Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Fraktur atau kepatahan merupakan suatu terputusnya kontinuitas jaringan


tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma. Kerusakan
atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya
disebabkan trauma fraktur dentoalveolar.

Menurut Pedersen, injuri dentoalveolar sering terjadi pada populasi anak-


anak, remaja dan dewasa. Pada anak penyebab utama injuri adalah terjatuh.
Pada skala besar, kurang lebih 5% balita pernah mengalami fraktur wajah.
Andreasen melaporkan bahwa trauma paling sering terjadi pada anak usia 2
sampai 4 tahun dan 8 samapai 10 tahun. Secara keseluruhan 11-30%
merupakan anak dengan primary dentition sedangkan permanent dentition
memiliki insidensi 5-20%.1

Pada anak anak dan remaja biasanya disebabkan oleh olahraga dan
playground activities. Kenyataannya sepertiga dari trauma dental disebabkan
oleh kecelakaan pada saat berolahraga. Penggunaan mouthguard dan helm
yang memadai dapat mengurangi injuri karena olahraga.1

Kekerasan pada anak menjadi penyebab signifikan lainnya yang sering


menyebabkan trauma dentolaveolar. Pada tahun 2000 sekitar 879.000 anak
mengalami kekerasan anak. 19,3% mengalami kekerasan anak secara fisik.
Trauma pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh kecelakaan berkendara,
olahraga, berkelahi, kecelakaan kerja, iatrogenic, dsb.1

Kelompok yang memiliki resiko besar terhadap trauma ini adalah orang
orang pecandu alcohol sebagai suatu faktor kebiasaan. Kelompok lainnya
adalah orang dengan penyakit kejang, gangguan mental, dan orang yang
memiliki maxiofacial abnormal sejak lahir.1

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fraktur dentoalveolar ?

2. Apa yang menjadi etiologi dari fraktur dentoalveolar ?

3. Apa saja klasifikasi fraktur dentoalveolar ?

4. Apa saja tanda-tanda klinis dari fraktur dentoalveolar ?

5. Bagaimmanakah perawatan atau penanggulangan trauma secara umum ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi fraktur dentoalveolar

2. Untuk mengetahui etiologi dari fraktur dentoalveolar

3. Untuk mengetahui klasifikasi fraktur dentoalveolar

4. Untuk mengetahui tanda-tanda klinis fraktur dentoalveolar

5. Untuk mengetahui perawatan atau penanggulangan trauma secara umun

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu
bagian terutama tulang.2 Fraktur dentoalveolar merupakan suatu injuri yang
melibatkan patahnya struktur dentoalveolar. Fraktur dentoalveolar berarti
mencakup fraktur gigi dan juga fraktur alveolar biasanya disebabkan oleh
kecelakaan atau trauma.
Fraktur gigi dapat dimulai dari ringan (melibatkan chipping dari lapisan
gigi terluar yang disebut email dan dentin) sampai berat (melibatkan fraktur
vertikal, diagonal, atau horizontal akar). Email dan dentin adalah dua lapisan
pelindung terluar gigi. Email adalah permukaan terluar yang keras dan berwarna
putih. Dentin adalah lapisan kuning yang terletak tepat di bawah email. Email
dan dentin keduanya berfungsi melindungi jaringan gigi bagian dalam. Mahkota
terlihat sepertiga dari gigi, sedangkan sisanya dua pertiga yang ditutupi dengan
gusi disebut akar.

2.2 Etiologi

Etiologi dari fraktur itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu ekstrinsik dan
intinsik. Fraktur paling sering disebabkan oleh kecelakaan ketika sedang
berkendara dan juga kekerasan di seluruh dunia. Tetapi bisa juga disebabkan
karena kecelakaan kerja, aktivitas olahraga, jatuh dan sebagainya.1

Penyebab ekstrinsik antara lain direct violence (fraktur pada bagian yang
terkena), indirect violence (fraktur karena trasmisi dari yang terkena), bending
forces, torsional forces, compression forces, dan shearing forces.1

Penyebab Intrinsik dapat disebabkan karena lemah secara intrinsic dari


tulang tanpa adanya force of impact. Fraktur patologis terjadi karena penyakit

3
sistemik atau dari tulang itu sendiri memiliki sistem yang abnormal sehingga
dapat menyebakan fraktur.1

Disamping itu, faktor lain yang ditambahkan oleh American Dental


Association (ADA) yaitu kebiasaan buruk, kehilangan sebagian besar struktur
gigi, paparan email gigi terhadap suhu ekstrim, tambalan pada gigi, gigi pasca
rawatan endodontik dan kesalahan dokter gigi.

2.2.1 Trauma

Dalam satu penelitian yang dilaku oleh Schwartz, katakan selama masa
remaja, cedera olahraga merupakan kasus yang umum namun pada usia
dewasa, kasus seperti cedera olahraga, kecelakaan sepeda motor, kecelakaan
industri, dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab potensial
trauma. Olahraga yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum
fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket. Olahraga tanpa kontak fisik
seperti berkuda terdapat menyebabkan fraktur dental. Benturan atau trauma,
baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan tidak
langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya tonjolan-tonjolan
gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan
terutama terhadap tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh
dentin dapat pula menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa hanya sekedar
retak saja, pecahnya prosesus, atau sampai lepasnya gigi yang tidak bisa
diselamatkan lagi. Trauma secara langsung kebanyakan mengenai gigi anterior,
dan karena arah pukulan mengenai permukaan labial, garis retakannya
menyebar ke belakang dan biasanya menyebab fraktur horizontal atau miring.
Pada fraktur yang lain, tekanan hampir selalu mengenai permukaan oklusal,
sehingga fraktur pada umumnya vertical.2

2.2.2 Kebiasaan Buruk

Kebiasaan buruk yang sering menjejaskan kualitas gigi. Sebagai contoh,


banyak orang menggunakan gigi mereka sebagai alat pembuka botol dan
kemasan plastik atau mencabut label harga pada baju. Kebiasaan ini dapat
4
menyebabkan efek traumatis pada gigi, melemahkan tepi gigi bahkan bisa
menyebabkan maloklusi.13 Menggigit pensil atau pulpen juga merupakan
kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh banyak orang. Sama halnya
dengan mengunyah es batu, menggigit benda keras bisa menyebabkan email
gigi mengalami penipisan dan fraktur. Apalagi, dilanjut dengan kebiasaan
mengunyah batu es terutama sehabis meminum minuman dingin. Bentuknya
yang keras dan temperatur dingin dari batu es, sebenarnya dapat mengikis
email dan menyebabkan fraktur gigi.7

Gambar 1. Kebiasaan buruk seperti menggigit ujung pensil dan membuka


botol

2.2.3 Kehilangan Sebagian Besar Struktur Gigi

Kehilangan bagian email dan dentin gigi umumnya disebabkan oleh


kondisi karies yang meluas. Gigi yang mengalami karies yang meluas akan
mengurang kekuatan gigi untuk menahan daya untuk kegiatan harian terutama
mengunyah yang menyebabkan gigi lebih rentan fraktur. Karies pada gigi yang
meluas pada garis

2.2.4 Suhu Ektrim

Orang yang mepaparkan email gigi kepada suhu ekstrim seperti makan
makanan panas kemudian minum air es. Perlakuan ini melemahkan email gigi
dan memudahkan terjadi fraktur gigi

2.2.5 Tambalan

5
Salah satu kebiasaan yang terjadi fraktur adalah ketika gigi mempunyai
tambalan yang besar. Kekuatan gigi yang rendah disebabkan oleh bahan
tambalan gigi yang tidak sama kuat dibandingkan dengan email atau dentin,
dapat menimbulkan resiko gigi menjadi fraktur.5

Gambar 2. Tambalan yang besar pada gigi

2.2.6 Gigi Pasca Perawatan Orthodontik

Pelemahan struktur mekanik gigi terjadi waktu akses persiapan rongga,


sedangkan pembersihan dan pembentukan saluran akar meningkatkan
kemungkinan gigi fraktur.5
Gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar dan diisikan dengan
gutta perca atau pasak akan mempunyai resiko fraktur yang sangat tinggi
dibandingkan dengan gigi yang asli. Waktu gigi dipreparasi untuk diisi akan
menyebabkan struktur gigi menjadi lemah dan lebih mudah fraktur.
Penggunaan sekrup dan post adalah aspek lain dari fraktur akar gigi karena
efek tolak-menolak (wedging). Post runcing dan berulir lazimnya
menghasilkan kejadian fraktur akar tertinggi, diikuti dengan post meruncing
dan sejajar.5,6

6
Gambar 3. Fraktur gigi pasca perawatan Otrhodontik

2.2.7 Kesalahan Dokter Gigi

Sebelum melakukan pencabutan gigi, mungkin dokter gagal melakukan


diagnosis yang tepat. Haruslah dokter gigi melakukan anamnesis terhadap
pasien supaya mengetahui riwayat medis pasien dan dapat memberikan
rawatan yang betul. Pemeriksaan radiografi dilakukan supaya diagnosis lebih
tepat. Sikap seseorang dokter juga sangat penting bila memberikan diagnosis
dan rawatan kepada pasien. Dokter harus sabar dan penuh semangat untuk
memberikan rawatan yang terbaik kepada pasien. Keadaan seperti pemilihan
instrumen waktu ekstraksi gigi, tang yang diguna harus sesuai dengan gigi
yang diekstraksi supaya mengurangi kecelakaan waktu aplikasi daya5,6

2.3 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar

Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization


(WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras
gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada
pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang
mengakibatkan fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan
pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung 8

2.3.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

7
1. Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa
retakan tanpa hilangnya substansi gigi.
2. Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.
3. Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email
dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.
4. Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur
email dan dentin dengan pulpa yang terpapar.
5. Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root
fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan
pulpa.
6. Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture):
fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
7. Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa,
dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga
koronal (gingiva).

Gambar 4. Cedera pada jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa

2.3.2 Cedera pada Jaringan Periodontal

1. Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.
2. Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.

8
3. Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.
4. Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.
5. Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket
alveolar.
6. Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 5. Cedera pada Jaringan Periodontal

2.3.3 Cedera pada Tulang Pendukung

1. Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan


tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral
luksasi.
2. Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang
terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3. Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus
alveolar yang dapat melibatkan soket gigi.
4. Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket
alveolar.

9
Gambar 6. Cedera pada tulang Pendukung
2.3.4 Klasifikasi Ellis :

1. Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa
memakai perubahab tempat
2. Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau
tanpa memakai perubahan tempat.
3. Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa
perubahan tempat
4. Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan
atau tanpa hilangnya struktur mahkota
5. Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma
6. Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota
7. Klas VII : Perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar gigi
8. Klas VIII : Fraktur mahkota sampai akar
9. Klas IX : Fraktur pada gigi desidui

2.4 Tanda-Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar

Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan


dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan
vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk
menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan
Radiografi .10
Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada
gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis

10
fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma
tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan
atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa terlihat dengan adanya pembengkakan dan
hematom pada dagu serta luka pada bibir.10,11
2.5 Gambaran Radiologi Fraktur Dentoalveolar
Foto rontgen penting sebelum membuat diagnosis pada pasien, dan dari foto
tersebut kita dapat melihat batas fraktur sampai mana. Dari foto tersebut, lokasi
yang mengalami fraktur akan muncul gambaran garis yang radiolusen.

Gambar 7.A Gambaran Radiologis.


B A.Fraktur Email. B.Fraktur
C D
Dentin tanpa terbukanya
pulpa. C.Fraktur mahkota dengan terbukanya pulpa. D.Fraktur Akar

2.6 Perawatan / Penanggulangan trauma secara Umum

1. Kondisi Saluran Pernafasan

Pasien yang mengalami trauma orofasial harus diperhatikan benar-


benar mengenai pernapasannya. Tindakan pertama adalah aspirasi darah,
pengambilan serpihan gigi atau protesa. Dasar dari usaha mempertahankan
jalan napas adalah dengan mengontrol perdarahan dari mulut/hidung dan
membersihkan orofaring. Gigi yang sangat goyang yang dikhawatirkan
akan terlepas sendiri, atau terhisap sebaiknya dicabut. Fraktur-fraktur
tertentu misalnya fraktur bilateral melalui region mentalis atau fraktur
maksilla dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring,
cenderung menyumbat saluran pernapasan. Jika fragmen symphysis
mandibulae bergeser ke posterior, maka dukungan ke arah anterior
terhadap lidah akan hilang, sehingga mengakibatkan kolaps lidah ke arah

11
posterior (ke faring). Pergeseran maksilla kea rah inferoposterior bias
mengakibatkan penyumbatan mekanis langsung pada orofaring. Lidah bias
dikontrol dengan melakukan penjahitan menggunakan benang sutera tebal
pada ujung lidah dan menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior.
Keterlibatan maksila tidak mudah diatasi dan mungkin tergantung pada
reduksi dari fraktur, atau paling tidak pada imobilisasi sementara yang
dilakukan dengan jalan mengfiksasinya terhadap mandibula yang masih
utuh.2,3,4

Gambar 8. Kondisi saluran pernafasan

2. Sumbatan Jalan Nafas yang Tertunda

Sumbatan tertunda dari jalan napas bias disebabkan karena


pembengkakan atau edema lidah atau faring yang diakibatkan oleh
hematom sublingual, luka-luka lingual, menghisap udara panas atau
menelan bahan kausatik. Hematom bias menyebabkan elevasi dan
penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka bakar sering

12
menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga menyebabkan
lidah tergeser kea rah posterior. Cedera pada saraf sering mempersulit
masalah yang sudah ada, yakni berupa gangguan dalam melakukan control
gerakan lidah. Apabila diperkirakan akan terjadi edema lingual atau
faringeal, maka penggunaan fiksasi maksilomandibular ditunda. Fiksasi
interdental yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan,
sehingga membuat lidah cenderung bergerak kea rah posterior dan
berakibat fatal. Apabila kondisi saluran pernapasan diragukan, bias
dilakukan pemasangan alat bantu pernapasan oro- atau nasofaringeal,
intubasi endotracheal dan tracheostomi pada kasus tertentu.12

3. Perdarahan

Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal.


