Anda di halaman 1dari 32

FRAKTUR DENTOALVEOLAR

MAKALAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Bedah Minor pada Anak

Disusun Oleh:
Anggiani Dewi Rahmawati

1604 2114 0005

Pembimbing:
R. Agus Nurwiadh drg., Sp.BM (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................
2.1 Trauma Injuri pada Anak.................................................................
2.1.1 Penyebab Trauma Gigi pada Anak..............................................
2.1.2 Faktor Predisposisi......................................................................
2.2 Klasifikasi Trauma Gigi Anterior pada Anak.................................
2.2.1 Klasifikasi menurut Ellis dan Davey...........................................
2.2.2 Klasifikasi menurut World Health Organization (WHO)...
2.3 Diagnosis Trauma Gigi pada Anak..................................................
2.3.1 Riwayat Dental............................................................................
2.3.2 Riwayat Medis........................................... .................................
2.3.3 Pemeriksaan Ekstraoral...............................................................
2.3.4 Pemeriksaan Intra Oral................................................................
2.3.5 Pemeriksaan Radiografi...............................................................
2.4 Penanganan Trauma Gigi Anterior pada Anak..............................
2.4.1 Infraksi.......................................................................................
2.4.2 Fraktur Mahkota - uncomplicated.............................................
2.4.3 Fraktur mahkota complicated.................................................
2.4.4 Fraktur Mahkota/Akar...............................................................
2.4.5 Fraktur Akar..............................................................................
2.4.6 Concussion.................................................................................
2.4.7 Subluksasi..................................................................................
2.4.8 Subluksasi Lateral......................................................................
2.4.9 Luksasi Intrusi...........................................................................
2.4.10 Luksasi Ekstrusi.........................................................................
2.4.11 Avulsi........................................... .............................................
BAB III SIMPULAN................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I

i
1
3
3
3
4
6
6
7
10
10
10
11
12
14
14
16
16
16
18
19
21
21
22
23
25
26
30
31

PENDAHULUAN

Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun psikis.
Trauma dengan kata lain injury atau wound, dapat diartikan sebagai kerusakan atau luka
yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik dan ditandai dengan terputusnya
kontinuitas normal suatu struktur jaringan. 1

Trauma juga diartikan sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu penyebab
sakit, karena kontak yang keras dengan suatu benda, Menurut Schuurs (1992) trauma gigi
adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi atau jaringan periodontal karena
sebab mekanis. Frekuensi tertinggi kejadian trauma terjadi pada anak-anak. Kerusakan
gigi pada anak-anak yang disebabkan karena trauma dapat terjadi baik pada gigi sulung
maupun pada gigi tetap. Trauma yang terjadi biasanya lebih sering mengenai gigi anterior
rahang atas, disebabkan karena posisi dari bibir, pipi serta dagu yang kurang memadai
dibandingkan dengan posisi gigi-geligi posterior rahang atas maupun gigi anterior rahang
bawah. 2
Gigi pada rahang atas lebih sering terkena dibandingkan rahang bawah, sedangkan
manifestasinya pada gigi sulung lebih sering berupa perubahan tempat dibandingkan
fraktur mahkota. Hal ini disebabkan tulang alveolar dan jaringan pendukung belum
sempurna, masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sehingga gigi mudah
bergerak. 3
Untuk menentukan tingkat keparahan trauma dan mendiagnosa dengan tepat
trauma pada gigi, jaringan periodonsium, dan jaringan sekitarnya, pendekatan sistematis
pada anak yang terkena trauma sangat diperlukan. Penilaian meliputi etiologi terjadinya
injuri, pemeriksaan visual dan radiografi serta tes tambahan seperti palpasi, perkusi dan
mobiliti. Rencana perawatan diambil berdasarkan pertimbangan status kesehatan pasien
dan status perluasan injuri. Pengalaman yang tinggi dalam penanganan atau rujukan yang
tepat dapat berguna untuk memastikan diagnosis dan perawatan yang tepat. 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Trauma Injuri pada Anak

2.1.1 Penyebab Trauma Gigi pada Anak


Penyebab trauma gigi pada anak-anak yang paling sering terjadi adalah karena
terjatuh saat bermain, baik di luar rumah maupun di dalam rumah dan saat berolah raga.
Trauma dapat terjadi secara langsung yaitu ketika benda keras langsung mengenai gigi dan
trauma tidak langsung terjadi ketika benturan mengenai dagu kemudian menyebabkan
rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan besar dan tiba-tiba. 2

1.

Terjatuh
Trauma dental dan maksilofasial jarang terjadi selama tahun pertama kehidupan, akan
tetapi dapat terjadi oleh karena disebabkan jatuh dari kereta anak (stroller), tempat
tidur atau kursi. Kemudian cenderung meningkat pada saat anak mulai merangkak
berdiri atau berjalan dan biasanya berhubungan dengan kurangnya koordinasi
motorik. Puncak terjadinya insiden trauma dental yaitu saat memasuki usia sekolah
dan penyebab utamanya karena jatuh. 4

2.

