwarna jernih dan
berfungsi sebagai debridemen, pelumas, agen antimikroba yang efektif,
dan sebagai pelarut organik yang sangat baik. Namun NaOCl dapat
memberikan efek mengiritasi jaringan periapikal jika terjadi ekstrusi,
terutama pada konsentrasi tinggi dan apabila berkontak pada jaringan
vital menjadi sitotoksik dan destruktif. Konsentrasi NaOCl yang
digunakan dalam kedokteran gigi yaitu sebesar 5,25% (Yuanita, 2017
dalam Utari, 2018). Kemampuan antimikroba dari NaOCl berhubungan
dengan konsentrasinya, semakin tinggi konsentrasinya semakin sedikit
waktu yang dibutuhkan untuk meghambat pertumbuhan bakteri larutan

15
NaOCl 5,25% membutuhkan waktu 15 detik hingga 1 menit untuk
membunuh semua mikroorganisme (D’Arcangelo, 1999 dalam
Mulyawati, 2011).
Ruddle CJ yang mengutip penelitian in vivo yang dilakukan oleh
Daughenbaugh dan Grey, menunjukkan larutan 5,25% NaOCl mampu
menembus, melarutkan dan membilas keluar jaringan organik dan
debris dari seluruh aspek saluran akar, baik ramifikasi besar maupun
ramifikasi kecil (Ruddle, 2002). Namun sodium hipoklorit memiliki
kelemahan yaitu bersifat toksisitas terhadap jaringan sehat yang
meningkat sesuai dengan konsentrasinya. Umumnya, gejala yang
timbul adalah sakit spontan yang hebat, oedema dari jaringan lunak
sekitarnya, dapat meluas ke separuh wajah, bibir atas dan daerah infra
orbita, ecchymosis mukosa, perdarahan yang hebat dalam saluran akar
dan parastesi reversibel (Witton, 2005 dalam Tanumihardja, 2010).
2) Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA)
EDTA 17% merupakan larutan kelator yang berfungsi sebagai
pelarut komponen anorganik dan memiliki efek anti bakteri yang
rendah, sehingga dianjurkan sebagai pelengkap dalam irigasi saluran
akar setelah sodium hipoklorit. Smear layer yang terbentuk selama
preparasi mekanik saluran akar dan yang melekat pada dinding saluran
akar, dapat dengan mudah dilepaskan melalui demineralisasi, membuat
tubulus dentinalis terbuka lebih lebar. Hal ini memudahkan penetrasi
desinfektan lebih jauh ke dalam dentin saluran akar, menjadikan larutan
kelator ini berkontribusi terhadap eliminasi bakteri (Zehnder, 2006
dalam Tanumihardja, 2010).
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EDTA
mempunyai efek antibakteri dan kemampuan melarutkan jaringan
organik. Oleh sebab itu, penggunaan larutan NaOCl dan EDTA sering
digabung. Tujuannya adalah untuk mendapatkan efek eliminasi smear
layer dan mikroorganisme yang maksimal. Namun demikian, larutan

16
NaOCl dan EDTA tidak dapat dicampur secara langsung karena akan
terjadi interaksi yang tidak menguntungkan (Haapasalo, 2005).
3) Chlorhexidine
Chlorhexidine merupakan basa kuat dan paling stabil dalam
bentuk garam chlorhexidine digluconat yang larut dalam air dan
digunakan sebagai desinfektan karena memiliki sifat antimikroba yang
baik terhadap bakteri gram +, bakteri gram, spora bakteri, virus
lipofilik, jamur dan dermatofit. Sebagai bahan desinfeksi saluran akar,
chlorhexidine efektif terhadap Enterococcus faecalis maupun
biofilmnya yang merupakan bakteri dominan pada infeksi sekunder
perawatan saluran akar sehingga menyebabkan kegagalan perawatan
saluran akar (Guttman, 2006 dalam Mulyawati, 2011).
Chlorhexidine 2% dianjurkan sebagai larutan irigasi saluran akar
karena memiliki efek antimikoba yang luas dan dapat bertahan lama
dengan kemampuannya melekat pada dinding saluran akar. Selain itu,
chlorhexidine tidak mengiritasi jaringan periapikal, kurang toksik
dibandingkan dengan larutan lainnya, dan baunya tidak menyengat.
Akan tetapi kemampuan chlorhexidine tergantung dari pH dan
kehadiran komponen organik (Haapasalo, 2008).
Chlorhexidine bukan merupakan bahan irigasi utama pada
perawatan saluran akar karena tidak memiliki kemampuan melarutkan
jaringan nekrotik dan kurang efektif terhadap bakteri gram negatif.
Disamping itu, efektivitas chlorhexidine berkurang dengan adanya
protein dan matriks dentin organik. Oleh sebab itu kombinasi larutan
irigasi NaOCl dan chlorhexidine dianjurkan untuk meningkatkan
kemampuan keduanya (Tanumihardja, 2010).
4) MTAD (Mixture of tetracycline, an acid and a detergen)
MTAD merupakan bahan irigasi yang bersifat asam (pH= 2,15)
dalam bentuk sediaan cairan dengan komposisi berupa isomer
tetrasiklin yaitu doksisiklin 3%, asam yaitu asam sitrat 4,25%, dan

17
detergen yaitu TWEEN 80® 0,5% (Tay, dkk., 2006 dalam Nasution,
2006). Kelebihan MTAD adalah membuat irigasi lebih sederhana
karena menggabungkan kemampuan menghilangkan smear layer,
sekaligus bersifat antimikroba, dan dilaporkan kurang erosif pada
dentin dibandingkan dengan EDTA (Tanumihardja, 2010). MTAD
lebih biokompatibel dari bahan irigasi lainnya, memiliki efek anti
bakteri yang tinggi dan teteap memiliki efek anti bakteri ketika
diencerkan serta membunuh Enterococcus faecalis yang diidentifikasi
sebagai salah satu bakteri yang sulit dimusnahkan dari saluran akar
yang terinfeksi (Nasution, 2006).
5) Larutan Salin
Salin berfungsi sebagai pembilas akhir untuk membuang cairan
kimia yang masih ada di saluran akar dan sebagai pelumas. Larutan ini
bersifat biokompatibel tetapi tidak memiliki efek antibacterial dan tidak
dapat menyebabkan iritasi (Dwiandhono, 2019).
Pada kasus ini, larutan irigasi yang digunakan saat tahapan cleaning
and shaping yaitu larutan NaOCl dan larutan salin yang masing- masing
larutan dimasukkan ke dalam syringe. Lalu bahan irigasi dimasukan ke
dalam saluran akar secara bergantian dari NaOCl kemudian salin dengan
gerakan pumping (naik-turun) sehingga irigasi dapat merata hingga ke
saluran akar aksesoris. Irigasi dilakukan setiap bahan yaitu satu menit.

