Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur dentoalveolar adalah fraktur yang pada tulang alveolar dengan gigi yang

berhubungan. Traumatic dental injuri mumunya merupakan kombinasi trauma jaringan lunak

perioral, gigi, dan jaringan pendukungnya. Traumatic dental injuri dapat disebabkan oleh

benturan, aktivitas fisik, kecelakaan lalu lintas, mengigit benda keras, penggunaan gigi yang

tidak sesuai, kekerasan pada diri sendiri, dan kesalahan perawatan.

Menurut WHO, truma dental injuri diklasifikan menjadi, kerusakan pada jaringan

keras gigi dan pulpa, kerusakan pada jaringan periodontal, kerusakan pada tulang penyokong,

dan kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut. Sedangkan klasifikasi menurut

Ellis dan Davey, trauma dental injuri diklasifikasikan menjadi beberapa kelas bergantung

pada struktur gigi yang terkena.

Untuk dapat menangani berbagai macam keadaan trauam dental injuri, maka kita

perlu mengetahui berbagai perawatan umum , perawatan segera, perawatan fraktur akar, serta

penanggulan yang terjadi pada trauma gigi sulung.


2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Traumatic Injuri

Traumatic injury adalah injury yang dapat bersifat fisik (badan) atau emosional

yang dihasilkan oleh luka luka fisik atau mental, atau shock. Traumatic dental injury atau

dental trauma merupakan injury yang terjadi pada mulut, termasuk gigi, bibir, gusi, lidah,

dan tulang rahang. Traumatic dental injury umumnya merupakan kombinasi trauma

jaringan lunak peri-oral, gigi, dan jaringan pendukungnya.

Fraktur dentoalveolar adalah fraktur yang pada tulang alveolar dengan gigi yang

berhubungan.

2.2 Etiologi dan Indidensi Traumatic Injury

2.2.1 Etiologi Traumatic Injury

Traumatic Dental Injury terjadi oleh benturan yang dapat menyebabkan

energi mekanis yang cukup untuk menghasilkan suatu injuri/luka. Peristiwa TDI

terjadi karena aktivitas yang menyebabkan kejadian TDI seperti jatuh, benturan,

aktivitas fisik diwaktu senggang, kecelakaan lalu lintas, permaian yang kasar,

kekerasan, penggunaan gigi yang tidak sesuai, serta menggigit benda keras.

Perilaku manusia seperti pengambilan resiko, masalah hubungan dengan kawan,

hiperaktivitas, dan perilaku stress juga merupakan penyebab terjadinya TDI.

Terdapat TDI yang tidak disengaja, TDI yang disengaja (kekerasan pada diri

sendiri/orang lain), dan TDI iatrogenik ( kesalahan perawatan dokter).


3

2.2.1.1 Traumatik Dental Injuri yang Tidak Disengaja:

1) Jatuh dan benturan

Sering terjadi pada anak dan orang tua. Seperti jatuh dari tangga, di

garasi, teras, dan anak2 pada area bermain.

2) Aktivitas fisik (olahraga)

Olahraga beresiko tinggi terhadap TDI contohnya American football,

hockey, ice hockey, lacrosse, martial sport, rugby, dan skating.

Olahraga yang beresiko medium misalnya basket, selam, squash,

gymnastic, parachuting, dan waterpolo.

3) Kecelakaan lalu lintas

Termasuk kedalamnya pejalan kaki, sepeda, dan mobil/motor. Trauma

disini didominasi oleh multiple dental injuri, meliputi tulang

pendukung, jaringan lunak, bibir, dan dagu.

4) Penggunaan gigi yang tidak sesuai

Contohnya adalah menggigit pulpen, membuka bungkus makanan,

memotong atau memegang barang dengan gigi, dan lainnya.

5) Menggigit benda keras

TDI dapat terjadi pada pasien pemakai tindikan pada lidah dan oral.

Tindikan telah dilaporkan dapat mengakibatkan potong dan frakturnya

suatu gigi dan restorasi, kerusakan pulpa, gigi yang retak, dan abrasi

gigi.

6) Keadaan sakit, keterbatasan fisik

Penderita epilepsi, cerebral palsy, anemia, dan kepusingan beresiko

mengalami TDI.
4

2.2.1.2 Traumatik Dental Injuri yang Disengaja

1) Penyiksaan fisik

Penyiksaan dan pemukulan terhadap anak atau orang sering

mengakibatkan terjadinya TDI. Pasien-pasien tersebut dibawa ke rumah

sakit karena trauma fasial. Penyembuhan fraktur multipel pada gigi atau

rahang, terutama dengan tahapan penyembuhan yang berbeda dapat

menjadi tanda terjadinya suatu penyiksaan. Pukulan saat berkelahi pun

termasuk pada kategori ini. Penyiksaan ini sering mengakibatkan

kegoyangan, avulsi, atau fraktur gigi dan laserasi jaringan lunak.

2.2.1.3 Traumatik Dental Injuri Iatrogenic

Contohnya pada memperpanjang intubasi yang digunakan pada

perawatan bayi prematur. Tube intubasi yang diperpanjang ini akan

menekan prosesus maksilaris yang merupakan prosedur dari iatrogenik,

yang akan berpengaruh pada pertumbuhan gigi sulungnya. Contoh lainnya

adalah pada kasus perianesthetic dental injury.

2.2.2 Insidensi Traumatic Injury

Satu dari lima anak dan satu dari empat dewasa memiliki bukti dental

injuri pada gigi anteriornya. Bahkan pada beberapa negara, prevalensi trauma

dental lebih banyak daripada dental karies. Laki-laki lebih sering mengalami

trauma ini dua kali lebih besar dari perempuan. Insidensi puncak dari dental injuri

yaitu pada usia 2-4 dan 8-10 tahun.

2.3 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar

2.3.1 Menurut WHO

Klasifikasi yang direkomendasikan dari World He alth Organization

(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry


5

and Stomatology diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi

jaringan keras gigi, jaringan periodontal, jaringan penyokong dan jaringan

lunak rongga mulut yakni sebagai berikut :

2.3.1.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

1) Fraktur pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah

horizontal atau vertikal (crown infarction).

2) Fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja atau email dan

dentin, tanpa tereksposnya akar (uncomplicated crown fracture),.

3) Fraktur yang mengenai email, dentin, dan pulpa (complicated crown

fracture).

4) Fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai email, dentin dan

sementum saja tanpa melibatkan pulpa (uncomplicated crown-root

fracture).

5) Fraktur pada mahkota gigi yang mengenai email, dentin dan

sementum dengan tereksposnya pulpa (complicated crown-root

fracture).

6) Fraktur pada akar yang melibatkan dentin dan sementum dengan

tereksposnya pulpa (root fracture).