Kecelakaan
Pada anak, kecelakaan bersepeda yang paling umum terjadi, akan tetapi sekarang ini
kecelakaan dengan kendaraan bermotor juga dilaporkan menjadi penyebab sekunder.

3.

Olah raga
Pada usia sekitar 10 tahun, injuri ini dihubungkan dengan sepak bola, baseball, bola
basket, soccer, ice hockey dan gulat. Kadang-kadang tinju dan perkelahian juga dapat
menyebabkan injuri facial. 13-39% injuri dental berhubungan dengan olah raga. Anak
laki-laki 2-3 kali lebih sering terkena dibanding anak perempuan.

4.

Pertengkaran atau perkelahian


Trauma ini umumnya terjadi pada individu yang lebih tua dan biasa dihubungkan
dengan penyalahgunaan alkohol. Andreas telah mengidentifikasi jenis trauma yang
biasa ditimbulkan yaitu umumnya ditandai dengan luksasi dan eksartikulasi gigi
karena adanya fraktur akar dan atau struktur pendukung.

5.

Penyebab lain

Penyebab lain dari trauma oral seringkali terjadi pada individu dengan cacat mental
seperti pasien cerebral palsy, pada pasien yang di bawah pengaruh anestesi umum bisa
terjadi fraktur pada gigi selama proses intubasi.

2.1.2 Faktor Predisposisi 4


Berbagai faktor telah diidentifikasi dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
injuri oral dan maksilofasial pada anak yaitu:
1. WHO menyatakan bahwa anak yang kurang perhatian dan berasal dari keluarga
bermasalah lebih mudah terkena trauma,

2. Anak dengan profil wajah dan deformitas dentofacial tertentu seperti:


a. Overjet yang besar dengan protrusi gigi insisivus dan bibir yang tidak bisa
menutup (openbite),
b. Maloklusi Angel klas II tipe 1,
c. Maloklusi Angel klas I tipe 2.
3. Anak dengan cerebral palsy merupakan kelompok yang paling sering terjadi trauma
dental. Hal ini dapat disebabkan karena:
a. Anak dengan cerebral palsy menderita ketidaknormalan fungsi otot pada area oral,
menyebabkan protrusi gigi anterior maksila.
b. Kurangnya koordinasi skeletal dan otot.
4.

Pasien epilepsi

5.

Dentinogenesis imperfecta yang merupakan kondisi gigi yang tidak umum yang dapat
meningkatkan suspektibilitas trauma. Penjelasan dari fenomena ini yaitu karena
rendahnya kekuatan dentin dan akar gigi yang berbentuk runcing.

6.

Laki-laki lebih banyak terkena dibanding perempuan.


Menurut Forsberg dan Tedestam, faktor yang dapat meningkatkan suspektibilitas

trauma dental yaitu: 4


1. Oklusi yang tidak normal
2. Adanya overjet lebih 4 mm
3. Bibir bawah yang pendek
4. Bernafas melalui mulut

2.2

Klasifikasi Trauma Gigi Anterior pada Anak


Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi anterior.

Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi menurut Ellis dan
Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization
(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry and
Stomatology.

2.2.1 Klasifikasi menurut Ellis dan Davey


Ellis dan Davey menyusun klasifikasi trauma pada gigi anterior menurut
banyaknya struktur gigi yang terlibat, yaitu : 4
Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email.

Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin tetapi
belum melibatkan pulpa.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau tanpa
kehilangan struktur mahkota.
Kelas 5 : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota atau akar.
Kelas 7 : Perubahan posisi atau displacement gigi tanpa fraktur makhota atau akar.
Kelas 8 : Fraktur mahkota dan disertai perubahan posisi.
Kelas 9 : Traumatik injuri pada gigi sulung.
2.2.2 Klasifikasi menurut World Health Organization (WHO)
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) dalam
Application of International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology
diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan
pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut yaitu sebagai berikut :
A. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa
1.

Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna pada
email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.

2.

Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur
email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) yaitu suatu fraktur yang
hanya mengenai lapisan email saja.

3.

Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu fraktur yang
mengenai email, dentin, dan pulpa.

4.

Uncomplicated crown root fracture, yaitu fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan
sementum tetapi tidak melibatkan pulpa

5.

Complicated crown root fracture, yaitu fraktur yang melibatkan enamel, dentin,
sementum dan terbukanya pulpa

6.

Fraktur akar (root fracture) yaitu fraktur yang melibatkan dentin, cementum dan pulpa

B. Trauma pada jaringan periodontal


1.

Concusion, yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan
gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan atau
perubahan posisi gigi.

2.

Subluxation, yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat trauma
pada jaringan pendukung gigi.

3.

Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu pelepasan sebagian gigi ke luar dari
soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih panjang.

4.

Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah
labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket
alveolar gigi tersebut. Trauma gigi yang menyebabkan luksasi lateral menyebabkan
mahkota bergerak ke arah palatal

5.

Luksasi intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat
menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi menyebabkan
mahkota gigi terlihat lebih pendek.

6.