7. Trial guttap
Guttap point pada preparasi saluran akar step back dilakukan denga pemilihan
guttap point sesuai dengan MAF sebagai master cone. Guttap point yang telah
dipilih diberi tanda dengan pensil tinta sesuai dengan panjang kerja. Kemudian
guttap point tersebut menggunakan pinset berkerat dimasukkan ke dalam
saluran akar sebatas tanda yang telah dibuat sebelumnya lalu dilakukan
pengecekan apakah guttap point tersebut telah sesuai panjang dan diameternya
dengan mencoba menariknya keluar menggunakan pinset apakah sudah

18
menunjukkan initial fit atau tug back di daerah apikal, bila sudah terdapat tug
back maka initial fit-nya dianggap baik (Dwiandhono, 2019).

8. Rontgen
Setelah dilakukan pengecekan guttap point, maka dilakukan evaluasi
menggunakan foto rontgen periapikal untuk mengetahui apakah guttap point
yang dimasukkan ke dalam saluran akar sudah memenuhi syarat, yaitu dapat
masuk ke saluran akar sesuai panjang kerja dan rapat dengan dinding saluran
akar (Waites, 2003).

9. Intracanal Medicament
Bahan medikamen saluran akar dalam perawatan endodontik, yaitu :
a. Essential Oil (Eugenol)
Eugenol berasal dari minyak cengkeh. Aksi antimikroba di bagian apikal
akar dan di dalam tubulus dentinalis bergantung pada penguapan
medikamen. Oleh sebab itu, bahan ini harus diubah ke fase penguapan dan
berpenetrasi ke seluruh sistem saluran akar agar dapat berkontak langsung
dengan mikroorganisme. Bahan ini sering dipakai dalam endodontik dan
pemakaiannya lebih bersifat sedatif, sehingga sering di pakai setelah
pulpektomi. Di samping itu eugenol dipakai juga sebagai bagian dari sealer
saluran akar dan sebagai campuran dari tambalan sementara. Eugenol
memiliki sifat sebagai penghalang impuls saraf interdental. Eugenol
merupakan golongan minyak esensial. Masa aktif selama 3 hari.
Kekurangab bahan ini yakni dapat menyebabkan kematian sel dan resorpsi
initerna.

b. Phenol Compound
5) Phenol
Fenol (C6H5OH) adalah salah satu medikamen yang pertama digunakan
dalam bidang endodontik. Karena toksisitasnya yang cukup berat maka

19
dikembangkan derivatnya yang lebih banyak digunakan misalnya
paramonokhlorofenol (C6H4OHCl), timol (C6H3OHCH3C3H7) dan
kresol (C6H4OHCH3). Fenol adalah racun protoplasma nonspesifik
yang efek antibakteri optimalnya pada 1 – 2 %. Sediaan untuk
kepentingan kedokteran gigi berkisar 30%. Pengaplikasiin medikamen
ini bisa pada kapas butir (cotton pellet) yang diletakkan di dalam kamar
pulpa atau pada paper point yangditempatkan di dalam saluran akar
dengan harapan yang digunakan adalah oleh uapnya. Pemilihan bahan
ini adalah sifatnya sebagai disinfekta, namun bahan ini mempunyai
toksisitas yang tinggi dan kemungkinan. Oleh karena itu mulai
dikembangkan derivatnya yang lebih bisa diterima tubuh (Mattulada,
2010).

6) Paramonochlor
Obat ini sangat popular sebagai kandungan phenol, tidak dipakai
kembali pada endodontic karena sifat toksik yang tinggi. Memiliki
komposisi dari phenol dimana Clorin menggantikan satu atom
Hidrogen (C6H4OHCl). Konsentrasi: 2% cairan aqueous.

7) Camphorated Phenol/ camphorated monoparachlorophenol (CMCP)


a) CHKM (chlorphenol kamfer menthol)
Chlorophenol Kamfer Menthol (ChKm) adalah campuran dari
27% 4-klorofenol, 71% kamfer rasemik, dan 1,6% levomentol.
Klorofenol seperti ChKM merupakan antiseptic aktif dan
disinfektan yang baik untuk saluran akar. Senyawa ini memiliki
spektrum antibakteri yang luas. Bahan utamanya yaitu
paraklorofenol dapat memusnahkan berbagai mikroorganisme
yang ada dalam saluran akar. Penambahan disinfektan berupa
kamfer berfungsi sebagai bahan pelarut dan dapat mengurangi efek
iritasi yang terdapat dalam paraklorofenol yang akan

20
menghasilkan larutan yang stabil dalam suhu ruang. Kamfer
digunakan sebagai pengencer serta mengurangi efek iritasi akibat
klorophenol murni, kamfer juga dapat memperpanjang efek
antibakterial. Menthol dalam Chkm mampu mengurangi iritasi
yang disebabkan oleh chlorophenol serta dapat mengurangi rasa
sakit hal tersebut karena mentol bersifat vasokonstriksi sehingga
memperkecil hiperemi yang disebabkan oleh kamfer.
Daya desinfektan dan sifat mengiritasi bahan ini lebih kecil
daripada formocresol. Memiliki spektrum antibakteri yang luas
dan juga efektif terhadap jamur. CHKM dapat dipakai pada semua
macam perawatan endodontik, terutama pada gigi yang apexnya
masih terbuka, dan juga pada gigi dengan kelainan periapikal.
CHKM mempunyai antibakteri spektrum luas. Masa aktif selama
1 hari.
b) Chresophene
Cresophene merupakan salah satu bahan kedokteran gigi
yang banyak digunakan sebagai bahan medikamen saluran akar
sebelum obturasi. Cresophen mengandung parachlorophenol,
dexamethasone, thymol dan camphor. Parachlorophenol memiliki
sifat bakterisid kuat; Dexamethasone sebagai antiinflamasi;
thymol dan camphor berfungsi sebagai antiseptik. Disamping
sebagai bahan sterilisasi saluran akar, cresophene digunakan pula
untuk sterilisasi kavitas yang dalam.
Cresophene merupakan agen antimikroba yang digunakan
untuk perawatan saluran akar yang terinfeksi. Cresophene
memiliki aktivitas antibakteri terutama pada golongan bakteri
gram positif. Cresophene memiliki efek antibakteri paling kuat
melawan bakteri Prevotela spp, Enterococcus faecalis, dan
Streptococcus aureus. Cresophene dapat membuat pertumbuhan
Enterococcus faecalis tiga kali lebih lemah. Cresophen digunakan

21
terutama pada gigi dengan periodontitis apikalis tahp awal akibat
penggunaan instrumentasi yang berlebihan.
Bahan ini memiliki efek iritasi yang rendah, serta kandungan
dexamethasone yang dipakai mengandung kortikosteroid sehingga
efektif untuk mengurangi inflamasi. Chresophene merupakan
antiphlogisticum, sangat baik untuk kasus dengan permulaan
periodontitis apikalis akut yang dapat terjadi pada peristiwa
overinstrumentasi. Masa aktifnya antara 3-5 hari.