6

Gambar 2.1: Diagram kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa ,

A. Crown infarction, B. Uncomplicated crown fracture, C.

Complicated crown fracture, D. Uncomplicated crown-root fracture E.

Complicated crown-root fracture, F. Root fracture. (Sumber :

Peterson, Larry J. 2004. Petersons Principles of Oral and

Maxillofacial Surgery. BC Decker: Ontario)

2.3.1.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

1. Concussion, yaitu kerusakan yang mengenai jaringan pendukung

gigi yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan

perkusi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.

2. Subluxation, yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi

gigi akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.

3. Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu pelepasan sebagian

gigi ke luar dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi

terlihat lebih panjang.

4. Luksasi lateral, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi

karena pergerakan gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, hal

ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi


7

tersebut. Trauma gigi yang menyebabkan luksasi lateral

menyebabkan mahkota bergerak ke arah palatal

5. Luksasi intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar,

dimana dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar.

Luksasi intrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.

Gambar 2.2: Diagram kerusakan jaringan periodontal. A. Concussio,

B. Subluxation, C. Luxation, dislokasi atau partial avulsion, D.

Exarticulation atau avulsion. (Sumber : Peterson, Larry J. 2004. Petersons

Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. BC Decker: Ontario)

2.3.1.3 Kerusakan pada Tulang Penyokong

1) Keretakan pada alveolar housing, sering kali diikuti dengan luksasi

intrusi atau lateral

2) Fraktur pada dinding tunggal alveolar.

3) Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus

alveolaris pada pasien bergigi tanpa melibatkan soket alveolar gigi.

4) Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus

mandibula atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris.


8

Gambar 2.3: Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa dan tulang

alveolar, yaitu fraktur mahkota akar, fraktur akar, fraktur prosesus

alveolaris. (Sumber: Tsukiboshi, Mitsuhiro. 2000. Treatment Planning

for Traumatized Teeth. Tokyo: Quintessence Publishing Co Inc.)

2.3.1.4 Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut

1) Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang

disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka

terbuka tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.

2) Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan

benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah

submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

3) Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan

karena gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat

permukaan yang berdarah atau lecet.

Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan beberapa kelainan

pada gigi tetap, antara lain hipoplasia email, hipokalsifikasi, dan

dilaserasi. Beberapa reaksi yang terjadi pada jaringan pulpa setelah gigi

mengalami trauma adalah hiperemi pulpa, diskolorisasi, resorpsi internal,

resorpsi eksternal, metamorfosis kalsifikasi pulpa gigi, dan nekrosis pulpa.


9

2.3.2 Menurut Ellis dan Davey

a. Kelas I : Fraktur yang sederhana dari mahkota gigi dengan terbuka

sedikit atau tidak sama sekali bagian dentin dari mahkota (hanya mengenai

bagian enamel)

b. Kelas II : Fraktur yang terjadi pada mahkota gigi dengan terbukanya

dentin yang luas, tetapi belum mengenai pulpa (hanya sampai bagian dentin)

c. Kelas III : Fraktur pada mahkota gigi dengan terbukanya dentin yang

luas, sudah mengenai pulpa (dentin dan pulpa terkena)

d. Kelas IV : Trauma pada gigi yang mengakibatkan gigi menjadi non vital

disertai dengan ataupun tanpa disertai hilangnya struktur mahkota gigi.

e. Kelas V : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi, yang

disebut dengan avulsi.

f. Kelas VI : Fraktur pada akar disertai dengan ataupun tanpa disertai

hilangnya struktur mahkota gigi.

g. Kelas VII : Trauma yang menyebabkan berpindahnya gigi (intrusi,

ekstrusi, labial, palatal, bukal, distal, mesial, rotasi) tanpa disertai oleh

adanya fraktur mahkota atau akar gigi

h. Kelas VIII : Trauma yang menyebabkan fraktur mahkota yang besar pada

gigi, tetapi gigi tetap pada tempatnya dan akar gigi tidak mengalami

perubahan.

i. Kelas IX : Semua kerusakan pada gigi sulung akibat trauma pada gigi

depan.
10

Gambar 2.4 : Anatomi gigi dan klasifikasi fraktur Ellis (Sumber: Barratt, Michael

R. 2008. Principles of Clinical Medicine for Space Flight. New York :Springer)

2.4 Tanda Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar

Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan

pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir,

serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa

diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi .

Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva

dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus

ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau

tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa

terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.
11

2.5 Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum

2.5.1 Perdarahan

Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal.

Penekanan, baik langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan

menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan rongga

mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan pengikat

pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksillaris, a. lingualis, a. karotis eksterna).

Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah yang

serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu selanjutnya,

maka pada sebagian besar trauma orofasial mayor harus dilakukan pemeriksaan

golongan darah untuk keperluan tranfusi.

2.5.2 Antibiotik

Terapi antibiotic profilaksisdiberikan berdasarkan pada kondisi individu.

Terapi ini diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama untuk pasien di

mana daerah yang mengalami fraktur terbuka (berhubungan dengan permukaan

kulit atau mukosa) dan kemungkinan besar terkontaminasi, atau apabila perawatan

definitive harus ditunda.

2.5.3 Kontrol Rasa Sakit

Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena pasien

yang mengalami cedera yang relative berat, tidak terlalu menderita seperti

kelihatannnya. Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan edema serebral

dan menyulitkan penentuan tingkat kesadaran, pemberiannya ditunda sampai

pasien jelas mengalami cedera kranioserebral.

Pada mulanya obat-obatan narkotik untuk pemberian intravena atau

intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya, kombinasi narkotik/ non


12

narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan sering terdapat dalam bentuk cairan.

Aplikasi dingin pada bagian yang mengalami cedera bisa mengurangi

ketidaknyamanan, dan sekaligus mengontrol edema.

2.5.4 Perawatan Pendukung

Karena pasien biasanya tidak bisa makan secara normal, terapi pendukung

untuk pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan yang cukup. Di rumah sakit hal

ini dilakukan dengan pemberian cairan intravena (biasanya larutan elektrolit yang

seimbang). Untuk perawatan di rumah, maka pemberian cairan bisa dilakukan

lewat mulut. Pasien diberi diet cairan, kadang ditambah dengan protein atau

vitamin. Seringkali pasien trauma orofasial harus berpuasa selama menunggu

pembedahan.

2.6 Perawatan Segera

Perawatan fraktur prosessus alveolar sebaiknya dilakukan 48-72 jam

sesudah kecelakaan, sering dilakukan dengan bantuan anestesi local, apabila

diperlukan bisa ditambahkan dengan sedasi yang sesuai.

Pemeriksaan awal yang dilakukan adalah ada tidaknya pergeseran segmen,

adanya dikontinuitas lengkung rahang dan terjadi hambatan oklusi. Juga cedera

pada jaringan lunak diatasnya misalnya luka-luka atau hematom.

