Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PERAWATAN TRAUMATIC DENTAL INJURY


PADA ANAK

Operator:
Dwi Sri Lestari
111611101094

Instruktur :
drg. Roedy Budirahardjo, M.Kes. Sp.KGA.

BAGIAN PEDODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Trauma adalah kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh

tindakan-tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur


Riyanti, 2010). Traumatic Dental Injury (TDI) atau trauma gigi oleh Andreasen,
adalah transmisi akut energi pada gigi dan struktur pendukungnya yang
menyebabkan fraktur dan/atau pergeseran posisi gigi dan/atau lepasnya atau
rusaknya jaringan pendukung yang meliputi gingiva, ligamen periodontal dan
tulang (Andreason et al, 2007).
Trauma gigi pada anak menjadi masalah kesehatan yang serius. Trauma
gigi dapat menyebabkan kehilangan sebagian struktur gigi, kehilangan gigi,
perubahan posisi gigi, penurunan nilai estetika, serta gangguan fungsi fisiologi
gigi. Trauma gigi menjadi masalah penting karena prevalensinya yang relatif
tinggi dan dampak terhadap perkembangan kualitas hidup anak (Rajesh et al,
2012).
Prevalensi trauma gigi bervariasi tergantung setiap negara. Prevalensi
trauma gigi anak sekolah berkisar 6% pada studi Australia dan Spanyol, 34% pada
studi inggris, kasus trauma gigi pada anak usia 6-12 tahun berkisar 5-12% di
daerah Timur Tengah. Data mengenai epidemiologi gigi di Indonesia belum
diketahui pasti (Sutadi, 2003). Gigi yang paling sering terlibat dalam trauma
adalah gigi anterior. Hal ini terjadi karena anak sering terjatuh ke arah depan,
dengan bertumpu pada kedua tangan dan lututnya (Finn, 1973).
Trauma pada gigi anak saat ini belum diatasi secara optimal. Penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar ibu belum memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai tindakan pencegahan dan penanganan trauma gigi anak (Yassen et al,
2013). Tenaga medis seharusnya memberikan upaya preventif sehingga menekan
angka prevalensi trauma gigi .

1.2 Rumusan Masalah


2

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, pada makalah ini akan


membahas mengenai manajemen perawatan traumatic dental injury pada anak
1.3 Manfaat makalah
Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana manajemen perawatan
traumatic dental injury pada anak
1.4 Tujuan Masalah

Menambah pengetahuan dan informasi tentang manajemen perawatan


traumatic dental injury pada anak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Trauma adalah kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh
tindakan-tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur
Riyanti, 2010). Traumatic Dental Injury (TDI) atau trauma gigi oleh Andreasen,
adalah transmisi akut energi pada gigi dan struktur pendukungnya yang
menyebabkan fraktur dan/atau pergeseran posisi gigi dan/atau lepasnya atau

rusaknya jaringan pendukung yang meliputi gingiva, ligamen periodontal dan


tulang (Andreason et al, 2007).
2.2 Penyebab
Berbagai macam kondisi yang mengakibatkan terjadinya trauma pada gigi
anterior adalah kecelakaan lalu lintas yang dewasa ini banyak terjadi di jalan raya,
kecelakaan saat berolahraga, saat bermain, tindakan kriminalitas, child abuse,
dalam lingkungan rumah tangga (terkena pompa air, jatuh dari tangga, dan
lainlain), dalam lingkungan pekerjaan, perkelahian, dan bencana alam (Cameron
and Widmer, 2003)
. Selain faktor-faktor di atas ada beberapa faktor predisposisi terjadinya gigi
anterior yaitu posisi dan keadaan gigi tertentu misalnya kelainan dentofasial
seperti maloklusi kelas I tipe 2, kelas II divisi 1 atau yang mengalami overjet
lebih dari 3 mm, keadaan yang memperlemah gigi seperti hipoplasia email,
kelompok anak penderita cerebral palsy, dan anak dengan kebiasaan mengisap
ibu jari yang menyebabkan gigi anterior protrusif (Finn, 2003).

2.3 Klasifikasi
Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi
anterior. Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi
menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari
World Health Organization (WHO) dalam Application of International
Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology. Ellis dan Davey
menyusun klasifikai trauma pada gigi anterior menurut banyaknya struktur gigi
yang terlibat, yaitu :
Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email.
Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin
tetapi belum melibatkan pulpa.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau
4

tanpa kehilangan struktur mahkota.


Kelas 5 : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 7 : Perubahan posisi atau displacement gigi.
Kelas 8 : Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi sulung.
(Riyanti, 2010)
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO)
dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry and
Stomatology diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan
keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut yaitu sebagai
berikut :
a. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa
1. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak
sempurna pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal
atau vertikal.
2. Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture),
yaitu fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture)
yaitu suatu fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja.
3. Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada
mahkota gigi yang hanya mengenai email dan dentin saja tanpa melibatkan
pulpa.
4. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu
fraktur yang mengenai email, dentin, dan pulpa (Riyanti, 2010)
.
b. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
1. Fraktur mahkota-akar, yaitu suatu fraktur yang mengenai email, dentin,
dan sementum. Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa
disebut fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root
fracture) dan fraktur mahkota-akar yang tidak melibatkan jaringan pulpa

disebut fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crownroot fracture).


2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa
tanpa melibatkan lapisan email.
3. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan
dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual
dari dinding soket.
4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus
alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.
5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus
mandibula atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau
tanpa melibatkan soket gigi (Riyanti, 2010)
.

c. Kerusakan pada jaringan periodontal


1. Concusion, yaitu trauma yang mengenai j aringan pendukung gigi yang
menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa
adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.
2. Subluxation, yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi
akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.
3. Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu pelepasan sebagian gigi
ke luar dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih
panjang.
4. Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan
gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan
atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut. Trauma gigi yang
menyebabkan luksasi lateral menyebabkan mahkota bergerak ke arah
palatal

5. Luksasi intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana


dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi
menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.
6. Laserasi (hilang atau ekstrartikulasi) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar dari
soket (Riyanti, 2010)
.

Gambar 1. Persentase Kejadian Fraktur

d. Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut


1. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang
disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka
tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.
2. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan
benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah
submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.
3. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena
gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang

berdarah atau lecet. Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan beberapa
kelainan pada gigi tetap, antara lain hipoplasia email, hipokalsifikasi, dan
dilaserasi. Beberapa reaksi yang terjadi pada jaringan pulpa setelah gigi
mengalami trauma adalah hiperemi pulpa, diskolorisasi, resorpsi internal,
resorpsi eksternal, metamorfosis kalsifikasi pulpa gigi, dan nekrosis pulpa
(Riyanti, 2010).