Laserasi (hilang atau ekstrartikulasi) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar dari soket.

C. Trauma pada tulang pendukung


1.

Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding
soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.

2.

Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus alveolaris dengan
atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.

3.

Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus mandibula atau
maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan soket
gigi.

D. Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut


1.

Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh
benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa robeknya
jaringan epitel dan subepitel.

2.

Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan
menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya
daerah mukosa.

3.

Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau
goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet.

10

2.3

Diagnosis Trauma Gigi pada Anak

2.3.1 Riwayat Dental 5


1.

Kapan trauma terjadi. Interval waktu antara injuri dan penanganan secara signifikan
mempengaruhi prognosis avulsi, luksasi, fraktur mahkota dengan atau tanpa
keterlibatan pulpa dan fraktur dentoalveolar

2.

Dimana trauma terjadi. Dapat mengetahui indikasi pemberian profilaksis tetanus

3.

Bagaimana trauma terjadi. Kecelakaan alami dapat memberikan informasi mengenai


jenis trauma yang dialami. Ketidaksesuaian antara riwayat dan klinis memunculkan
dugaan terjadinya penyiksaan fisik

4.

Gigi/fragment yang hilang.

2.3.2 Riwayat Medis 5

11

1.

Penyakit jantung kongenital, adanya riwayat demam rematik atau immunosupresan


parah. Ini merupakan kontra indikasi beberapa prosedur seperti perawatan
endodontik jangka panjang dengan disertai fokus imfeksi. Adanya penyakit jantung
kongenital dapat menyebabkan risiko terjadinya bakterial endokarditis dan perlu
dikonsultasikan dengan kardiologist sebelum memutuskan untuk membuat
perawatan endodontik.

2.

Kelainan perdarahan. Sangat penting apabila terjadi laserasi pada jaringan lunak atau
gigi yang akan diekstraksi

3.

Alergi. Alergi penicilin dianjurkan menggunakan antibiotik alternatif

4.

Status imunisasi tetanus. Injeksi toxoid tetanus diperlukan apabila terjadi


kontaminasi antara luka dan tanah.

2.3.3 Pemeriksaan Ekstraoral


Pada pemeriksaan ekstraoral, skeletal pada wajah harus dipalpasi untuk
menentukan adanya diskontinuitas dari tulang wajah. Luka dan adanya memar atau lebam
yang terdapat pada bagian ekstraoral harus dicatat. Sendi rahang juga harus diperiksa
untuk mengetahui adanya pembengkakan, bunyi kliking dan bunyi krepitasi.
Fungsi mandibula dalam semua arah pergerakan juga harus dilakukan
pemeriksaan. Jika terdapat rasa sakit, kekakuan pada leher anak yang mengalami trauma,
maka

harus

segera

dirujuk

kepada

dokter

mempertimbangkan adanya cervical spine injury. 2

yang

lebih

berkompeten

untuk

12

Keterbatasan pergerakan mandibula atau deviasi mandibula ketika membuka dan


menutup mulut mengindikasikan fraktur rahang atau dislokasi. Fraktur mahkota dapat
dihubungkan dengan bibir yang bengkak dan adanya luka terbuka mengisyaratkan adanya
retensi fragmen gigi ke dalam bibir. Pemeriksaan klinis dan radiografi diperlukan. 5
2.3.4 Pemeriksaan Intra Oral
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan setelah gigi yang mengalami trauma
dibersihkan dari debris. Kapas kecil yang dibasahi air hangat atau Hydrogen peroxide
dapat digunakan untuk membersihkan gigi dan jaringan sekitarnya. Jika trauma
mengakibatkan fraktur pada mahkota gigi, maka harus dilakukan pemeriksaan pada
struktur gigi yang hilang (email dan dentin) dan melihat apakah ada keterlibatan pulpa
yang terbuka. Dengan sinar transmisi yang diteruskan ke gigi, warna dari gigi yang
mengalami trauma dibandingkan dengan warna gigi tetangga yang normal dan tidak
mengalami trauma. Trauma gigi yang berat sering menyebabkan terjadinya gigi fraktur,
dan pada keadaan ini gigi tersebut akan memperlihatkan warna kemerahan atau gelap. Jika
gigi fraktur tidak segera mendapat perawatan, pulpa akan mengalami perubahan
degeneratif yang berakhir dengan terjadinya nekrosis pulpa.
Test vitalitas harus dilakukan pada setiap kasus. Gigi yng mengalami fraktur
maupun gigi antagonis dan gigi tetangganya diperiksa dan dilakukan test thermal maupun
tes elektrik untuk mengetahui respon vitalitas pulpa terhadap kerusakan akibat trauma.
Elektrik pulp test kadang-kadang memberi reaksi negatif, namun hal ini belum bisa
diyakini bahwa gigi fraktur tersebut mengalami nekrosis, sebab pada beberapa gigi fraktur
yang diduga nekrosis, justru memberikan reaksi positif terhadap elektrik pulp test setelah