Penekanan, baik langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan
menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan
rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan
klem dan pengikat pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksillaris, a.
lingualis, a. karotis eksterna). Walaupun perdarahan yang tertunda jarang
menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk
tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma
orofasial mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk
keperluan tranfusi.2

4. Antibiotik

Terapi antibiotic profilaksisdiberikan berdasarkan pada kondisi


individu. Terapi ini diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama
untuk pasien di mana daerah yang mengalami fraktur terbuka
(berhubungan dengan permukaan kulit atau mukosa) dan kemungkinan
besar terkontaminasi, atau apabila perawatan definitive harus ditunda.4,5

13
5. Kontrol Rasa Sakit

Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena


pasien yang mengalami cedera yang relative berat, tidak terlalu menderita
seperti kelihatannnya. Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan
edema serebral dan menyulitkan penentuan tingkat kesadaran,
pemberiannya ditunda sampai pasien jelas mengalami cedera
kranioserebral. Pada mulanya obat-obatan narkotik untuk pemberian
intravena atau intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya,
kombinasi narkotik/ non narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan
sering terdapat dalam bentuk cairan. Aplikasi dingin pada bagian yang
mengalami cedera bisa mengurangi ketidaknyamanan, dan sekaligus
mengontrol edema.4,5

6. Perawatan Pendukung

Karena pasien biasanya tidak bias makan secara normal, terapi


pendukung untuk pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan yang
cukup. Di rumah sakit hal ini dilakukan dengan pemberian cairan
intravena (biasanya larutan elektrolit yang seimbang). Untuk perawatn di
rumah, maka pemberian cairan bias dilakukan lewat mulut. Pasien diberi
diet cairan, kadang ditambah dengan protein atau vitamin. Seringkali
pasien trauma orofasial harus berpuasa selama menunggu pembedahan.8

7. Perawatan Segera

Perawatan fraktur prosessus alveolar sebaiknya dilakukan 48-72 jam


sesudah kecelakaan, sering dilakukan dengan bantuan anestesi local,
apabila diperlukan bisa ditambahkan dengan sedasi yang sesuai.

Pemeriksaan awal yang dilakukan adalah ada tidaknya pergeseran


segmen, adanya dikontinuitas lengkung rahang dan terjadi hambatan

14
oklusi. Juga cedera pada jaringan lunak diatasnya misalnya luka-luka atau
hematom.9

Penatalaksanaan :

a. Menenangkan pasien dan member sedative sesuai


b. Lakukan anestesi local biasanya sudah cukup, tetapi mungkin
diperlukan anestesi umum apabila anestesi local tidak berhasil, atau
pada pasien yang sangat takut
c. Gerakan segmen dengan jari dan periksa hubungan oklusalnya
(reduksi)
d. Imobilisasi segemn pada posisi sudah di reduksi degan arch bar atau
splint
e. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan fiksasi maksilo mandibular
apabila melibatkan segemn luas.
f. Teliti hubungan oklusi. Apabila mungkin, gigi pada segmen fraktur
dibebaskan dari oklusi apabila tidak digunakan fiksasi
maksilomandibular
g. Resep obat untuk menghilangkan rasa sakit, kadang-kadang
diperlakukan antibiotic
h. Intruksikan pengaplikasian es pada bagian yang fraktur, dan
pemberian makanan lunak dan cair, serta hygiene mulut.
Jangan mencabut gigi pada segmen kecuali bila ada kemungkinan
terjadi avulsi atau aspirasi karena akan mengakibatkan hilangnya tulang
dalam waktu singkat. Dan jangan melakukan prosedur dimana harus
membuka flap dan mengangkat periosteum yang dapat mengakibatkan
gangguan suplai darah yang biasanya diikuti dengan resobsi atau nekrosis
tulang.

2.7 Perawatan Fraktur Mahkota dan Akar

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapahal yang mampu


menyebabkan fraktur pada mahkota maupun pada akar, klasifikasikan pun sudah

15
diterangkan sebelumnya. Disini akan dibahas mengenai langkah-langkah
perawatan yang harus dilakukan untuk memperbaiki fraktur tersebut sehingga
gigi bisa berfungsi kembali dengan normal.1,11,12

a. Fraktur Email

Yang dimaksud dengan fraktur email disini adalah fraktur tidak


mengenai jaringan gigi yang lebih dalam (dentin mauapun pulpa) namun
hanya sebagatas email. Sebenarnya kasus ini memiliki prognosis yang
baik.. Namun tidak memungkinkan timbulnya pergeseran letak gigi
(luksasi). Perawatan yang dapat diberikan antara lain dengan
menghaluskan bagian email yang kasar akibat fraktur tersebut atau dengan
memperbaiki struktur gigi tersebut.

b. Fraktur Mahkota dengan Pulpa masih Tertutup

Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated,
karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan juga pulpa.
Perawatannya pun agak sedikit berbeda dan tidak sesederhana dua kasus di
atas. Hal lain yang harus diperhatikan saat menangani kasus ini adalah
maturasi gigi, ini penting untuk menentukan apakah apeks gigi sudah
menutup sempurna atau belum karena akan membedakan langkah
perawatan yang akan diberikan.

c. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka

Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated,
karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan juga pulpa.
Perawatannya pun agak sedikit berbeda dan tidak sesederhana dua kasus di
atas. Hal lain yang harus diperhatikan saat menangani kasus ini adalah
maturasi gigi, ini penting untuk menentukan apakah apeks gigi sudah

16
menutup sempurna atau belum karena akan membedakan langkah
perawatan yang akan diberikan.6

Kondisi ini sangat tidak memungkinkan dilakukan pulpektomi,


karena dinding akar masih tipis, vitalitas gigi harus tetap dipertahankan
demi kelangsungan hidup gigi selanjutnya. Hal yang bisa dilakukan pada
tahap ini adalah dengan melakukan pulpotomi dangkal dengan
formokresol. Tahap yang bisa dilakukan:

1) Anestesi lokal dan pemasangan isolator karet


2) Pembuangan jaringan pulpa bagian koronal
samapi garis serviks dengan bur bulat steril.
3) Kemudian lakukan irigasi dengan akuades
steril atau garam fisiologis (NaOCl) dan
keringkan dengan cotton pellet steril.
4) Letakkan cotton pellet yang sudah diberi
formokresol di atas sisa jaringan pulpa (3
menit)
5) Setelah tiga menit, angkat dan letakkan adukan
encer pasta Zn oksid dan formokresol di atas jaringan pulpa.
6) Tambahkan adukan kental semen ZOE
7) Tutup kavitas dengan semen Zn oksifosfat
8) Lakukan pemeriksaan radiografis selang 6 bulan samapi penutupan
apeks memungkinkan untuk dilakukan perawatan saluran akar.
9) Namun ada jika ingin hasil restorasi yanglebih estetik dapat dilakukan
restorasi komposit, dengan tahapan:
 Lakukan langkah a-c seperti di atas.
 Diberikan pelapis CaOH
 Tambahkan semen glass ionomer
 lakukan restorasi komposit sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pada perawatan dengan CaOH ini , jika memungkinkan dilakukan
pembukaan gigi kembali sekitar 6-12 bulan kemudian untuk membuang

17
lapisan kalsium hidroksida dan menggantinya dengan material adhesif. Hal
ini dikarenakan CaOH adalah bahan yang semakin lama akan makin
terdisintegrasi. Pembongkaran kembali ini diharapkan dapat
meminimalisir kebocoran mikro yang nantinya akan menyebabkan adanya
rongga antarajembatan dentin yang baru dengan restorasi yang
menutupinya.

Lain halnya jika kita menggunakan MTA (mineral trioksid agregat),


jika menggunakan material ini maka tidak diperlukan pembukaan gigi
kembali setelah 6-12 bulan. Namun ada tahapan yang berbeda yakni,
pengaplikasikan MTA harus pada keadaan gigi yang lembab diletakkan
sedikit demi sedikit pada pulpa lalu biarkan mengeras selama 6-12 jam
(tidak perlu ditutupi restorasi, pada saat ini pasien diharapkan tidak
menggunakan gigi tersebut). Setelah itu barulah diberikan tambalan
komposit.6

d. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Nekrotik dan Terbuka

Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan


keadaan di derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka perawatannya
sama seperti perawatan abses alveolar akut. Namun jika apeks masih
terbukamaka perawatan yang bisa dilakukan:
 Perawatan seperti abses alveolar akut
 Jika terjadi drainease maka biarkanterbuka dan pasien diminta
datang 5-7 hari kemudian pada kunjungan berikutnya, dilakukan
pembersihan saluranakar
 Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril
 Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar
 Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat.
 Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan
klinis dan radiografik.
e. Fraktur Akar
Farktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar, hal
terpenting yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan kembali
segmen koronal dan distabilkan dengan splin selama kurang lebih 12

18
minggu. Kemudian pasien diminta datang untuk melakukan oemeriksaan
apakah fraktur sudah membaik serta mengetahui kevitalan pulpa.
Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik
Perawatan yang bisa dilakukan antara lain:
 Melakukan anestesi local
 Melepaskan segmen korona
 Lakukan ginggivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat sehingga
bisa dilakukan perawatan saluran akar dan preparasi untuk pasak
dan mahkota.

Fraktur Sepertiga Tengah


Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi fragmen
fraktur, implan endosseous atau pengambilan kedua fragmen fraktur.

Stabilisasi fragmen fraktur


Kunjungan pertaman:

 Penstabilan gigi dengna menggunakan splin


 Preparasi kedua segmen saluran akar dan lakukan pembersihan.
Preparasi saluran akar dengan file
 Tutup kavitas dengan cotton pellet dan semen ZnOE.
 Pasien diminta datang 1-2 minggu kemudian.
Kunjungan kedua
 Lakukan irigasi dan pembersihan saluran akar
 Keringkan dengan kertas isap (paper
point)
 Pilih pin chrome-cobalt yang sesuai
dengan panjang saluran akar, dapat
di cek dengan bantuan rontgen.
 Jika letaknya sudah sesuai maka
pada bagian pin kita beri takik kira-
kira pada bagian orifis agar bisa
dipisahkan ketika sementasi.
 Sterilkan pin dan kemudian
dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bantuan semen saluran
akar, sambil ditekkan ke arah apeks dilakukan pemutaran pin
agarpatah pada bagian takik yang sudah dibuat.

19
 Periksa kedudukan pin, jika sudah pas bisa dilakukan restorasi
tetap.

Penempatan implant endosseous


Pada perawatan jenis ini, diharapkan penyembuhan akanmemungkinkan
tulang baru terbentuk di sekitar pin dan gigi akan menjadi stabil.Tahapan
yang dilakukan:

 Preparasi saluran akar


 Pengambilan bagian apeks dengan teknik bedah, bagian apeks
dibuka dan fragmen akar diangkat.
 Pilih pin chrome-cobbalt yang sesuai, masukkan melalui lubang
preparasi.
 Usahakan posisi pinmencapai posisiujung akar semula, namun
jangan sampai menyentuh tulang. Setelah di
dapat posisiyang pas, maka buat takik pada pin.
 Ketika saluran akar sudah bersih
dansudahdikeringkan dapat dimasukkan adukan
semen saluran akar, ulasi pin dengan adukan
semen yang sama. Masukkan pin ke dalam
saluran akar.
 Tutup kavitas dengan restorasi kemudian flap
dijahit.
 Selama periode penyembuhan dapat dipakai splin jika sesudah
perawatan gigi terlihat goyang.

Fraktur sepertiga apeks


Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti pada
kasus fraktur sepertiga tengah atau dengan preparasi fragmen korona
secara konvensional dan diisi gutta perca, fragmen apeks dibiarkan dan
jaringan pulpa mungkin tetap vital. Terapi lain yang mungkin diberikan
adalah dengan preparasi fragmen korona dan mengisinya secara
konvensional, fragmen apeks di angkat dengan cara bedah dan
dilakukanpengisisn retrogard dengan amalgam.

20
f. Fraktur Mahkota-Akar

Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya


tergantung pada kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien datang,
frakmen korona sering sangat goyang dapat tetap melekat melalui
ligament periodontal. Biasanya anestesi local perlu diberikan agar frakmen
dapat dilepas dan dilakukan pemeriksaan dari luas fraktur. Bila fraktur
terletak superficial, maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan
dilakukan pembuatan mahkota pasak. Bila fraktur lebih dalam, akan lebih
sulit untuk mengisolasi gigi untuk perawatan saluran akar dan ekstruksi
ortodonti dari akar perlu dipertimbangkan sebelum merestorasi dengan
mahkota pasak (Heithersay). Bila fraktur sangat dalam maka apa yang
tertinggal terlalu kecil untuk mendukung restorasi bahkan setelah
dilakukan ekstruksi ortodonti; gigi seperti ini juga cenderung tanggal
(Feiglin).

2.8 Avulsi Gigi dan Prosedur Perawatannya

Avulsi gigi merupakan suatu kondisi dimana


gigi terlepas dari soketnya. Untuk
menanganinya, dokter gigi perlu melakukan
suatu tindakan untuk mengembalikan gigi ke
dalam soketnya semula.