2.4 Perawatan
Trauma gigi dapat mengenai satu atau lebih dari dua gigi sulung maupun gigi
tetap. Perawatan yang dilakukan harus berdasarkan pada diagnosa yang tepat.
Penanganan dini trauma gigi sangat berpengaruh pada vitalitas dan proses
penyembuhan gigi serta jaringan sekitarnya. Langkah-langkah penanganan yang
sebaiknya dilakukan adalah sebagai berikut:
A. Penanganan Umum, ditujukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat
meliputi:
1. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Salah satu cara untuk
memeriksa bayi dan anak-anak yang terkena trauma yaitu menidurkan anak pada
pangkuan ibu/ayah/atau pengasuh dengan pandangan ke atas. Tangan anak
diletakkan di bawah tangan ibu dan dokter gigi duduk di depan ibu dengan kepala
anak terletak pada pangkuannya. Posisi demikian dapat memungkinkan dokter
gigi untuk dapat melihat kedua rahang anak. Dokter gigi dapat menggunakan molt
mouth-prop atau mengikat jari tangannya dengan menggunakan bantalan dan
adhesive tape (Koch and Poulsen, 2001).

Gambar 2. Posisi Pemeriksaan

Anamnesis secara lengkap dengan menanyakan hal-hal yang berhubungan


dengan riwayat terjadinya trauma dilakukan dengan memberikan pertanyaan
kapan terjadinya trauma, bagaimana trauma bisa terjadi, apakah ada luka di bagian
tubuh lainnya, perawatan apa yang telah dilakukan, apakah pernah terjadi trauma
gigi pada masa lalu, dan imunisasi apa saja yang telah diberikan pada anak
(Cameron and Widmer, 2003).
Pemeriksaan luka ekstra oral dilakukan dengan cara palpasi pada
bagianbagian wajah sekitar. Palpasi dilakukan pada alveolus dan gigi, tes
mobilitas, reaksi terhadap perkusi, transiluminasi, tes vitalitas baik konvensional
maupun menggunakan vitalitester, gigi-gigi yang bergeser diperiksa dan dicatat,
apakah terjadi maloklusi akibat trauma, apakah terdapat pulpa yang terbuka,
perubahan warna, maupun kegoyangan. Gigi yang mengalami trauma akan
memberikan reaksi yang sangat sensitif terhadap tes vitalitas, oleh karena itu tes
vitalitas hendaknya dilakukan beberapa kali dengan waktu yang berbeda-beda.
Pembuatan foto periapikal dengan beberapa sudut pemotretan ataupun panoramik
sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Koch and Poulsen, 2001).
2. Perawatan darurat merupakan awal dari perawatan. Pertolongan pertama
dilakukan untuk semua luka pada wajah dan mulut. Jaringan lunak harus dirawat
dengan baik. Pembersihan luka dengan baik merupakan tolak ukur pertolongan
pertama. Pembersihan dan irigasi yang perlahan dengan saline akan membantu

mengurangi

jumlah

jaringan

yang

mati

dan

resiko

adanya

keadaan

anaerobik.Antiseptik permukaan juga digunakan untuk mengurangi jumlah


bakteri, khususnya stafilokokus dan streptokokus patogen pada kulit atau mukosa
daerah luka (Koch and Poulsen, 2001).
3. Imunisasi Tetanus. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan pada
anak yang mengalami trauma yaitu melakukan imunisasi tetanus. Pencegahan
tetanus dilakukan dengan membersihkan luka sebaik-baiknya, menghilangkan
benda asing, dan eksisi jaringan nekrotik. Dokter gigi bertanggungjawab untuk
memutuskan apakah pencegahan tetanus dipelrukan bagi pasien anak-anak yang
mengalami avulsi gigi, kerusakan jaringan lunak yang parah, luka karena objek
yang terkontaminasi tanah atau luka berlubang. Riwayat imunisasi sebaiknya
didapatkan dari orang tua penderita. Pada umumnya anak-anak telah mendapatkan
proteksi yang memadai dari imunisasi aktif berupa serangkaian injeksi tetanus
toksoid. Apabila imunisasi aktif belum didapatkan, maka dokter gigi sebaiknya
segera menghubungi dokter keluarga untuk perlindungan ini. Imunisasi dengan
antitoksin tetanus dapat diberikan, tetapi imunisasi pasif ini bukan tanpa bahaya
karena dapat menimbulkan anafilaktik syok (Koch and Poulsen, 2001). Pemberian
antibiotik diperlukan hanya sebagai profilaksis bila terdapat luka pada jaringan
lunak sekitar. Apabila luka telah dibersihkan dengan benar maka pemberian
antibiotik harus dipertimbangkan kembali.
B. Penanganan Gigi dan Jaringan Sekitar
Penanganan untuk gigi dan jaringan sekitar dilakukan bila keadaan umum
pasien telah baik dan seluruh langkah-langkah penanganan umum telah dilakukan.
Penentuan rencana perawatan yang tepat didasarkan pada diagnosa serta
anamnesa yang lengkap.
1. Perawatan segera pada trauma gigi sulung
Pada awal perkembangan gigi tetap, gigi insisif terletak pada palatal dan
sangat dekat dengan apeks gigi insisif sulung. Oleh karena itu bila terjadi trauma
pada gigi sulung maka dokter gigi harus benar-benar mempertimbangkan

10

kemungkinan terjadi kerusakan pada gigi tetap di bawahnya (Koch and Poulsen,
2001).

\
Gambar 3. Ilustrasi gangguan perkembangan benih gigi permanen pada anak

1.1 Fraktur Email dan Email-Dentin


Perawatan fraktur yang terjadi pada email dan email-dentin pada anak
yang tidak kooperatif cukup dengan menghilangkan bagian-bagian yang tajam,
namun bila anak kooperatif dap at dilakukan penambalan dengan menggunakan
semen glass ionomer atau kompomer.
1.2 Fraktur Mahkota Lengkap
Pencabutan gigi merupakan perawatan yang terbaik namun bila pasien
kooperatif maka dapat dilakukan perawatan saluran akar dan dilanjutkan dengan
penambalan.
1.3 Fraktur Mahkota-Akar
Perawatan terbaik adalah ekstraksi, karena umumnya kamar pulpa akan
terbuka dan keberhasilan perawatan kurang memuaskan.
1.4 Fraktur Akar
Apabila pergeseran mahkota terlihat menjauh dari posisi seharusnya maka
pencabutan adalah perawatan terbaik. Bagian akar yang tertinggal hendaknya
tidak dicabut agar tidak mengganggu gigi tetap di bawahnya. Pada beberapa kasus
terlihat bila bagian mahkota menjadi nekrosis namun pada bagian akar tetap vital,
oleh karena itu resorpsi akar oleh gigi tetap dapat terjadi dan pertumbuhannya
tidak terganggu.
1.5 Concussion

11

Concussion umumnya tidak terlihat pada saat setelah terjadinya trauma.


Keluhan akan muncul bila telah timbul perubahan warna pada gigi. Daerah sekitar
umumnya akan terjadi luka (bibir, lidah), pembersihan daerah luka dengan
mengoleskan kapas yang dicelupkan pada cairan klorheksidin 0,1% sehari 2 kali
selama 1-2 minggu.
1.6 Subluksasi
Orang tua dianjurkan untuk membersihkan daerah luka dan memberikan
makanan lunak beberapa hari. Kegoyangan akan berkurang dalam 1-2 minggu.
1.7 Extrusive luxation
Perawatan terbaik adalah dengan mencabut gigi yang mengalami trauma.
1.8 Lateral luxation
Luksasi mahkota ke arah palatal akan menyebabkan akar bergeser ke arah
bukal, sehingga tidak terjadi gangguan pada benih gigi tetap di bawahnya.
Perawatan terbaik adalah dengan mengevaluasi gigi tersebut. Gigi akan kembali
pada posisi semula dalam waktu 1-2 bulan oleh karena tekanan lidah.