8) Cresatin (metacresylacetate)
Sifatnya mengiritasi jaringan periapikal lebih kecil daripada ChKM.
Sifat anodyne pada cresatin terhadap jaringan vital sangat baik,
sehingga sering dipakai pada perawatan pulpektomi.

9) Aldehydes
Merupakan obat intrakanal pada terapi saluran akar, aldehydes berupa
cairan protein agen denaturing dan dapat berpotensi sebagai
desinfektan pada bagian permukaan tetapi tidak dapat disetrilisasi,
sedikit toksik, bersifat alergik dan beberapa bersifat karsinogenik.
a) Formocresol
Kombinasi formalin : kresol = 1:2 atau 1:1. Desinfektan kuat yabg
bergabung dengan albumin membentuk substansi tidak dapat
dilarutkan, tidak dapat menjadi busuk. Memiliki efek iritatif, maka
gunakan konsentrasi rendah. Medikamen bakterisidal yang tidak
spesifik & sangat efektif terhadap m.o aerobik & anaerobik dalam
saluran akar. Dressing pulpotomi untuk memfiksasi jaringan
pulpa.
b) Paraformaldehyde
Bentuk polimer dari formaldehyde merupakan komponen material
obturasi (seperti endomethasone). Memiliki sifat mirip dengan

22
formaldehyde. Bentuk pomymerik dari formaldehyde dan sering
dipakai sebagai kandungan bahan obturating saluran akar seperti
endomethasone. Bersifat mirip dengan formaldehyde yaitu toksik,
alergenik, dan genotoksik.
c) Glutaraldehyde
Minyak tanpa warna, agak larut dalam air. Seperti formalin,
merupkan desinfektan kuat dan fiksatif. Digunakan dalam
konsentrasi rendah (2%).

c. Calsium hydroxide (Ca(OH)2)


Kalsium hidroksida (Ca(OH)2) adalah medikamen intrakanal yang
populer dan telah digunakan dalam bidang kedokteran gigi sejak tahun
1920. Sampai saat ini masih merupakan medikamen intrakanal yang paling
umum digunakan diseluruh dunia. Memiliki spektrum yang baik dari
aktifitas antimikrobanya dan memiliki durasi kerja yang panjang, relatif
aman digunakan, mudah dan kombinasi dengan natrium hipoklorit dapat
membantu melarutkan bahan organik yang tersisa. Kalsium hidroksida
mempunyai efek antimikroba terutama karena pHnya yang tinggi sekitar
12,5 dan bekerja dengan merusak dinding sel bakteri dan struktur protein
(Gulabivala, 2004).
Kalsium hidroksida, ketika ditempatkan dalam saluran akar selama
minimal 7 hari, telah terbukti efektif membunuh sebagian besar bakteri yang
ditemukan di dalam saluran akar. Kemampuan membunuh bakteri dari
kalsium hidroksida berkaitan dengan beberapa mekanisme yaitu secara
mekanis dan secara fisik. Aksi mekanis berlangsung melalui cara merusak
membran sitoplasma mikroba dengan aksi langsung ion hidroksil, menekan
aktifitas enzim dan mengganggu metabolisme seluler serta menghambat
replikasi DNA dengan memisahkan DNA. Sedangkan secara fisik bertindak
sebagai barrier yang mengisi rongga dalam kanal dan mencegah masuknya
bakteri ke dalam sistem saluran dan membunuh mikroorganisme yang

23
tersisa dengan menahan substrat untuk pertumbuhan dan membatasi tempat
untuk multiplikasi. Tetapi kalsium hidroksida memiliki kelemahan yaitu
dapat menimbulkan efek yang kurang baik pada jaringan periodontal bila
digunakan sebagai medikamen intrakanal selama terapi endodontik rutin
dan mempengaruhi penyembuhan jaringan lunak marginal serta
menghambat perlekatan sel-sel fibroblas gingiva (Gulabivala, 2004).
Beberapa spesies Candida juga resisten terhadap kalsium hidroksida.
Kalsium hidroksida adalah antibakteri yang bekerja lambat dan diperlukan
dalam jumlah yang cukup banyak serta memerlukan waktu minimal satu
minggu untuk efektif.1 Kalisum hidroksida (Ca(OH)2) tidak efektif
terhadap semua bakteri, resisten terhadap Enterococcus faecalis
(Gulabivala, 2004).
Secara garis besar Ca(OH)2:
1) Efek secara fisik
a) Sebagai barier fisik terhadap masuknya bakteri.
b) Membunuh bakteri dengan cara menutup ruang untuk multiplaksi
dan menghambat pemberian nutrisi pertumbuhan bakteri.
2) Efek secara kimia
a) Memiliki aksi antiseptic karena pHnya yang tinggi dan melarutkan
jaringan pulpa yang nekrotik. Dapat meningkatkan pH
circumpulpal dentin ketika diletakkan pada saluran akar.
b) Menekan aktivitas enzim dan membrane sel.
c) Menghambat replikasi DNA dengan membelah.
d) Menghidrolisis bagian lipid dari bakterili popolisakarida (LPS)
dan menginaktivasi aktivitas LPS.

Ca(OH)2 tersedia dalam 3 bentuk sediaan, yaitu bentuk pasta (Single


paste atau dikombinasi barium sulfat), bentuk powder yang dicampur
larutan saline dan sediaan pasta yang dimasukkan ke dalam saluran akar
menggunakan jarum lentulo. Terakhir sediaan dalam bentuk point.

