PENDAHULUAN
1
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010, terlihat bahwa pada pola
penyakit terbanyak pasien rawat inap di seluruh wilayah di Indonesia, DBD masuk
kedalam urutan kedua dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus dan perempuan
sebanyak 28.883 kasus. Selain itu, diperoleh jumlah yang meninggal sebanyak 325
orang (CFR sebesar 0,55%).4 Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis
penyakit infeksi akut endemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai
misdiagnosis atau kegagalan pengobatan. Menegakan diagnosis DBD pada stadium
dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostic yang dapat
memastiukan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.
1.2 Tujuan
Tujuan Penulisan Laporan Kasus ini antara lain:
1. Untuk mengetahui perjalanan penyakit Infeksi Virus Dengue khususnya Dengue
haemorrhagic fever (DHF)
2. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosa kasus Dengue haemorrhagic fever
(DHF)
3. Untuk mengetahui penanganan pasien kasus Dengue haemorrhagic fever (DHF)
4. Untuk mengetahui prognosis kasus Dengue haemorrhagic fever (DHF)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara
yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai
renjatan atau dengue shock syndrome (DSS) ; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan
Ae. albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus
dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.
(Sumber : WHO, Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
haemorarghic fever. Revised and Expanded Edition. New Delhi : WHO, Regional Office for
South-East Asia; 2011)
Gambar 1. Spektrum Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue
DBD memiliki manifestasi klinis yang sama dengan demam dengue, tetapi
ditambah dengan tanda kegagalan sirkulasi dan perdarahan yang dapat menyebabkan
kematian. Gejala klinik di antaranya demam tinggi, nyeri kepala berat (retroorbital),
kemerahan pada wajah, nyeri otot, nyeri sendi, mual dan muntah, nafsu makan menurun
dan nyeri abdomen akut. Manifestasi perdarahan yang serius dapat berupa epistaksis,
perdarahan gusi, ptechiae, ekimosis, hematemesis, melena, dan perdarahan vagina.3
2.2 Epidemiologi
3
Insidensi demam berdarah dengue meningkat secara dramatis di seluruh dunia
dalam beberapa dekade ini. Diperkirakan, saat ini di seluruh dunia sekitar 2,5 milyar
orang memiliki resiko terkena demam dengue. Mereka terutama tinggal di daerah
perkotaan negara-negara tropis dan subtropis. Diperkirakan saat ini sekitar 50 juta kasus
demam dengue ditemukan setiap tahun, dengan 500.000 kasus memerlukan
penanganan di Rumah Sakit. Dari kasus di atas, sekitar 25.000 jumlah kematian terjadi
setiap tahunnya.5
4
penduduk. Bila jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan dengan jumlah kasus pada
tahun 2012, maka terjadi peningkatan sebesar 90.425 kasus. Akan tetapi, angka
kesakitan DBD yang ditargetkan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun
2013 telah tercapai yakni kurang dari 52 kasus per 100.000 penduduk.6
2.3 Etiologi
Virus dengue
Virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus,
terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4, ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Stegomiya aegipty dan
Stegomiyaalbopictus. Di Indonesia keempat serotype virus dengue tersebut dapat
ditemukan dan Den-3 merupakan galur yang paling virulen. Berdasarkan genom yang
dimiliki, virus dengue termasuk virus (positif sense single stranded) RNA. Genom ini
dapat ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai polipeptida berupa tiga protein
structural (capsid = C, pre-membrane = prM, dan envelope = E) dan tujuh protein non-
struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B dan NS5). Protein NS1 merupakan
satu-satunya protein non-struktural yang dapat disekresikan oleh sel penjamu mamalia
tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah penjamu sebagai
antigen NS1.1
5
2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk
Vektor Nyamuk
Pejamu
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus
masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari
fase demam. Nyamuk kemudian menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk
timbulnya penyakit pada individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor
genetik pejamu.
Faktor Abiotik
Suhu lingkungan, kelembaban dan curah hujan telah diketahui berperan dalam
penyebaran penyakit dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan membuat
nyamuk mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan lebih
sering menggigit manusia. Peningkatan curah hujan, terutama saat peralihan dari
musim kemarau ke musim penghujan dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan
kasus penyakit dengue.
2.4 Patogenesis
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan faktor virus (serotipe,
jumlah dan virulensi), faktor penjamu (genetik, usia, status gizi, penyakit komorbid dan
interaksi antara virus dengan penjamu) serta faktor lingkungan (musim, curah hujan,
suhu udara, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk dan kesehatan lingkungan).
Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut :
a. Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe
penyebab
b. Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondery heterologous
infection) pada umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih berat
dibandingkan dengan infeksi primer
c. Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibodi dapat menunjukan manifestasi
klinis berat walaupun pada infeksi primer
d. Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi pada saat jumlah
virus dalam darah menurun
6
e. Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-48 jam) dan pada
pemerikasaan patologi tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel pembuluh darah
7
sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang berlebihan inilah yang memacu
respons inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel endotel vaskuler.
Mekanisme Autoimun
Diantara komponen protein virus dengue yang berperan dalam pembentukan
antibody spesifik yaitu protein E, prM, dan NS1. Protein yang paling berperan dalam
mekanisme autoimun adalah NS1. Antibodi terhadap protein NS1 dengue menunjukan
reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada
kedua sel tersebut serta dapat memacu respons inflamasi. Akibatnya, pada trombosit
terjadi penghancuran sehingga menyebabkan terjadinya trombositopenia dan pada sel
endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesan plasma.
Faktor Penjamu
Beberapa faktor penjamu dapat menjadi faktor resiko untuk terkena infeksi
dengue yang berat, antara lain bayi usia 6-12 bulan mempunyai resiko terkena infeksi
berat walaupun pada infeksi primer. Hal ini diduga disebabkan oleh mekanisme ADE
yang sama dengan infeksi sekunder pada pejamu dengan usia lebih dari 1 tahun.
Obesitas juga salah satu faktor resiko yang pernah dilaporkan dapat terkena infeksi
yang berat.
Patogenesis DBD
Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan. Teori yang
banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (seconday heterologous infection
theory) atau teori antibody dependent enhancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder
menyatakan bahwaseseorang yang terinfeksikedua kalinya dengan virus dengue yang
berbeda, maka akan terjadi reaksi anamnestik dari antibody heterolog yang telah ada
sebelumnya. Ikatan virus-antibodi non netralisir ini mengaktivasi makrofag dan akan
bereplikasi didalam makrofag. Sedangkan teori ADE menyatakan bahwa adanya
antibody yang timbul justru bersifat mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag.3-5 Siklus intraseluler virus dengue hamper serupa dengan siklus virus lain
yang juga tergolong dalam genus flavivirus. Infeksi virus Dengue dimulai saat vector
mengambil darah host dan memasukkan virus kedalamnya. Virus Dengue berikatan dan
masuk ke dalam sel host melalui proses endositosis yang dimediasi oleh reseptor afnitas
rendah seperti DC-Sign (dendritic cells). Selama terjadi internalisasi dan asidifikasi
endosom,virus berfusi dengan membran vesikuler mengakibatkan masuknya
nukleokapsid menuju sitoplasma dengan genome tanpa amplop (uncoating genome).4
8
Selanjutnya proses translasi terjadi dimembran retikulum endoplasma, suatu
protein intermediate rantai negative terbentuk dan menjadi dasar dicetaknya beberapa
rantai RNA virus (vRNA). Sehingga terbentuklah protein virus dalam jumlah yang
banyak. Bersama dengan struktur protein lainnya seperti inti (core), premembran
(prM), dan amplop (E), vRNA akan menjadi cikal bakal virus dengue yang baru.
Pematangan virus terjadi dikompartemen golgi dan akhirnya akan disekresikan keluar
sel menuju sirkulasi.4 Mekanisme imunopatogenesis infeksi virus dengue melibatkan
respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.
Juga melibatkan limfosit T baik T-helper (CD4) dan Tsitotoksik (CD8), monosit dan
makrofag, sitokin serta aktivasi komplemen. Terjadinya infeksi makrofag, monosit atau
sel dendritik oleh virus Dengue melalui proses endositosis yang dimediasi reseptor dan
atau melalui ikatan kompleks virus antibody dengan reseptor Fc. Infeksi ini secara
langsung mengaktivasi sel T helper (CD4) dan sel T sitotoksik (CD8) yang
menghasilkan limfokin dan interferon gamma. Selanjutnya interferon gamma kan
mengaktivasi makrofag yang menyebabkan sekresi berbagai mediator inflamasi seperti
TNF, IL-1 dan PAF (platelet activating factor), IL-6 danh istamin. Mediator inflamasi
ini mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Selain
itu kompleks virus dan antibody ini akan mengaktifkan sistem komplemen dengan
mensekresikan C3a dan C5a, yang akibatkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma dari intravaskuler menuju
ekstravaskuler.4,6-7 Selain disfungsi endotel yaitu terjadi peningkatan permiabilitas
vaskuler, kompleks virus antibody yang terbentuk juga mengaktifkan sistem koagulasi,
sistem fibrinolisis, kinin dan gangguan terhadap proses agregasi trombosit, yang secara
keseluruhan akan mengakibatkan manifestasi perdarahan yang timbul pada DBD.3,7
9
Gambar 3. Pathofisiology of dengue infection
10
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Destruksi trombosit terjadi melalui
pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4
yang merupakan petanda degranulasi tromobosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat
interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai
penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah
dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi
melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih
dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematocrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan
dalam rongga serosa (efusi pleura, ascites). Syok yang tidak ditanggulangi secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh
karena itu, pengobatan syok sangat penting untuk mencegah kematian.