13

masa penyembuhan. Keadaan ini dilaporkan pula oleh Rock dan kawan-kawan setelah
melakukan penelitian 500 anak dengan fraktur gigi incisivus. Pada saat dilakukan elektrik
pulp test, mula-mula ditentukan pembacaan normal dari test gigi yang tidak mengalami
trauma yang terletak pada sisi berlawanan dan dicatat nilai terendah dari respon gigi
tersebut. Jika gigi fraktur membutuhkan arus yang lebih besar dari gigi normal maka pulpa
mungkin mengalami perubahan degeneratif dan jika arus yang dibutuhkan kurang dari
normal biasanya hal tersebut menunjukkan inflamasi pulpa. 2,6
Test thermis juga sangat membantu menentukan derajat kerusakan pulpa setelah
terjadinya trauma. Tes ini biasa digunakan pada gigi incisivus sulung anak-anak. Bila gigi
fraktur tidak memberikan respon terhadap panas, hal ini menunjukkan terjadinya nekrosis
pulpa. Sedangkan jika panas yang dibutuhkan lebih rendah daripada yang dibutuhkan gigi
normal untuk mendapatkan respon pulpa, hal ini menunjukkan terjadinya proses inflamasi
pada pulpa.
Rasa sakit yang hebat terhadap test dingin menunjukkan adanya perubahan
patologis dari pulpa, hal ini dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis yang lain.
Selama ini, respon gigi yang mengalami trauma terhadap test vitalitas tidak selalu tepat
dan sering disimpulkan bahwa pulpa sudah mengalami nekrosis. Hal ini disebabkan status
pulpa gigi dalam keadaan shock akibat trauma, sehingga vitalitas pulpa tidak dapat
segera ditentukan. Tidak adanya respon terhadap test vitalitas setelah trauma tidak
seharusnya langsung disimpulkan bahwa pulpa mengalami nekrosis dan langsung
melakukan perawatan saluran akar, sebaiknya perawatan darurat lebih diutamakan, setelah
7 sampai 10 hari kemudian gigi fraktur ditest ulang untuk melihat vitalitasnya. 2

14

2.3.5 Pemeriksaan Radiografi


Pemeriksaan radiografi merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting
dilakukan pada gigi yang mengalami trauma, gigi tetangga maupun gigi antagonisnya.
Ukuran rongga pulpa dan ketidakteraturan bentuk anatomis rongga pulpa dan saluran akar
diperiksa secara hati-hati dan kemudian dibandingkan struktur anatominya dengan gigi
tetangganya. Pemeriksaan radiografi penting untuk menentukan perawatan pilihan yang
akan dilakukan dan mengevaluasi keadaan klinis gigi fraktur. Pada pasien muda,
perkembangan dan ukuran rongga pulpa serta besarnya daerah fraktur akan mempengaruhi
pilihan restorasi perawatan yang akan digunakan. 6
Pemeriksaan radiografi sebaiknya dilakukan segera setelah terjadi trauma.
Seringkali pemeriksaan radiografi yang dilakukan pada waktu tertentu menampakkan
gambaran dari kelanjutan vitalitas pulpa itu sendiri atau pada jaringan pendukung. Pada
gigi muda yang mengalami penyembuhan, ukuran rongga pulpa dan saluran akar akan
tampak mengecil dengan adanya pembentukan dentin sekunder. Jika setelah waktu
penyembuhan tersebut ukuran atau bentuk rongga pulpa dan saluran akar tidak
menyerupai bentuk struktur dengan gigi tetangganya yang normal, maka hal ini dapat
menunjukkan kondisi perkembangan yang bersifat patologis. 2

2.4

Penanganan Trauma Gigi Anterior pada Anak

15

Setelah terjadi trauma pada gigi sulung, strategi perawatan ditujukan untuk
menjaga keamanan dari gigi permanen. Jika dianggap bahwa perpindahan gigi sulung
akan mengganggu perkembangan benih gigi permanen, ekstraksi merupakan indikasi.
Ketika trauma gigi sulung terjadi, diinformasikan kepada orang tua kemungkinan
terjadinya komplikasi pulpa atau perubahan warna pada mahkota gigi. Juga dapat
menyebabkan beberapa komplikasi pada gigi permanen seperti hypoplasia enamel,
hypokalsifikasi, dilaserasi mahkota/akar, atau disrupsi pada pola erupsi. 7
Strategi perawatan setelah trauma pada gigi permanen difokuskan pada vitalitas
pulpa dan ligamen periodontal. Selanjutnya dilakukan monitoring secara periodik dan
dilakukan pengambilan radiografi untuk melihat kesuksesan tindakan yang dilakukan.
Perawatan endodontik awal diindikasikan untuk kasus nyeri spontan, respon abnormal
terhadap tes sensitivitas pulpa, apeksogenesis atau rusaknya jaringan pendukung
periradikuler.
Untuk stabilisasi gigi yang telah mengalami trauma injuri, dibutuhkan splint yang
flexibel membantu dalam penyembuhan. Karakteristik splint ideal meliputi: 7
1. Mudah digunakan dalam mulut tanpa menimbulkan trauma tambahan
2. Pasif
3. Memberikan mobilitas fisiologis
4. Tidak mengiritasi jaringan
5. Tidak mempengaruhi oklusi
6. Tidak menghalangi akses endodontik dan tes vitalitas
7. Mudah dibersihkan

16

8. Mudah dilepas
2.4.1

Infraksi
Penanganannya yaitu dengan mempertahankan integritas struktur dan vitalitas

pulpa.