Tindakan untuk mengembalikan gigi yang lepas dari soket, baik karena
disengaja atau karena kecelakaan disebut replantasi. Sebagai tindakan darurat
untuk mengembalikan gigi avulsi karena trauma, replantasi merupakan teknik
yang penting.7

Prosedur Perawatan (Replantasi)


1. Golden periode untuk melakukan replantasi gigi adalah 2 jam setelah gigi
tersebut terlepas. Jika lebih dari 2 jam, kemungkinan gigi akan menjadi
non vital sehingga gigi tersebut perlu dilakukan perawatan endodontik
setelah difiksasi.

21
2. Cuci gigi dengan air yang mengalir tanpa menyikat atau
membersihkannya, dan periksa giginya untuk meyakinkan bahwa gigi
masih utuh.
3. Minta kepada pasien untuk berkumur. Tempatkan gigi kembali dalam
soketnya dengan tekanan jari yang lembut dan mantap. Bila pasien
kooperatif dan mampu, minta kepada pasien untuk mengatupkan gigi-
giginya secara hati-hati, untuk mengatupkan gigi kembali pada posisinya
semula.
4. Bawa pasien segera ke dokter gigi. Bila pasien atau orang tua tidak dapat
menempatkan kembali gigi pada soketnya, maka cepat membawa gigi
tersebut ke dokter gigi merupakan suatu keadaan yang penting. Gigi
harus dibawa di dalam sarana yang basah untuk menjaga kelangsungan
hidup ligamen periodontal yang tersobek.
5. Selama gigi terlepas, gigi harus selalu berada dalam keadaan yang
lembab. Gigi disimpan didalam kassa steril yang sudah dibasahi NaOCl
fisiologis 0,9%, dalam susu murni, atau dengan menggunakan saliva
sendiri. Namun, bukanlah dengan cara direndam.
6. Menghindari memegang bagian akar gigi.
7. Setelah pasien tiba di tempat dokter gigi, bila gigi di dalam soketnya,
lakukan ligasi, stabilisasi, dan buka oklusi gigi yang di-replantasi. Bila
gigi keluar dari soketnya atau posisinya tidak baik, gigi direplantasi
secara baik sebelum dilakukan ligasi.
8. Buat suatu radiograf untuk memeriksa posisi gigi di dalam soket dan
untuk mengetahui apakah terdapat fraktur akar atau tulang alveolar.
Periksa gigi-gigi di dekatnya untuk kemungkinan adanya fraktur akar.
9. Diberikan anastesi lokal untuk meyakinkan bahwa replantasi tidak akan
menimbulkan rasa sakit.
10. Akar diperiksa lalu dibersihkan, tidak perlu menghilangkan ligament
periodontium, namun jaringan yang hancur sebaiknya dibuang
11. Soket dikuret dengan hati-hati dan diirigasi untuk menghilangkan darah
dan kotoran yang ada. Dengan palpasi ditentukan apakah ada tulang
alveolar yang fraktur.
12. Setelah gigi direplantasi, fiksasi gigi tersebut selama 3-8 minggu.

22
13. Jangan mencoba melakukan perawatan endodontik pada waktu ini
kecuali bila gigi memerlukan drainase. Dalam kasus seperti itu, kamar
pulpa dibuka, kamar pulpa dan saluran akar dibersihkan, masukkan
medikamen intrakanal dan tutup kavitas. Perawatan endodontic
diselesaikan pada lain waktu.
14. Periksa vitalitas gigi secara berkala (tiap satu minggu), apabila gigi
menjadi non vital maka harus segera dilakukan perawatan endodontik.
Prognosis dalam waktu panjang tidak baik. Gigi avulsi dapat menjadi benda
asing jika dikembalikan pada tempatnya dan dapat ditolak oleh mekanisme
pertahanan tubuh. Penolakan ini dapat berupa resorpsi akar yang berakhir
dengan eksfoliasi mahkotanya.

2.9 Restorasi Sementara Semipermanen dan Restorasi Semi Tetap

Prinsip dan Konsep Restorasi Sementara Semipermanen :

1. Mempertahankan struktur gigi. Struktur gigi yang memerlukan


perawatan biasanya sudah tidak baik sehingga pengambilan dentin lebih
lanjut sebaiknya diminimalkan. Sebaliknya, cusp mungkin perlu dikurangi
dan diberi pelindung (capping). Tindakan, secara rutin membuang
mahkota dan kemudian membangunnya kembali pada gigi yang telah
dirawat saluran akarnya merupakan cara yang sudah tidak layak lagi.
2. Retensi. Restorasi korona memperoleh retensinya dari inti dan sisa dentin
yang masih ada. Jika intinya memerlukan retensi, maka yang dimanfaatkan
adalah sistem saluran akarnya yang memakai pasak. Namun pasak ini akan
melemahkan dan mungkin menyebabkan perforasi sehingga hendaknya
dipakai hanya jika diperlukan untuk retensi inti.
3. Proteksi sisa struktur gigi. Pada gigi posterior, hal ini diaplikasikan
untuk memproteksi cusp yang tidak terdukung supaya bias menghindari
terjadinya fleksur dan fraktur. Restorasi didesain sedemikian rupa
sehingga beban fungsional dapat ditransmisikan melalui gigi ke jaringan
penyangga
Alat Restorasi Semi Tetap

23
Restorasi semi tetap atau dilakukan sementara dilakukan jika perawatan
dan pembuatan restorasi tetap memerlukan waktu yang lama. Dalam keadaan
kegawat daruratan, restorasi semi tetap ini berguna untuk menghindari kerusakan
gigi yang lebih berat. Restorasi semi tetap haruslah bertahan lama hingga
restorasi tetap telah selesai dilakukan, terdapat 3 prinsip agar restorasi dapat
berfungsi dengan baik dan bertahan lama, yaitu mampu mempertahankan
struktur gigi, memiliki retensi yang baik, dan mampu melindungi sisa struktur
gigi.

Persyaratan untuk restorasi semi tetap yang digunakan dalam pengobatan,


adalah sebagai berikut:

1. Restorasi tidak membahayakan pulpa.


2. Tahan lama dan fungsional.
3. Tidak menambah lebar mesiodistal gigi atau dimensi labiolingual.
4. Estetik.
Macam-macam restorasi semi tetap:

1. Stainless stell crown.


Terbuat baja tahan karat atau aloy nikel-khrom yang siap pakai, dapat
diperoleh dalam berbagai ukuran dan bentuk.

2. Mahkota ¾.
Restorasi ini diindikasikan untuk mahkota yang kehilangan lebih dari
sepertiga bagian sebagai restorasi semitetap sampai mahkota jaket
porselen dapat dibuat. Keuntungan restorasi ini adalah pengambilan
struktur gigi yang minimal. Kerugiannya yaitu kurang estetik dari
porcelain veneer full gold crown karena emas akan terlihat pada bagian
incisal dan interproksimal dan bagian labial akan berubah warna.

3. Pinlay.
Restorasi ini tidak tahan lama seperti restorasi logam cor.
Keuntungannya adalah lebih ekonomis dan pembuangan jaringan gigi
minimal. Restorasi ini dapat digunakan pada kasus fraktur kelas 2 dan 3
yang telah dilakukan pulp capping

24
4. Mahkota berlapis.
Setelah fraktur kelas III dilakukan pulpotomi, fraktur menyebabkan
hilangnya mahkota yang luas, maka restorasi yang diindikasikan adalah
mahkota jaket
5. Mahkota berlapis porselen.
Restorasi ini tahan lama dan baik dari segi estetik. Ini disarankan pada
anak-anak dengan resesi pulpa yang terjadi pada gigi vital dan resesi
gingival.

2.10 Penanggulangan Gigi Sulung yang Terkena Trauma

a. Crown Fracture (Fraktur Mahkota)


Bagian yang tajam dihaluskan menggunakan abrasive disc atau bur,
bagian mahkota diperbaiki dengan penambalan resin komposit. Jika terjadi
komplikasi seperti anak yang tidak kooperatif dan karena pulpotomi
merupakan teknik yang sensitive, dapat dilakukan pulpotomi partial
dengan formocresol atau zinc oxide eugenol. 10
b. Crown-Root Fracture (Fraktur Mahkota Akar)
Berkumur dengan air hangat, dikompres dengan kain yang dingin atau
es. Dapat juga digunakan Acetaminophen, bukan aspirin. Dapat dilakukan
direct pulp capping, Cvek pulpotomy, cervical-depth pulpotomy,
pulpectomy, atau ekstraksi.

c. Root Fracture (Fraktur Akar)

Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan
mulut untuk mengurangi bengkak. Memberikan Tylenol untuk
mengurangi rasa sakit. Selama tidak terdapat abses atau mobilitas gigi
yang tinggi, fraktur akar tersebut dapat sembuh dengan sendirinya. Jika
terdapat abses dan mobilitas yang tinggi, gigi dapat diesktraksi dan sisa
akar yang tertinggal dapat teresorpsi dengan sendirinya. Dengan sedikit
perpindahan fragmen mahkota dapat dibiarkan tanpa perawatan dan akan
diresorbsi. Jika fragmen mahkota sangat longgar maka fragmen mahkota

25
harus diekstraksi. Fragmen apical dapat dibiarkan untuk diresorpsi secara
fisiologis.

d. Concussio dan Subluxasi

Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan
mulut untuk mengurangi bengkak. Memberikan Tylenol untuk
mengurangi rasa sakit. Menggunakan clorhexidin selama 7 hari untuk
menghindari kontaminasi bakteri pada ligament periodontal. Sebaiknya
diambil gambaran radiografi untuk dilihat lebih lanjut fraktur akar yang
terjadi. Anak diinstruksikan untuk memakan makanan yang lembut selama
beberapa minggu sampai diputuskan perawatan yang tepat untuk
dilakukan.

e. Ekstrusi

Gigi sulung dapat mengalami reposisi dan stabil untuk waktu yang
singkat jika anak segera diobati jika ada cedera. Tempatkan kain yang
basah dan dingin pada mulut, dan bawa segera ke dokter gigi. Untuk
mengurangi rasa sakit dapat diberikan Tylenol. Jika bekuan darah sudah
masuk ke dalam soket alveolar dan tidak terjadi reposisi, gigi dapat
kembali normal secara spontan atau diekstraksi tergantung pada tingkat
ekstrusi dan mobilitas. Gigi sulung dengan luksasi di posisi labial
dilakukan ekstraksi, untuk mencegah kerusakan saat pertumbuhan gigi
permanen. Dapat dilakukan splint untuk mengembalikan gigi pada posisi
normal menggunakan semen glass ionomer modifikasi resin.

f. Lateral Luxation

Digunakan anastesi lokal terlebih dahulu, kemudian direposisi dengan


diberi tekanan dari arah labial dan palatal, jika memungkinkan dapat
digunakan pula splint selama 2-3 minggu.

26
g. Intrusion

Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan
mulut untuk mengurangi bengkak. Berikan Tylenol untuk mengurangi rasa
sakit. Perawatan untuk gigi sulung yang mengalami intrusi masih
diperdebatkan. Jika dilakukan pembedahan dapat terjadi kerusakan ringan
karena berkurangnya epithelium enamel, sehingga sebaiknya dibiarkan
sehingga terjadi re-erupsi dalam kurun 3 bulan. Jika selama proses re-
erupsi terjadi reaksi inflamasi seperti pembengkakan dan hyperemia
gingival juga pembentukan abses disertai pus, sebaiknya segera diberikan
antibiotic dan dilakukan ekstraksi untuk mencegah penyebaran infeksi.

h. Avultion
Perawatan untuk avulsi biasanya dilakukan dengan replantasi segera.
Namun pada gigi sulung proses replantasi dapat menggantikan koagulum
ke dalam folikel gigi incisor permanen. Sehingga dapat mengakibatkan
inflamasi periapikal yang kemudian menjadi nekrosis pulpa dan dapat
mengganggu perkembangan gigi permanen. Space yang dihasilkan dari
hilangnya gigi dapat digantikan dengan protesa sementara.

i. Fractures of The Alveolar Processus


Perawatan untuk fraktur ini meliputi reposisi bagian gigi yang
berpindah ke posisi asalnya dengan menggunakan splint selama 2 bulan
untuk mengembalikan oklusi normal. Untuk luksasi yang lebih berat dapat
digunakan anti inflamasi (mortri), analgetik (Tylenol 3), dan antibiotik
(Penicillin).

2.11 Macam-Macam Alat Stabilisasi untuk Fraktur Dentoalveolar

Splinting adalah prosedur di mana gigi ditopang dalam posisi tertentu untuk
jangka waktu tertentu. Hal ini dilakukan pada gigi yang terkena trauma atau gigi
yang jaringan pendukungnya terinfeksi penyakit, sehingga gigi tidak terdukung
dengan baik.