11
2. Dengue Fever ( Demam Dengue)
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja dan dewasa.
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala berupa demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
sendi/tulang, nyeri retroorbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed,
lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
a. Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari
b. Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher,
dan dada
c. Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
d. Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan
e. Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg
normal, dapat disertai rasa gatal(white islands in the sea of red)
f. Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif dan/atau petekie
Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna
(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
Infeksi Virus Virus chikungunya dan penyakit infeksi virus lain seperti
campak, rubella dan virus lain yang menimbulkan ruam seperti
eipstein-barr, enterovirus, influenza, hepatitis A dan hantavirus
12
3. Demam Berdarah Dengue
Manfestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak,
kontinua, kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Terdapat tiga fase dalam
perjalanan penyakit, meliputi fase demam, fase kritis, dan fase
penyembuhan(convalescence, recovery)
a. Fase demam
Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi
kejang demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot
dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah
lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
Manifestasi perdarahan
-
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal
-
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena
13
-
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak
-
Epistaksis, perdarahan gusi
-
Perdarahan saluran cerna
-
Hematuria (jarang)
-
Menorrhagia
b. Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescence) ditandai dengan,
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada
dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral
decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan
plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g%
yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran,
sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi,
tekanan nadi 20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral
dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (<
1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok
tidak dapat segera diatasi.
c. Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat
ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash
seperti pada DD.
14
Menurut klasifikasi WHO tersebut, DBD derajat I dan II tanpa disertai syok,
sedangkan DBD derajat III dan IV sudah disertai syok, yang disebut dengan Dengue
Shock Syndrome (DSS). Bila terjadi syok, tubuh mula-mula melakukan
kompensasi (syok terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak
berhasil pasien akan jatuh kedalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok
hipotensif dan profound syok yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progresif dan DIC.
DBD derajat III dan IV juga disebut Dengue Shock Syndrome (DSS).
Sebagian besar DSS adalah infeksi sekunder 37(86%), sedangkan DD sebagian
infeksi primer 20 (95,3%). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Edi Hartoyo
pada pasien yang di rawat di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari
2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis demam dengue/DBD/sindrom
syok dengue (SSD) gambaran klinis yang mencolok adalah demam 115 (93,5%),
muntah 80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), ruam konvalesen 58 (47,1%), mual
55 (44,7%), pusing 24 (19,5%), perdarahan gusi 8 (6,5%), epitaksis 5 (4,1%),
melena 4 (3,3%) dan gejala penyerta batuk 17 (17,9%), pilek 12 (9,8%). Pada
pemeriksaan fisik ditemukan Rumple leed(RL) positif 77 (62,6%), hepatomegali 47
(38,2%), efusi pleura 46 (37,4%) dan asites 34 (27,6%). Kadar transaminase
hati meningkat terutama pada SSD, SGOT 33 (76,7%) dan SGPT 37(86,0%).
15
(Sumber : Edi, 2008)
Gambar 5. Presentase gejala klinis demam berdarah dengue
16
penting karena angka kematian pada DSS sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan
pasien DBD tanpa syok. DSS dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda awal syok dan pengobatan DSS yang tidak
adekuat.Pasien yang menghadapi DSS akan menghadapi resiko kematian apabila
tidak cepat ditangani dan mendapatkan pengobatan. Sampai saat ini DSS masih
merupakan penyebab utama kematian pada penderita DBD dan 30% kasus DBD
berkembang menjadi DSS.
a. Syok Terkompensasi
Syok dengue merupakan suatu rangkian fisiologis, adanya hipovolemi
menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur
neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. Sistem
kardiovaskuler mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isi sekuncup
(stroke volume), laju jantung (heart rate) dan vasokontriksi perifer. Pada fase
ini tekanan darah biasanya belum turun, namun telah terjadi peningkatan laju
jantung. Oleh karena itu takikardi yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun,
walaupun tekanan darah belum banyak yang turun, harus diwaspadai
kemungkinan anak jatuh ke dalam syok.