Penatalaksanaan :

1) Menenangkan pasien dan memberi sedative sesuai

2) Lakukan anestesi local biasanya sudah cukup, tetapi mungkin diperlukan

anestesi umum apabila anestesi local tidak berhasil, atau pada pasien yang

sangat takut

3) Gerakan segmen dengan jari dan periksa hubungan oklusalnya (reduksi)

4) Imobilisasi segmen pada posisi sudah di reduksi degan arch bar atau splint
13

5) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan fiksasi maksilo mandibular apabila

melibatkan segmen luas.

6) Teliti hubungan oklusi. Apabila mungkin, gigi pada segmen fraktur

dibebaskan dari oklusi apabila tidak digunakan fiksasi maksilomandibular

7) Resep obat untuk menghilangkan rasa sakit, kadang-kadang diperlakukan

antibiotic

8) Intruksikan pengaplikasian es pada bagian yang fraktur, dan pemberian

makanan lunak dan cair, serta hygiene mulut.

Jangan mencabut gigi pada segmen kecuali bila ada kemungkinan terjadi avulsi

atau aspirasi karena akan mengakibatkan hilangnya tulang dalam waktu singkat.

Dan jangan melakukan prosedur dimana harus membuka flap dan mengangkat

periosteum yang dapat mengakibatkan gangguan suplai darah yang biasanya diikuti

dengan resorbsi atau nekrosis tulang.

2.7.Perawatan fraktur Mahkota dan Akar

Perawatan fraktur mahkota dan akar akan dibahas mengenai langkah-langkah

perawatan yang harus dilakukan untuk memperbaiki fraktur tersebut sehingga gigi bisa

berfungsi kembali dengan normal.

2.7.1 Fraktur Email

Yang dimaksud dengan fraktur email disini adalah fraktur tidak mengenai

jaringan gigi yang lebih dalam (dentin maupun pulpa) namun hanya sebatas

email. Sebenarnya kasus ini memiliki prognosis yang baik. Namun tidak

memungkinkan timbulnya pergeseran letak gigi (luksasi). Perawatan yang dapat

diberikan antara lain dengan menghaluskan bagian email yang kasar akibat

fraktur tersebut atau dengan memperbaiki struktur gigi tersebut dengan restorasi

komposit etsa asam.


14

2.7.2 Fraktur Mahkota dengan Pulpa Masih Tertutup

Fraktur ini mengenai jaringan gigi yang lebih dalam, tidak hanya sebatas

pada email namun juga sudah mengenai dentin namun pulpa masih terlindungi.

Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan material komposit

untuk mengembalikan struktur gigi atau dengan cara yang lebih konservatif lagi

yakni menempelkan kembali fragmen fraktur tersbut pada jaringan gigi setelah

sebelumnya dilakukan etsa asam dan dengan bantuan bonding agent.

2.7.3 Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka

Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated,

karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan juga pulpa. Perawatannya pun

agak sedikit berbeda dan tidak sesederhana dua kasus di atas. Hal lain yang harus

diperhatikan saat menangani kasus ini adalah maturasi gigi, ini penting untuk

menentukan apakah apeks gigi sudah menutup sempurna atau belum karena akan

membedakan langkah perawatan yang akan diberikan.

1. Gigi dengan apeks yang masih terbuka

Kondisi ini sangat tidak memungkinkan dilakukan pulpektomi, karena

dinding akar masih tipis, vitalitas gigi harus tetap dipertahankan demi

kelangsungan hidup gigi selanjutnya. Hal yang bisa dilakukan pada tahap ini

adalah dengan melakukan pulpotomi dangkal dengan formokresol.


15

Gambar 2.5: Pulpotomi pada gigi dengan apeks yang masih terbuka

Namun ada jika ingin hasil restorasi yang lebih estetik dapt dilakukan

restorasi komposit dengan melakukan tahap yang hampir sama dengan

tahapan pulpotomi.

Pada perawatan dengan CaOH, jika memungkinkan dilakukan

pembukaan gigi kembali sekitar 6-12 bulan kemudian untuk membuang

lapisan kalsium hidroksida dan menggantinya dengan material adhesif. Hal ini

dikarenakan CaOH adalah bahan yang semakin lama akan makin

terdisintegrasi. Pembongkaran kembali ini diharapkan dapat meminimalisir

kebocoran mikro yang nantinya akan menyebabkan adanya rongga antara

jembatan dentin yang baru dengan restorasi yang menutupinya.

Lain halnya jika kita menggunakan MTA (mineral trioksid agregat),

jika menggunakan material ini maka tidak diperlukan pembukaan gigi kembali

setelah 6-12 bulan. Namun ada tahapan yang berbeda yakni, pengaplikasikan

MTA harus pada keadaan gigi yang lembab diletakkan sedikit demi sedikit

pada pulpa lalu biarkan mengeras selama 6-12 jam (tidak perlu ditutupi

restorasi, pada saat ini pasien diharapkan tidak menggunakan gigi tersebut).

Setelah itu barulah diberikan tambalan komposit.


16

2. Gigi dengan apeks yang sudah menutup sempurna

Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pulpektomi

disertai dengan perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar biasanya

dilakukan jika fraktur yang terjadi sudah mencapai daerah margin gingiva dan

diperlukan pembuatan mahkota pasak dan inti. Perawatan saluran akar

tentunya akan sangat membantu sebagai tahap persiapan.

Lain halnya jika fraktur dengan pulpa terbuka ini terjadi pada gigi

sulung. Ada dua hal yang diindikasikan yakni pencabutan dan pulpotomi.

Semua ini bergantung pada usia pasien, jika setengah bagian apeks sudah

resorpsi maka pemcabutan adalah indikasi utama namun jika akar belum

mengalami resorpsi bisa dilakukan perawatan saluran akar dengan pasta OSE

yang bisa diresopsi, mahkota yang fraktur kemudian bisa direstorasi

menggunakan komposit.

2.7.4 Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka

Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan keadaan di

derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka perawatannya sama seperti

perawatan abses alveolar akut. Namun jika apeks masih terbuka maka perawatan

yang bisa dilakukan:

1. Perawatan seperti abses alveolar akut

2. Jika terjadi drainease maka biarkanterbuka dan pasien diminta datang

5-7 hari kemudian

3. pada kunjungan berikutnya, dilakukan pembersihan saluranakar

4. Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril

5. Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar

6. Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat.


17

7. Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan klinis dan

radiografik.

2.7.5 Fraktur Akar

Fraktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar, hal

terpenting yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan kembali segmen

koronal dan distabilkan dengan splin selama kurang lebih 12 minggu. Kemudian

pasien diminta datang untuk melakukan oemeriksaan apakah fraktur sudah

membaik serta mengetahui kevitalan pulpa.

1. Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik

Perawatan yang bisa dilakukan antara lain:

1) Melakukan anestesi lokal

2) Melepaskan segmen korona

3) Lakukan gingivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat sehingga bisa

dilakukan perawatan saluran akar dan preparasi untuk pasak dan

mahkota.

2. Fraktur Sepertiga Tengah

Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi fragmen

fraktur, implan endosseous atau pengambilan kedua fragmen fraktur.

Stabilisasi fragmen fraktur

Kunjungan pertama

1) Penstabilan gigi dengan menggunakan splin

2) Preparasi kedua segmen saluran akar dan lakukan pembersihan.

Preparasi saluran akar dengan file

3) Tutup kavitas dengan cotton pellet dan semen ZnOE.

4) Pasien diminta datang 1-2 minggu kemudian.


18

Kunjungan kedua

Lakukan irigasi dan pembersihan saluran akar

1) Keringkan dengan kertas isap (paper point)

2) Pilih pin chrome-cobalt yang sesuai dengan panjang saluran akar,

dapat di cek dengan bantuan rontgen.

3) Jika letaknya sudah sesuai maka pada bagian pin kita beri takik kira-

kira pada bagian orifis agar bisa dipisahkan ketika sementasi.

4) Sterilkan pin dan kemudian dimasukkan ke dalam saluran akar dengan

bantuan semen saluran akar, sambil ditekkan ke arah apeks dilakukan

pemutaran pin agarpatah pada bagian takik yang sudah dibuat.

5) Periksa kedudukan pin, jika sudah pas bisa dilakukan restorasi tetap.

Gambar 2.6: Gigi dilakukan irigasi dan pembersihan saluran akar

Penempatan implant endosseous

Pada perawatan jenis ini, diharapkan penyembuhan akan memungkinkan

tulang baru terbentuk di sekitar pin dan gigi akan menjadi stabil. Tahapan yang

dilakukan:

1) Preparasi saluran akar


19

2) Pengambilan bagian apeks dengan teknik bedah, bagian apeks dibuka

dan fragmen akar diangkat.

3) Pilih pin chrome-cobbalt yang sesuai, masukkan melalui lubang

preparasi.

4) Usahakan posisi pinmencapai posisiujung akar semula, namun jangan

sampai menyentuh tulang. Setelah di dapat posisiyang pas, maka buat

takik pada pin.

5) Ketika saluran akar sudah bersih dansudahdikeringkan dapat

dimasukkan adukan semen saluran akar, ulasi pin dengan adukan

semen yang sama. Masukkan pin ke dalam saluran akar.

6) Tutup kavitas dengan restorasi kemudian flap dijahit.

7) Selama periode penyembuhan dapat dipakai splin jika sesudah

perawatan gigi terlihat goyang.

Gambar 2.7: Gigi dengan implant endosseuss

Fraktur sepertiga apeks

Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti pada kasus

fraktur sepertiga tengah atau dengan preparasi fragmen korona secara

konvensional dan diisi gutta perca, fragmen apeks dibiarkan dan jaringan pulpa

mungkin tetap vital. Terapi lain yang mungkin diberikan adalah dengan preparasi

fragmen korona dan mengisinya secara konvensional, fragmen apeks di angkat

dengan cara bedah dan dilakukanpengisisn retrogard dengan amalgam.


20

2.7.6 Fraktur Mahkota-Akar

Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya tergantung

pada kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien datang, frakmen korona

sering sangat goyang dapat tetap melekat melalui ligament periodontal. Biasanya

anestesi local perlu diberikan agar frakmen dapat dilepas dan dilakukan

pemeriksaan dari luas fraktur. Bila fraktur terletak superficial, maka perawatan

saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan pembuatan mahkota pasak. Bila

fraktur lebih dalam, akan lebih sulit untuk mengisolasi gigi untuk perawatan

saluran akar dan ekstruksi ortodonti dari akar perlu dipertimbangkan sebelum

merestorasi dengan mahkota pasak (Heithersay). Bila fraktur sangat dalam maka

apa yang tertinggal terlalu kecil untuk mendukung restorasi bahkan setelah

dilakukan ekstruksi ortodonti; gigi seperti ini juga cenderung tanggal (Feiglin).

2.8 Avulsi Gigi

Gigi yang mengalami avulsi atau luksasi kedua-nya merupakan suatu masalah

gigi dan emosional. Keadaan ini biasanya dikarenakan perkelahian, olahraga, dan

kecelakaan mobil. Replantasi pada gigi avulsi memanfaatkan viabilitas sel dari pulpa

dan ligamen periodontal, yang dapat membantu melekatkan kembali dan mencegah

komplikasi post trauma pada resorpsi akar. Kesuksesan replantasi dapat dikaitkan dengan

waktu gigi berada di luar soket. Semakin cepat gigi direplantasi, semakin baik

prognosisnya. Andreasen menemukan bahwa gigi yang direplantasi kurang dari 30 menit

setelah avulsi tidak terdapat resorpsi akar.

Waktu sangat penting pada perawatan avulsi, replantasi pada tempat injury

memiliki prognosis terbaik. Diinstruksikan kepada pasien atau keluarganya untuk

memegang bagian mahkotanya dan membersihkan dari debris dengan membersihkan

menggunakan saline atau susu atau menyedot atau dengan meludah pada gigi dan
21

meletakkan kembali pada soket. jika tidak bisa, ditaruh di vestibulum buka atau di bawah

lidah pasien. Efek yang sama dapat diraih dengan menggunakan susu, saline (1 sendok

teh garam ditambah dengan 8 ons air), atau dengan saliva pada handuk. Air keran tidak

dianjurkan karena hipotonik yang dapat menyebabkan sel lisis. Susu dapat

dipertimbangkan sebagai medium yang baik karena availabilitas, kompatibilitas pH

dengan sel vital, bebas bakteri, dan fungsinya bisa mendapatkan vitalitas sel ligamen

periodontal 3 jam periode postavulsi. Gigi tidak diperbolehkan kering karena dapat

menyebabkan kerusakan irreversibel pada ligamen periodontal. Medium lain yang dapat

digunakan adalah Hanks balanced salt solution (HBSS) yang dipertimbangkan sebagai

medium yang terbaik. Keuntungannya adalah sistemnya suspensi dalam dan

menghilangkan debris tanpa merusak ligamen periodontal. Gigi jangan dibungkus di

dalam sapu tangan atau tisu kering karena ligamen periodontal akan mengalami

dehidrasi.

Andreasen mengatakan bahwa adanya kondisi yang harus dipertimbangkan

sebelum replantasi gigi permanen, yaitu:

1) Gigi avulsi sebaiknya tidak memiliki penyakit periodontal yang luas.

2) Soket alveolar dapat memberikan tempat untuk avulsi gigi.