2.4.2

Fraktur Mahkota - uncomplicated


Tujuan perawatan yaitu untuk mempertahankan vitalitas pulpa dan mengembalikan

fungsi dan estetik gigi. Luka pada bibir, lidah dan gingiva sebaiknya diperiksa dari adanya
fragmen gigi. Jika ditemukan benda asing pada laserasi jaringan lunak dianjurkan
melakukan radiografi. Untuk fraktur yang kecil, tepi dan sudut yang kasar dapat
dihaluskan. Untuk fraktur yang besar, struktur gigi yang hilang direstorasi. 7
2.4.3
a.

Fraktur mahkota complicated


Pada gigi sulung:
Perawatan berdasarkan pada lama bertahannya gigi yang mengalami trauma dan

vitalitas jaringan pulpa. Alternatif perawatan pulpa berupa pulpotomy, pulpektomy, dan
ekstraksi.
b.

Pada gigi permanen:


Alternatif perawatan pulpa berupa direct pulp capping, pulpotomy parsial,

pulpotomy, dan pulpektomy. 7


Direct Pulp Capping
Langkah-langkah direct pulp capping adalah:
1. Isolasi gigi dengan menggunakan rubber dam atau cotton roll.

17

2. Bersihkan permukaan fraktur menggunakan cotton pellets lembab yang telah


dicelupkan pada NaCl fisiologis atau klorheksidin.
3. Keringkan bagian pulpa yang terbuka dengan menggunakan cotton pellets steril.
4. Daerah perforasi tutup dengan pasta kalsium hidroksida.
5. Tutup dengan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, melekatkan kembali
fragmen mahkota atau composite build-up.
Pulpotomi parsial
Perawatan ini ditujukan untuk menghilangkan jaringan pulpa yang mengalami inflamasi.
Umumnya amputasi dilakukan kira-kira 2 mm di bawah daerah tereksponasi. Indikasi
perawatan ini adalah untuk gigi yang akarnya sudah terbentuk lengkap ataupun belum
dengan gambaran adanya warna pulpa merah terang. Langkah-langkah pulpotomi parsial:
1. Lakukan anestesi lokal.
2. Isolasi menggunakan rubber dam atau cotton roll dan bersihkan permukaan fraktur
dengan cotton pellets basah dan lembab yang telah dicelupkan pada NaCl fisiologis
atau klorheksidin.
3. Preparasi seperti bentuk box pada daerah eksponasi.
4. Gunakan contra angle dengan bur diamond silindris dan semprotan air.
5. Buang jaringan pulpa sedalam kurang lebih 2 mm.
6. Pertahankan hemostasis menggunakan irigasi NaCl fisiologis tekanan ringan .
7. Tutup daerah tersebut dengan menggunakan pasta kalsium hidroksida dan semen.
8. Berikan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, pelekatan kembali fragmen
mahkota atau composite build up.

18

2.4.4 Fraktur Mahkota/Akar


a.

Pada gigi sulung:


Jika bagian mahkota fraktur dan sangat goyang sehingga menimbulkan rasa tidak

nyaman, bagian mahkota dapat dicabut, sedangkan bagian akar dibiarkan sampai terjadi
resorpsi akar fisiologi. 3
b.

Pada gigi permanen:


Membuang

fragmen

mahkota

kemudian

dilanjutkan

dengan

restorasi

supragingival, gingivektomi jika perlu, osteotomy untuk persiapan restorasi. Jika pulpa
terekspos, perawatan alternatif dapat berupa pulp capping, pulpotomy, dan perawatan
saluran akar.
Perawatan fraktur mahkota akar dilakukan pada gigi yang masih bisa dilakukan
restorasi. Apabila bagian akar masih cukup panjang maka dapat dilakukan prosedur seperti
di bawah ini:
1. Menghilangkan fragmen dan melekatkan gusi kembali. Fragmen mahkota dibuang dan
gusi dibiarkan untuk melekat pada dentin yang terbuka. Setelah beberapa minggu gigi
dapat direstorasi sampai batas gusi.
2. Menghilangkan fragmen dan melakukan bedah exposure pada fraktur subgingiva.
Setelah fragmen mahkota dibuang maka fraktur subgingiva hendaknya dilebarkan
melalui tindakan gingivektomi dan atau alveolektomi. Bila gusi telah terlihat menutup
maka gigi direstorasi dengan post retained crown.
3. Menghilangkan fragmen dan orthodontic extrusion