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung atau
tatalaksana yang tidak adekuat, kompensasi dilakukan dengan mempertahankan
sirkulasi ke arah organ vital dengan mengurangi sirkulasi ke daerah perifer
17
(vasokontriksi perifer), secara klinis ditemukan ekstremitas teraba dingin dan
lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi bercak-bercak (mottled), CRT
memanjang lebih dari 2 detik. Dengan adanya vasokontriksi perifer, terjadi
peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan diastolik meningkat sedangkan
tekanan sistolik tetap sehingga pulse pressure menyempit (kurang dari 20
mmHg). Pada tahap ini system pernafasan melakukan kompensasi berupa quite
tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernafasan). Kompensasi
keseimbangan asam basa berupa asidosis metabolik namun nilai pH masih
normal dengan tekanan karbondioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah.
Keadaan anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar, sehingga dokter yang
kurang berpengalaman mungkin tidak mengetahui bahwa pasien sudah berada
dalam keadaan kritis. Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan
memberikan prognosis yang baik. Bila pengobatan tidak diberikan dengan cepat
dan tepat, anak akan jatuh ke dalam syok dekompensasi.
b. Syok Dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk
mempertahankan system kardiovaskuler telah gagal, pada keadaan ini tekanan
sistolik dan diastolik telah menurun, disebut syok hipotensif. Selanjutnya
apabila pasien terlambat berobat atau pemberian cairan tidak adekuat akan
terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah
tidak terukur, sianosis makin jelas terlihat. Salah satu tanda perburukan klinis
utama adalah perubahan kondisi mental karena penurunan perfusi otak. Pasien
menjadi gelisah, bingung atau letargi. Kejang dan agitasi mungkin terjadi
bergantian dengan letargi. Apabila anak tidak berespon terhadap rangsangan
nyeri berarti suda terjadi hipoperfusi korteks serebri.
Perjalanan dari ditemukannya warning signs sampai terjadinya syok
terkompensasi, dan dari syok terkompensasi menjadi syok hipotensif dapat
memakan waktu beberapa jam, akan tetapi dari syok hipotensif sampai terjadi
kolaps kardiorespirasi dan henti jantung hanya hitungan menit. Sebagian besar
kematian akibat dengue terjadi akibat profound shock yang dipersulit oleh
perdarahan dan/atau cairan berlebih. Pasien dengan perembesan plasma hebat
mungkin saja tidak jatuh ke kadaan syok jika telah dilakukan pergantian cairan
segera mungkin namun mungkin timbul gangguan pernafasan akibat terapi
cairan IV yang berlebihan.
19
Expanded Dengue Syndrome atau Unusual manifestation atau manifestasi
yang tidak lazim, pada umumnya berhubungan dengan keterlibatan beberapa organ
seperti hati, ginjal, jantung, dan gangguan neurologis pada pasien infeksi dengue.
Kejadian unusual manifestation infeksi dengue tersebut dapat pula terjadi pada kasus
infeksi dengue tanpa disertai perembesan plasma.Pada umumnya unusual
manifestationberhubungan dengan ko-infeksi, ko-morbiditas, atau komplikasi syok
yang berkepanjangan (prolonged shock) disertai kegagalan organ (organ failure).
(Sumber: Gulati S, Maheswari A. Atypical manifestations of dengue. Trop Med Int Health
2007;12:1087-95)
20
Pada kasus infeksi virus dengue sering dibutuhkan pemeriksaan penunjang
untuk membantu dalam menegakkan diagnosis, antara lain:
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai
gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes
serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa
antibody total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain . (WHO, 2006):
a. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.Limfositosis biasanya terlihat sebelum fase syok
b. Hematokrit meningkat >20% (hemokonsentrasi). Perubahan nilai hematokrit
dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan.
c. Trombosit <100.000 /ul (trombositopenia) hari sakit ke-3 sampai ke-8 dan
sering mendahului peningkatan hematokrit.
d. Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan
darah.
e. Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
g. Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal. Universitas
Sumatera Utara
h. Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
i. Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
j. Uji Elisa anti dengue IgM dan IgG
IgM anti dengue timbul pada infeksi primer maupun sekunder dan
adanya antibodi IgM ini menunjukan adanya infeksi dengue. IgM terdeteksi
mulai hari ke-3 sampai ke-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang pada
minggu ke-6. IgG pada infeksi primer IgG mulai timbul pada hari ke-5 dan
mencapai kadar tertinggi pada hari ke-14, kemudian bertahan untuk berbulan-
bulan. Pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 melebihi kadar
IgM.Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Tabel 5. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
21
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites
dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. (WHO, 2006)
22
Nyeri kepala, myalgia, atralgia, nyeri retroorbital
Dujumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau disekitar
rumah
Hepatomegali
Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda/gejala
:
- Peningkatan nilai hematokrit >20% dari pemeriksaan awal atau
dari data populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura dan asites
- Hipoalbuminemia dan hipoproteinemia
Trombositopenia <100.000/ mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnose
DBD.
23
Haemolytic uremic syndrome (HUS)
Gangguan jantung : gangguan konduksi, miokarditis, pericarditis
Infeksi ganda
24
Perfusi yang buruk didapatkan pada pasien dengan gagal napas oleh karena
efusi pleura yang massif dan atau asites
b. Gangguan Elektrolit
Gangguan elektrolit yang sering terjadi pada fase kritis yaitu hiponatremia
dan hipokalsemia, sedangkan hipokalemia lebih sering pada fase konvalesens
Hiponatremia terjadi karena pemberian cairan infus larutan hipotonis yang
tidak adekuat
Hipokalsemia sebagai akibat perembesan kalsium mengikuti albumin
masuk ke rongga pleura dan peritoneal
Hipokalemia diebabkan adanya kondisi stress dan pemberian diuretik
d. Perdarahan Masif
Perdarahan hebat pada umumnya akibat DIC dan gagal multiorgan seperti
disfungsi hati dan ginjal, hipoksia yang berhubungan dengan syok berat dan
berkepanjangan, asidosis metabolik yang disertai dengan trombositopenia.
Perdarahan berat pada infeksi dengue umumnya terjadi pada saluran cerna berupa
hematemesis, hematokesia dan melena.
f. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut biasanya terjadi pada fase terminal syok, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Diureis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan
untuk mengetahui apakah syok telah teratasi, diusahakan > 1mL/kgBB/jam.
g. Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien infeksi dengue yang
mengalami syok berkepanjangan. Penyebab utamanya adalah asidosis metabolik,
hipokalsemia dan kardiomiopati.
25
2.10 Tatalaksana Infeksi Virus Dengue
a. Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan
oral apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin
Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati
Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan
Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Supportif
b. Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan
rumatan + deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
c. Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta
monitor tiap 12-24 jam.
26
(Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan
modifikasi.)
Tanda Kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit
infeksi dengue, seperti berikut :
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa
transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Muntah yg menetap, tidak mau minum
Nyeri perut hebat
Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang
hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
Monitor perjalanan Infeksi Virus Dengue
Parameter yang harus dimonitor mencakup,
27
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda
syok, serta mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap
2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih
sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada
pasien dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)
(Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823)
28
Tabel 7. Kecepatan cairan intravena
Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan
modifikasi.
Keterangan: *apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah diberikan cairan adekuat
Dikutip dan dimodifikasi dari. WHO.Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue
and dengue haemorrhagic fever.Revised and expanded edition. Regional office for South-East Asia, New
Delhi, India 2011.
29
Tatalaksana Dengue Shock Syndrome Compensated
DSS termasuk kasus kegawatdaruratan yang membutuhkan penanganan secara
cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat juga.Prinsip utama
tatalaksana DSS adalah pemberian cairan yang cepat dengan jumlah yang adekuat.
Diagnosis dini syok terkompensasi disertai dengan pengobatan yang cepat dan tepat
mempunyai prognosis yang jauh lebih baik dibanding apabila pasien sudah jatuh ke
dalam fase syok dekompensasi.
30
Dengue Shock Syndrome Decompensated
Kulit dingin dan lembab, takikardia, syok hipotensif (hipotensi, nadi cepat kecil), syok
dalam (nadi tak teraba dan tekanan darah tidak terukur), pernafasan kusmaull atau
hiperpnea, sianosis
Berikan oksigen 2-4 LPM
Bolus Kristaloid dan/atau Koloid 10-20 mL/kgBB dalam waktu 10-20 menit
Periksa ABCS, hematokrit, analisa gas darah, gula darah dan kalsium
31
Ukur volume diuresis melalui kateter urine
Apabila masih terjadi oliguria maka harus segera dilakukan dialisis, berarti
pasien dalam keadaan gagal ginjal akut, keadaan ini mempunyai prognosis yang
buruk. Apabila volume intravaskuler tidak adekuat maka cek A-B-C-S dan
koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Terapi Oksigen
Semua penderita dengan syok sebaiknya diberikan oksigen.