24
Kelebihan dari Ca(OH)2 ini ialah mudah dimasukkan ke dalam saluran
akar, waktu kerja dalam saluran akar 7 hari, dan mudah dibuang dari
saluran akar dengan cara diirigasi.

d. Halogens
Termasuk klorin and iodine yang dipakai dengan formulasi yang berbeda.
Berpotensi sebagai agen oxidizing dengan meningkatkan efek antibakteri.
1) Chlorine
Dipakai sebagai obat intrakanal. Merupakan desinfektan yang paling
kuat, tidak stabil, durasinya pendek.
2) Iodine
Iodine adalah agen bakterial yang ampuh dan memiliki toksisitas yang
rendah, tetapi sedikit bukti yang menunjukkan keefektifitasannya
sebagai medikamen intra kanal dan memiliki waktu kerja yang pendek
serta dapat menyebabkan alergi pada beberapa pasien. Golongan fenol
dapat menyebabkan alergi dan memiliki bau yang menyengat dan rasa
yang tidak enak. Golongan fenol memiliki potensi mutagenik dan
karsinogenik dan jika berkontak dengan cairan membuatnya menjadi
tidak aktif. Penggunaan bahan dari golongan ini tidak lagi dianjurkan
(Himel, 2006).
Iodine pada Potassium iodide memiliki sifat:
a) Berupa larutan iodine 2% dalam potassium iodide
b) Sangat reaktif, berkombinasi dengan protein dalam ikatan longgar
sehingga penetrasi tidak terganggu
c) Sebagai agen oksidasi, inaktivasi sistem enzim seluler bakteri
d) Efek antibakteri sebentar, paling sedikit mengiritasi
e) Beberapa pasien alergi terhadap iodine compound

e. Chlorhexidine

25
Klorheksidin diglukonat umumnya digunakan sebagai larutan irigasi
selama atau pada akhir instrumentasi (Haapasalo, 2008). Sebagai
medikamen intrakanal dipakai dalam bentuk gel 2%. Dapat digunakan
sendiri atau dicampur dengan kalsium hidroksida. Kombinasi kalsium
hidroksida dengan khlorheksidin akan menyebabkan aktivitas antimikroba
lebih besar dibanding bila dicampur dengan salin. Selain itu penyembuhan
periradikuler juga lebih baik. Kekurangannya adalah tidak menghilangkan
smear layer (Johnson, 2009). Kombinasi ini efektif dalam saluran akar yang
terinfeksi E. faecalis dan jamur C. Albicans (Haapasalo, 2008).

f. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan suatu bahan yang dapat mengontrol rasa
nyeri dan inflamasi. Digunakan sebagai medikamen intrakanal karena
berpotensi menurunkan nyeri gigi. Pemberian sediaan ini pada pasien
penderita pulpitis ireversibel dan periodontitis apikalis akut akan sangat
membantu (Johnson, 2009). Kombinasi triamsinolon 1% (glukokortikoid)
dengan antibiotik, demeklosiklin 3%, dapat berdifusi melalui tubulus
dentinalis dan sementum untuk mencapai jaringan periodonsium dan
periapikal. Kombinasi ini mengurangi jumlah S. aureus dalam tubulus
dentinalis maupun setelah rekontaminasi. Karena kortikosteroid merupakan
suatu bahan biokompatibel, penempatan dalam intrakanal merupakan
standar protokol untuk tindakan darurat pada trauma yang diprediksi dapat
terjadi resorpsi akar, atau infeksi pulpa, sepanjang sumber infeksi sudah
dihilangkan (Chen, 2008).

10. Obturasi
Tahap terakhir dari prosedur perawatan saluran akar adalah obturasi atau
pengisian saluran akar. Obturasi adalah pengisisan saluran akar tiga dimensi
yang dilakukan sedekat mungkin dengan cemento dentinal junction (Deshpande
dan Naik , 2015). Tujuan pengisian saluran akar adalah memasukan suatu bahan

26
pengisi dengan teknik pengisian saluran akar tertentu ke dalam ruangan yang
sebelumnya terdapat jaringan pulpa, guna mencegah terjadinya infeksi ulang.
Bahan peng isi saluran akar berfungsi untuk menggantikan pulpa yang sudah
diambil dan menghilangkan semua pintu masuk antara periodonsium dan
saluran akar sehingga kebocoran cairan dari periondosium dapat dihindari
(Grossman dkk., 2013).
Obturasi saluran akar merupakan salah satu tahapan penting dalam
menentukan keberhasilan perawatan saluran akar yang berguna untuk
mendapatkan suatu kondisi fluid tight seal, yaitu kemampuan untuk mencegah
adanya kebocoran (penutupan) saluran akar yang dapat menyebabkan
kontaminasi bakteri. Kebocoran sistem saluran akar ini dapat disebabkan oleh
kehilangan kerapatan atau seal apikal saluran akar dan pengisian saluran akar
yang tidak hermetis (Ingle dkk., 2008). Tujuan pengisian saluran akar adalah
untuk menutup jalan masuk antara jaringan periodonsium dan saluran akar agar
tidak terjadi infeksi ulang terutama dari daerah apikal. Selain itu agar saluran
akar tidak menjadi, tempat kuman berkembang biak, sumber infeksi, penyebab
sakit hiperbarik yang disebut barodontolgia atau aerodontalgia, dengan saluran
akar yang tertutup rapat atau hermetis akan menyebabkan mikroflora tidak
dapat tumbuh, mencegah terjadinya penyakit hiperbarik, merangsang
penyembuhan jaringan sekitar akar gigi. Oleh karena itu bahan pengisi saluran
akar memiliki syarat agar memenuhi kriteria tersebut (Pribadi, 2012). Berikut
syarat bahan pengisi saluran akar :
a. Mudah dimasukkan ke dalam saluran akar
b. Dapat menutup saluran akar dengan rapat ke arah lateral dan apikal
c. Tidak mengerut setelah dimasukkan ke dalam saluran akar
d. Tahan kelembaban/ tidak larut dalam cairan tubuh
e. Bersifat barterisid/ menghambat pertumbuhan bakteri
f. Bersifat radiografik
g. Tidak menyebabkan perubahan warna pada gigi
h. Tidak mengiritasi jaringan periapikal