27
Rigiditas dari splint dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Flexible dan semi-rigid : optimal untuk pulpa dan periodontal healing


a. Lebih mobility daripada gigi non-injured
b. Sama dengan mobilitas normal gigi
2. Rigid : dapat digunakan pada cervical root fracture dan replantasi gigi
setelah PDL removal dan perawatan fluoride.
a. Kurang dari mobilitas normal gigi
Splint yang optimal dapat memenuhi mayoritas dari seluruh persyaratan
dibawah ini :
 Aplikasi direct intraoral
 Mudah dibuat dengan matetial yang tersedia dalam praktek dental
 Tidak meningkatkan periodontal injury atau memicu caries
 Tidak iritasi terhadap jaringan lunak oral
 Pasif, tidak menggunakan tekanan orthodontic pada gigi
 Serbaguna dalam mencapai rigid, semi-rigid, atau fleksibel splint
 Mudah dikembalikan dan berakibat minimal atau tidak ada kerusakan
permanen pada gigi
 Memungkinkan tes pulpa dan perawatan endodontic
 Hygiene dan estetik
Macam-Macam Spint :

1) Arch Bar Splint


Merupakan rigid splint, biasanya menggunakan kawat ligatur, kadang-
kadang dilapisi dengan bahan pengerasan secara kimia sintetik. Splint ini
menyebabkan kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak
akurat, yang dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket.
Terdapat resiko invasi bakteri ke dalam jaringan periodontal karena dekatnya
letak splint dan wire terhadap margin gingival.

Gambar 9. Arch Bar Splint

28
2) Wire-composite Splint

Teknik ini termasuk penerapan kawat lunak yang disesuaikan dengan


kurva lengkung gigi. Kawat ini difiksasi terhadap gigi dengan adhesive
composite. Tergantung pada ketebalan dan efek memori kawat, penting untuk
menyesuaikannya untuk menghindari kekuatan ortodonti yang diberikan oleh
splinting tersebut. Jika ingin dibuat lebih rigid dapat dilakukan dengan
mengubah dimensi kawat atau menambahkan komposit di sepanjang kawat di
bagian labial hingga ruang interdental. Sama seperti splint resin komposit, dapat
merusak permukaan email gigi saat akan dilepas.

Gambar 10. Wire Composit Splint

3) Orthodontic Splint
Pendekatan yang serupa meliputi penempatan bracket dengan teknik
adhesif. Sebuah kawat orthodontik kemudian membengkokkan dan diligasikan
pada bracket, atau kawat yang dilewatkan pada figure-eight-loops dari bracket
ke bracket. Namun, metode splinting ini lebih mengakibatkan iritasi bibir dan
gangguan berbicara bila dibandingkan dengan teknik splinting lainnya. Kawat
bracket dan komposit dapat menyebabkan iritasi pada mukosa, menurunkan
kebersihan mulut dan tidak nyaman.

29
Gambar 11. Orthodontic Splint

4) Titanium Trauma Splint (TTS)


Sebuah teknik splinting baru yang menawarkan kenyamanan dan
penanganan kepada pasien dan dokter gigi sama, dirancang dari titanium (TTS,
Medartis AG, Basel, Swiss). Splint memiliki ketebalan 0,2 mm, sepenuhnya
beradaptasi dan dapat mempertahankan mobilitas fisiologis gigi, namun masih
memungkinkan fiksasi gigi yang memadai selama periode splinting. Penempatan
dan pemindahan splint dapat dilakukan dengan sederhana, hanya memerlukan
sedikit komposit untuk fiksasi (etsa dan bonding), dan sangat efektif dan mudah
untuk digunakan.

Gambar 12. Titanium Trauma Splint (TTS)


5) Resin Splint
Penempatan splint resin penuh pada permukaan gigi merupakan sebuah
metode yang berbeda menggunakan teknik adhesif. Splint ini sepenuhnya
menjembatani ruang interdental, dan mengakibatkan kurang nyamannya pada
pasien dibandingkan dengan teknik splinting lainnya. Namun, metode ini
menunjukkan penurunan mobilitas gigi signifikan bila dibandingkan dengan
wire-composite splint dalam suatu studi eksperimental. Memiliki nilai estetik

30
yang lebih dan mudah untuk dilakukan, tetapi telah ditemukan adanya fraktur
interdental. Bersifat rigid, meskipun memiliki warna yang mendekati warna gigi
tetapi splint jenis ini sulit untuk dilepas tanpa merusak permukaan gigi. Splint
jenis resin komposit sebaiknya digunakan untuk gigi yang mengalami luksasi
lateral.

Gambar 13. Resin Splint

6) Kevlar/Fiberglass Splint
Metode yang menggunakan teknik adhesif melibatkan serat nilon, band
Kevlar atau fiberglass untuk menstabilkan suatu trauma gigi terluka. Serat atau
band direndam dalam resin dan ditempatkan pada permukaan gigi dengan
polimerisasi. Splint ini adalah terlihat estetik dan walaupun konstruksinya
ringan, memiliki frekuensi fraktur yang rendah.

Gambar 14. Kevlar/Fiberglass Splint


7) Self-etching and Bonding Material
Berbeda dengan teknik adhesif standar, metode ini menggunakan bahan
self-etching bonding. Kawat pengikat stainless-steel halus yang dipelintir
membuat untai ganda difiksasi dengan bahan light-curing compomer.
Penggunaan self-etching adhesive bonding agent tampaknya membuat aplikasi

31
splint lebih mudah dan lebih cepat menghilangkan tahap etsa dan pembilasan
yang terpisah.

Gambar 15. Self-etching and Bonding Material

8) Suture Splint
Suture splint berguna sebagai fiksasi sementara, dan dalam kasus di mana
ada masalah retensi karena kurangnya gigi yang berdekatan, seperti pada geligi
sulung atau campuran. Namun, penggunaan maksimum suture splint hanya
beberapa hari. Jahitan dilewatkan dari jaringan labial ke jaringan lingual dengan
benang melintasi tepi insisal, sehingga mencegah gigi bergerak dari soketnya.
Selain itu, sejumlah kecil resin dapat ditempatkan untuk menjamin retensi dari
jahitan.

Gambar 16. Suture Splint

32
Rekomendasi untuk tipe splinting dan durasi
 Ekstrusive luxation : 2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
 Lateral luxation : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
 Intrusive luxation : 6-8 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
 Avulsion : 1-2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
 Root fracture; setengah atau sepertiga apical : 4 minggu; tipe fiksasi : rigid
 Root fracture; sepertiga servikal : 3 bulan; tipe fiksasi : fleksibel
 Alveolar fracture : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel

Tabel 1. perbandingan jenis splint yang berbeda. (+) : secara kuat berhubungan, (+) :
sedikit bethubungan, dan (-) : tidak ada hubungan terhadap splint yang bersangkutan .

2.12 Pencegahan

Mencegah fraktur tampaknya sulit. Namun ada beberapa cara untuk


mengurangi kemungkinan gigi fraktur secara umum:

1. Pemakaian Mouth Guard

33
Aspek utama fraktur gigi adalah disebabkan oleh trauma. Mouth
guard dapat melindungi mulut dan meminimalkan risiko gigi fraktur. Ini
biasanya meliputi gigi atas, dan akan membantu melindungi dari cedera.
Hal ini penting terutama jika berpartisipasi dalam kegiatan olahraga.
Keuntungan memakai mouth guard adalah signifikan. Dengan
memakainya, dapat membatasi risiko terkait cedera mulut, termasuk
cedera pada bibir, lidah, jaringan lunak, dan gigi. Memakai mouth guard
dapat melindungi terhadap pecah atau fraktur gigi, akar atau kerusakan
tulang, dan bahkan mencegah gigi lepas atau tercabut. Selain itu kalau
seseorang mempunyai kebiasaan buruk grinding gigi pada waktu malam,
mouth guard dapat membantu. Ini akan melindungi gigi dari aus atau rusak
malam demi malam, jadi resiko fraktur juga menurun.

Gambar 17. Pemakaian Mouth Guard

2. Pemeriksaan Gigi
Pasien harus melakukan kunjungan ke dokter gigi sekali atau dua
kali setiap tahun untuk pemeriksaan gigi. Ini karena kadang kadang ada
struktur gigi yang sudah rapuh karena disebabkan oleh perawatan
saluran akar ataupun bahan restorasi yang lama mulai terpisah dari
struktur gigi. Dengan pemeriksaan dan dapat dideteksi lebih awal,
kondisi fraktur gigi dapat dielakkan dan segera dilakukan perawatan.13

3. Diagnosis dan Perawatan yang Tepat.

34
Dari peran seorang dokter gigi harus melakukan diagnosis yang
tepat baru dapat memberikan perawatan yang sesuai dan hasil yang baik.
Diagnosis dimulai dengan merekam demografi pasien dan mengambil
sejarah singkat peristiwa traumatik, kemudian diikuti pemeriksaan intra
oral dan ekstra oral. Gigi mungkin terasa tidak nyaman waktu perkusi
atau palpasi dan menunjukkan perubahan warna mahkota sementara.
Sebuah visualisasi menyeluruh daerah subgingiva juga penting untuk
mendeteksi adanya garis fraktur.
Awalnya, sensibilitas dan tes vitalitas dapat memberikan hasil
negatif yang sementara atau permanen karena kerusakan pulpa yang
ditimbulkan oleh trauma. Secara rutin tindakan lanjut diperlukan untuk
memantau status pulpa terus menerus. Penggunaan pulsa-oksimeter
direkomendasikan untuk mengevaluasi status pulpa dari gigi baru
mengalami trauma. Alat ini memiliki sensitivitas yang lebih baik dan
spesifisitas dari tes listrik dan termal dan memberikan pembacaan
vitalitas positif yang konstan pada waktu dalam kasus gigi baru
mengalami trauma.30 Setelah itu, dilakukan rongten foto pada gigi yang
dicurigai atau tidak dapat langsung dilihat secara visual dari tes lain.
Pemeriksaan radiografi sangat diperlukan untuk konfirmasi fraktur akar.
Kemudian harus mempunyai rencana perawatan sebelum
melakukan pencabutan. Untuk eksodonsia, dipilih tang yang sesuai
dengan gigi yang akan diekstraksi, manipulasi dengan luksasi atau rotasi
sesuai jenis gigi. Kadang kadang, bein digunakan untuk mengoyangkan
gigi dan megeluarkan sisa akar gigi. Jika gigi tersebut sukar dicabut,
maka teknik bedah trans alveolar diindikasikan untuk mengeluarkan gigi
tersebut.32

35
Gambar 18. Pulsa Oksimeter

4. Diet
Makan makanan segar seperti apel, wortel mentah dan seledri.
Makanan ini membantu untuk membersihkan gigi atau self-cleansing
pada waktu dimakan dan mengunyah. Makanan ini adalah sikat gigi
alami. Dengan ini, karies akan dikurangi dan kesehatan gigi masih dapat
dipertahankan dan dengan demikian resiko fraktur gigi menurun.13
Pilihan makanan terbaik untuk kesehatan gigi termasuk keju, daging,
kacang-kacangan, dan susu. Makanan ini penting untuk melindungi
email gigi dengan menyediakan kalsium dan fosfor yang dibutuhkan
untuk remineralisasi gigi.

Gambar 19. Diet untuk Kesehatan Gigi

36
Perawatan untuk fraktur gigi tergantung kepada kondisi sisa akar gigi
yang tinggal atau bagian yang mengalami fraktur. Tindakan pertama harus
dimulai dengan melihat kondisi gigi, soket gigi harus diirigasi supaya
dapat dilihat jelas. Jika masih ragu, pasien dianjurkan untuk dilakukan
rontgen foto guna melihat kondisi soket bekas pencabutan. Sisa akar gigi
dikeluarkan dengan menggunakan elevator dengan daya yang ringan.
Dilakukan dengan hati-hati sampai sisa tersebut makin longgar pada soket
lalu dikeluarkan. Jika sisa gigi tidak dapat dikeluarkan dengan instrumen
elevator, teknik transalveolar harus digunakan untuk megeluarkan sisa
fraktur tersebut

Gambar 20. Elevator

Gambar 21. Teknik Transalveolar

37
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Laporan Kasus 1 (Tatalaksana Trauma Dentoalveolar Kompleks)

Seorang pasien laki-laki Kaukasia berusia 12 tahun dibawa oleh orang


tuanya ke Unit Gawat Darurat Klinik Gigi Anak di Fakultas kedokteran Gigi
Ribeirão Preto, Universitas São Paulo (Brasil), sekitar 10 jam setelah jatuh dari
sepeda yang menyebabkan trauma gigi. Anak tersebut telah dilihat oleh petugas
medis di unit gawat darurat rumah sakit setempat, di mana jahitan jaringan
ekstraoral dilakukan dan tidak ada kerusakan neurologis atau komplikasi medis
yang terdeteksi. Riwayat kesehatan terdahulu ditinjau dan formulir informed
consent ditandatangani dan diperoleh dari orang tua untuk perawatan dan
publikasi lebih lanjut kasus ini. Pasien berada dalam kondisi prima tanpa riwayat
kesehatan yang luar biasa.

Pemeriksaan klinis menunjukkan pembengkakan nasal dan bibir maksila,


serta laserasi mukosa labial maksila dan bukal gingiva pada gigi insisivus sentralis
maksila permanen, yang memiliki luksasi dan hipermobilitas lateral. Ada fraktur
dinding tulang alveolar di daerah ini dan akarnya terlihat tanpa fraktur. Gigi
insisivus sentral kanan menunjukkan retak dan fraktur enamel (Gambar 1).
Pemeriksaan radiografi periapikal tidak menunjukkan fraktur akar atau luka lain
yang melibatkan gigi lainnya. Radiografi lateral menunjukkan fraktur tulang
alveolar labial dengan akar gigi insisivus sentral maksila yang bergeser kearah
bukal dan mahkota bergeser ke palatum.