Gambar 4. (a). Luksasi mahkota ke arah palatal


(b). Posisi gigi kembali normal setelah 2 bulan

12

Pada gigi yang mengalami luksasi mahkota ke arah bukal perawatan


terbaik adalah melakukan pencabutan, oleh karena akar akan mengarah ke palatal
sehingga mengganggu benih gigi tetap di bawahnya.

Gambar 5. Luksasi ke arah bukal

1.9 Intrusive luxation


Pada gigi yang mengalami intrusi ke arah palatal perawatan terbaik adalah
ekstraksi. Alat yang digunakan untuk ekstraksi hendaknya hanya tang ekstraksi
dan daerah pencabutan dilakukan sedikit penekanan untuk mengembalikan tulang
yang bergeser. Apabila intrusi ke arah bukal cukup dilakukan evaluasi karena gigi
akan erupsi kembali ke arah semula. Orang tua dianjurkan untuk membersihkan
daerah trauma dengan menggunakan cairan klorheksidin 0,1%. Daerah trauma
rawan terjadi infeksi terutama pada 2-3 minggu pertama selama proses reerupsi.
Apabila tanda-tanda inflamasi terlihat pada periode ini maka perawatan terbaik
adalah ekstraksi. Waktu yang diperlukan untuk reerupsi umumnya antara 2-6
bulan. Bila reerupsi gagal terjadi akan timbul ankilosis dan pada kasus ini
ekstraksi adalah pilihan yang terbaik.

13

Gambar 6 (a). Intrusive luxation ke arah bukal


(b). Setelah 6 bulan gigi erupsi kembali

1.10 Avulsi
Pada gigi sulung yang mengalami avulsi replantasi merupakan
kontraindikasi oleh karena koagulum yang terbentuk akan mengganggu benih gigi
tetap.
2. Perawatan segera pada trauma gigi tetap
Trauma pada gigi tetap umumnya terjadi pada anak antara usia 8-11 tahun.
Pada usia ini apeks gigi tetap belum tertutup sempurna, sehingga perawatan yang
dilakukan diharapkan dapat tetap mempertahankan proses penutupan apeks dan
vitalitas gigi dapat dipertahankan (Koch and Poulsen, 2001)..
2.1 Fraktur mahkota
Fraktur mahkota yang terjadi dapat berupa infraksi email, fraktur email, dan
fraktur email-dentin.
2.1.1 Infraksi email
Infraksi adalah fraktu inkomplit tanpa hilangnya substansi gigi dan garis
fraktur berujung pada enamel dentinal junction. Garis infraksi akan terlihat jelas
dengan menggunakan cahaya langsung dengan arah paralel terhadap sumbu
panjang gigi. Tidak diperlukan perawatan khusus pada kasus ini dan pasien hanya
disarankan untuk kontrol rutin untuk pemeriksaan gigi.
2.1.2 Fraktur email
Pada fraktur ini akan tampak sedikit bagian email hilang. Tidak semua
fraktur email dilakukan penambalan oleh karena pada beberapa kasus batas sudut

14

fraktur memberikan gambaran yang baik sehingga hanya dilakukan penyesuaian


pada gigi kontralateral agar tampak simetris.
2.1.3 Fraktur email-dentin
Fraktur email-dentin akan mengakibatkan terbukanya tubuli dentin
sehingga memungkinkan masuknya toksin bakteri yang berakibat inflamasi pulpa.
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa tindakan agar nekrosis pulpa tidak
terjadi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
1). Pembuatan restorasi mahkota sementara
Pemberian kalsium hidroksida pada dasar kavitas gigi dan penutupan
email dengan menggunakan resin komposit merupakan langkah sederhana dan
mudah dilakukan. Penutupan ditujukan untuk melindungi pulpa.

Gambar 7 Mahkota sementara

2). Melekatkan kembali fragmen mahkota


Perlu disosialisasikan bagi masyarakat untuk menyimpan dengan benar
fragmen mahkota gigi yang mengalami fraktur. Cara terbaik untuk menyimpan
fragmen tersebut adalah dengan merendam di dalam air atau ke dalam NaCl
fisiologis bila tidak dapat dliakukan tindakan secara langsung. Preparasi
permukaan fraktur dan dilakukan etsa serta pemberian bonding agent dan resin
komposit guna melekatkan kembali fragmen tersebut.
3). Composite crown build up
Dilakukan bila fragmen mahkota tidak ditemukan. Prosedur yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
(1). Preparasi kira-kira 2 mm pada email sekitar permukaan daerah fraktur.
15

(2). Letakkan mahkota seluloid dan beri 2 lubang sebagai jalan keluar udara saat
dilakukan insersi.
(3). Pilih warna resin komposit yang sesuai.
(4). Agar daerah kerja tetap kering hendaknya menggunakan rubber dam.
(5). Lakukan etsa kira-kira 2-3 mm pada email permukaan fraktur lalu bilas dan
keringkan.
(5). Ulaskan bonding agent.
(6). Masukkan resin komposit ke dalam mahkota seluloid dan letakkan mahkota
seluloid pada posisi yang benar.
(7). Lakukan penyinaran dari arah bukal dan palatal.
(8). Lepas rubber dam dan mahkota seluloid dengan menggunakan scalpel lalu
poles dengan menggunakan bur diamond dan disk.
2.1.4 Complicated crown fracture
Fraktur ini melibatkan email dan dentin dengan disertai terlibatnya sedikit
kamar pulpa. Tujuan perawatan adalah untuk mempertahankan vitalitas. Jenis
perawatan yang dapat dilakukan adalah direct pulp capping dan pulpotomi parsial.
1). Direct pulp capping
Indikasi perawatan ini adalah keadaan pulpa baik, tidak terjadi lukasi yang
disertai kerusakan pada suplai darah di daerah apeks, bagian pulpa terbuka kurang
dari 1 mm, jarak waktu antara terbukanya pulpa dan perawatan kurang dari 24
jam, dan restorasi yang akan dibuat dapat mencegah masuknya bakteri.
Langkah-langkah direct pulp capping adalah:
(1). Isolasi gigi dengan menggunakan rubber dam atau cotton roll.
(2). Bersihkan permukaan fraktur menggunakan cotton pellets lembab yang telah
dicelupkan pada NaCl fisiologis atau klorheksidin.
(3). Keringkan bagian pulpa yang terbuka dengan menggunakan cotton pellets
steril.
(4). Daerah perforasi tutup dengan pasta kalsium hidroksida.
(5). Tutup dengan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, melekatkan
kembali fragmen mahkota atau composite build-up.