19

Pada mulanya dilakukan stabilisasi fragmen mahkota pada gigi sebelahnya. Kunjungan
berikutnya dilakukan ekstirpasi pulpa dan pengisian saluran akar. Bila telah selesai
maka fragmen mahkota dibuang dan dilakukan ekstrusi kira-kira 0,5 mm agar tidak
terjadi relaps. Setelah itu dilakukan gingivektomi pada permukaan bukal dan gigi siap
untuk direstorasi.
4. Menghilangkan fragmen dan surgical extrusion
Fragmen mahkota dilepaskan kemudian dengan menggunakan bein dan tang ekstraksi
kembalikan gigi ke posisi sejajar dengan garis insisal. Lakukan stabilisasi fragmen akar
dengan melakukan penjahitan atau splint non rigid. Kemudian lakukan ekstirpasi pulpa
tanpa diisi dengan gutta perca setelah itu tutup dengan tambalan sementara. Setelah 4
minggu perawatan endodontik diselesaikan dan kira-kira 4-5 minggu kemudian lakukan
restorasi tetap.

2.4.5 Fraktur Akar


a.

Pada gigi sulung:


Ini jarang terjadi pada gigi sulung. Radiografi periapikal dibutuhkan untuk

menentukan posisi dari fraktur. Fraktur yang terjadi pada sepertiga apikal mempunyai
prognosis yang baik. Biasanya gigi tetap vital dan resorbsi secara normal.
Fraktur pada duapertiga akar biasanya menyebabkan gigi goyang dan
membutuhkan ekstraksi. Tidak disarankan untuk melakukan reposisi dan stabilisasi dari
fragmen koronal. 4
b.

Gigi permanen:

20

Reposisi dan stabilisasi fragmen mahkota pada posisi anatomis yang tepat sesegera
mungkin untuk mengoptimalkan penyembuhan ligamen periodontal dan suplai
neurovaskuler serta menjaga estetik dan integritas fungsi. 7
Gigi yang mengalami fraktur akar umumnya akan terjadi ekstrusi fragmen
mahkota atau bergesernya mahkota ke arah palatal, oleh karena itu maka perawatan yang
dilakukan harus meliputi reposisi fragmen mahkota segera dan stabilisasi. 7
Langkah-langkah perawatan fraktur akar:
1. Berikan anestesi lokal pada daerah sekitar fraktur.
2. Lakukan reposisi fragmen mahkota secara perlahan-lahan dan tekanan ringan.
3. Apabila dinding soket bukal juga mengalami fraktur maka tulang yang bergeser perlu
dilakukan reposisi sebelum reposisi fragmen mahkota. Tindakan ini dilakukan dengan
menggunakan instrumen kecil dan rata yang diletakkan antara permukaan akar dan
dinding soket.
4. Pembuatan foto rontgen perlu dilakukan untuk memastikan reposisi telah optimal.
5. Gigi distabilisasi dengan menggunakan splint.
6. Pertahankan splint selama 2-3 bulan.
Teknik memasang splint:
1. Gunakan kawat ortodontik dengan panjang kira-kira 0,032 inci dan letakkan kirakira pada sepertiga tengah permukaan bukal gigi yang mengalami trauma dan
beberapa gigi sebelah kanan dan kirinya.
2. Aplikasikan asam fosfat selama 15-20 detik pada permukaan bukal gigi yang akan
dilakukan splinting.

21

3. Bilas dengan menggunakan air hangat.


4. Aplikasikan selapis tipis resin komposit light curing.
5. Tempelkan kawat pada gigi yang tidak mengalami trauma selanjutnya pada gigi
yang mengalami trauma dan pastikan bahwa posisinya sudah dalam keadaan baik.
6. Pasien diminta untuk berkumur sehari 2 kali dengan menggunakan larutan
klorheksidin 0,1%.

2.4.6 Concussion
Concussion merupakan injuri minor pada jaringan periodontal tanpa disertai
malposisi atau mobilitas gigi.

Suplai aliran darah ke pulpa jarang terkena. Pada

concussion, hanya diperlukan observasi untuk mengontrol respon pulpa secara periodik. 7
2.4.7 Subluksasi
Subluksasi merupakan injuri pada jaringan periodontal disertai mobilitas gigi yang
ringan tanpa disertai malposisi gigi, suplai darah ke pulpa dapat terkena. Penanganan
subluksasi biasanya hanya diperlukan observasi, stabilisasi dilakukan jika pasien
mengalami gangguan pengunyahan karena gigi goyang. Perawatan endodontik dilakukan
jika terdapat gejala pulpa nekrosis. 8
Prosedur perawatan:
1. Pemeriksaan dan diagnosis: cek nyeri perkusi, mobilitas gigi, adanya perdarahan dari
sulkus gingiva dan derajat trauma struktur periodontal dan neurovaskuler. Electric pulp
test dan foto radiografi dapat memberi informasi mengenai perubahan yang terjadi.

22

2. Splinting: gigi distabilisasi selama 1 sampai 2 minggu jika terdapat gangguan mastikasi
karena gigi mobility atau terdapat nyeri.
3. Follow-up: monitor secara periodik untuk melihat perkembangan pulpa nekrosis.
4. Perawatan endodontik: diindikasikan terjadi diskolorisasi gigi, nyeri perkusi, dan
indikasi nekrosis pulpa didasarkan pada ada atau tidaknya lesi apikal.