3) Tidak terdapat pertimbangan ortodonti seperti gigi crowding.

4) Waktu extra-alveolar harus dipertimbangkan. Jika gigi replantasi selama 30

menit avulsi, terdapat kesempatan yang baik untuk kesuksesan replantasi.

Periode extraalveolar yang lebih dari 2 jam, komplikasi berkaitan dengan

resorpsi gigi.

5) Tahap pembentukan akar juga dipertimbangkan. Pulpa masih dapat bertahan

pada gigi dengan pembentukan akar yang tidak sempurna jika replantasi

dilakukan selama 2 jam setelah injuri.


22

Setelah pasien tiba di tempat dokter gigi, dilakukan prosedur berikut:

1) Bila gigi di dalam soketnya, lakukan ligasi, stabilisasi, dan sesuaikan oklusi

gigi yang direplantasi. Bila gigi keluar dari soketnya atau posisinya tidak baik,

gigi direplantasi secara baik sebelum dilakukan ligasi.

2) Buat suatu radiograf untuk memeriksa posisi gigi di dalam soket dan untuk

mengetahui apakah terdapat fraktur akar atau tulang alveolar. Periksa gigi-gigi

di dekatnya uniuk kemungkinan adanya fraktur akar.

3) Jangan mencoba melakukan perawatan endodontik pada waktu ini kecuali bila

gigi memerlukan drainase. Dalam kasus seperti itu, kamar pulpa dibuka, kamar

pulpa dan saluran akar di bersihkan,masukkan medikamen intrakanal dan tutup

kavitas. perawatan endodontic diselesaikan pada lain waktu.

2.9 Alat restorasi Semi tetap

Jika restorasi akhirnya ditunda, restorasi sementaranya harus bisa bertahan

selama mungkin (sampai satu tahun). Restorasi ini harus protektif, rapat, dan bagus

estetik serta fungsinya. Restorasi sementara semipermanen untuk gigi posterior yang

baik adalah amalcore yang mengonlay cusp yang telah lemah, sehingga dapat

melindungi fungsi dan kerapatannya. Jika dikemudian hari harus diganti dengan

mahkota, preparasi mahkota akhirnya dapat diselesaikan tanpa membuang intinya.

Restorasi anterior analognya biasanya lebih sukar karena adanya faktor estetik dan

adanya kesukaran dalam memperoleh mahkota yang rapat. Suatu mahkota pasak

sementara tidak menjamin adanya kerapatan yang adekuat. Lebih disukai untuk

membuat pasak dan inti segera setelah perawatan (yang menjamin adanya kerapatan

mahkota yang baik) jika gigi tersebut merupakan indikasi bagi pemasangan mahkota

sementara.
23

2.9.1 Prinsip dan Konsep

Ada tiga prinsip praktis agar restorasi dapat berfungsi dengan baik dan

bertahan lama, yakni:

1. Mempertahankan struktur gigi. Struktur gigi yang memerlukan perawatan

biasanya sudah tidak baik sehingga pengambilan dentin lebih lanjut

sebaiknya diminimalkan. Sebaliknya, cusp mungkin perlu dikurangi dan

diberi pelindung (capping). Tindakan, secara rutin membuang mahkota dan

kemudian membangunnya kembali pada gigi yang telah dirawat saluran

akarnya merupakan cara yang sudah tidak layak lagi.

Gambar 2.8: Fraktur gigi akibat pembuangan restorasi lama yang tidak

sempurna.

2. Retensi. Restorasi korona memperoleh retensinya dari inti dan sisa dentin

yang masih ada. Jika intinya memerlukan retensi, maka yang

dimanfaatkan adalah sistem saluran akarnya yang memakai pasak. Namun


24

pasak ini akan melemahkan dan mungkin menyebabkan perforasi

sehingga hendaknya dipakai hanya jika diperlukan untuk retensi inti.

Gambar 2.9: Retensi dengan memanfaatkan undercut pada kamar pulpa

dan orifis saluran akar

3. Proteksi sisa struktur gigi. Pada gigi posterior, hal ini diaplikasikan untuk

memproteksi cusp yang tidak terdukung supaya bias menghindari terjadinya

fleksur dan fraktur. Restorasi didesain sedemikian rupa sehingga beban

fungsional dapat ditransmisikan melalui gigi ke jaringan penyangga.

2.10 Penanggulangan Gigi Sulung Yang Terkena Trauma

2.10.1 Crown Fracture

Dalam kasus fraktur yang tidak parah dengan tepian tajam dipinggirnya,

abrasive disc atau bur dapat digunakan untuk menghaluskan fraktur. jika

pasien menginginkan hasil yang estetis, dan pasien mampu, mahkota dapat

diperbaiki dengan resin komposit.

Fraktur mahkota yang parah merupakan kasus yang sulit untuk dihadapi

jika kurangnya kerjasama dari anak dan karena perawatan (pulpotomy) adalah

teknik-sensitif. Pilihan perawatan parsial pulpotomy dengan kalsium hidroksida


25

atau pulpotomy dengan formocresol atau seng oksida eugenol. tampaknya

hasilnya sama baik antara pilihan yang tersedia, mendukung indikasi untuk

pendekatan konservatif untuk mengobati luka. dalam satu studi klinis, tingkat

keberhasilan dari pulpotomy adalah 76%. studi clinical lain, pulpotomy

(menggunakan formocresol) dan pulpectomy (menggunakan seng oksida

eugenol) yang dibandingkan dan ditemukan memiliki tingkay keberhasilan

masing-masing dari 86% dan 78%. Temuan yang menghalangi keberhasilan

pulpectomy bahwa sebagian besar kasus menunjukkan resorpsi lengkap partikel

seng oksida di daerah gingiva. prosedur ini biasanya tidak direkomendasikan.

Trioksida mineral agregat (MTA) baru-baru ini telah diusulkan untuk

pulpotomy tapi penelitian klinis jangka panjang diperlukan sebelum

merekomendasikan penggunaan secara umum.

2.10.2 Crown-Root Fracture

Ekstraksi merupakan pilihan perawatan yang sering dilakukan

2.10.3 Root Fracture

Fraktur akar dengan sedikit perpindahan fragmen koronal dapat

dibiarkan tidak diobati dan akan resorbsi pada waktu yang diharapkan. ketika

fragmen mahkota sangat longgar fragmen koronal yang ekstruksi harus

diekstraksi untuk mencegah anak menghirup itu. fragmen apikal dapat dibiarkan

untuk resorpsi fisiologis. jika anak mampu mengatasi dan fragmen koronal

tidak berpindah, kawat-komposit splint telah dianjurkan selama 3 minggu.

Namun, nilai perawatan semacam ini tampaknya dipertanyakan.