16

2). Pulpotomi parsial


Perawatan ini ditujukan untuk menghilangkan jaringan pulpa yang mengalami
inflamasi. Umumnya amputasi dilakukan kira-kira 2 mm di bawah daerah
tereksponasi. Indikasi perawatan ini adalah untuk gigi yang akarnya sudah
terbentuk lengkap ataupun belum dengan gambaran adanya warna pulpa merah
terang.
Langkah-langkah pulpotomi parsial:
(1). Lakukan anesthesi lokal.
(2). Isolasi menggunakan rubber dam atau cotton roll dan bersihkan permukaan
fraktur dengan cotton pellets basah dan lembab yang telah dicelupkan pada NaCl
fisiologis atau klorheksidin.
(3). Preparasi seperti bentuk box pada daerah eksponasi.
(4). Gunakan contra angle dengan bur diamond silindris dan semprotan air.
(5). Buang jaringan pulpa sedalam kurang lebih 2 mm.
(6). Pertahankan hemostasis menggunakan irigasi NaCl fisiologis tekanan ringan .
(7). Tutup daerah tersebut dengan menggunakan pasta kalsium hidroksida dan
semen.
(8). Berikan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, pelekatan kembali
fragmen mahkota atau composite build up.

2.2 Fraktur Mahkota Akar


Perawatan fraktur mahkota akar dilakukan pada gigi yang masih bisa
dilakukan restorasi. Apabila bagian akar masih cukup panjang maka dapat
dilakukan prosedur seperti di bawah ini:
1). Menghilangkan fragmen dan melekatkan gusi kembali
Fragmen mahkota dibuang dan gusi dibiarkan untuk melekat pada dentin
yang terbuka. Setelah beberapa minggu gigi dapat direstorasi sampai batas gusi.
2). Menghilangkan fragmen dan melakukan bedah exposure pada fraktur
subgingiva.

17

Setelah fragmen mahkota dibuang maka fraktur subgingiva hendaknya


dilebarkan melalui tindakan gingivektomi dan atau alveolektomi. Bila gusi telah
terlihat menutup maka gigi direstorasi dengan post retained crown.
3). Menghilangkan fragmen dan orthodontic extrusion
Pada mulanya dilakukan stabilsiasi fragmen mahkota pada gig i
sebelahnya. Kunjungan berikutnya dilakukan ekstirpasi pulpa dan pengisian
saluran akar. Bila telah selesai maka fragmen mahkota dibuah dan dilakukan
ekstrusi kira-kira 0,5 mm agar tidak terjad i relaps. Setelah itu dilakukan
gingivektomi pada permukaan bukal dan gigi siap untuk direstorasi.
4). Menghilangkan fragmen dan surgical extrusion
Fragmen mahkota dilepaskan kemudian dengan menggunakan bein dan
tang ekstraksi kembalikan gigi ke posis sejajar dengan garis insisal. Lakukan
stabilisasi fragmen akar dengan melakukan penjahitan atau splint non rigid.
Kemudian lakukan ekstirpasi pulpa tanpa diisi dengan gutta perca setelah itu tutup
dengan tambalan sementara. Setelah 4 minggu perawatan endodontik diselesaikan
dan kira-kira 4-5 minggu kemudian lakukan restorasi tetap.
2.3 Fraktur Akar
Gigi yang mengalami fraktur akar umumnya akan terjadi ekstrusi fragmen
mahkota atau bergesernya mahkota ke arah palatal, oleh karena itu maka
perawatan yang dilakukan harus meliputi reposisi fragmen mahkota segera dan
stabilisasi.
Langkah-langkah perawatan fraktur akar:
(1). Berikan anesthesi lokal pada daerah sekitar fraktur.
(2). Lakukan reposisi fragmen mahkota secara perlahan-lahan dan tekanan ringan.
(3). Apabila dinding soket bukal juga mengalami fraktur maka tulang yang
bergeser perlu dilakukan reposisi sebelum reposisi fragmen mahkota. Tindakan ini
dilakukan dengan menggunakan instrumen kecil dan rata yang diletakkan antara
permukaan akar dan dinding soket.
(4). Pembuatan foto rontgen perlu dilakukan untuk memastikan reposisi telah
optimal.
(5). Gigi distabilisasi dengan menggunakan splint.

18

(6). Pertahankan splint selama 2-3 bulan.

Teknik memasang splint:


(1). Gunakan kawat ortodontik dengan panjang kira-kira 0,032 inci dan letakkan
kira-kira pada sepertiga tengah permukaan bukal gigi yang mengalami trauma dan
beberapa gigi sebelah kanan dan kirinya.
(2). Aplikasikan asam fosfat selama 15-20 detik pada permukaan bukal gigi yang
akan dilakukan splinting.
(3). Bilas dengan menggunakan air hangat.
(4). Aplikasikan selapis tipis resin komposit light curing.
(5). Tempelkan kawat pada gigi yang tidak mengalami trauma selanjutnya pada
gigi yang mengalami trauma dan pastikan bahwa posisinya sudah dalam keadaan
baik.
(6). Pasien diminta untuk berkumur sehari 2 kali dengan menggunakan larutan
klorheksidin 0,1%.
2.4 Concusion
Gigi yang mengalami concusion sering memberikan respon positif bila
dilakukan pekusi. Tidak diperlukan perawatan yang segera namun pemeriksaan
lanjutan perlu dilakukan untuk memastikan tidak terjadi jejas pada pulpa.
2.5 Subluksasi
Lakukan splinting dan pasien diminta untuk memakan makanan lunak
selama selama 1-2 minggu. Agar plak tidak meningkat maka pasien diinstruksikan
untuk berkumur menggunakan klorheksidin.

19

Gambar 8. (a). Subluksasi pada gigi insisif sentral kiri dan kanan atas
(b). Pemasangan spling pada keempat gigi anterior rahang Atas

2.6. Extrusive luxation


Prinsip perawatan yang diberikan adalah reposisi segera dan fiksasi.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
(1). Lakukan anestesi lokal.
(2). Reposisi gigi dengan menggunakan jari perlahan-lahan dan tekanan ringan
sampai batas insisal sama dengan gigi kontralateral.
(3). Periksa posisi dengan membuat foto rontgen.
(4). Lakukan stabilisasi dengan menggunakan splint.
(5). Pertahanakan splint selama 2-3 minggu.
2.7 Lateral luxation
Lateral luxation umumnya terjadi pada arah palatal, bukal, mesial atau
distal. Arah bukal merupakan keadaan yang paling sering terjadi. Pada beberapa
kasus sering terjadi bony lock sehingga reposisi sulit dilakukan.

Gambar 9. Mahkota yang mengalami palatal luxation

Langkah-langkah reposisi luksasi palatal:


(1). Lakukan anestesi lokal.