Tranfusi Darah
Penderita yang menunjukan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena
diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk
mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal.
Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan,
maka selanjutnya furosemide 1 mg/kgBB dapat diberikan. Tetapi jika diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka
pemasangan Central Venous Pressure (CVP) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah:
1. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan suhu tubuh harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok teratasi.
2. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil
3. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah dan tetesan untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
4. Jumlah dan frekuensi diuresis.
32
2.11 Tanda-tanda Penyembuhan
a. Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi napas stabil
b. Suhu badan normal
c. Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
d. Nafsu makan membaik
e. Tidak dijumpai muntah maupun nyeri perut
f. Volume urin cukup
g. Kadar hematokrit stabil pada kadar basal
h. Ruam konvalesens, ditemukan pada 20-30 % kasus
2.13 Prognosis
Prognosis Dengue Shock Syndrome tergantung kepada tatalaksana yang segera
dan adekuat. Perawatan yang intensif dapat menurunkan angka kematian hingga kurang
dari 1% . Kemampuan bertahan berhubungan dengan terapi suportif awal. Kadang-
kadang terdapat sisa kerusakan otak yang diakibatkan oleh syok berkepanjangan atau
karena perdarahan intracranial
33
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Panas
Riwayat Keluarga :
Keluarga tidak ada yang sedang demam atau habis demam
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat alergi obat/makanan (-)
Riwayat asma dan sesak (-)
Riwayat Psikososial :
By AP tinggal bersama kedua orang tua
34
Riwayat Pengobatan :
Sudah berobat ke puskesmas, di berikan obat antipiretik
Riwayat Imunisasi :
-HB0
-BCG
-Polio
-DPT
Riwayat Kelahiran :
Lahir spontan , cukup bulan, kelainan bawaan (-)
Riwayat Sosial-Ekonomi
Ayah AP seorang pegawai swasta
Ibu AP seorang ibu rumah tangga
Status Generalis :
Kepala/Leher :
A(-) / I(-) / C(-) / D(-)
PCH (-)
Hiperemi Faring (-)
Tonsil Edema (-)
35
Pembesaran KGB leher (-)
Thoraxs :
Simetris kanan/kiri
Retraksi (-)
Tidak terdapat scar ataupun bekas luka operasi
Pulmo :
Inspeksi : dada tertinggal (-), penggunaan otot bantu napas (-)
Palpasi : fremitus raba (normal), nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas paru kanan/kiri vesikuler, Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis terpalpasi pada ICS V MCL S
Perkusi : kardiomegali (-)
Auskultasi : S1/S2 tunggal, regular, murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : meteorismus (-), distensi (-), bekas luka (-), Soefl (+)
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-) splenomegali (-)
Genitalia :
Dalam batas normal
Ekstremitas :
Akral hangat + +
+ +
CRT = 2 detik
Oedema - -
- -
Status Neurologis :
Dalam batas normal, Meningeal sign (-)
3.4 Assesement
Observasi Febris hari I
3.5 Planning
Penunjang Laboratoris : DL, SE, CRP
Terapi (IRD) :
IVFD Ringer lactat 600 cc/24jam
Injeksi paracetamol 3 x 60 mg IV
Injeksi Ranitidin 2 x 6 mg IV
Injeksi Santagesic 3 x 60 mg IV
36
Hasil Lab tanggal 2-9-2016 dari Lab Lanoostic Utama
DL :
- Hb : 11,3 g/dL
- Leukosit : 7710 /uL
- Hematokrit : 34,8 %
- Trombosit : 233.000 /ul
37
3.6 Perjalanan Klinis Pasien
9.00 Sakit hari ke-II Keadaan umum : cukup Assesement : Obs. Febris hr
WIB 24 jam terakhir panas naik Kesadaran : composmentis II
turun, tidak ada muntah, Vital Sign :
batuk (-), pilek (-), minum Tekanan darah : - mmHg Planning :
mau (susu formula 60cc), Nadi : 123 x/menit Penunjang : UL
BAB (-), BAK (+) banyak, Respiratory rate: 27 x/menit
Suhu : 38,10C Terapi :