2.4.8 Subluksasi Lateral


Subluksasi lateral umumnya terjadi pada arah palatal, bukal, mesial atau distal.
Arah bukal merupakan keadaan yang paling sering terjadi. Pada beberapa kasus sering
terjadi bony lock sehingga reposisi sulit dilakukan.
Langkah-langkah reposisi luksasi palatal: 9
1. Lakukan anestesi lokal.
2. Palpasi daerah lekukan sulkus dan pastikan letak apeks. Lakukan penekanan dengan
perlahan dan tekan daerah insisal agar gigi dapat bergerak ke arah asal melalui
penetrasi di dalam soket.
3. Reposisi gigi kembali ke posisi asal melalui arah tekan yang berlawanan.
4. Lakukan reposisi tulang yang fraktur menggunakan tekanan jari.
5. Lakukan foto rontgen untuk memastikan posisi yang benar.
6. Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
7. Pertahankan splint minimal 3-4 minggu.
8. Pembuatan foto rontgen setelah kira-kira 3 minggu bila tidak menunjukkan keretakan
pada tulang marginal maka splint dipertahankan sampai 3-4 minggu berikutnya.

23

2.4.9
a.

Luksasi Intrusi
Gigi sulung:
Radiografi digunakan untuk melihat lokasi gigi yang intrusi dan memeriksa krip

dari gigi permanen yang rusak atau bergeser. Jika gigi yang intrusi ditemukan mengenai
kuncup gigi permanen, ekstraksi gigi diindikasikan. Selain itu, perawatan biasanya
melibatkan wait dan watch policy. Jika setelah 6 sampai 12 bulan gigi tidak
menunjukkan tanda-tanda pergerakan, kemudian terdapat ankylosis

maka ekstraksi

disarankan. 7

Gambar Gigi Intrusi

b.

Gigi permanen:
Prosedur perawatan: 8,9

1. Pemeriksaan dan diagnosis: untuk mengetahui derajat kerusakan tulang alveolar dan
masalah lainnya yang berhubungan dengan trauma.
2. Anestesi.
3. Transplantasi dari gigi yang intrusi.

24

4. Reposisi dan splinting: mengatasi masalah yang berhubungan dengan trauma dan
fraktur tulang alveolar secara bersamaan kemudian dijahit dan displint.
5. Perawatan endodontik awal: dapat dilakukan sekitar 2 minggu setelah replantasi gigi.
Digunakan calcium hydroksida untuk pengisian saluran akar.
6. Follow-up dan pengangkatan splint: menunggu penyembuhan fraktur dan gigi yang
telah ditransplantasi. Splint dilepas sekitar 2 sampai 3 bulan apabila tidak ada masalah.
7. Perawatan endodontik akhir; menggunakan sealer dan gutta percha untuk
menggantikan calcium hidroksida.
8. Follow-up: mengevaluasi kembali secara berkala untuk mendeteksi adanya masalah
yang terjadi setelah transplantasi gigi dan gigi trauma lainnya.
Luksasi intrusif merupakan kasus luksasi yang sulit dan keberhasilan perawatan
masih diperdebatkan. Beberapa petunjuk dalam merawat luksasi intrusif adalah sebagai
berikut:
1. Reposisi segera melalui tindakan pembedahan merupakan tindakan beresiko olah
karena dapat menyebabkan resorpsi akar eksternal dan hilangnya jaringan pendukung
marginal. Reposisi secara bedah hendaknya dihindari apabila gigi masuk ke dalam
dasar hidung atau keluar dari jaringan lunak vestibulum.
2. Beberapa kasus gigi intrusi dapat dikembalikan ke posisi semula melalui perawatan
ortodontik dan re-erupsi spontan. Pemilihan teknik perawatan bergantung pada tingkat
keparahan intrusi dan kemungkinan terjadinya resorpsi eksternal. Perawatan
endodontik dapat mulai dilakukan setelah 2-3 minggu kemudian. Apabila re-erupsi

25

spontan dirasakan cukup memakan waktu lama maka dipertimbangkan untuk dilakukan
dengan menggunakan alat-alat ortodontik.

2.4.10 Luksasi Ekstrusi


a.

Gigi sulung:

1. Reposisi yaitu mengembalikan gigi ke posisinya semula. Gigi dimasukkan kembali


dengan bantuan jari bila gigi keluar tidak melebihi 1-2 mm dan tidak disertai fraktur
akar. Sebagai patokan dapat digunakan gigi sebelahnya.
2. Pencabutan. Dilakukan bila gigi mobility, keluar > 2 mm dan disertai fraktur akar.