20

(2). Palpasi daerah lekukan sulkus dan pastikan letak apeks. Lakukan penekanan
dengan perlahan dan tekan daerah insisal agar gigi dapat bergerak ke arah asal
melalui fenestrasi di dalam soket.
(3). Reposisi gigi kembali ke posisi asal melalui arah tekan yang berlawanan.
(4). Lakukan reposisi tulang yang fraktur menggunakan tekanan jari.
(5). Lakukan foto rontgen untuk memastikan posisi yang benar.
(6). Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
(7). Pertahankan splint minimal 3-4 minggu.
(8). Pembuatan foto rontgen setelah kira-kira 3 minggu bila tidak menunjukkan
keretakan pada tulang marginal maka splint dipertahankan sampai 3-4 minggu
berikutnya.
2.8. Intrusive luxation
Intrusive luxation merupakan kasus luksasi yang sulit dan keberhasilan
perawatan masih diperdebatkan. Beberapa petunjuk dalam merawat intrusive
luxation adalah sebagai berikut:
(1). Reposisi segera melalui tindakan pembedahan merupakan tindakan beresiko
olah karena dapat menyebabkan resorpsi akar eksternal dan hilangnya jaringan
pendukung marginal. Reposisi secara bedah hendaknya dihindari apabila gigi
masuk ke dalam dasar hidung atau keluar dari jaringan lunak vestibulum.
(2). Beberapa kasus gigi intrusi dapat dikembalikan ke posisi semula melalui
perawatan ortodontik dan reerupsi spontan. Pemilihan teknik perawatan
bergantung pada tingkat keparahan intrusi dan kemungkinan terjadinya resorpsi
eksternal. Perawatan endodontik dapat mulai dilakukan setelah 2-3 minggu
kemudian. Apabila reerupsi spontan dirasakan cukup memakan waktu lama maka
dipertimbangkan untuk dilakukan dengan menggunakan alat-alat ortodontik.

21

Gambar 10. (a) Intrusive luxation gigi insisif sentral kanan atas
(b).Setelah 4 minggu gigi kembali erupsi dengan pemasangan alat
ortodontik

2.9 Avulsi
Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat terjadinya
trauma:
(1). Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar pada soketnya
sesegera mungkin.
(2). Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila
tidak memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu.
(3). Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.
Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek:
(1). Lakukan anestesi lokal.
(2). Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe.
(3). Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis.
(4). Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari.
(5). Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan
kembali gigi dan tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada
posisinya dan ulangi kembali replantasi.
(6). Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah
benar.
(7). Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
(8). Berikan antibiotika selama 4-5 hari.
(9). Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan
sesuatu.
22

(10). Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan klorheksidin 0,1%


sehari 2 kali selama 1 minggu.
(11). Lepaskan splint setelah 1-2 minggu.
(12). Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan pada
pulpa.

Gambar 11. (a). Gigi insisif sentral kiri atas mengalami avulsi
(b). Cara mengembalikan gigi ke dalam soket
(c). Pemasangan splint pada gigi yang sudah direplantasi

Pertimbangan perawatan saluran akar pada gigi yang mengalami avulsi:


(1). Perawatan saluran akar dapat dilakukan setelah 7-10 hari kemudian atau
setelah splint dilepas.
(2). Saluran akar diisi pasta kalsium hidroksida untuk sementara.
(3). Pada gigi dengan foramen apikal yang masih terbuka kemungkinan akan
terjadi revaskularisasi pada pulpa sehingga perawatan saluran akar hendaknya
ditangguhkan.

23

(4). Apabila pada foto rontgen terlihat tanda-tanda nekrosis pulpa dan adanya
gambaran radiolusen di daerah apikal dengan atau tanpa disertai resorpsi akar
eksternal maka perawatan saluran akar harus segera dilakukan.
(5). Pada gigi dengan apeks belum tertutup dianjurkan untuk dilakukan
pembuatan foto rontgen setiap 2 minggu sekali sampai terlihat pulpa tidak
nekrosis dan penutupan apeks terjadi.

BAB 3. PEMBAHASAN
Kasus Pertama
Tinggi badan 133 cm dan berat nadan 29 Kg, datang ke klinik Kedokteran
Gigi Anak FKG UI pada tanggal 2 Juli 2003, dengan keluhan gigi depan atas sakit
atau ngilu bila makan makanan manis dan minuman dingin. 1 minggu yang lalu
sebelum penderita jatuh dilantai saat berlari didalam rumah dan gigi depan atas

24

patah sebagian. Keadaan umum anak baik, dapat berkomunikasi, tidak dalam
perawatan dokter, anak dalam keadaan sehat, tidak mempunyai kebiasaan buruk.
Pemeriksaan ekstra oral muka simetris, tidak ada pembengkakan kelenjar getah
bening, sub mandibular dan sub mentalis. Pada pemeriksaan intra oral, tidak ada
kelainan jaringan lunak. Status oklusi klasifikasi Angle kelas I tipe 2, dengan
multiple diastema. Skor plak 15 dengan indeks plak 2,5. Gigi 21 mengalami
fraktur mahkota dengan pulpa terbuka. Pada perabaaan dengan kapas
menimbulkan rasa ngilu. Tidak terdapat nyeri tekan dan kegoyangan pada gigi
tersebut. Gambaran radiografik gigi 21: menampakkan mahkota fraktur sepertiga
tengah, sudah mencapai pulpa, dan adanya radiolusensi di daerah apical karena
apeks gigi belum tertutup sempurna.
Pembahasan Kasus Pertama
Diagnosa 21 fraktur mahkota mencapai pulpa, vital (menurut klasifikasi
ELLIS, fraktur III) Pemeriksaan karies dijumpai 75,85 KMP non vital dengan
gambaran radiografis resorbsi akar sudah mencapai seperiga servikal, benih gigi
tetap 35,45 sudah menembus tulang dan pertumbuhan gigi tetap sudah mencapai
sepertiga servikal. Gigi 54 karies dentin, 55, 13,23 karies email. Rencana
perawatan sebagai berikut: DHE dan OP, 21 pulpotomi dengan Ca (OH)2
dengan restorasi komposit. Perawatan gigi lain sesuai dengan indikasi dan topical
aplikasi dengan larutan flour dan pro orthodonti.
Pada kunjungan pertama,dilakukan pemeriksaan lengkap, DHE dan OP,
gigi 21 pulpotomi dengan Ca(OH)2 dan di semen dengan semen ionomer kaca.
Seminggu kemudian dilakukan kontrol, tidak ada keluhan dan secara klinis tidak
ditemukan adanya kelainan. Pada minggu keempat dilakukan kontrol secara klinis
dan radiografis. Secara klinis tak ada keluhan dan kelainan. Dan hasil rontgen
menunjukkan terbentuknya dentin sekunder. Selanjutnya dilakukan restorasi resin
komposit. Dilakukan kontrol 1 minggu dan hasilnya tumpatan masih baik. Kontrol
setelah 1 bulan menunjukkan tumpatan juga masih baik, dan reaksi positif atas
rasa dingin. Kontrol setelah 6 bulan memperlihatkan tumpatan masih baik, serta
vitalitas gigi positif. Pemeriksaaan radiografi tidak tampak ada kelainan dan apeks