Kepala/Leher : A(-) / I(-) / C(-) / - IVFD D5 1/4NS
D(-) 500cc/24jam
Thoraxs : simetris, retraksi (-) - Inj Santagesic 3 x 75mg
Pulmo : Ves/ves, Rh(-), Wh(-), - S B-Plex 1 x 0,3 cc
Cor : S1/S2 Tunggal, regular,
murmur (-) Hasil Lab :
Abdomen : Soefl, BU(+) UL:
normal, turgor cukup, ascites (-) Kimia urine
Extremitas : akral hangat, crt <2 Albumin : Negatif
detik Reduksi : Negatif
Nitrit : Negatif
38
Status neurologis : dalam batas Keton : Negatif
normal Urobilin : Negatif
Bilirubin : Negatif
Mikroskopis urine
Lekosit 3-4
Eritrosit 2-3
Epitel 5-6
Kristal Ca Oksalat (+)
Silinder/Cast Negatif
Lain-lain Negatif
10.30 Sakit hari ke-III Keadaan umum : lemah Assesement : DF, DHF
WIB 24 jam terakhir panas naik Kesadaran : composmentis
turun, muntah (-), batuk Vital Sign : Planning :
pilek (-),minum mau tapi Tekanan darah : - mmHg Penunjang : DL dan CRP
berkurang, BAB (+) 1x Nadi : 116 x/menit
lembek warna kuning, BAK Respiratory rate: 29 x/menit Terapi :
(+) banyak Suhu : 39,60C - IVFD D5 1/4NS
Kepala/Leher : A(-) / I(-) / C(-) / 500cc/24jam
D(-) , Vesikel (+) di wajah - Inj Santagesic 3 x 75mg
Thoraxs : simetris, retraksi (- - S B-Plex 1 x 0,3 cc
),Vesikel (+)
Pulmo : Ves/ves, Rh(-), Wh(-), Hasil Lab :
Cor : S1/S2 Tunggal, regular, DL : (06/11/2016)
murmur (-) -Hematokrit : 37 %
Abdomen : Soefl, BU(+) -Hb : 12,2 g/dL
normal, turgor cukup, ascites (-) -Leukosit : 3.300 /mm3
,Vesikel (+) -Trombosit : 40.000 / mm3
Extremitas : akral hangat, crt <2 CRP : Positif titer >=96
detik,
Status neurologis : dalam batas
normal
39
Senin, 07/11/2016 (Mawar)
Waktu Subjektif Objektif Assesement dan Planning
9.00 Sakit hari ke-V Keadaan umum : cukup Assesement : DF, DHF
WIB 24 jam terakhir panas naik Kesadaran : composmentis
turun, timbul ruam2 Vital Sign : Planning :
kemerahan di tangan , kaki Tekanan darah : - mmHg Penunjang : DL , Ig G/Ig M
dan dada, muntah (+) hari Nadi : 116 x/menit dengue, Thorax foto
minggu 2x, batuk pilek (-) Respiratory rate: 27 x/menit
,minum sedikit, BAB Suhu : 37,40C Terapi :
belum, BAK (+) Kepala/Leher : A(-) / I(-) / C(-) / - Asering 15cc/jam
D(-) , Vesikel (+) di wajah - Inj Ranitidin 2 x 5 mg
Thoraxs : simetris, retraksi ics - Inj Santagesic 3 x 75mg
(+), - S B-Plex 1 x 0,3 cc
Pulmo : Ves/ves, Rh(-), Wh(-),
Cor : S1/S2 Tunggal, regular, Hasil Lab :
murmur (-) DL :
Abdomen : Soefl, BU(+) -Hematokrit : 36 %
normal, turgor cukup, ascites (-) -Hb : 12,2 g/dL
Extremitas : akral hangat, crt <2 -Leukosit : 6.340 /mm3
detik, Petechiae (+) pada kaki -Trombosit : 37.000 / mm3
dan tangan
Status neurologis : dalam batas
normal
40
Extremitas : akral hangat, crt <2 IG G Anti Dengue: Positif
detik, Petechiae (+) pada kaki IG M Anti Dengue: Positif
dan tangan
Status neurologis : dalam batas Foto Thorax:
normal Efusi Pleura (D)
41
Kamis, 10/11/2016 (Kemuning Atas)
Waktu Subjektif Objektif Assesement dan Planning
42
Status neurologis : dalam batas Pasien sudah memasuki fase
normal penyembuhan dan sudah
stabil sehingga
diperbolehkan untuk pulang
43
3.7 Analisis Kasus
Diagnosis dengue haemorhagic fever (DHF) ditegakkan berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini. Menurut kriteria WHO,
penegakkan diagnosis dilihat dari anamnesis berdasar adanya lebih dari 2 kriteria yang
memenuhi kriteria klinis infeksi virus dengue yaitu demam tinggi tanpa sebab yang
jelas, naik turun berlangsung selama 2-7 hari, serta didapatkan keluhan mual dan
muntah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien lemah dan ditemukan
petechiae spontan pada kaki dan tangan. Selain itu, pada pemeriksaan fisik juga
penurunan suara paru kanan yang menandakan adanya efusi pleura kanan serta asites,
kedua hal ini menunjukan bahwa telah terjadi perembesan plasma keluar dari pembuluh
darah (plasma leakage). hepar yang teraba 2 cm bawah arcus costa semakin
mengarahkan ke diagnosis DHF.