27
i. Mudah dikeluarkan dari dalam saluran akar bila diperlukan (Pribadi,
2012).
Menurut Torabinejad dan Walton (2009) bahan pengisian saluran akar
terbagi menjadi material utama (core material) dan semen saluran akar (sealer)
yang terdiri dari material padat dan material semi padat (pasta / proses
pelunakan). Keunggulan utama material padat adalah material ini dapat
dikendalikan panjangnya, mempunyai kemampuan beradaptasi pada
ketidakteraturan saluran akar dan menciptakan kerapatan yang adekuat. Berikut
ini akan dijelaskan material obturasi.
g. Material utama.
1) Material padat
Terdiri dari:
a) Kon Gutta Percha
Kelebihan bahan ini adalah memiliki sifat plastis dan beradaptasi
dengan baik terhadap dinding saluran akar, pengaplikasian yang
cukup kompleks namun mudah diperlakukan dan dimanipulasi,
mudah dikeluarkan dari saluran akar dan toksisitasnya minimal.
Selain itu bahan ini kecendrungan untuk bersifat swa-sterilisasi,
yakni tidak memfasilitasi pertumbuhan bakteri. Jika diduga ada
telah terkontaminasi, gutta percha dapat di sterilkan dengan cara
mencelupkannya ke dalam NaOCL 1% selama 1 menit (Torabinejad
dan Walton 2009). Kekurangan dari bahan ini adalah tidak melekat
pada dentin dan sedikit elastis sehingga dapat memantul dan
menjauh dari dinding saluran akar; saat dipanaskan kemudian
didinginkan maka akan terjadi pengkerutan, jika bertemu dengan
kloroform / ekapitol akan menguap dan mengkerut.
b) Kon Perak (Ag point)
Kelebihan menggunakan bahan ini adalah mudah diaplikasikan dan
dikontrol panjangnya, bersifat radiopak, dan mudah disterilkan.
Namun kekurangan dari bahan ini adalah hasilnya kurang baik,

28
karena memiliki adaptasi yang kurang baik (buruk) pada dinding
saluran akar yang tidak teratur; mudah berkarat, sulit untuk
dikeluarkan dari saluran akar; pengisian yang kurang padat tidak
terlihat jelas, dapat mengalami kebocoran.

2) Material semi padat


Terdiri dari:
a) Pasta saluran akar
Bahan pasta, yaitu zinc oxyde dan eugenol, serta AH 26 dan diaket
(plastik). Bahan ini memiliki konsistensi cair seperti dempul dan
cara memasukkan bahan ini ke dalam saluran akar adalah dengan
metode penyuntikkan dan metode menggunakan lentulo.
Keuntungannya adalah teknik cepat dan relatif mudah, hanya
menggunakan satu bahan saja, dan alat yang digunakan sederhana
(jarum lentulo dan bur khusus). Namun, bahan ini memiliki
kekurangannya, yaitu kurangnya kontrol kepadatan dan panjang
pengisian, serta kerapatan apikal akibat adanya udara yang terjebak,
penyusutan bahan, dan bahan menjadi larut oleh cairan mulut /
jaringan.
b) Semen saluran akar
Bahan ini terbagi menjadi 5 kelompok sesuai dengan bahan
dasarnya, yaitu:
(1) Seng oksida eugenol (ZOE): Procosol, Tubli-seal, Kert, Roth.
(2) Resin: AH 26, Diaket, Hydron.
(3) Gutta percha: Chloropercha, Euca Percha.
(4) Adesif dentin: Glass ionomer, Polikarboksilat, Kalsium fosfat,
Komposit, Cyanokrilat.
(5) Bahan dengan tambahan obat: Endomethasone, N2, SPAD
sebagai disinfektan, dan Calcibiotik, Seal apex sebagai kalsium
hidroksida.

29
Secara klasik, teknik obturasi terbagi menjadi 4 teknik, antara lain:
a. Single cone method
Teknik ini dilakukan dengan memasuk kan gutta point tunggal ke
dalam saluran akar dengan ukuran sesuai dengan diameter preparasinya.
Untuk menambah adaptasi gutta point dan kerapatannya terhadap dinding
saluran akar ditambahkan semen saluran akar (sealer). Indikasi penggunaan
teknik ini adalah saluran akar berbentuk bulat, tergantung pada teknik
preparasinya (konvensional), satu saluran akar hanya diisi satu guttap, dan
bahan yang digunakan adalah pasta saluran akar.
Teknik dari single cone ini adalah:
1) Pilih gutta percha yang sesuai dengan ukuran nomor alat preparasi
saluran akar yang digunakan terakhir.
2) Gutta percha point kemudian dicobakan terlebih dahulu ke dalam
saluran akar dan diambil data radiografisnya. Apabila posisi dan ukuran
guttap tampak sudah pas maka lakukan obturasi, apabila belum maka
guttap harus diganti atau ulangi preparasi saluran akar.
3) Aduk pasta (sealer) di atas pelat kaca, kemudian usapkan lentulo ke
selapis tipis sealer kemudian masukkan ke dalam saluran akar sesuai
panjang kerja, putar searah jarum jam dan tarik keluar. Lentulo dapat
digerakkan dengan menggunakan low speed maupun manual. Hasilnya,
pasta akan teroles pada dinding saluran akar.
4) Sepertiga gutta percha bagian ujung dioleskan pada selapis tipis sealer
di pelat kaca kemudian masukkan kembali ke dalam saluran akar sesuai
panjang kerja dengan menggunakan pinset endodontik.
5) Gutta percha yang berlebih dipotong hingga batas orifisium
menggunakan ekskafator yang telah dipanasi dan kavitas ditumpat
menggunakan basis semen fosfat (Grossman dkk., 2013).

b. Lateral condensation method

30
Teknik ini dilakukan dengan memasukkan master cone gutta point
kedalam saluran akar, kemudian dilakukan kondensasi atau penekanan
kearah lateral dengan menggunakan spreader. Pengisian saluran akar
menggunakan dan dilakukan kondensasi ke arah lateral. Tujuannya adalah
untuk mengisi saluran akar dengan guttap yang dimampatkan ke arah
lateral. Indikasi dari teknik ini adalah hampir seluruh kasus saluran akar
yang berbentuk oval atau lebar dan tidak dapat dilakukan single cone
methode, kecuali saluran akar sangat bengkok, bentuk akar abnormal, ada
resorbsi interna. Kelebihan teknik ini adalah tidak rumit, alat sederhana,
kualitas obturasi sama baik dengan yang lainnya, terkontrolnya panjang
kerja, retreatment mudah, adaptasi pada jaringan saluran akar yang baik,
dan dapat dipreparasi untuk pasak. Teknik dari lateral condensation method
ini adalah:
1) Pilih guttap yang sesuai dengan MAF dan cobakan ke dalam kavitas
hingga terasa tug back (terasa sedikit terhambat saat ditarik).
2) Sealer diaplikasikan ke dinding akar secukupnya.
3) Master cone yang telah diberi sealer diaplikasikan ke dalam saluran
akar sesuai dengan panjang kerja.
4) Tambahkan guttap dengan ukuran yang lebih kecil untuk mengisi
daerah yang masih kosong.
5) Aplikasikan spreader untuk menekan guttap ke lateral.
6) Tambahkan guttap tambahan hingga padat dan didapatkan pengisian
yang hermetis.
7) Kelebihan guttap kemudian dipotong. (Grossman dkk., 2013).