25

tertutup sempurna. Pasien dianjurkan untuk datang kembali setelah 1 tahun, dan 2
tahun, guna mengontrol keadaan giginya. Bila ada keluhan yang timbul
dianjurkan segera datang untuk pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut.
Perawatan
Alternatif perawatan yang dipilih pada kasus ini adalah pulpotomi.
Keuntungan pemilihan perawatan pulpotomi adalah pengambilan jaringan pulpa
terinfeksi seluruhnya pada kamar pulpa dan dapat mempertahankan pulpa vital
dalam saluran akar. Kasus ini menunjukkan pembentukkan akar yang masih
belum sempurna, dengan mempertahankan pulpa dalam saluran akar tetap sehat,
maka perkembangan akar akan terus berlanjut. Sedangkan parsial pulpotomi tidak
dilakukan karena pada perawatan ini hanya mengambil bagian tanduk pulpa
secara minimal. Pada pasien ini, pulpa sudah terbuka luas selama satu minggu,
kontaminasi bakteri diperkirakan sudah meluas hingga kamar pulpa. Sehingga
perawatan parsial pulpotomi tidak dilakukan.
Pasien datang dan dilakukan pulpotomi dengan kalsium hidroksida setelah
1 minggu mengalami trauma. Berbeda dengan pulpotomi yang biasa dilakukan
pada gigi dengan pulpa terbuka tidak lebih dari 72 jam. Hal ini tidaklah menjadi
masalah, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan Lucia Blanco, Stephen
Cohen ukuran pulpa yang terbuka serta waktu antara terjadinya trauma dengan
perawatan dan sempurnanya pembentukan akar merupakan salah satu hal yang
tidak terlalu penting untuk dapat mencapai perawatan pulpotomi yang optimal
(Lucian et al, 2002).
Selanjutnya dipilih bahan kalsium hidroksida yang berbentuk campuran pasta
base dan katalis. Bentuk campuran powder dan aquadest tidak dipilih karena
bahan ini tidak cukup kuat menerima tekanan sewaktu pengisian bahan restorasi.
Meskipun demikian campuran powder dan aquadest tetap masih dapat digunakan.
(Slamat, 1992).
Mengingat daerah pulpa pada saluran akar kini sudah terlindungi oleh
bahan kalsium hidroksida, selanjutnya dipilih bahan semen ionomer kaca sebagai

26

pendukung bahan pelindung. Semen ionomer kaca dipilih karena bahan ini
mampu melepaskan flour dan memiliki koefesian termal ekspansi yang sama
dengan jaringan gigi. Namun bahan ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu
dari segi estetis (Slamat, 1992).
Setelah dilakukan pulpotomi dengan kalsium hidroksida, diketahui bahwa
sudah terbentuk dentin sekunder pada minggu keempat. Menurut Ellis dan Davey
pembentukkkan dentin sekunder setelah 6-8 minggu perawatan. Namun
keberhasilan kasus ini sesuai dengan penelitian Lucia Blanco dan Stephen Cohen,
bahwa pada dasarnya formasi awal dari dentin sekunder sudah terbentuk 7 hari
setelah perawatan (Lucian et al, 2002).
Pada kontrol 6 bulan apeks telah tertutup sempurna sehingga gambaran
radiolusensi

menghilang.

Hasil

tersebut

menunjukkan

bahwa

dengan

mempertahankan pulpa tetap vital, maka perkembangan akar terus berlanjut.3


Kemudian diberikan restorasi resin komposit sebagai temporary permanent
restoration. Bahan ini digunakan sampai menunggu pasien usia dewasa sehingga
baru dapat dilakukan permanent restoration. Resin komposit menghasilkan
kualitas estetik yang baik, dapat dipoles dengan baik, dan mempunyai stabilitas
warna untuk waktu yang cukup lama (Slamat, 1992).

Kasus Kedua
Seorang anak wanita berumur 11 tahun dirujuk ke bagian gawat darurat
Rumah Sakit Siloam LippoVillage (SHLV), dari Rumah Sakit Siloam Jambi,
setelah 2 hari sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas jatuh tertabrak motor.
Pasien mendapatkan imunisasi tetanus sebelum mendapatkan perawatan di poli
gigi. Pemeriksaan ekstraoral memperlihatkan bekas jahitan daerah dagu kanan dan
laserasi di bawah bibir, tidak ada asimetris wajah. Pemeriksaan intraoral terlihat

27

gigi 22 intrusi parah sampai mahkota tidak terlihat, gigi 21 sedikit ekstrusi,
goyang, dan tidak fraktur, gigi 11 intrusi dan luksasi ke arah labial disertai
kerusakan tulang alveolar, gigi 12 goyang derajat 1 dan tidak fraktur. Palpasi
jaringan adanya fraktur alveolar bagian labial dan palatal, laserasi jaringan lunak
disertai perdarahan, dan pembengkakan (Gambar 1). Gambaran radiografis
memperlihatan akar gigi 11, 22 intrusi kedalam tulang alveolar dengan sangat
ekstrim, dan terlihat foramen apikal gigi 21, 12 sudah terbentuk sempurna tidak
terlihat kelainan periapikal maupun fraktur akar (Gambar 2). Diagnosis adalah
nekrosis pulpa akibat trauma intrusi pada gigi permanen insisif sentral atas kanan
dan insisif lateral atas kiri. Rencana terapi dilakukan reposisi bedah dilanjutkan
perawatan endodontik konvensional.
Pembahasan Kasus Kedua
Kunjungan pertama, keadaan gigi geligi sebelum di reposisi, gigi 11 dan
22 terlihat intrusi sangat parah, dan akar sudah terbentuk sempurna maka rencana
terapi dilakukan reposisi secara bedah. Reposisi bedah dengan anestesi lokal yang
sudah tertunda selama 6 hari dilakukan pada gigi 11 dan 22. Reposisi dilakukan
dengan menarik keluar secara hati-hati menggunakan tang dan dikembalikan ke
posisi semula. Gigi 21 yang sedikit ekstrusi ditekan ke dalam soket sehingga
posisi gigi kembali pada posisi yang normal. Tulang alveolar yang fraktur di
kembalikan ke posisinya, gingiva yang terbuka dijahit, dan untuk menstabilkan,
gigi di etsa di fiksasi dengan splin resin komposit. Stainlesteel arch wire
selanjutnya digunakan karena splin resin komposit sulit bertahan. Pemberian
antibiotik dan analgetik selama 7 hari, dan pasien diberitahu untuk tidak
mengunyah makanan yang keras dan menjaga kebersihan rongga mulut. Pasien
dikembalikan ke rawat inap untuk evaluasi pascaoperasi untuk kemudian pasien
kembali ke Jambi.
Kunjungan kedua, setelah 17 hari, pasien datang kembali. Saat ini
dipastikan gigi 11,21,22 menjadi nekrosis, lalu dilakukan perawatan saluran akar
dengan pengukuran panjang kerja yang dikurangi sedikit dari panjang kerja
sebenarnya, berturut-turut untuk masing-masing gigi. Gigi diirigasi dengan