2.10.4 Concussio dan Subluxasi

Cedera ini tidak memerlukan perawatan akut, namun harus

memberitahukan orangtua untuk menjaga kebersihan mulut anak untuk


26

mencegah kontaminasi bakteri melalui ligamentum periodontal. chlorhexidine

dapat diaplikasi ke gingiva gigi dua kali sehari selama 7 hari dapat

direkomendasikan.

2.10.5 Ekstrusi

Ekstrusi gigi primer dapat mangalami reposisi dan stabil untuk waktu

yang singkat jika anak segera diobati jika ada cedera. jika bekuan darah sudah

masuk ke dalam soket alveolar dan tidak terjadi reposisi, gigi dapat kembali

normal secara spontan atau diekstraksi tergantung pada tingkat ekstrusi dan

mobilitas.

2.10.6 Lateral Luxation

Dalam beberapa kasus lateral luksasi mungkin terdapat gangguan

occlusal. dalam kasus ini, setelah penggunaan anestesi lokal, gigi yang

posisinya kombinasi antara gabungan tekanan labial dan palatal. jika perlu dan

mungkin, splint dapat digunakan selama 2-3 minggu.

Karena open bite anterior pada anak kecil lebih sering terlukasi lateral

gigi utama tidak mengalami gangguan oklusal dapat sembuh tanpa pengobatan,

dan reposisi spontan dipengaruhi oleh kekuatan fisiologis lidah biasanya dapat

terjadi dalam waktu 3 bulan. Namun, dalam studi lanjutan, 5% dari gigi yang

terluksasi lateral tidak sepenuhnya reposisi setelah 1 tahun.

Untuk mengobati lateral luxations tanpa open bite yang tidak dapat

direposisi, mengikis tepi incisal gigi atas dan bawah atau sementara

menambahkan komposit ke permukaan occlusal molar untuk membuat artifisial

anterior.
27

2.10.7 Intrusion

Perawatan gigi instrusi dapat dibagi 3, yaitu : Reposisi dengan pesawat

ortodonti, reposisi gigi dengan tindakan bedah dan observasi gigi dengan cara

reerupsi. Sebaiknya jika gigi yang intrusi akarnya belum tumbuh sempuma,

dapat diobservasi dengan cara re-erupsi, sedangkan jika akar gigi sudah tumbuh

sempurna reposisi secara bedah atau dengan pesawat ortodonti merupakan

pilihan.

Perawatan gigi intrusi masih diperdebatkan. masalah penting adalah

pencegahan dari cedera gigi susu berlanjut pada gigi permanen. dalam studi

eksperimen pada monyet, di mana gigi insisif primer yang sengaja menghambat

penggantian gigi permanen, tampaknya mengganggu ekstraksi dari gigi insisif

primer histologis mengakibatkan kerusakan ringan pada epitel enamel gigi

pengganti. Namun, dalam studi makroskopik yang sama, ditemukan frekuensi

dan tingkat makroskopik cacat enamel yang hampir identik dalam dua

kelompok.

Studi klinis juga menunjukkan hanya sebagian kecil dan perbedaan yang

tidak signifikan dalam tingkat perkembangan dan frekuensi pengganggu dalam

pertumbuhan gigi permanen ketika perawatan atau ekstraksi dari intrusi gigi

primer telah dibandingkan.

2.10.8 Avulsion

Traumatik injuri pada rongga mulut dan sekitarnya merupakan kasus

yang banyak terjadi di kalangan anak dan remaja, sehingga mernbutuhkan

perhatian baik dan teliti mengenai perawatan dari dokter gigi. Penyebab trauma

pada gigi permanen antara lain jatuh dari sepeda, berkelahi, kecelakaan lalu

linlas dan olahraga.


28

Keparahan trauma pada gigi geligi tersebut dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa bagian, yang salah satu diantaranya adalah lepasnya seluruh

bagian gigi dari soket atau yang biasa kita sebut dengan avulsi. Keberhasi1an

perawatan dari gigi yang avulsi tergantung dari berapa lama terjadinya, tempat

kejadian, tindakan apa yang dilakukan pertama kali ketika terjadinya gigi avulsi

dan bagaimana cara penanganan gigi avulsi tersebut. Penanganan pendahuluan

terhadap gigi yang mengalami avulsi ini terdiri dari replantasi, splinting serta

kontrol secara periodik. Kemudian dilanjutkan dengan perawatan saluran akar

dan restorasi resin komposit.

Meskipun beberapa laporan telah dipublikasikan pada replantasi gigi

avulsi, pada praktikya tidak dapat direkomendasikan sampai bukti lebih lanjut

menunjukkan bahwa pengganti permanen tidak akan terlibat, karena replantasi

gigi primer dapat menggantikan coagulum ke dalam folikel gigi insisal

permanen. Selanjutnya, inflamasi periapical dapat menjadi nekrosis pulp pada

replantasi gigi permanen karena gangguan mineralisasi pertumbuhan gigi

permanen. ruang yang dihasilkan dari kehilangan gigi incisal primer rahang

atas dapat dikembalikan untuk tujuan estetik dengan manggunakan fixed

appliances. Namun, perlu perhatian khusus dalam kasus-kasus ini terhadap

kemungkinan gangguan pada fisiologis ekspansi rahang atas

2.10.9 Fractures of The Alveolar Processus

Tulang alveolar merupakan tulang tempat melekat gigi pada maksila

dan mandibula. Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras

tubuh. Fraktur tulang alveolar adalah hilang atau putusnya kontinuitas

jaringan tulang alveolar pada maksila atau mandibula.


29

Fraktur dari processus alveolaris sering terjadi pada maksila yang tipis

dibandingkan dengan mandibula. Akan tetapi, tipe fraktur yang sering terjadi

pada mandibula adalah fraktur alveolar. Trauma alveolar pada mandibula

berhubungan dengan fraktur komplit pada daerah penyangga gigi, sedangkan

pada maksila biasanya disebabkan oleh trauma lokal. Jika terjadi trauma

secara langsung processus alveolaris bagian anterior memiliki resiko terbesar

untuk terjadi fraktur.

Trauma lokal pada tulang rahang dapat menyebabkan terjadinya

fraktur pada tulang alveolar. Fraktur pada tulang alveolar biasanya tidak

menyababkan kerusakan yang serius pada gigi, gigi diharapkan masih dapat

melakukan devitalisasi pasca trauma.

Etiologi

Penyebab terjadinya fraktur tulang alveolar diantaranya adalah karena

trauma facial seperti trauma athletik, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan

lalu lintas, dan lain-lain. Penyebab lainnya adalah akibat dari prosedur

iatrogenik pada pencabutan gigi.