Tatalaksana bedah terdiri dari reposisi gigi dan fragmen tulang dengan
tekanan jari, dengan pasien di bawah anestesi lokal. Sebuah radiograf periapikal
diambil untuk memastikan bahwa gigi telah diposisikan dengan benar di dalam
soket. Dilakukan pemsangan splint pada gigi dari kanin ke kanin dengan resin
komposit dan 0,7 orthodontic wire, dan jaringan lunak yang mengalami laserasi

38
dijahit (Gambar 2). Pengobatan klinis meliputi agen antibiotik (Amoxil 500 mg;
GlaxoSmithKline, Rio de Janeiro, RJ, Brasil) dan agen antiinflamasi (Cataflam
500 mg; Novartis, São Paulo, SP, Brasil). Orang tua diberi tahu tentang
pentingnya menjaga kebersihan mulut, secara teratur kembali untuk follow up
klinis dan radiografi.

Gambar 1. Tampilan Klinis awal traumatic. A.Jaringan lunak ekstraoral yang menonjol
dari bibir atas ke hidung. B.Gigi insisivus sentral rahang atas dan tulang alveolar
bergeser, dan gigi insisivus sentral kanan memiliki celah pada enamel

Gambar 2. Tampilan klinis nebunjukan gigi direposisi dengan pencahayaan resin dan
kawat orthodontic serta jaringan gingiva dijahit.

Setelah 15 hari, kedua gigi insisivus sentral dirawat secara endodontik dan
dilapisi dengan calcium hydroxide berbahan dasar pasta [Calen; S.S. Putih, Rio de
Janeiro, RJ, Brasil; komposisi: 2,5 g CH, 0,5 g zink oksida, 0,05 g colophony dan
1,75 mL polietilen glikol 400 (vehikulum)]. Fraktur mahkota gigi insisivus sentral
kanan dipulihkan dengan resin komposit. Setelah 30 hari, kalsium hidroksida

39
diperbaharui, dan pasien diminta untuk kembali follow up. Namun, anak tersebut
gagal kembali ke Klinik Gigi Anak untuk follow up, sehingga splint tidak dilepas
dan saluran akar tidak teratasi.

Enam bulan setelah kunjungan follow up terakhir, pasien kembali ke


Klinik Gigi Periodontic, dengan hilangnya tulang alveolar dan resesi gingiva pada
daerah gigi insisivus maksila (Gambar 3), di mana graft matriks dermal asellular
(Alloderm; Lifecell Corporation, Branchburg, NJ, USA) dilakukan untuk
perbaikan estetika. Namun, pasien gagal lagi untuk mengatasi perawatan dan
datang ke Klinik Gigi Pediatrik hanya 3 bulan setelah operasi periodontal, pada
saat itu splint telah dilepas dan saluran akar diobati dengan gutta-percha dan
sealer berbasis kalsium hidroksida ( Sealapex; Kerr Corporation, Orange, CA, AS)
(Gambar 4).

Gambar 3. Tampilan klinis 6 bulan setelah cedera. Splint masih ada. Kehilangan tulang
alveolar bukal dan resesi gingiva pada gigi insisivus rahang atas

40
Gambar 4. Radiograf periapical diambil setelah perawatan saluran akar

Pasien dipanggil kembali secara teratur. Pada follow up 2 tahun,


pemeriksaan klinis dan radiografi menunjukkan jaringan dan gigi sehat, dan kedua
gigi insisivus tersebut datangdengan kebutuhan fungsional dan estetika yang
memuaskan (Gambar 5).

Gambar 5. Gambaran klinis 2 tahun setelah cedera. Gigi seri kanan dipulihkan dengan
resin komposit. Penampilan, kontur gingiva dan fungsinya normal.

Diskusi

Anak laki-laki berusia 12 tahun dari laporan kasus ini memiliki trauma
kompleks yang melibatkan struktur dentoalveolar dan jaringan lunak, yang
disebabkan oleh kecelakaan sepeda. Faktanya, luka traumatis laki-laki terhadap

41
gigi permanen tampak lebih parah dan termasuk di antara berbagai kondisi yang
dapat menyebabkan trauma. Memang, kecelakaan yang melibatkan sepeda atau
aktivitas olah raga lainnya menyebabkan 30% luka di daerah wajah .

Interval waktu yang telah dilewati sejak cedera sangat penting karena
mempengaruhi pilihan pengobatan . Menurut Andreasen dkk. , reposisi gigi yang
mengalami dislokasi lebih sulit setelah 48 jam cedera. Dalam kasus ini, reposisi
dilakukan sekitar 10 jam setelah cedera, jadi perawatan dimungkinkan dan
menghasilkan hasil yang memuaskan.

Nekrosis pulpas merupakan konsekuensi penting dari luka luxation dan


perkembangannya tergantung pada jenis luka dan stadium pematangan akar. Hal
ini paling sering terjadi pada gigi yang sudah dewasa dibandingkan gigi dengan
apeks terbuka . Studi telah menunjukkan bahwa jika kehilangan vitalitas atau
terdapat resorpsi akar, pulpa harus dibuang dan kalsium hidroksida harus
ditempatkan di kanal, untuk mencegah toksin dari nekrotik pulpa untuk memicu
resorpsi inflamasi . Dalam laporan ini, dilakukan perawatan endodontik termasuk
dressing dari saluran akar dengan pasta kalsium hidroksida, yang biasanya
diperlukan dalam kasus gigi dengan apeks matang yang mengalami luksasi besar .

Setelah luksasi lateral, reposisi dan stabilisasi gigi pada posisi anatomi
mereka benar-benar penting untuk mengoptimalkan penyembuhan ligamentum
periodontal dan suplai neurovaskular, sambil mempertahankan integritas estetika
dan fungsional. Periode splint yang diindikasikan untuk terapi ligamen
periodontal adalah 2-4 minggu, namun dalam kasus kurangnya dukungan
periodontal atau kerusakan tulang marjinal, seperti pada situasi sekarang, waktu
splint yang ideal harus diperpanjang sampai 8 minggu. Dalam kasus ini, pelepasan
splint terjadi hanya setelah 9 bulan karena pasien gagal untuk mengatasi rencana
perawatan. Melakukan splint dengan orthodontic wire dan resin komposit untuk
stabilisasi gigi yang bergeser secara traumatis, seperti yang dilakukan pada kasus
ini, telah dilaporkan menyebabkan hasil yang memuaskan , karena memungkinkan
mobilitas fisiologis dan pembersihan yang mudah. Gambaran ini mungkin telah

42
mencegah komplikasi seperti ankilosis gigi dan akumulasi biofilm gigi, meskipun
terjadi periode splint yang berkepanjangan. Kebersihan mulut yang cermat yang
dipelihara oleh pasien juga penting untuk mencegah inflamasi periodontal yang
mungkin berbahaya bagi pengobatan.

Hilangnya dukungan tulang marjinal lazim terjadi pada kasus fraktur


dinding tulang alveolar, penggunaan matriks dermal aselular telah dianggap
sebagai salah satu perawatan terbaik untuk cakupan akar, pengurangan resesi.
Dalam kasus ini, tulang alveolar labial hilang dan operasi periodontal dengan
Alloderm menghasilkan pembentukan jaringan keratin yang lebih besar dan
kontur gingiva yang dapat diterima secara estetika.

Tidak mungkin untuk benar-benar mencegah kecelakaan yang mungkin


mengakibatkan cedera gigi , namun komplikasi yang terkait dapat dihindari
dengan pengobatan dan follow up yang siap dan memadai. Dalam kasus ini,
walaupun pasien melewatkan follow up selama sekitar 6 bulan, diagnosis dan
pengobatan yang benar sangat penting untuk keberhasilan tatalaksana dan
pelestarian gigi yang mengalami trauma. Akhirnya, perlu disorot pentingnya
penanganan luka traumatis multidisiplin, seperti dalam kasus sekarang, di mana
prosedur endodontik, restoratif dan periodontal dikombinasikan untuk
memulihkan estetika dan fungsi area yang mengalami trauma.

3.2 Laporan kasus 2 (Tooth embedded in lower lip following dentoalveolar


trauma: Case report and literature review )

Seorang pria berusia 17 tahun datang ke klinik di Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Tiradentes sambil mengeluh tentang sebuah massa lunak di bibir
bawah yang sensitif terhadap sentuhan tersebut. Pasien telah dirujuk ke fakultas
dengan diagnosis pendahuluan tumor di bibir bawah oleh seorang dokter umum.
Riwayat pasien mengungkapkan bahwa ia telah jatuh dari sepeda satu tahun
sebelumnya. Saat itu, ia mendapat perawatan primer di ruang gawat darurat dari

43
rumah sakit umum. Luka, meliputi laserasi bibir bawah, dijahit, dan pasien
dipulangkan pada hari yang sama.

Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan gigi insisivus rahang atas yang retak


dan bekas luka terlihat pada bagian kulit bibir bawah. Peningkatan volume di bibir
juga ditemukan (Gambar 1). Pemeriksaan intraoral menunjukkan bekas luka yang
tidak mencolok pada bagian mukosa bibir bawah. Sebuah nodul tegas, berukuran
sekitar 1 cm dengan warna pink normal, teraba di wilayah ini (Gambar 2).
Radiograf periapikal menunjukkan struktur radioopak di bibir bawah yang serupa
dengan regio insisal gigi insisivus maksilaris sentral (Gambar 3). Riwayat trauma
dan temuan klinis dan radiologis menghilangkan diagnosis awal tumor.

Gambar 1.Gambaran klinis gigi insisivus rahang atas retak

Gambar 2.Pemeriksaan awal menunjukan nodul tegas dengan warna pink normal
berukuran sekitar 1 cm dengan diameter pada bagian mukosa bibir bawah.

44
Gambar 3. Radiograf mengungkapkan fragmen gigi yang tertanam di bibir bagian
bawah

Pasien menjalani eksisi bedah fragmen dengan anestesi lokal; 1,0 cc


lidokain dalam larutan 2% dengan 1:100.000 epinefrin. Bibir bawah diinsisi di
sepanjang garis bekas luka mucosa yang ada. Fragmen tersebut diidentifikasi dan
dipindahkan dengan hati-hati (Gambar 4). Benang nilon hitam 4-0 digunakan
untuk menjahit jaringan. Tidak ada pengobatan antibiotik yang diresepkan setelah
operasi, karena tidak ada tanda-tanda infeksi. Selama operasi, radiografi
periapikal diambil untuk mengkonfirmasi pembuangan fragmen lengkap (Gambar
5).

Gambar 4. Fragment gigi yang hilang

45
Gambar 5.Radiograf periapical mengkonfirmasi pemindahan fragmen gigi

Setelah penjahitan, fragmen-fragmen tersebut disambung kembali ke gigi


insisivus sentral maksilaris menggunakan teknik perekat komposit. Sisi lingual
fragmen sangat intak, meski aspek bukal menunjukkan sedikit hilangnya enamel.
Setelah gigi dipalsukan dan diukir, resin yang dapat mengalir ditempatkan untuk
mencocokkan kedua fragmen gigi. Bukal gap dilakukan microfilled dengan resin
komposit dan dipolimerisasi. Gigi dipoles dengan karet dan cakram poles. Follow
up dijadwalkan pada dua sampai empat minggu dan tiga sampai enam bulan untuk
mengevaluasi integritas fungsional gigi yang mengalami trauma.

Pada kunjungan follow up enam bulan, bibir menunjukkan penyembuhan


yang memuaskan dan secara estetika memuaskan (Gambar 6). Tes vitalitas pada
kedua gigi positif, dan gigi tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan warna
(Gambar 7).

Gambar 6.Penyembuhan bibir bawah pada follow up 6 bulan

46
Gambar 7.Integritas estetika dan fungsional gigi
dipertahankan pada follow up 6 bulan.

Diskusi
Kerusakan yang terjadi pada gigi dan struktur pendukung merupakan salah
satu konsekuensi trauma maksilofasial yang paling sering terjadi. Kerusakan
tersebut dapat terjadi baik dalam isolasi atau bersamaan dengan fraktur lainnya
dan laserasi jaringan lunak. Dalam situasi darurat, kerusakan yang terjadi pada
gigi mungkin tidak diperhatikan selama pemeriksaan klinis, tergantung pada sifat
dan kompleksitas trauma dan kesadaran tim layanan primer tentang cedera
orofacial.

Sejumlah penelitian telah melaporkan frekuensi yang lebih besar dari


trauma gigi pada incisivus pada masa kanak-kanak dan remaja, dengan prevalensi
berkisar antara 10-20%, tergantung jenis kelamin dan usia. Studi ini mengaitkan
kerentanan gigi seri yang lebih besar dengan proyeksi anterior dan lipatan yang
lebih pendek. Incisivus yang fraktur seringkali menyebabkan laserasi pada
jaringan lunak pada saat trauma. Tidak sulit untuk mendiagnosis fraktur gigi,
namun perawatan khusus harus dilakukan saat fraktur tersebut dikaitkan dengan
cedera jaringan lunak, karena fragmen gigi yang menempel pada jaringan lunak
dapat diabaikan selama pemeriksaan klinis.

Para penulis mencari kasus di literatur mendokumentasikan fragmen gigi


yang tertanam di bibir. Sembilan kasus sebelumnya telah ditemukan.
Penggabungan benda asing ke dalam proses penyembuhan luka meningkatkan
risiko infeksi dan memicu reaksi benda asing dan jaringan parut fibrosa. Ketika

47
reaksi ini kronis, ia menyebabkan fibrosis, yang mengenkapsulasi benda asing
melalui konsentrasi makrofag. Dalam kasus ini, walaupun tidak adanya proses
infeksi yang aktif, jaringan parut fibrosa yang mengelilingi fragmen diamati
selama prosedur operasi pembuangan.