28

NaOCl 2,5%, dikeringkan dengan kertas penghisap, lalu diisi pasta kalsium
hidroksida (Ca(OH)2) ditutup tumpatan sementara .
Kunjungan ketiga, pasien datang 2 bulan kemudian, splin metal terlepas
sehingga wire masuk ke dalam gusi. Gusi terlihat bengkak, kemudian diputuskan
untuk melepas splin metal dilepas dengan gigi masih goyang derajat dua.
Pemeriksaan objektif memperlihatkan gigi 12 mengalami luksasi derajat dua. Tes
vitalitas termal menggunakan dingin/panas menunjukkan hasil yang negatif.
Pemasangan splin resin komposit dilakukan untuk stabilisasi gigi 12. Perawatan
saluran akar dilanjutkan dengan melakukan pembukaan akses saluran akar gigi 12
yang dilanjutkan dengan pengukuran panjang kerja yang lebih panjang dari file
awal untuk masing-masing gigi. Selanjutnya dilakukan perawatan saluran akar
secara konvensional. Irigasi dilakukan dengan NaOCl 2,5%, dikeringkan dengan
kertas penghisap, lalu diisi dengan pasta Ca(OH)2 secara padat, ditutup dengan
tumpatan sementara.
Kunjungan keempat, tiga bulan setelah kunjungan ke-3 pasien datang
kontrol kembali, splin komposit dilepas, gigi masih goyang derajat satu. Perkusi
gigi tidak ada rasa sakit, palpasi daerah labial tidak ada kelainan. Pasien
dianjurkan kembali satu bulan lagi.
Kunjungan 5, satu bulan setelah kunjungan ke-4, gigi geligi sudah tidak
goyang. Tumpatan sementara dibuka dan dilakukan pembersihan saluran akar,
mencoba kon utama berturut-turut pada gigi 11,12,21,22, di irigasi dengan NaOCl
2,5%, dikeringkan kemudian dilakukan pengisian dengan pasta Ca(OH)2 yang
baru dan ditutup tumpatan sementara .
Kunjungan 6, sembilan bulan sejak kunjungan pertama, gigi 11, 12, 21, 22
stabil dan tidak goyang, perkusi negatif, dan tidak ada perubahan warna.
Tumpatan sementara dibuka, dilakukan pembersihan saluran akar, dan diirigasi
dengan NaOCl 2,5%. Pengisian saluran akar dilakukan dengan gutta percha dan
bahan pengisi saluran akar selanjutnya direstorasi dengan resin komposit
Kunjungan 7, dua bulan setelah kunjungan ke-6 pasien datang, gigi 11, 21
mengalami perubahan warna kebiruan (Gambar 5). Gigi tidak goyang, perkusi
negatif, dan tidak terdapat kelainan pada palpasi mukosa labial. Radiografis tidak

29

memperlihatkan adanya resorpsi akar eksternal atau internal, dan tidak ada
kelainan periapikal (Gambar 6). Untuk alasan estetis dianjurkan untuk dilakukan
internal bleaching atau restorasi mahkota porselen, namun tetapi karena prognosis
pascaintrusi memerlukan waktu cukup panjang, maka restorasi definitif ditunda
sampai terlihat interpretasi hasil yang lebih baik.

Gambar 12. Luksasi intrusi parah gigi 11 dan 22. Mahkota klinis gigi 22 tidak
terlihat terbenam ke dalam soketnya. Gigi 21 sedikit ekstrusi. Laserasi jaringan
lunak, fraktur tulang alveolar bagian palatal dan bukal, disertai perdarahan dan
pembengkakan

Gambar 13. Radiografis sebelum perawatan, gigi 11 dan 21 dengan intrusi parah, apeks
terdesak kedalam tulang alveolar sampai seperti gigi yang sedang erupsi

30

Gambar 14. Prosedur reposisi bedah yang telah dilakukan, dan prosedur etsa untuk
pemasangan splin resin komposit

Gambar 15. Pengukuran file awal gigi 11, 21, 21, 2 2 A : terlihat tidak mencapai panjang kerja; B:
intrakanal medikasi dengan pasta Ca(OH)2

Gambar 16. Perubahan warna pada gigi 11, 21 satu tahun setelah perawatan

31

Gambar 17. Radiografis setelah 12 bulan masa perawatan tidak terlihat resorpsi akar (ankilosis),
apeks telah terbentuk sempurna dan tidak terlihat kelainan periapikal. Gigi 24, 25
sudah erupsi dan 14, 15 belum erupsi

Luksasi intrusi khususnya pada gigi permanen merupakan kasus yang


jarang terjadi, dan mempunyai komplikasi paska perawatan yang sangat
bervariasi. Pemilihan terapi dan keberhasilan pascatrauma intrusi sampai saat ini,
belum disepakati. Melalui penelitian dalam periode 20 tahun (1983-2003)
sebenarnya belum ada persetujuan secara umum untuk perawatan yang terbaik
dari kasus intrusi pada gigi permanen. Strategi perawatan harus direncanakan
derajat keparahan intrusi dan pertumbuhan akar.

Menurut British Society of Pediatric Dentistry (BSPD) telah memberikan


pedoman perawatan kasus intrusi, seperti terlihat dalam Tabel

Perawatan
Dalam kasus ini, gigi 11 dan 22 mengalami intrusi yang sangat parah
sehingga mahkota gigi 22 tidak terlihat sama sekali terbenam masuk ke soket
32

lebih dari 6mm, dan gigi 11 intrusi dan luksasi ke labial. Perawatan pertama yang
dilakukan dalam kasus ini adalah mengembalikan gigi tersebut ke posisi semula
dengan reposisi secara bedah, seperti yang direkomendasikan sebelumnya, yaitu
perawatan pilihan bagi gigi permanen yang intrusi adalah dengan reposisi bedah.
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa trauma tambahan yang dapat terjadi pada
jaringan periodonsium pada saat reposisi bedah, dapat menambah kemungkinan
komplikasi paska bedah, seperti resorpsi akar eksterna dan kehilangan dukungan
tulang marginal (Caliskan, 1998). Analisis pada 58 gigi permanen yang intrusi dan
dilakukan reposisi bedah, menunjukkan bahwa semakin besar trauma saat
reposisi, semakin besar kemungkinan terjadinya ankilosis. Terjadinya hal tersebut
tidak mempengaruhi hilangnya dukungan tulang marginal, dengan demikian
bahwa reposisi bedah tidak terbukti meningkatkan terjadinya resorpsi dukungan
tulang marginal (Ebeleseder, 2000).
Sebagian besar kasus yang telah dipubkasikan menyatakan bahwa pilihan
perawatan untuk trauma instrusi pada gigi permanen dengan apeks tertutup lebih
mengarah pada reposisi ortodonti daripada reposisi bedah.7 Reposisi ortodonti
merupakan prosedur yang lebih biologis untuk gigi yang mengalami intrusi,
terutama bila intrusi tidak melebihi 6mm.
Nekrosis pulpa dinyatakan akan terjadi pada 100% kasus luksasi intrusi
yang parah pada gigi permanen dengan apeks tertutup.3,4,7 Gigi yang telah
direposisi selama 2 sampai 3 minggu harus dilakukan perawatan saluran akar.
Biasanya resorpsi akar akibat inflamasi akan terlihat secara radiografis 2 minggu
setelah trauma.2 Perawatan trauma pada kasus ini sudah tertunda selama 17 hari,
sehingga reposisi bedah lebih diutamakan dibandingkan reposisi ortodonti.
Pertimbangan lainnya adalah dengan reposisi bedah, akses ke saluran akar lebih
cepat dilaksanakan, sehingga perawatan endodonti dapat dilakukan sedini
mungkin dengan harapan dapat menghentikan resorpsi inflamasi (Al-Badri et al,
2002).
Menurut Royal College of Surgeons of England (RCSE), untuk kasus
intrusi kurang dari 3mm pada gigi permanen dengan apeks masih terbuka, reposisi
pasif (re-erupsi) spontan merupakan pilihan perawatan, karena gigi masih