Gambaran klinik fraktur alveolar

Fraktur prosesus alveolaris biasanya berupa fraktur terbuka sehingga

rentan terhadap infeksi. Fraktur yang terjadi pada tulang alveolar dapat meluas

sampai keperbatasan tulang. Pada segmen yang fraktur sering ditemukan

pergerakan, pergeseran segmen, dan dislokasi. Terjadi perubahan oklusal

akibat ketidaksejajaran dari segmen alveolar yang fraktur. Tes sensitivitas

pada gigi di daerah fraktur dapat positif atau negatif. Pada fraktur tulang

alveolar, gigi dapat mengalami perubahan posisi, gigi dapat menjadi luksasi,

avulsi, atau impaksi.


30

Gambaran radiografis

Pada fraktur tulang alveolar garis fraktur dapat terlokalisasi, dari tepi

tulang alveolar sampai apeks akar. Teknik panoramik sangat membantu dalam

menentukan bagian dan posisi garis fraktur. Garis fraktur dapat terlihat dengan

atau tanpa adanya pemisahan fragmen. Periapical dental radiographs dapat

memberikan informasi mengenai status gigi geligi di daerah tulang alveolar

yang mengalami fraktur.

Klasifikasi

Klasifikasi dari fraktur tulang alveolar menurut Per Clark

Kelas 1, fraktur pada segmen edentulous

Kelas 2, fraktur pada segmen dentulous dengan sedikit perubahan posisi

Kelas 3, fraktur pada segmen dentulous dengan sedang-berat perubahn

posisi

Kelas 4, fraktur processus alveolaris. Terdapat satu atau lebih garis

fraktur dengan fraktur pada tulang facial penyangga gigi

Perawatan

Perawatan medikasi

Perawatan ini ditujukan untuk memberi kenyamanan pada pasien dan

untuk mencegah komplikasi terutama akibat infeksi. Analgesik ringan sampai

sedang dapat diberikan, namun perlu mempertimbangkan status kesehatan

umum pasien dan dosis obat. Contoh analgesik yang bisa diberikan adalah

Acetaminophen.

Terapi antibiotik mengurangi prevalensi dari infeksi. Golongan

penisilin diberikan dan disesuaikan dosisnya dengan umur. Pada pasien yang
31

alergi dengan golongan penisilin, clindamycin dapat digunakan sebagai

alternatif pengganti.

Perawatan bedah

Pada fraktur alveolar perawatan dilakukan dengan tujuan

mengembalikan segmen farktur ke posisi semula. Sebelum dilakukan

perawatan, sebaiknya dilakukan foto rontgen untuk mengetahui seberapa luas

fraktur yang terjadi. Perawatan dilakukan dengan bantuan anestesi lokal.

Namun pada keadaan tertentu perlu dilakukan anestesi umum yaitu apabila

anastesi lokal tidak berhasil atau pada pasien yang sangat penakut. Reposisi

segmen fraktur yang mengalami perubahan lokasi dengan melakukan reduksi

yaitu menggerakkan segmen yang fraktur dengan finger manipulation, periksa

hubungan oklusalnya. Fiksasi untuk imobilisasi segmen yang fraktur dengan

splint atau arch bar. Hilangkan kontak prematur dan trauma oklusal.

Stabilisasi segmen yang fraktur tersebut selama 4 minggu. Contoh cara fiksasi

lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan 2-0 Chromic gut suture

material untukimmobilisasi gigi.

Alat untuk stabilisasi segmen dilepas setelah 4-6 minggu kemudian

evaluasi mobilitas gigi dan segmen. Untuk mengetahui keberhasilan perawatan,

lakukan foto rontgen. Status pulpa perlu dilihat untuk mempertimbangkan

kemungkinan perawatan endodontik bila gigi menjadi nonvital.

2.11 Macam-macam Alat Stabilisasi untuk Fraktur Dentoalveolar

2.11.1 Splinting properties

Rigiditas dari splint dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Flexible dan semi-rigid : optimal untuk pulpa dan periodontal healing

a. Lebih mobility daripada gigi non-injured


32

b. Sama dengan mobilitas normal gigi

2. Rigid : dapat digunakan pada cervical root fracture dan replantasi gigi

setelah PDL removal dan perawatan fluoride.

a. Kurang dari mobilitas normal gigi

Splint yang optimal dapat memenuhi mayoritas dari seluruh persyaratan

dibawah ini :

(1) Aplikasi direct intraoral

(2) Mudah dibuat dengan matetial yang tersedia dalam praktek dental

(3) Tidak meningkatkan periodontal injury atau memicu caries

(4) Tidak iritasi terhadap jaringan lunak oral

(5) Pasif, tidak menggunakan tekanan orthodontic pada gigi

(6) Serbaguna dalam mencapai rigid, semi-rigid, atau fleksibel splint

(7) Mudah dikembalikan dan berakibat minimal atau tidak ada kerusakan

permanen pada gigi

(8) Memungkinkan tes pulpa dan perawatan endodontic

(9) Hygiene dan estetik

Tipe-tipe splinting

a. Suture splint

Gambar 2.10: Pemasangan suture splint pada gigi incisive 1 regio 2

Tipe paling simple adalah letak suture pada incisal edge dari

palatal/lingual gingival menuju buccal gingival. Fiksasi seperti ini dapat


33

digunakan, contohnya, dalam mencegah reposisi incisor dari ekstruding, tapi

hanya akan efektif untuk jangka waktu pendek. Setelah autotransplantasi

pada premolar, suture diletakkan pada permukaan oklusal pada transplant.

Suture splint ditemukan untuk meningkatkan prognosis gigi

autotransplanted dibandingkan rigid splint.

b. Arch bar

Gambar 2.11: Penggunaan Arch Bar yang mengiritasi jaringan periodontal

disekitar tempat pemasangan.

Beberapa decade yang lalu, rigid splinting dari gigi luxasi dianggap

perlu, dan jenis splint yang digunakan adalah arch bar atau cap splint. Splint

ini menyebabkan kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi

tidak akurat, yang dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding

soket. Selanjutnya, terdapat resiko invasi bakteri ke dalam jaringan

periodontal karena dekatnya letak splint dan wire terhadap margin gingival.
34

c. Orthodontic appliance

Gambar 2.12: Penggunaan Orthodontic splint pada anterior rahang atas

Orthodontic ligature wire bonded dengan composite atau attached

pada bracket telah dianjurkan. Bagaimanapun, orthodontic bracket wire dan

composite dapat mengakibatkan iritasi pada mukosa oral, gangguan pada

oral hygiene dan ketidaknyamanan, terutama pada awal dari periode

splinting. Selanjutnya, permintaan untuk splinting pasif (dengan gigi pada

posisi netral) terancam jika bracket bersatu dengan rectangular orthodontic

wire. Maka dari itu, direkomendasikan untuk menggunakan malleable steel

wire.

d. Composite

Splint yang sepenuhnya terdiri dari composite resin bersifat estetik

dan mudah untuk dibuat, tetapi telah ditemukan untuk fraktur pada daerah

interdental, sebagaimana material tersebut fragile. Splint bersifat rigid dan

dengan demikian melanggar permintaan untuk splinting pada kebanyakan

kasus. Terlebih lagi, karena kecocokan warna dan bonding strength pada

goresan enamel, hal ini sulit untuk mengembalikannya tanpa merusak

underlying tooth structure. Jika splint dengan material ini harus digunakan,

maka dianjurkan untuk splint pada gigi luxasi dengan hanya satu gigi yang

berdekatan.
35

e. Wire-composite

Gambar 2.13: Pemasangan Wire Composite pada gigi anterior rahang atas

Satu dari keuntungan utama adalah splint CONSTRUCTED dari

material yang secara rutin tersedia di kantor dental. Mudah dimodifikasi

menjadi rigid splint oleh perubahan dimensi dari wire atau oleh

penambahan composite selama labial wire up pada ruang interdental.