Diagnosis banding sangat penting, terutama bila pasien dievaluasi setelah


cedera telah sembuh. Temuan radiografi fragmen gigi di dasar mulut dapat
mengindikasikan sialolithiasis. Pada beberapa kasus, peningkatan volume bibir
dapat menunjukkan adanya tumor selama evaluasi awal, karena awalnya hipotesis
dalam kasus ini sebelum merujuk ke klinik gigi. Lin dkk melaporkan kasus benda
asing yang tertanam di lidah setelah trauma yang pada awalnya dianggap sebagai
massa tumor. Hipotesis itu segera dibuang pada eksisi bedah.

Ikatan fragmen gigi setelah fraktur pertama kali dijelaskan oleh Chosack
& Eidelman pada tahun 1964; penyemenan dilakukan setelah perawatan
endodontik yang adekuat. Metode saat ini berkisar dari ikatan sederhana,
tergantung hanya pada jenis perekat yang digunakan, hingga metode preparasi
yang berbeda untuk gigi dan fragmen. Keuntungan ikatan adalah restorasi yang
lebih konservatif dari cedera gigi tanpa menghalangi penggunaan bahan restoratif
berikutnya dalam kasus penanganan yang tidak berhasil.

Eksisi bedah adalah pengobatan pilihan untuk fragmen gigi yang tertanam
di bibir. Bergantung pada ukuran fragmen dan panjangnya waktu tertanam dalam
jaringan, mungkin bisa menggunakan fragmen untuk mengembalikan sisa gigi
yang fraktur. Dalam kasus saat ini, bahkan satu tahun setelah kecelakaan
bersepeda, adalah mungkin untuk mengembalikan gigi yang retak dengan
menggunakan fragmen yang dikeluarkan dari bibir bawah.

48
3.3 Laporan Kasus 3 (Fraktur tulang alveolar: Tanda patognomonik untuk
diagnosis klinis

Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun datang ke Unit Endodontik dan


Trauma Gigi yang berada di rumah sakit kami, karena trauma pada gigi.
Dilakukan anamesis medis dan gigi, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik
menyeluruh, tes neurologis, pemeriksaan ekstra-dan intra-oral, dan pemeriksaan
radiografi. Pemeriksaan klinis menunjukkan laserasi bibir, dan luksasi lateral
pada wajah dan gigi insisivus maksilaris kanan dan kiri. Diamati hematoma
terlokalisasi pada gingiva yang menempel dari margin bebas gingiva sampai
mukosa vestibular, bersebelahan dengan gigi insisivus maksilaris kiri (Gambar
1).

Gambar 1.Hematoma terlokalisasi melintasi gingiva dari margin gingiva bebas ke


mukosa vestibular

Sebuah radiografi periapikal diambil pada hari trauma (Gambar 2). Laserasi
bibir atas dijahit dan gigi direposisi secara manual. Setelah penyesuaian oklusal,
gigi dilapisi dengan semi-flexible splint yang dibuat dengan ortodontik
wire#0,012 (ORMCO, Glendora, Meksiko) dan resin komposit, yang pertahankan
selama 10 hari. Sepuluh hari kemudian, selama perjanjian kedua, rongga akses

49
endodontik dibuat di gigi insisivus maksilaris kiri dan kanan. Dilakukan
intrumentasi secaka kemo mekanik pada kanal dan dilapisi dengan kalsium-
hidroksida. Di akhir sesi, splint dilepas dan oklusi ditinjau kembali. Sebulan
kemudian, kanal disiapkan untuk ukuran #60 dan disegel dengan poin gutta-
percha dan sealer AH26.

Gambar 2.Radiograf diagnostic diambil pada hari luka

Pada 16 bulan masa follow up, tidak ada gejala yang diamati. Pemeriksaan
klinis menunjukkan resorpsi tulang vertikal pada daerah fraktur. Radiografi
menunjukkan resorpsi tulang yang luar biasa di sekitar gigi insisivus maksilaris
kiri pertama. (3 dan 4). Pasien dirujuk ke Departemen Periodontal untuk evaluasi
dan perawatan lebih lanjut

Gambar 3. Pemeriksaan klinis lanjutan menunjukan resorpsi tulang vertical sebagai


daerah fraktur

50
Gambar 4. Evaluasi radiografi menunjukan resorpsi tulang yang luar biasa pada gigi
insisivus rahang atas kiri pertama

Diskusi

Konsekuensi jangka panjang dari kegagalan penanganan trauma dento-


alveolar bisa sangat merugikan. Diagnosis awal yang tepat untuk luka-luka
tersebut dan rujukan yang tepat dapat sangat berkontribusi pada keberhasilan
pengobatan dan dapat mencegah kerusakan tulang atau gigi alveolar dini, dan
mengurangi beban konsekuen rehabilitasi prostetik. Dalam kasus yang dijelaskan
dalam makalah saat ini, hematoma lokal pada gingiva sekitar dari margin bebas
gingiva ke mukosa vestibular adalah tanda peringatan untuk fraktur tulang
alveolar lokal. Dalam kasus fraktur tulang alveolar, protokol terbaru
merekomendasikan fiksasi untuk jangka waktu 4 sampai 6 minggu, berdasarkan
prognosis penyembuhan tulang setelah cedera. Namun, dalam kasus khusus ini,
karena diagnosis patah tulang alveolar yang diabaikan, pengobatan yang paling
tepat yang dapat mengurangi resorpsi tulang belum diberikan.

Fraktur tulang alveolar biasanya dilakukan dengan menggunakan teknik


penggunaan wire, seperti arch bars, figure-eight dan loop wiring, orthodontics
bands, dan acrylic atau metallic splint. Jika terjadi luka luxasi, hasilnya lebih
bergantung pada durasi splinting daripada pada jenis splinting . Misalnya, dalam
sebuah penelitian yang dilakukan pada model hewan, gigi yang ditanam kembali

51
yang mendapatan splint selama 30 hari mengalami kejadian penggantian resorpsi
yang lebih tinggi daripada gigi yang menjalani splint hanya dalam satu minggu.

Pada fraktur alveolar, fiksasi memainkan peran penting dalam mencapai


penyembuhan fraktur dan tulang yang tepat. Berbeda dengan fiksasi untuk
avulsion, fiksasi fraktur alveolar harus kaku agar memungkinkan penyembuhan
tulang yang tepat. Sambil mempertahankan fiksasi rigid segmen alveolar, splint
harus memungkinkan gerakan fisiologis gigi yang terawat pada segmen alveolar
yang mengalami fraktur. Ada berbagai jenis fiksasi yang rigid, seperti pemasangan
wire dengan arch bars, splint komposit, fiksasi plate and screw. Pilihan metode
splint tergantung pada jenis fraktur alveolar dan jumlah gigi yang ada di lengkung.
Durasi fiksasi bisa bervariasi antara 4 sampai 6 minggu. Kunci untuk imobilisasi
yang adekuat adalah untuk menyangga segmen fraktur secara kaku sampai
setidaknya 3 sampai 4 gigi stabil pada kedua sisi segmen alveolar yang
mengalami fraktur. Insiden fraktur alveolar sulit diperkirakan karena biasanya
dilaporkan bersamaan dengan cedera pada gigi dan fraktur wajah.

Misalnya, dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Gigi


Universitas di Kopenhagen, fraktur alveolar menyumbang 9% dari semua cedera
dento-alveolar gigi permanen. Studi retrospektif lain terhadap 237 pasien yang
menderita cedera maksilofasial selama periode lima tahun, melaporkan bahwa
fraktur alveolar menyumbang sekitar 2% dari semua fraktur mandibula dan 9%
dari semua fraktur maksilaris. Di Rumah Sakit Gigi Universitas Osaka, bentuk
cedera maksilofasial yang paling umum ditemukan pada 174 pasien berusia
sampai 16 tahun adalah fraktur mandibula (56%), diikuti oleh fraktur dento-
alveolar (31%) .

Meskipun fraktur alveolar dapat terjadi pada usia berapapun, dekade


pertama dan kedua setelah gigi seri permanen erupsi adalah yang paling umum.
Sebuah tinjauan terhadap 9.543 kasus trauma cranio-maxillo-facial yang
dilakukan di Rumah Sakit Universitas Innsbruck menemukan bahwa usia rata-rata
dari semua cedera dento-alveolar adalah 18 tahun. Studi epidemiologi telah

52
menunjukkan bahwa laki-laki dua kali lebih mungkin mengalami trauma dento-
alveolar dan wajah

Penyebab fraktur alveolar bervariasi dalam kelompok usia yang berbeda.


Pada anak-anak, fraktur ini sering disebabkan oleh cedera sepeda, jatuh, cedera
olahraga dan, kadang-kadang, kecelakaan mobil dan pelecehan anak. Untuk orang
dewasa, penyebabnya biasanya berkelahi, kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
cedera kontak, dan kadang-kadang trauma terkait pekerjaan .

Fraktur alveolar terjadi terutama di arkus dentate, tapi juga bisa terjadi
pada arkus edentulous. Anterior maxilla dan mandibula adalah lokasi yang umum
karena lokasi dan kerentanan daerah ini . Faktor lain yang mempengaruhi maksila
anterior terhadap cedera dento-alveolar meliputi peningkatan over-jet gigi
insisivus maksilaris dan prolinasi dan bibir yang tidak kompeten. Bentuk anatomis
dan kepadatan tinggi tulang kortikal bukal dan lingual membuat mandibula
posterior kurang rentan terhadap fraktur alveolar.

Fraktur alveolar dapat melibatkan gigi yang terisolasi, atau dua atau lebih
gigi dengan pergeseran labial atau lingual dari segmen dento-alveolar, yang
mengakibatkan hilangnya kontinuitas lengkung dan gangguan oklusal yang
menyakitkan. Pada fraktur tulang alveolar yang terisolasi, pendeteksian trauma
semacam itu sangat sulit. Dalam kasus yang disajikan, manajemen yang tidak
memadai menyebabkan protokol pengobatan yang salah dan hasil resorpsi tulang
alveolar yang tidak memuaskan.

Fraktur alveolar menyebabkan luka pada tulang sekitar dan pembuluh


darah yang memberi suplai, dan berpotensi ke pulpa, ligamentum periodontal
(PDL) gigi yang terlibat, dan jaringan lunak mukogingiva yang berdekatan.
Komplikasi yang timbul mewakili akibat langsung kerusakan pada jaringan ini
dan dapat diperburuk lagi dengan perawatan yang tidak memadai.

Fiksasi dan splint yang tidak adekuat dapat menyebabkan mobilitas


segmen yang mengalami fraktur. Akibatnya, segmen alveolar kecil dapat diserap,
mengakibatkan hilangnya tulang pendukung, dan ini dapat membahayakan
53
prognosis gigi. Fiksasi yang tepat, periode imobilisasi yang adekuat dan eliminasi
trauma oklusal diperlukan untuk penyembuhan tulang. Pada fraktur alveolar,
kehilangan gigi dapat terjadi sebagai akibat kominusi berat pada socket tulang,
akar yang fraktur dan tidak dapat dipulihkan, atau resorpsi akar berikutnya, dan
mungkin memiliki implikasi psikologis yang serius, terutama bila gigi anterior
terlibat.

Ekşioğlu dkk. menyelidiki adanya temuan ultrasonografi yang berbeda


yang terkait dengan fraktur pada 39 pasien berusia sampai 14 tahun. Pada semua
pasien ditemukan hematoma subperiosteal. Hematoma harus meningkatkan
kecurigaan fraktur alveolar dan dapat dianggap sebagai tanda patognomonik
fraktur alveolar, terutama bila tidak terdeteksi secara radiografik .

3.4 Laporan Kasus 4 (Management of an Unusual Maxillary Dentoalveolar


Fracture: A Case Report.

Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dipresentasikan ke Departemen


Kesehatan Pedalaman dan Pencegahan, Bapuji Dental College and Hospital,
Davangere, Karnataka, India, dengan keluhan pembengkakan di sisi kanan dan
rasa sakit saat menutup mulut. Anak laki-laki itu menderita luka karena benturan
yang disebabkan oleh ledakan peredam skutik yang tiba-tiba dan telah mengalami
rasa sakit dan pembengkakan selama seminggu. Wajahnya tercatat karena edema
pada wajah dan bibir bagian atas. Pemeriksaan intraoral menunjukkan adanya
dislokasi fragmen palatal yang jelas pada fragmen retak yang melibatkan kanin
kanan dan geraham primer. Segmen yang retak bergerak dan lembut pada palpasi
dengan laserasi yang terinfeksi di bagian kanan atas vestibulum (Gambar 1a, 1b).
Pemeriksaan klinis dan radiologis menyeluruh menunjukkan garis patah yang
melintasi kuncup gigi pra-molar pertama maksila kanan. Kehadiran fraktur
bersamaan lainnya di kerangka wajah, bagaimanapun, telah dikesampingkan
(Gambar 2).

54
Gambar 1a. Perpindahan palatal segmen dentoalveolar dengan laserasi bukal yang
terinfeksi.

Gambar 1b. Preoperative oklusal perbedaan.