Haemoglobin 11,3 g/dL 12,2 g/dL 12,2 g/dL 9,3/dL 8,6 g/dL
Leukosit 7.710 /mm3 3.300 /mm3 6.340 /mm3 8.090 /mm3 15.400 /mm3
Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat kita lihat terjadi penurunan Hematokrit
sebesar 48 % dibuktikan dengan :
44
(Hematokrit tertinggi Hematokrit terendah) X 100% = (37-25) X 100%
Hematokrit terendah 25
= 48%
Serta didapatkan nilai trombosit yang makin menurun sampai sakit hari ke-VII
dan mulai perbaikan pada hari ke-VIII. Hal ini menunjukan bahwa terjadi
trombositopenia pada fase kritis dan mulai terjadi perbaikan pada fase penyembuhan.
Imunologi 08/11/2016
45
BAB IV
KESIMPULAN
By.AP 5 bulan masuk dengan keluhan utama panas sejak pagi hari dengan suhu 40 0C.
Berdasar anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien di diagnosis Dengue
Haemorhagic Fever (DHF). Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif terapi dengan infus
cairan yang disesuaikan dengan kebutuhan cairan ketika terjadi kebocoran plasma (plasma
leakage) dengan tujuan agar tidak terjadi syok. Sebagai terapi simptomatik, pasien diberikan
injeksi Santagesic 3 x 75mg. Bayi usia 6-12 bulan mempunyai resiko lebih berat, meskipun
pada infeksi primer. Hal tersebut diduga terjadi karena Antibodi (IgG) antidengue yang bersifat
nonneutralising ditransfer dari ibu pada saat kehamilan..Sehingga pada saat bayi terinfeksi
virus dengue dengan serotipe berbeda maka akan terjadi mekanisme ADE yang sama dengan
infeksi sekunder pada penjamu dengan usia lebih dari satu tahun. Oleh sebab itu, By AP harus
diberikan pengobatan dengan segera dan adekuat, agar tidak terjadi resiko-resiko yang dapat
memperparah kondisi By AP.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak,
UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
5. WHO. 2009. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control - New
edition. WHO Press. Switzerland.
6. Vindy dkk. 2013. Hubungan Spektrum Klinis Infeksi Dengue dengan Kadar Seng dan
Feritin Serum. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung. Sari Pediatri, Vol. 15, No. 4.
9. Anggraini, D.S., 2010, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan Madani.
10.Martina, Byorn E.E, Koraka, Penelope, and Albert D. M. E. Osterhaus. 2009. Dengue
Virus Pathogenesis : An Intergrated View. Clinical Microbiology Review. American
Society for Microbiology. USA : 22(4). pp. 564-566.
11. Aryu, Chandra. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2 Hal. 110 119.
12. Data rawat inap pasien demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok
dengue tahun 2008-2013 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, RSUP Dr, Hasan Sadikin, RSUD Dr. Soetomo, RSUP Dr. Sarjito,
RSUP Dr. Karyadi dan RSUP Dr. Mohammad Hoesin.
13. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. WHO; 2011. p. 54.
14. Edi Hartoyo. 2008. Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD.
Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri2008;10(3):145-150.
47
15. Halstead SB. Pathophysiology and Patognesis of Dengue Haemorrhagic Fever.
In: Tongchaeron, ed. Monograph on Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever. New
Delhi: World Health Organization SEARO. Regional Publication; 2010; 10: 712-22.
16. Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009 dan
Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.
17. Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue,
Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera:Culicidae). Pertemuan
Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis 2008 Universitas Udayana; 3-6 September 2008;
Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.
18. World Health Organization. Handbook for Clinical Management of Dengue. WHO
press; 2013
.
48