33

mempunyai kemampuan untuk erupsi dan memperbaiki kerusakan jaringan pulpa


dan periodontium dengan baik (Chaushu et al, 2004). Re-erupsi ini terjadi
terutama bila gigi masih vital, dan jarang terjadi pada gigi yang nekrosis.7 Setelah
3 bulan pascatrauma gigi pada kasus ini, gigi 12 menjadi goyang derajat dua, dan
nonvital, sehingga dilakukan perawatan saluran akar. Perawatan juga dilakukan
pada gigi 12 yang tidak mengalami intrusi, tetapi kemungkinan mengalami
benturan yang parah saat trauma, sehingga dengan berjalannya waktu gigi menjadi
nekrosis.
Gigi intrusi yang sudah direposisi harus diberi splin, yang bertujuan
menstabilkan gigi dan mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap pulpa dan
jaringan periodontium selama proses penyembuhan.8 Splin yang baik untuk kasus
trauma adalah splin yang pasif bersifat fleksibel dan sementara, sehingga tidak
memberi beban tambahan pada gigi. Dalam kasus ini setelah reposisi bedah,
dilanjutkan dengan acid etch composite ligature wire splint. Dua bulan setelah
pemasangan splin lepas, gigi masih agak goyang lalu dipasang kembali splin resin
komposit dalam periode 3 bulan sampai gigi stabil dan tidak goyang. Lepasnya
splin disebabkan gigi pega ngan untuk menahan splin resin komposit hanya pada
gigi molar satu dan kedua gigi geraham susu dengan jarak serviko-oklusal yang
pendek sehingga tidak ada retensi, dan tidak kuat menahan mobilitas ke empat
gigi anterior yang goyang. Splin yang baik adalah yang bersifat pasif, tetapi bila
tidak ada retensi yang kuat maka splin akan terlepas. Pemilihan tipe splin
bergantung pada kondisi gigi pegangan dan parahnya kegoyangan yang terjadi.
Lamanya pemakaian splin bervariasi, bergantung parahnya trauma yang terjadi.
Periode pemakaian splin sekitar 6-8 minggu setelah reposisi, tetapi idealnya splin
harus dipakai sesingkat mungkin untuk memungkinkan jaringan periodonsium
mengalami proses penyembuhan fisiologis (Andreasen, 2006). Ca(OH)2 yang
dipakai pada setiap kunjungan sebagai obat saluran akar antar kunjungan
mempunyai potensi menyembuhkan kelainan periapeks. Ca(OH)2 dapat dipakai
sebagai bahan pengisi sementara untuk beberapa bulan sampai saluran akar siap
diisi

secara

tetap.

Kemampuan

biologis

Ca(OH)2

dalam

mendorong

penyembuhan dan potensi pembentukan jaringan keras disebabkan oleh pH basa

34

yang merubah lingkungan asam pada daerah resorpsi menjadi alkalis, sehingga
dapat menghambat osteoklas dan terjadi aktivasi osteoblas yang menstimulasi
pertumbuhan jaringan dan terjadinya deposisi jaringan keras (Murad et al, 2008).
Dalam kasus ini, 2 bulan setelah dilakukan pengisian saluran akar, gigi
berubah warna menjadi kebiruan hal ini merupakan salah satu komplikasi
pascaperawatan gigi yang mengalami trauma. Gigi yang mengalami trauma
terutama lukasi intrusi yang parah pada umumnya akan terjadi perdarahan
intrapulpa akibat putusnya pembuluh darah di mahkota gigi dan lisisnya eritrosit.
Keadaan ini menyebabkan dilepasnya produk disintegrasi darah seperti besi
sulfida masuk ke dalam tubulus dentin sehingga menyebabkan perubahan warna
gigi yang makin lama makin meningkat. Radiografis setelah 12 bulan perawatan,
tidak menunjukkan adanya resorpsi inflamasi ataupun resorpsi pengganti
(ankilosis). Untuk memperoleh interpretasi pascaperawatan yang lebih baik
dibutuhkan kontrol selanjutnya setiap tahun, selama periode lima tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Badri S, Kinirons M, Cole BO, Welbury RR. Factors affecting resorption in
traumatically intruded permanent incisors in children. Dent Traumatol.
2002;18:73-6.
Andreasen JO, Bakland LK, Andreasen FM. Traumatic intrusion of permanent
teeth. Part 3. A clinical study of the effect of treatment variables such as
treatment delay, method of repositioning, type of splint, length of splinting
and antibiotics on 140 teeth. Dent Traumatol. 2006;22:99-111.
Andreason JO, Andreasen FM, Andersson L, eds. Textbook and Color Atlas of
Traumatic Injuries to the Teeth. 4, illustr. Willey; 2007;217-254.

35

Caliskan MK. Surgical extrusion of a completely intruded permanent incisor. J


Endod. 1998;24:381- 4.
Cameron, A.C. and Widmer, R. P. Handbook of pediatric dentistry. 2 nd edition.
Philadelphia : Mosby. 2003.
Chaushu S, Shapira J, Heling I, Becker A. Emergency orthodontic treatment after
the traumatic intrusive luxation of maxillary incisors. Am J Orthod
Dentofacial Orthop. 2004;126:162-72.
Ebeleseder KA, Santler G, Hulla H, Pertl C. Quehenberger F. An analysis of 58
traumatically intruded and surgically extruded permanent teeth. Endod
Dent Traumatol. 2000;16:34-9.
Ellis, R.G and Davey,K.W. The Clasification and Treatment of Injuries To The
Teeth of Children, ed.5. Year Book med.Pub,Chicago. 1970, p.14-7, 91-5.
Finn

SB.

Clinical

Pedodontics.

4th

ed.

Philadelphia:W.B

Saunder

Company;1973:227-228.
Koch, G & Poulsen, S. Pediatric dentistry a clinical approach. 1st edition.
Copenhagen : Munksgaard. 2001.
Lucian Blanco, Stephen Cohen, Treatment of Crown Fractures With Exposed
Pulps, Journal of the California Dental Association, June 2002.
Murad C, Fariniuk LF, Fidel S, Fidel RA, Sassone LM. Bacterial leakage in root
canals filled with calcium hydroxide paste associated with different
vehicles. Braz Dent J. 2008;19:232-7.
Rajesh A, Vijay T, Raksha B. Traumatic Injuries to Anterior Teeth in School
Children of Southern. 2012;5(2):71-79.
Riyanti E. Penatalaksanaan Trauma Gigi Pada Anak. Jurnal Kedokteran Gigi
Anak Universitas Padjajaran;2010.
Slamat Tarigan, Sari Dental Material(Terjemahan dari Dental Material E.C.
Combe),Balai Pustaka, 1992 p.144-6. 176-8.
Sutadi H. Kiat Praktis Mengembalikan Fungsi Gigi Akibat Trauma pada Anak.
Kedokt Gigi Univ Indones.2003;10:41-45.
Yassen GH, Chin JR, Younus MS, Eckert GJ. Knowledge and attitude of dental
trauma among mothers in Iraq. Eur Arch Paediatr Dent. 2013;14(4):259-65

36

37

Anda mungkin juga menyukai