55
Gambar 2. Orthopantomograph menggambarkan fraktur yang melibatkan segmen
posterior maksilaris kanan.

Anak tersebut dirawat 2 hari sebelum prosedur operasi yang direncanakan,


dan profilaksis oral menyeluruh dilakukan Di bawah sedasi intravena, kesan
lengkung gigi bagian atas dan bawah dibuat dengan menggunakan bahan implan
alginat dan gips diperoleh. Pemeran maksila dipotong sepanjang garis patah, dan
bagian-bagiannya diorientasikan pada pemeran mandibula untuk membangun
kembali oklusi pretrauma dan juga disalin kembali. Selanjutnya, gips yang
diartikulasikan dipasang pada artikulator engsel sederhana, dan belat akrilik
terbuka digunakan pada pemeran maksila yang dimodifikasi dengan teknik taburi.
Kelebihan akrilik kemudian dipangkas, dan belat itu dipoles. Empat lubang dibuat
di daerah interdental molar pertama yang mengalami desiduasi pada aspek palatal
dan bukal dari belat pada kedua sisi untuk memudahkan pelepasan kawat baja
tahan karat 26-gauge (Dentaurum, Jerman; Gambar 3a).
Di bawah anestesi umum, penutupan plastik luka ekstraoral dilakukan
setelah eksplorasi kembali dan debridemen cairan. Fragmen itu dikurangi dengan
tekanan digital, dan belat buatan prefabrikasi itu ditempatkan pada posisinya.
Belat itu diikat dengan kabel interdental (kawat baja tahan karat 26-gauge) yang
berjalan horizontal melalui lubang yang dibuat pada belat di arah buccopalatal
(Gambar 3a, 3b). Pengurangan dan stabilisasi fraktur cukup memuaskan, terbukti
dengan oklusi pascaoperasi (Gambar 4). Pemulihan dari anestesi umum tidak
lancar, dan pasien dipulangkan pada hari ketiga pasca operasi dengan instruksi
untuk diet lembut dan perawatan kesehatan mulut yang baik. Sirkuit antibiotik dan
analgesik 5 hari juga diresepkan. Anak itu teringat setiap minggu untuk
memastikan kestabilan belat. Pemindahan belat dilakukan pada akhir 3 minggu.
Konsolidasi fraktur dikonfirmasi secara klinis dan radiografi (Gambar 5). Oklusi
memuaskan dan penyembuhan diamati. Orang tua anak diinstruksikan untuk
segera melaporkan jika ada keluhan rasa sakit atau ketidaknyamanan di wilayah
ini. Pada akhir minggu kedelapan pasca operasi, letusan normal gigi insisivus
lateral kanan rahang atas juga diteruskan (Gambar 6).

56
Gambar 3a. Pembuatan Splint akrilik terbuka

Gambar 3b. Splint di tempat kawat interdental

Gambar 4. Penempatan Splint pascaoperasi segera

57
Gambar 5. Orthopantomograph menggambarkan konsolidasi fraktur pada 3 minggu.

Gambar 6. Oklusi dengan gigi insisivus lateral yang biasanya erupsi pada 8 minggu.

Diskusi

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan definitif


dari cedera dentoalveolar meliputi: (1) usia dan kerjasama pasien; (2) durasi
antara trauma dan pengobatan; (3) lokasi atau tingkat cedera; (4) cedera gigi
primer atau permanen; (5) tahap perkembangan akar; (6) adanya fraktur tulang
pendukung; dan (7) kesehatan periodontal gigi yang tersisa. Pengobatan fraktur
proses alveolar melibatkan pengurangan dan imobilisasi segmen dan stabilisasi
yang terlibat paling sedikit 2 sampai 4 minggu. Batang lengkung dapat digunakan
untuk stabilisasi pada orang dewasa, namun pada populasi anak-anak, ini tidak

58
mungkin dilakukan karena ukuran gigi dan campuran. Ketinggian kontur mahkota
gigi sulung berada di bawah tingkat gingiva, dan kabel sirkular dapat
menyebabkan ekstrusi gigi sulung. Penggunaan gigi permanen yang baru meletus
juga dikontraindikasikan karena adanya formasi akar tidak lengkap Resorpsi akar,
gesekan gigi sulung, dan pembentukan akar gigi permanen yang tidak lengkap
pada fase gigi campuran membuat gigi ini kurang membantu dalam menahan
batang lengkung di tempat.
Di antara pilihan pengobatan yang umum digunakan, pembentuk topi
akrilik sangat ideal. Mereka tidak hanya memanfaatkan dukungan dari gigi yang
berdekatan, tapi juga dari tulang. Mereka mudah dibuat dan ekonomis. Secara
rutin, ini digunakan untuk menstabilkan fraktur mandibula, karena dapat
distabilkan dengan penggunaan kabel circum-mandibular. Begitu pula, gunning
splints digunakan pada rahang edentulous orang tua di mana kabel peralveolar
dapat digunakan untuk menstabilkan belat di maxilla. Ekstrapolasi teknik yang
sama, bagaimanapun, tidak mungkin dilakukan pada pasien anak-anak, karena
adanya gigi permanen yang terus bertambah. Metode pemasangan kabel yang
dimodifikasi untuk mengamankan belat maksila di tempat digunakan dalam kasus
khusus ini, sehingga memudahkan stabilisasi segmen retak. Penundaan dalam
perawatan dapat membuat fraktur kurang dapat diperbaiki untuk pengurangan
yang memadai. Selain itu, permulaan awal anatomi kerangka pra-cedera sangat
penting untuk memfasilitasi pertumbuhan kompleks kraniofasial normal. Ini akan
meminimalkan atau menghindari efek buruk dari penundaan atau tidak ada
pengobatan seperti malunion, gangguan oklusi, dan gangguan. deformitas
dentofacial yang akan datang. Fiksasi maxillomandibular jarang dilakukan pada
pasien diatrik, karena anak-anak tidak mentolerirnya dan, bagaimanapun juga,
mempertahankan belat pada posisi sampai konsolidasi fraktur menjadi penting.
Teknik pengkabelan interdental yang digunakan adalah inovatif dan memegang
belat pada tempatnya secara aman. Apalagi kabel juga tidak mengganggu oklusi
atau mengunyah. Setelah penempatan belat dan selama keseluruhan periode belat
in situ, protokol ketat untuk diet dan pemeliharaan kebersihan mulut diikuti. Diet
cair atau semipadat harus disarankan pada awalnya, dan makanan keras harus

59
benar-benar dihindari. Pemeliharaan kebersihan mulut menimbulkan masalah,
terutama pada anak-anak dan lebih lagi dengan belat di tempat. Anak itu
disarankan untuk menggunakan obat kumur biasa yang mengandung klorheksidin
0,2%. Sebagai alternatif, orang tua dilatih dan disarankan untuk mengairi rongga
mulut dengan larutan garam hangat dalam jarum suntik sekali pakai. Setelah
pengangkatan belat, pemeriksaan gigi yang cermat dan fragmen retak dilakukan
untuk memastikan penyembuhan fraktur yang memuaskan. Hal ini juga penting
untuk memantau kasus-kasus semacam itu dalam waktu lama sehingga letusan
gigi permanen di masa depan dapat diamati secara ketat.

3.4 Laporan Kasus (Pengelolaan fraktur dentoalveolar dengan beberapa


avulsi: Sebuah laporan kasus dengan follow-up tiga tahun)

Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun melapor ke Departemen


Kesehatan Pedodontik dan Pencegahan dengan luka traumatis ke daerah lisan dan
perioral karena terjatuh saat anak itu bermain kriket di sekolah tersebut. Sejarah
menunjukkan bahwa trauma mengakibatkan avulsi beberapa gigi. Dengan saran
dari dokter gigi setempat, orang tua dari anak yang terluka tersebut telah
membawa giginya yang avulsed ke dalam susu karena merupakan media
penyimpanan yang baik dan juga tersedia. Dua jam berlalu saat pasien
melaporkan ke Departemen Pedodontik. Pada pemeriksaan anak memar dan
bengkak bibir bagian atas. Pemeriksaan intraoral menunjukkan fraktur
dentoalveolar yang melibatkan premaxilla dan segmen posterior kanan atas
dengan perpindahan gigi posterior palatal. Ada laserasi gingiva palatal parah
dengan perdarahan. Ada avulsi 21 dan 24 yang dibawa dalam susu, 22
dipindahkan secara palatum dan ada ekstrusi 25, 26, 31, 32 dan 41 (Gambar 1).
Molar premolar dan molar benar-benar keluar dari soketnya tapi tergantung
dengan ikatan jaringan kecil dan tetap intraoral. Pemeriksaan radiografi
menunjukkan fraktur tulang interdental antara 25 dan 26 (Gambar 1). Premolars
tidak dewasa dengan hanya dua pertiga dari formasi akar. Oklusi adalah kelainan
karena perpindahan palatal segmen posterior rahang atas kiri. Tidak ada riwayat

60
yang menunjukkan adanya cedera kepala, anak tersebut mendapat perawatan
medis pertolongan pertama untuk luka ringan oleh petugas medis sekolah yang
telah menggunakan suntikan toksoid tetanus.
Manajemen darurat cedera traumatis gigi direncanakan setelah
penyelidikan sejarah, radiografi (ortopantomograf) dan hematologi (pendarahan
waktu dan waktu pembekuan) secara menyeluruh. Di bawah anestesi lokal,
goutiva palatal dijahit dan pendarahan ditangkap. Gigi avulsed (21 dan 24)
diimplantasikan dengan sukses, setelah dibilas dengan garam. Soket gigi yang
melebar dan fraktur dentoalveolar di wilayah 25 dan 26 dikurangi dengan
instrumen tumpul dan tekanan digital. Premolar direposisi dan distabilkan dengan
jahitan interdental. Karena itu fraktur dentoalveolar, karena imobilisasi pelepasan
tutup segmen maxillary segmen telah direncanakan. Kutu daun Alginat dibuat dan
dilemparkan dituangkan. Segmen maxillary pengurungan dipotong, disusun ulang
pada pemeran dan diperiksa dengan oklusi rahang bawah dan belat pemotong
termodifikasi (meliputi permukaan oklusal) dibuat.
Di bawah anestesi lokal segmen palatal terlantar dikurangi dan
dimodifikasi cap splint disemen dengan menggunakan semen seng fosfat (Gambar
2). Gigi anterior mandibula yang diekstrusi distabilkan dengan belat kawat
fleksibel. Amoksisilin 250 mg 8 jam dan analgesik diresepkan dan pasien
disarankan untuk mengkonsumsi soft diet selama 10 hari. Anak itu ditindaklanjuti
keesokan harinya untuk memeriksa kestabilan belatnya. Meski anak merasa
nyaman, menunjukkan sedikit pembengkakan pada sisi kiri wajah. Setelah
memastikan kestabilan belat, anak tersebut disarankan untuk melanjutkan
pengobatan dan diet lunak. Pasien ditindaklanjuti setelah satu minggu dan
menemukan bahwa pembengkakan wajah telah mereda dan anak-anak mengatasi
prosedur pengobatan.
Dua minggu kemudian, pecahan topi yang telah dimodifikasi
dipindahkan dengan hati-hati dan oklusi dipastikan. Oklusi ternyata cukup
memuaskan. Evaluasi radiografi dilakukan untuk mengevaluasi status sekarang
dari gigi avulsed. Flint kawat fleksibel ditempatkan untuk stabilisasi
dentoalveolar. Pengobatan saluran akar dimulai untuk semua gigi yang terkena.

61
Campuran kalsium hidroksida menengah (ApexCal) diberikan untuk gigi
premolar karena ada mulai resorpsi akar inflamasi eksternal (Gambar 3). Dua
bulan kemudian, radiograf mengungkapkan resorpsi inflamasi eksternal dengan
24 dan 25 sehingga keputusan dibuat untuk mendapatkan agregat trioksida
mineral (Gambar 4). Tiga tahun tindak lanjut mengungkapkan bahwa anak itu
asimtomatik dengan fungsi normal. Pada pemeriksaan secara klinis, anak tersebut
menunjukkan gejala asimtomatik infraoklusi dengan 21 oklusi normal posterior.
Secara radiografi, 21 dan 24 menunjukkan resorpsi penggantian akar lengkap
meskipun secara klinis tidak bergejala. Namun, 22, 26, 31, 32 dan 42 asimtomatik
secara klinis dan radiografi menunjukkan lamina dura utuh (Gambar 4 dan 5).

Gambar 1: Orthopantamograph mengungkapkan soket kosong dengan 21, 24. Ekstrusi


25, 26, 31, 32 dan 42 dengan fraktur tulang interdental antara 25 dan 26 .

Gambar 2: Potongan pita dimodifikasi disemen.

62
Infraoklusi dengan 21 oklusi normal posterior. Secara radiografi, 21 dan
24 menunjukkan resorpsi penggantian akar lengkap meskipun secara klinis tidak
bergejala. Namun, 22, 26, 31, 32 dan 42 asimtomatik secara klinis dan radiografi
menunjukkan lamina dura utuh (Gambar 4 dan 5).

Gambar 3. Eksternal resorpsi akar dengan 24 dan 25.