c. Vertical condensation methode (Down pack)


Teknik ini dilakukan dengan memasukkan master gutta point kedalam
saluran akar, kemudian dilakukan kondensasi atau penekanan kearah lateral
dan dikondensasi secara vertikal menggunakan plugger yang dipanaskan.
Indikasi dari teknik ini adalah diameter saluran akar berbentuk oval, dan

31
terdapat apikal konstriksi. Kelebihan menggunakan teknik ini adalah
penutupan saluran akar sangat baik, ke arah apikal maupun ke arah lateral,
dan obturasi saluran lateral dan saluran aksesori yang besar. Namun
kekurangan bahan ini adalah memerlukan waktu yang lama, ada resiko
fraktur akar vertikal, dan pengisian gutta percha atau sealer yang berlebih
menyebabkan sulit untuk dilakukan retreatment. Teknik dari vertical
condensation method ini adalah:
1) Pilih guttap yang sesuai dengan MAF dan cobakan ke dalam kavitas
hingga terasa tug back (terasa sedikit terhambat saat ditarik).
2) Saluran akar diulasi semen dan guttap point utama dimasukkan sesuai
dengan panjang preparasi
3) Guttap point dipanaskan ditekan dengan plugger ke arah vertikal ke
bawah
4) Dengan cara yang sama Gutta percha tambahan (dibuat seperti bola)
dimasukkan dan ditekan hingga seluruh saluran akar terisi sempurna
(Grossman dkk., 2013).
d. Thermoplastic gutta percha (Back fill)
Teknik ini dilakukan dengan alat yang dipanaskan dengan listrik
menggunakan alat ijeksi atau pen dengan bahan pasta. Menurut Torabinejad
dan Walton (2009) mengatakan bahwa injeksi gutta percha yang
diplastiskan dari alat semprit tekanan menghasilkan pengisian yang sama
baiknya dengan kondensasi lateral atau vertikal. Menurut Schilder dkk.
(2005) mengatakan bahwa metode pengisian thermoplastis dengan gutta
percha di atas 450C memberi kecenderungan bahan pengisi mengalami
pengerutan bila gutta percha menjadi dingin kecuali bila dimampatkan
dengan instrumentasi ke arah apeks. Metode termoplastik mempunyai satu
cacat yang sama dengan semua teknik injeksi, yaitu kurang dapat membawa
gutta percha dengan tepat ke dekat foramen apikal dan tidak melebihinya,
sekalipun metode ini dapat mengisi saluran lateral pada semua celah-
celahnya. Teknik injeksi mengandalkan gutta percha yang dipanasi dan

32
diplastiskan untuk mengalir ke apikal dengan tekanan apikal yang minimal,
bila dibandingkan dengan kekuatan dan tekanan yang digunakan pada
kondensasi lateral dan vertikal. Kecuali bila tekanan vertikal dikombinasi
dengan metode injeksi pengisian (Torabinejad dan Walton, 2009). Teknik
dari thermoplastic gutta percha ini adalah:
1) Memasukkan gun tip ke dalam saluran akar dan guttap diinjeksi hingga
gun tip terdorong keluar dari saluran akar.
2) Melakukan penekanan ke arah vertikal dengan plugger.
3) Injeksikan guttap secara vertikal hingga saluran akar terisi penuh dari
arah vertikal maupun lateral.

Beberapa teknik obturasi saluran akar diatas memiliki kelebihan dan


Kekurangan, namun teknik obturasi yang tepat dengan kasus diatas adalah
Lateral condensation method karena sesuai dengan indikasi dari teknik ini,
yaitu hampir seluruh kasus saluran akar yang berbentuk oval atau lebar dan
tidak dapat dilakukan single cone methode. Sama halnya dengan teknik obturasi
saluran akar diatas, setiap bahan memiliki kelebihan dan kekurangan, namun
bahan yang tepat digunakan pada kasus ini adalah gutta percha dan sealer yang
digunakan adalah ZOE karena memiliki riwayat keberhasilannya yang telah
berlangsung lama (Torabinejad dan Walton, 2009). dan memiliki efek anti
mikroba yang baik, tidak sitotoksik untuk sel-sel yang berkontak langsung
ataupun tidak langsung, plastisitasnya baik, tidak toksisitas. Selain itu, ZOE
juga merupakan materi radiopak, memiliki anti inflamasi dan analgesik yang
sangat berguna setelah prosedur pulpektomi. Selain itu, ZOE juga tidak
menyebabkan diskolorisasi pada gigi (Mihir, dkk., 2011).

Prosedur obturasi atau pengisian saluran akar dapat mengalami kegagalan


karena berbagai penyebab yaitu :

a. Kegagalan menempatkan master gutta percha sesuai panjang kerja


b. Serpihan dentin pada 1/3 apikal, irigasi kurang

33
c. Kesalahan pemilihan teknik preparasi
d. Penggunaan alat preparasi yang kurang tepat → ledging
e. Hasil preparasi S.A. kurang halus
f. Ukuran bahan pengisi (master cone) terlalu besar (Pribadi, 2012).

Kegagalan tersebut dapat dicegah dengan pemilihan teknik preparasi yang


tepat, pemilihan alat preparasi yang tepat, pemilihan Teknik pengisian sesuai
dengan indikasi saluran akar serta selama proses preparasi selalu dilakukan
iriasi. Setelah prosedur obturasi selesai, lakukanlah evaluasi dengan radiologi.