Gambar Gigi Ekstrusi


b. Gigi permanen:
Prosedur perawatan: 8
1. Pemeriksaan dan diagnosis untuk mengetahui formasi akar karena penyembuhan
pulpa dapat terjadi pada gigi dengan akar immatur.
2. Reposisi dan splinting: setelah membersihkan gigi yang bergeser, dilakukan reposisi
pada gigi tersebut dengan menggunakan wire yang elastis dan resin adesif untuk
melekatkan dengan gigi tetangga. Periode splinting 1 sampai 3 minggu.

26

3. Perawatan pulpa: perawatan endodontik diindikasikan apabila terdapat gejala nekrosis


pulpa. Ini dapat dilakukan 2 minggu setelah reposisi dan splinting pada gigi matur dan
setelah observasi pada gigi immatur yang berkembang menjadi nekrosis pulpa,
apeksifikasi merupakan pilihan pertama perawatan. Dilakukan pengisian saluran akar
setelah dipastikan ujung akar telah menutup. Biasanya terjadi diskolorisasi sehingga
biasanya perlu dilakukan bleaching.

2.4.11 Avulsi
a.

Gigi sulung: avulsi gigi sulung tidak perlu direplantasi karena berpotensi
menimbulkan kerusakan pada perkembangan benih gigi permanen.7,9

b.

Gigi permanen: replantasi sesegera mungkin dilakukan dan menstabilisasi gigi yang
telah direplantasi dalam posisi anatomis yang sesuai untuk mengoptimalkan
penyembuhan ligamen periodontal dan suplai neurovaskular serta menjaga estetik dan
fungsi. 9

Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat terjadinya trauma:


1. Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar pada soketnya sesegera
mungkin.
2. Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila tidak
memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu.
3. Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.

Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek:


1.

Lakukan anestesi lokal.

27

2.

Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe.

3.

Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis.

4.

Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari.

5.

Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan kembali


gigi dan tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada posisinya dan
ulangi kembali replantasi.

6.

Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah benar.

7.

Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.

8.

Berikan antibiotika selama 4-5 hari.

9.

Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan sesuatu.

10. Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan klorheksidin 0,1% sehari 2


kali selama 1 minggu.
11. Lepaskan splint setelah 1-2 minggu.
12. Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan pada pulpa.

(a) Gigi insisif sentral kiri atas mengalami avulsi


(b) Cara mengembalikan gigi ke dalam soket

28

(c) Pemasangan splint pada gigi yang sudah direplantasi

Pertimbangan perawatan saluran akar pada gigi yang mengalami avulsi:


1.

Perawatan saluran akar dapat dilakukan setelah 7-10 hari kemudian atau setelah splint
dilepas.

2.

Saluran akar diisi pasta kalsium hidroksida untuk sementara.

3.

Pada gigi dengan foramen apikal yang masih terbuka kemungkinan akan terjadi
revaskularisasi pada pulpa sehingga perawatan saluran akar hendaknya ditangguhkan.

4.

Apabila pada foto rontgen terlihat tanda-tanda nekrosis pulpa dan adanya gambaran
radiolusen di daerah apikal dengan atau tanpa disertai resorpsi akar eksternal maka
perawatan saluran akar harus segera dilakukan.

5.

Pada gigi dengan apeks belum tertutup dianjurkan untuk dilakukan pembuatan foto
rontgen setiap 2 minggu sekali sampai terlihat pulpa tidak nekrosis dan penutupan
apeks terjadi.

29

BAB III
SIMPULAN

30

Trauma dengan kata lain injury atau wound, dapat diartikan sebagai kerusakan atau
luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik dan ditandai dengan
terputusnya kontinuitas normal suatu struktur jaringan. Frekuensi tertinggi kejadian
trauma terjadi pada anak-anak. Kerusakan gigi pada anak-anak yang disebabkan karena
trauma dapat terjadi baik pada gigi sulung maupun pada gigi tetap. Rencana perawatan
diambil berdasarkan pertimbangan status kesehatan pasien dan status perluasan injuri.
Pengalaman yang tinggi dalam penanganan atau rujukan yang tepat dapat berguna untuk
memastikan diagnosis dan perawatan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

31

1. Dorland, W.A.N. Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Terjemahan H. Hartantodkk.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002.
2. Achmad, Harun. Pemeriksaan, Diagnosis dan Pencegahan Trauma Gigi Anterior pada
Anak.. Makassar: Bimer, 2009.
3. USU OCW Project. Pedodonsia Terapan, Trauma pada Gigi Depan Anak. USU. 2013.
4. Tandon, Shoba. Textbook of Pedodontics 2nd edition.
5. Welbury, Richard. Paediatric Denstistry, 3rd edition. United States:Oxford University.
2005.
6. Koch, G & Poulsen, S. Pediatric dentistry a clinical approach. 1st edition.
Copenhagen : Munksgaard. 2001.
7. American Academy of Pediatric Dentistry. Guideline on .management of Acute
Dental Trauma. V 34/ No 6. 2011.
8. Tsukiboshi, Mitsuhiro. Treatment Planning for Traumatized. Tokyo. 2000.
9. Riyanti, Eriska. Penatalaksanaan Trauma Gigi pada Anak. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjajaran.

Anda mungkin juga menyukai