Gambar 4. Setelah tiga tahun follow-up menunjukkan lamina dura utuh dengan
22,26, 31,32 dan 42 dan resorpsi penggantian dengan 21,24 dan 25

Gambar 5. Orthopantamograph setelah tiga tahun

Diskusi

Proses alveolar fraktur memerlukan reduksi, imobilisasi dilanjutkan


dengan stabilisasi selama 2-4 minggu untuk perawatannya. Batang lengket tidak

63
sesuai pada anak-anak karena ukuran gigi pada gigi campuran dan gigi permanen
yang baru meletus memiliki akar yang belum menghasilkan. Karena dalam kasus
kami semua posterior dan gigi insisivus sentral terisi, belat akrilik yang
dimodifikasi dipertimbangkan untuk menstabilkan fragmen dentoalveolar dan gigi
avulsed. Meskipun gigi avulsed tidak boleh dibubuhkan selama lebih dari 7-10
hari, karena ada fraktur dentoalveolar yang terkait, cap splint diperpanjang selama
dua minggu .
Kasus ini menunjukkan keberhasilan replantasi karena resorpsi inflamasi
ditangkap, walaupun gigi avulsi dibawa dalam susu beberapa menit setelah
trauma, resorpsi penggantian berlanjut. Tapi gigi seri bawah dan gigi molar atas
diganti dengan sukses. Proses peradangan dan aktivitas resorpsi sel harus
dieliminasi untuk pengobatan resorpsi akar. kalsium hidroksida (CaOH) diketahui
berpotensi bakterisida dan osteogenik yang banyak digunakan pada endodontik.
Penghambatan aktivitas osteoklastik menghasilkan pembentukan jaringan keras
karena menciptakan lingkungan alkalin di dalam dan sekitar jaringan. Alasannya
CaOH digunakan dalam kasus ini. Difusi ion kalsium dan hidroksida melalui
tubulus dentinal ke permukaan akar. Perubahan konsentrasi ion hidroksida
mengganggu gradien pH pada membran sel bakteri sehingga mengganggu
pasokan energi organisme. Juga pH tinggi menyebabkan dematurasi protein
membran sel dan racun intraselular .
Agregat mineral trioksida yang terdiri dari kalsium dan fosfor, kalsium hidroksida
terbentuk saat bereaksi dengan cairan jaringan. Tavolet dkk. Telah menyarankan
bahwa setelah bahan pelepasan kalsium, mineralisasi terstimulasi, yang
membentuk kalsium karbonat dengan mereaksikan dengan gas karbonat jaringan
Tapi Ozdemis dkk. menunjukkan agregat trioksida mineral tidak menghasilkan
pergeseran basa dalam media perendaman dan berdasarkan agregat trioksida
mineral pH tingginya tidak boleh diharapkan untuk menyembuhkan lesi . Ginger
Koshy George telah menunjukkan bahwa, pelepasan kalsium oleh apexcal lebih
besar daripada agregat trioksida Mineral, dengan peningkatan yang signifikan
seiring waktu dan dianjurkan CaOH dapat berpotensi digunakan pada kasus
resorpsi akar [10]. Oleh karena itu, dalam kasus ini, kami menggunakan CaOH

64
pada awalnya untuk menghentikan proses resorptif dan kemudian diperoleh
obtuksi agregat trioksida Mineral untuk gigi premolar. Meskipun ada resorpsi
pengganti, kita bisa mencapai retensi gigi selama tiga tahun dan tetap berfungsi
secara klinis juga menjaga tinggi dan lebar tulang untuk prosedur implan di masa
depan. Periode tiga tahun retensi gigi traumatis permanen menunjukkan teknik
klinis yang berhasil digunakan untuk merawat anak ini baik dari segi estetika
maupun fungsinya. Meskipun ada resorpsi, keputusan untuk mempertahankan
premolar dengan obturifikasi agregat mineral trioksida terbukti memuaskan. Oleh
karena itu, dalam kasus ini, kami menggunakan CaOH pada awalnya untuk
menghentikan proses resorptif dan kemudian terjadi penambahan agregat agregat
mineral trioksida. Namun, molar pertama dan gigi seri tidak menunjukkan
resorpsi dengan ruang ligamen periodontal utuh.

3.6 Laporan Kasus (Fraktur Parah Proses Alveolar Maxillary Terkait dengan
Luxasi Ekstrimasi dan Avulsion Gigi: Laporan Kasus )

Seorang pasien wanita berusia 12 tahun mengalami trauma


dentoalveolar parah di daerah anterior rahang atas karena jatuh sepeda di jalan.
Dia menerima pertolongan pertama di lokasi kecelakaan dari petugas paramedis
Dinas Pemadam Kebakaran dan dibawa ke ruang gawat darurat terdekat untuk
perawatan lebih lanjut. Setelah pemeriksaan klinis dan neurologis, pasien tersebut
dirujuk ke Dinas Traumatologi dan Bedah Mulut dan Maksilofasial di Sekolah
Kedokteran Gigi Araçatuba (UNESP, Brazil) untuk penanganan darurat cedera
orofasial

Diagnosa
Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan adanya luka, abrasi, dan edema
yang dilepaskan, di bibir atas. Temuan intraoral meliputi hal berikut (Gambar 1):
 Laserasi gingival yang keluar dari mesial kanin kanan rahang atas ke
mesial kaninus kiri rahang atas
 Tidak adanya gigi seri lateral maksilaris pada kedua sisinya

65
 Fraktur proses alveolar maksila dengan dislodgement tulang yang besar
yang terkait dengan kemewahan ekstrusi gigi insisivus sentralis maksila.
 Hilangnya tulang alveolar bukal
 Paparan tulang dan perdarahan

Gambar 1. Tampilan klinis pretreatment


Pengobatan
Manajemen darurat terdiri dari pengurangan fraktur proses alveolar dengan
anestesi lokal, reposisi gigi seri sentralis yang dipindahkan, penempatan belat
waktu menggunakan
kawat orthodontik stainless steel 0,7 mm (Gigi Morelli, Sorocaba, SP, Brasil), dan
perekat ester estero amrilat cepat (Super Bonder® Instant Adhesive, Rocky Hill,
CT, USA). Jaringan lunak ekstraoral dan intraoral yang teriritasi kemudian dijahit
dengan benang nilon 5-0 dan catrut 5-0 (Shalon Fios Cirúrgicos Ltda., São Luís de
Montes Belos, GO, Brasil) (Gambar 2 dan 3). Cendawan lateral avulkaned tidak
ditemukan.
Obat berikut diresepkan:
 Antibiotik sefalosporin (Cephalexin 500 mg, setiap 8 jam selama 7 hari;
Eli Lilly lakukan Brasil Ltda, São Paulo, SP, Brasil)
 Antiinflammatory (Kalium diklofenak 50 mg, setiap 8 jam selama 3 hari;
Novartis Biociências SA, São Paulo, SP, Brasil)

66
 Analgesik (Parasetamol 750 mg, setiap 6 jam bila terjadi nyeri; Aventis
Pharma Ltda, Suzano, SP Brazil

Gambar 2. Pengurangan fraktur proses alveolar dan penempatan splint sementara .

Gambar 3. Aspek klinis setelah pengurangan fraktur proses alveolar, Splinting,


dan jahitan laserasi jaringan lunak intraoral.

67
Gambar 4. Tampilan radiografi setelah pengisian saluran akar.

Gambar 5. Rehabilitasi sementara dengan gigi tiruan sebagian dilepas

Diskusi

Prevalensi trauma gigi yang lebih tinggi di Indonesia anak-anak dan


remaja telah dikonfirmasi oleh penulis yang berbeda di beberapa negara. Gigi
anterior rahang atas adalah yang paling sering terkena dampak, dan gigi seri
utama menunjukkan risiko tertinggi trauma dentoalveolar. Terjun, benturan
dengan orang lain atau benda, olahraga aktivitas, kecelakaan lalu lintas, dan
kekerasan merupakan faktor etiologi utama. Dalam kasus ini, fraktur proses
alveolar maksila melibatkan alveoli gigi seri pusat, yang menyebabkan

68
perpindahan gigi ini di dalam kerusakan tulang dan akibatnya pada ligamen pulpa
dan periodontal. Kejadian traumatis semacam itu tidak jarang terjadi, seperti
dilaporkan di tempat lain. Tulang dan penyembuhan ligamen periodontal adalah
secara langsung dipengaruhi oleh reposisi struktur yang copot ke situs aslinya
yang dicapai secara memuaskan dalam kasus ini. Waktu splinting empat minggu
biasanya disarankan untuk jenis trauma ini, tapi bisa dipersingkat untuk tiga
minggu pada anak-anak karena mereka kapasitas penyembuhan lebih cepat. Jika
terjadi cedera Pulp, kemungkinan revaskularisasi berbanding terbalik dengan
tingkat apexifikasi dan penyempitan foramen apikal gigi traumatik. Andreasen21
menyelidiki prevalensi komplikasi setelah kemunduran traumatis dan menemukan
64% nekrosis pulpa, 24% dari penghilangan bubur kertas, 6% resorpsi akar
progresif, dan 7% kehilangan tulang marjinal pada kasus kemunduran ekstrusi.
Dalam kasus asosiasi fraktur proses alveolar dan kemunduran ekstrusi,
kejadian nekrosis pulpa berhubungan langsung dengan waktu yang telah berlalu
antara cedera traumatis dan reposisi gigi dan tahap perkembangan akar. Dalam
penelitian lain Andreasen dan Pedersen22 melaporkan frekuensi yang lebih rendah
(26 %) nekrosis pulpa dengan jenis kemaluan gigi ini, yang mengindikasikan
bahwa terapi saluran akar tidak diperlukan dalam kebanyakan kasus. Dalam kasus
ini beberapa faktor berkontribusi terhadap terjadinya nekrosis pulpa. Gigi yang
mengalami trauma memiliki formasi akar yang lengkap, terjadi perpindahan yang
cukup besar, dan hubungannya fraktur proses alveolar maksila dengan
keterpaparan tulang. Perawatan endodontik dimulai 15 hari setelah trauma dengan
penempatan dressing berbasis kalsium hidroksida yang sifat biologisnya, terutama
aktivitas antimikroba23 dan efek penyinaran toksin, memfasilitasi proses
perbaikan. Resortpsi akar progresif tidak umum terjadi pada kasus kemunduran
ekstrusi. Jadi perawatan obat intrakanal untuk waktu yang lama tidak diperlukan
dalam kasus ini. Rehabilitasi pasien yang mengalami luka traumatis dengan
kehilangan gigi sering menjadi tantangan karena kelompok usia yang paling parah
adalah anak muda (anak-anak dan remaja). Bagi remaja, perawatan ortodontik
tampaknya merupakan pilihan yang paling banyak ditunjukkan, namun
pemeriksaan terperinci harus dilakukan oleh ahli ortodontik sebelum rencana

69
perawatan akhir dirumuskan. Jika orthodonsi dipilih untuk gigi yang terlibat
dalam luka traumatis yang luas, waktu tunggu paling sedikit satu tahun disarankan
sebelum pengobatan dilakukan. Penggunaannya gigi tiruan parsial sementara
kadang-kadang merupakan satu-satunya pilihan yang mungkin terjadi sampai
jaringan yang terluka benar-benar sembuh dan pasien cukup tua untuk
mendapatkan perawatan rehabilitasi yang pasti.

BAB IV

KESIMPULAN

Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu


bagian terutama tulang.2 Fraktur dentoalveolar merupakan suatu injuri yang
melibatkan patahnya struktur dentoalveolar. Fraktur dentoalveolar berarti
mencakup fraktur gigi dan juga fraktur alveolar biasanya disebabkan oleh
kecelakaan atau trauma. Etiologi dari fraktur itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu
ekstrinsik dan intinsik. Disamping itu, faktor lain yang ditambahkan oleh
American Dental Association (ADA) yaitu kebiasaan buruk, kehilangan
sebagian besar struktur gigi, paparan email gigi terhadap suhu ekstrim, tambalan
pada gigi, gigi pasca rawatan endodontik dan kesalahan dokter gigi
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization
(WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras
gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut.
Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya
kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada
gingiva dan vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu.

70
Foto rontgen penting sebelum membuat diagnosis pada pasien, dan dari
foto tersebut kita dapat melihat batas fraktur sampai mana. Perawatan atau
penanggulangan trauma secara umum ialah perhatikan kondisi saluran
pernafasan pasien, Sumbatan Jalan Nafas yang Tertunda, perdarahan, antibiotik,
kontrol rasa sakit, peraawatan pendukung, perawatan segera.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedersen, G. 1996. Buku Ajar Bedah Mulut. Alih bahasa: Purwanto.


Jajarta: EGC
2. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002
3. Malamed SF.; Medical Emergencies in the Dental Office; 5th ed.; Mosby,
Inc.; St.Louis; 2000.
4. Walton, Richard E. 2008. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodontik alih bahasa
Narlan Sumawinata. Jakarta : EGC.
5. Prabhakar,MDS.dkk. 2014. Management of an Unusual Maxillary
Dentoalveolar Fracture : A Case Report. Journal of dentistry for children.
6. Sangeetha K.M, Poornima, dkk. 2014. Management of Dentoalveolar
Fracture with Multiple Avulsions : A Case Report With Three Years Follow
up. International Journal of Case Report and Images.
7. Saito Celia,DDS,MS.Jesica Gullineli, dkk. 2009. Severe Fracture of the
Maxilary Alveolar Process Associated with Extrusive Luxation and Toot
Avulsion. The Journal of Contemporary Dental Practice. Volume 10,
Januari 2009
8. Moara DE,Paulo-Nelson. 2009. Management of a Complex Dentoalveolar
Trauma : A Case Report. BrazDentJ (2009)20(3):259-261

71
9. Zvi Gutmacher, Eli Peled,dkk. 2017. Alveolar Bone Fracture:
Phatognomonic Sign For Clinical Diagnosis. The Open Dentistry Journal,
2017,11,8-14
10. Antonio Azoubel Antunes. 2011. Tooth Embedded in Lower Lip Following
Dentoalveolar Trauma : Case Report and Literatur Review.
11. Hawkesford JE. and Banks JG.; Maxillofacial and Dental Emergencies;
Oxford University Press; Oxford; 1994.
12. Loomba K, Loomba A, Bains R and BainsVK: A proposal for
classification of tooth fractures based on treatment need: Journal of Oral
Science, Vol. 52, No. 4, 517-529, 2010.
13. Quadera SS, Shamsuzzamanb M, Gofurc A, Fatemad S, Rahmane MA.
(2013). Lateral compression splint, a guide for stabilization of mandibular
arch in case of dentoalveolar fracture of children. Updat Dent. Coll J, 3(2),
55-60.

72

Anda mungkin juga menyukai