11. Restorasi
Keberhasilan perawatan saluran akar harus didukung dengan
pembangunan kembali mahkota gigi yang telah rusak untuk mengembalikan
fungsi fisiologis dan fungsi estetik gigi. Pengembalian bentuk mahkota gigi
dengan retensi yang baik, akan mendukung gigi yang telah dirawat saluran akar,
sehingga dapat berfungsi dalam jangka waktu yang lama. Kegagalan restorasi
gigi paska perawatan endodontik disebabkan kontaminasi sistem saluran akar
oleh saliva akibat bocornya restorasi atau microleakage yang memberikan jalan
lintasan mikroorganime dan produk-produknya ke bagian apikal dari akar, dan
berupa terlepasnya suatu restorasi korona,atau patahnya jaringan gigi yang
tersisa. Restorasi gigi anterior setelah dilakukannnya perawatan endodontik
harus mendapatkan perhatian khusus karena alasan estetik dan penurunan
kekuatan struktur gigi yang tertinggal karena kurangnya jaringan yang tersisa
yang disebabkan oleh luasnya karies dan banyaknya pengambilan jaringan gigi
sewaktu melakukan perawatan endodontik, terutama pada waktu pembukaan
atap pulpa, dapat mengakibatkan hilangnya jaringan atap pulpa (Awaru dan
Nugroho, 2012).
Pemilihan jenis restorasi paska perawatan endodontik juga harus sesuai
dengan indikasinya. Apabila kerusakan gigi tidak luas atau sisa jaringan
giginya masih utuh, maka resin komposit dapat menjadi pilihan dengan
mempertimbangkan hasil estetik yang baik. Namun, apabila

34
mempertimbangkan estetik dan kerusakan struktur gigiyang sangat luas,
perawatan yang dibutuhkan berupa pembuatan mahkota dengan retensi pasak
inti (Awaru dan Nugroho, 2012). Restorasi yang dapat dilakukan pada kasus ini
yaitu dengan restorasi mahkota pasak dengan ferrule atau resin komposit kelas
IV diperkuat dengan pasak fiber siap pakai. Gigi yang memerlukan restorasi
mahkota pasak yaitu gigi yang mengalami kerusakan cukup luas sehingga
memerlukan perawatan saluran akar, dengan pertimbangan restorasi akhir
mahkota jaket. Restorasi mahkota pasak dibuat dengan konstruksi dua unit,
yaitu inti yang berpasak dan mahkota yang nantinya disemenkan pada inti
tersebut (Ricardo, et al, 2009).
Prosedur Perawatan:
a. Pembuatan mahkota pasak
Pencetakan rahang atas dengan menggunakan bahan cetak alginat.,
kemudian dilakukan pengecoran untuk pembuatan model kerja dengan
menggunakan dental stone.
b. Pembuatan mahkota sementara.
c. Retraksi gingiva dengan hemostat sebelum melakukan preparasi.
d. Preparasi gigi 11/21 pada bagian labial, palatal, mesial, dan distal.
Bagian labial dan palatal dilakukan preparasi dengan menggunakan
bur fisur diamond, bagian labial dikurangi sedalam 1 mm dengan
membentuk akhiran shoulder palatal berbentuk chamfer, dan bagian mesial
dan distal dilakukan pengurangan permukaan sebanyak 0,5mm. Permukaan
dinding lurus sampai ke permukaan gusi. Permukaan dinding ferule
memiliki kemiringan 5º ke arah oklusal. Lakukan penghaluskan permukaan
labial, palatal, mesial, dan distal dengan menggunakan bur final tapered
diamond diameter 1,2 mm. Prinsip ferulle digunakan untuk membuat suatu
cincin atau topi yang terletak di sekitar ujung suatu alat, untuk menambah
kekuatan dan digunakan pada preparasi pasak dalam bentuk kontrabevel
yang melingkari gigi (circumferential contrabevel).

35
e. Lakukan analisis untuk menentukan berapa banyak guttapercha yang akan
dihilangkan dan dipertahankan, idealnya guttapercha di sisakan 1/3 dari
panjang saluran akar atau atau meninggalkan 3-4mm guttapercha, untuk
mengetahui kedalaman dari preparasi pasak dapat menggunakan probe
periodontal.
f. Lakukan pengambilan guttapercha dalam saluran akar menggunakan peso
reamer,
g. Pengecekan hasil preparasi saluran akar dengan pericompound
h. Pencetakan hasil preparasi saluran akar dengan bahan inlay wax.
i. Model kerja dikirim ke laboratorium untuk pembuatan pasak inti cor.
j. Try in pasak dan sementasi menggunakan GIC Tipe I
k. Pencetakan dengan mix impression (putty dan light body).
l. Pembuatan model kerja untuk pembuatan coping mahkota dengan oklusi
yang telah disesuaikan menggunakan okludator.
m. Try in koping mahkota dan penyesuaian ruang untuk mahkota porcelain.
n. Try in mahkota sebelum glazing
o. Try in mahkota setelah glazing dan sementasi tetap menggunakan GIC tipe
I
p. Cek oklusi (Safira dan Putriani, 2017)
Perawatan restorasi resin komposit kelas IV diperkuat dengan pasak fiber
siap pakai. Pasak fiber memiliki fleksibelitas yang baik di bawah tekanan,
sehingga mampu mendistribusikan tekanan tersebut dengan baik di antara
pasak dan dentin. Pasak fiber silika juga memiliki hasil yang baik karena
bersifat tranlusen sehingga dapat mengembalikan fungsi estetik gigi dengan
baik. Sebelum dilakukannya prosedur restorasi, gigi dilakukan prosedur
bleaching (walking bleach) terlebih dahulu, hal ini karena adanya diskolorasi
pada gigi yang mengalami nekrosis pulpa.Teknik bleaching yang digunakan
pada kasus diskolorasi intrinsik adalah intracoronal bleaching (bleaching pada
gigi nonvital). Restorasi resin komposit dapat dilakukan 1-3 minggu pasca
bleaching, agar pelekatan resin komposit ke struktur gigi tidak terganggu karena

36
adanya sisa bahan bleaching, hal ini dilakukan agar tidak menghasilkan
kebocoran atau menyebabkan pembentukan resin tag yang lebih sedikit, lebih
pendek, dan bentuk yang tidak bagus, karena terhambatnya polimerisasi resin
(Nofika, 2018).
Prosedur Perawatan:
a. Pembongkaran tumpatan sementara
b. Penentuaan warna gigi dengan menggunakan shade guide (Vitapan
Classic).
c. Lakukan preparasi pada kavitas di palatal dan pada bagian fraktur 1/3
insisal.
d. Penentuan panjang kerja pasak
e. Pengambilan gutaperca dengan menggunakan gates glidden, peeso reamer
dan terakhir dengan precision drill untuk pasak fiber, cincin hijau
f. Sisa siler yang terdapat di dinding saluran akar dibersihkan dengan
Hedstrom file
g. Lakukan irigasi saluran akar dengan salin.
h. Hasil preparasi saluran pasak dikonfirmasi dengan radiograf periapeks.
i. Pasak fiber disemenkan ke dalam saluran pasak menggunakan semen resin.
Pasak tersebut diolesi silane (Ceramic primer, 3M ESPE) dan dibiarkan
mengering.
j. Permukaan yang telah dipreparasi serta saluran pasak dietsa dengan asam
fosfat 37% (Denfil Etchant-37)
k. Aplikasi bahan bonding.
l. Semen resin (Build ITFR, Pentron) dimasukkan ke dalam saluran pasak
menggunakan lentulo (Denstply).
m. Pasak fiber dioles dengan semen resin dan segera dimasukkan ke dalam
saluran pasak, kemudian ditahan sampai semen resin mulai mengeras
n. Lakukan penyinaran dengan light curing unit.
o. Restorasi gigi diselesaikan dengan menggunakan resin komposit packable.

37
p. Lakukan pengambilan radiograf paska sementasi pasak fiber dan restorasi
resin komposit.
q. Pasien diminta untuk datang kontrol 1 minggu setelahnya. (Nofika, 2018).

38
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, M.H., 2015, Buku Saku : Karies dan Perawatan Pulpa pada Gigi Anak,
Sagung Seto, Jakarta.
Anggraini, L.D., 2016, Evaluasi Keberhasilan Tumpatan Klas I, II, III, IV GV Black
Dengan Bahan Resin Komposit Dan Semen Ionomer Kaca, Usulan Penelitian,
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.
Annusavice, K.J., 2003, Buku ajar ilmu kedokteran gigi (terj), Ed 10, Jakarta: Penerbit
Buku kedokteran EGC.
Awaru, B.T., Nugroho, J.J., 2012, Restorasi pada Gigi Anterior Setelah Perawatan
Endodontik, Dentofasial, 11 (3):187-191.
Chen, H., Teixera, F.B., Ritter, A.L., Levin, L., Trope, M.. 2008, The effect of
intracanal anti-inflammatory medicaments on external root resorption of
replanted dog teeth after extended extra-oral dry time, Dent Traumatol, 24: 74-
8.
Deshpande P.M., Naik R.R., 2015, Comprehensive Review on Recent Root Canal
Filling Materials and Techniques, International Journal of Applied Dental
Science., 1(5) : 30-34.
Dwiandhono,I., 2019, Irigasi Saluran Akar, Kuliah Tatap Muka, Jurusan Kedokteran
Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Grossman et al., 2013, Ilmu Endodontik dalam Praktek, Jakarta : EGC.
Gulabivala, K., 2004, Intracanal medication temporary seal, In: Stick, C.,Walker,
R.,Gulabivala, K., Endodontics, 3rd Ed, p.173-80.
Haapasalo, M., Endal, U., Zandi, H., Coil, J.M., 2005, Eradication of endodontic
infection by instrumentation and irrigation solution, Endod Topics, 10: 77-102.
Haapasalo, M., Wei, Q., 2008, Irrigants and intracanal medication, Ingle JI, Bakland
LK, Baumgartner JC, editor, Ingle’s Endodontics 6 6th Ed, Ontario, BC Decker
Inc, Hamilton, 997-1008.
Himel van T, Mcspadden, J.T., Goodis, H.E., Instruments, materials and devices. In:
Cohen S, Hargreaves KM. Pathways of the pulp. 9th Ed. St. Louis: Mosby
Elsevier; 2006. p.260-2.
Ingle, Bakland, 2002, Endodontics, Ed 5, London: Decker.
Istiqomah, F., dkk., 2016, Gambaran Karies Gigi pada Anak Tunagrahita di SLB C
Kota Semarang, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4(4) : 359-62.
Johnson, W.T., Noblett, W.C., 2009, Cleaning and shaping, In: Torabinejad, M.,
Walton, R.E., Endodontics, principle and practice. 4th Ed. St. Louis: Saunders,
Elsevier.
Miletic, V., Beljic-Ivanovic, K., Ivanovic, V., 2011, Clinical Reproducibility of Three
Electronic Apex Locators, Int Endod Journal, 44(1) : 769-76.

39
Mulyawati, E., 2011, Peran Bahan Desinfeksi Pada Perawatan Saluran Akar, Maj Ked
Gi, 18(2): 205-9.
Nasution, S.S.N., 2006, Mixture of a Tetracycline Isomer, An Acid and A Detergen
(MTAD) Sebagai Bahan Irigasi Saluran Akar, Skripsi, Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Nofika, R., 2018, Apexification and Intracoronal Bleaching on Maxillary Right
Central Incisor (Case Report) , Cakradonya Dent J, 10(2): 113-120.
Pribadi Nirawati, 2012, Pengisian Saluran Akar, Surabaya: Departemen Ilmu
Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga.
Ricardo, J. et al, 2009, Influence of Intraradicular Post and Crown Ferrule on the
Fracture Strength Of Endodontically Treated Teeth, Braz Dent J, 20(4): 297-
30.
Ruddle, C.J., 2002, Cleaning and shaping the root canal system, In: Cohen S, Burns
RC, editor, Pathways of the pulp 8th Ed, Mosby Inc, Philadelphia: 241.
Safira, R., Putriani, W., Restorasi Mahkota Pasak dengan Ferrule Pasca Trauma
Gigi Anterior ,Laporan Kasus , Prostodonti Program Studi Pendidikan Dokter
Gigi Fakultas Kedokteran Unjani, 66-76.
Saputra, O.K., 2013, Tugas KKS Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, Sumatra Selatan.
Tanumihardja, M., 2010, Larutan irigasi saluran akar, Dentofasial, 9(2): 108-15.
Tarigan, R., 2014, Karies Gigi, EGC, Jakarta.
Torabinejad, M., Walton, R.E., 2009, Endodontics Principles And Practice, Elsevier,
India.
Utari, R.T., 2018, Perbedaan Pengaruh Bahan Irigasi Ekstrak Propolis 8% Dan NaOCl
2,5% Terhadap Kekerasan Mikro Dentin Saluran Akar, Skripsi, Program Studi
Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Walton R., Torabinejad M., 2008, Prinsip dan praktek ilmu endodontik (terj). Ed 2.
Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.
Widyawati, 2016, Buku Petunjuk Praktikum Pre-Klinik Endodontik, Bagian
Konservasi Gigi Padang: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Baiturahman.
Zehnder, M., 2006, Root canal irrigants, J Endod, 32 (5): 389-98.

40

Anda mungkin juga menyukai