Bagaimanapun, terdapat masalah yang sama pada resiko kerusakan

potensial pada underlying enamel sebagaimana dengan composite splint.

Pada studi comparative baru pada berbagai tipe dari splint pada

sukarelawan, wire-composite splint terbukti dapat diterima dengan baik,

tidak mengakibatkan kerusakan besar pada mukosa oral dan

memperbolehkan sukarelawan mempertahankan oral hygiene yg bagus.

Pada beberapa studi yang menggunakan fiber glass daripada wire telah

dideskripsikan dan secara berkala digunakan. Fiber glass ribbon

dibasahkan dengan composite resin dan tidak ada material pengisi yang

digunakan. Fleksibilitas dapat divariasikan dengan sejumlah layer dan

extention pada splint.


36

f. Resin

Gambar 2.14: Pemasangan Resin Splint penuh pada permukaan gigi

anterior rahang atas

Protemp dan Luxatemp merupakan multi-fase material resin

digunakan dalam restorasi temporary prosthetic dan untuk lining

prefabricated crown. Protemp merupakan chemical cured; sedangkan

Luxatemp merupakan dual cured (chemical dan light cured).bhal ini

memungkinkan untuk menerima material dalam tahapannya, keuntungan

dengan multiple displaced dan reposition teeth. Material ini tidak

menggunakan tenaga pada gigi selama aplikasi dan secara estetik dan

hygiene dapat diterima. Selanjutnya, keduanya telah menunjukkan untuk

memperbolehkan penggunaan semi-rigid splinting.

Pada kasus kehilangan gigi atau dalam mixed dentition, dimana gigi yang

bersebelahan tidak sepenuhnya erupsi, hal ini diperlukan untuk

merentangkan area edentulous. Pada kasus ini, diperlukan reinforcement.

Hal ini dapat dicapai dengan metal bars, orthodontic wire, nylon line, glass

fiber, atau synthetic fiber atau tape yang terdapat di market (Kevlar,

Dupont Corp., Fiber-splint, Polydent Corp., Mezzovico, Switzerland) dan

yang dapat dipadukan dengan resin. Jika tidak tersedia, bahkan paperclip
37

dapat diluruskan untuk mencapai tujuannya. Diperbolehkan beberapa

material yang bersifat fleksibel dan splint diterima secara direct pada

etched crown surface.

g. Metal (TTS) splint

Gambar 2.15: Pemasangan Metal Splint yang mampu beradaptasi dengan

baik menggunakan bahan titanium

Secara komersial, dental splint yang tersedia telah diperkenalkan.

Prefabricated splint yang terbuat dari titanium telah dilaporkan oleh von

Arx dan co-author. Prefabricated titanium trauma splint (TTS) mempunyai

ketebalan hanya 0,2 mm dan dapat dengan mudah dibengkokan dengan

jari dan beradaptasi pada dental arch. Karena desain rhomboid dari splint,

dapat juga beradaptasi dengan panjangnya. TTS berikatan pada enamel

dengan light cured composite resin dan dikembalikan dengan peeling

pada permukaan gigi. Splint ini telah ditemukan agar dapat bertoleransi

dengan baik dan mengakibatkan ketidaknyamanan hanya pada sebagian

kecil pasien.
38

Tabel 2.1 Perbandingan jenis splint yang berbeda. (+) : secara kuat berhubungan, (+) : sedikit

berhubungan, dan (-) : tidak ada hubungan terhadap splint yang bersangkutan.

Type of splint Accuracy Easily Flexibility Rigidity Easily Easy to Suitability

of discolored fracture construct after

reposition dental

trauma

Suture splint + + - + + +

Arch bar - - - + - - -

splint

Arch bar - - - + - - -

splint with

acrylic

Flexible wire- + + + - - + +

composite

Rigid wire- + + - + - + +

composite

Composie + + - + + + +

splint

Protemp, + + + - + + +

Luxatemp

TTS splint + + + + - + +

Orthodontic + + + + - + +

splint
39

Rekomendasi untuk tipe splinting dan durasi

Ekstrusive luxation : 2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel

Lateral luxation : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel

Intrusive luxation : 6-8 minggu; tipe fiksasi : fleksibel

Avulsion : 1-2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel

Root fracture; setengah atau sepertiga apical : 4 minggu; tipe fiksasi : rigid

Root fracture; sepertiga servikal : 3 bulan; tipe fiksasi : fleksibel

Alveolar fracture : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel


40

BAB III

KESIMPULAN

Trauma dentoalveolar sering lebih dulu diketahui dan diatasi oleh dokter gigi.

Biasanya perawatan dasarnya dalah secara konsevatif, misalnya dengan splint, immobilisasi

gigi yang goyang dan prosesus alveolaris yang fraktur. Pencabutan dan intervensi terbuka

apabila memungkinkan dihindari.

Diagnosis dan penatalaksanaannya kebanyakan trauma orofasial, meskipun parah

tergantung pada prinsip-prinsip dasar. Mula-mula dilakukan penelusuran riwayat, kemudian

pemeriksaan klinis dan radiografis, dilanjutkan dengan penentuan rencana pearwatan. Pada

trauma orofasial yang tidak sederhana (komplikasi), dapat direncanakan tahapan perawaa\tan

yang meliputi the outside-inside rule. Jika kerusakan skeletal diperbaiki terlebih dahulu,

penyembuhan jaringan lunak tidak akan mudah terganggu. Setelah semua prosedur oral

selesai, dapat disiapkan untuk melakukan penutupan asepsis dari luka-luka pada wajah.
41

Daftar Pustaka

Peterson, Larry J. 2004. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. BC

Decker: Ontario

Barratt, Michael R. 2008. Principles of Clinical Medicine for Space Flight. New York

:Springer

Pedersen, G. 1996. Buku Ajar Bedah Mulut. Alih Bahasa : Purwanto. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai