Operator:
Dwi Sri Lestari
111611101094
Instruktur :
drg. Roedy Budirahardjo, M.Kes. Sp.KGA.
BAGIAN PEDODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Trauma adalah kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh
2.1 Definisi
Trauma adalah kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh
tindakan-tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur
Riyanti, 2010). Traumatic Dental Injury (TDI) atau trauma gigi oleh Andreasen,
adalah transmisi akut energi pada gigi dan struktur pendukungnya yang
menyebabkan fraktur dan/atau pergeseran posisi gigi dan/atau lepasnya atau
2.3 Klasifikasi
Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi
anterior. Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi
menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari
World Health Organization (WHO) dalam Application of International
Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology. Ellis dan Davey
menyusun klasifikai trauma pada gigi anterior menurut banyaknya struktur gigi
yang terlibat, yaitu :
Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email.
Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin
tetapi belum melibatkan pulpa.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau
4
berdarah atau lecet. Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan beberapa
kelainan pada gigi tetap, antara lain hipoplasia email, hipokalsifikasi, dan
dilaserasi. Beberapa reaksi yang terjadi pada jaringan pulpa setelah gigi
mengalami trauma adalah hiperemi pulpa, diskolorisasi, resorpsi internal,
resorpsi eksternal, metamorfosis kalsifikasi pulpa gigi, dan nekrosis pulpa
(Riyanti, 2010).
2.4 Perawatan
Trauma gigi dapat mengenai satu atau lebih dari dua gigi sulung maupun gigi
tetap. Perawatan yang dilakukan harus berdasarkan pada diagnosa yang tepat.
Penanganan dini trauma gigi sangat berpengaruh pada vitalitas dan proses
penyembuhan gigi serta jaringan sekitarnya. Langkah-langkah penanganan yang
sebaiknya dilakukan adalah sebagai berikut:
A. Penanganan Umum, ditujukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat
meliputi:
1. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Salah satu cara untuk
memeriksa bayi dan anak-anak yang terkena trauma yaitu menidurkan anak pada
pangkuan ibu/ayah/atau pengasuh dengan pandangan ke atas. Tangan anak
diletakkan di bawah tangan ibu dan dokter gigi duduk di depan ibu dengan kepala
anak terletak pada pangkuannya. Posisi demikian dapat memungkinkan dokter
gigi untuk dapat melihat kedua rahang anak. Dokter gigi dapat menggunakan molt
mouth-prop atau mengikat jari tangannya dengan menggunakan bantalan dan
adhesive tape (Koch and Poulsen, 2001).
mengurangi
jumlah
jaringan
yang
mati
dan
resiko
adanya
keadaan
10
kemungkinan terjadi kerusakan pada gigi tetap di bawahnya (Koch and Poulsen,
2001).
\
Gambar 3. Ilustrasi gangguan perkembangan benih gigi permanen pada anak
11
12
13
1.10 Avulsi
Pada gigi sulung yang mengalami avulsi replantasi merupakan
kontraindikasi oleh karena koagulum yang terbentuk akan mengganggu benih gigi
tetap.
2. Perawatan segera pada trauma gigi tetap
Trauma pada gigi tetap umumnya terjadi pada anak antara usia 8-11 tahun.
Pada usia ini apeks gigi tetap belum tertutup sempurna, sehingga perawatan yang
dilakukan diharapkan dapat tetap mempertahankan proses penutupan apeks dan
vitalitas gigi dapat dipertahankan (Koch and Poulsen, 2001)..
2.1 Fraktur mahkota
Fraktur mahkota yang terjadi dapat berupa infraksi email, fraktur email, dan
fraktur email-dentin.
2.1.1 Infraksi email
Infraksi adalah fraktu inkomplit tanpa hilangnya substansi gigi dan garis
fraktur berujung pada enamel dentinal junction. Garis infraksi akan terlihat jelas
dengan menggunakan cahaya langsung dengan arah paralel terhadap sumbu
panjang gigi. Tidak diperlukan perawatan khusus pada kasus ini dan pasien hanya
disarankan untuk kontrol rutin untuk pemeriksaan gigi.
2.1.2 Fraktur email
Pada fraktur ini akan tampak sedikit bagian email hilang. Tidak semua
fraktur email dilakukan penambalan oleh karena pada beberapa kasus batas sudut
14
(2). Letakkan mahkota seluloid dan beri 2 lubang sebagai jalan keluar udara saat
dilakukan insersi.
(3). Pilih warna resin komposit yang sesuai.
(4). Agar daerah kerja tetap kering hendaknya menggunakan rubber dam.
(5). Lakukan etsa kira-kira 2-3 mm pada email permukaan fraktur lalu bilas dan
keringkan.
(5). Ulaskan bonding agent.
(6). Masukkan resin komposit ke dalam mahkota seluloid dan letakkan mahkota
seluloid pada posisi yang benar.
(7). Lakukan penyinaran dari arah bukal dan palatal.
(8). Lepas rubber dam dan mahkota seluloid dengan menggunakan scalpel lalu
poles dengan menggunakan bur diamond dan disk.
2.1.4 Complicated crown fracture
Fraktur ini melibatkan email dan dentin dengan disertai terlibatnya sedikit
kamar pulpa. Tujuan perawatan adalah untuk mempertahankan vitalitas. Jenis
perawatan yang dapat dilakukan adalah direct pulp capping dan pulpotomi parsial.
1). Direct pulp capping
Indikasi perawatan ini adalah keadaan pulpa baik, tidak terjadi lukasi yang
disertai kerusakan pada suplai darah di daerah apeks, bagian pulpa terbuka kurang
dari 1 mm, jarak waktu antara terbukanya pulpa dan perawatan kurang dari 24
jam, dan restorasi yang akan dibuat dapat mencegah masuknya bakteri.
Langkah-langkah direct pulp capping adalah:
(1). Isolasi gigi dengan menggunakan rubber dam atau cotton roll.
(2). Bersihkan permukaan fraktur menggunakan cotton pellets lembab yang telah
dicelupkan pada NaCl fisiologis atau klorheksidin.
(3). Keringkan bagian pulpa yang terbuka dengan menggunakan cotton pellets
steril.
(4). Daerah perforasi tutup dengan pasta kalsium hidroksida.
(5). Tutup dengan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, melekatkan
kembali fragmen mahkota atau composite build-up.
16
17
18
19
Gambar 8. (a). Subluksasi pada gigi insisif sentral kiri dan kanan atas
(b). Pemasangan spling pada keempat gigi anterior rahang Atas
20
(2). Palpasi daerah lekukan sulkus dan pastikan letak apeks. Lakukan penekanan
dengan perlahan dan tekan daerah insisal agar gigi dapat bergerak ke arah asal
melalui fenestrasi di dalam soket.
(3). Reposisi gigi kembali ke posisi asal melalui arah tekan yang berlawanan.
(4). Lakukan reposisi tulang yang fraktur menggunakan tekanan jari.
(5). Lakukan foto rontgen untuk memastikan posisi yang benar.
(6). Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
(7). Pertahankan splint minimal 3-4 minggu.
(8). Pembuatan foto rontgen setelah kira-kira 3 minggu bila tidak menunjukkan
keretakan pada tulang marginal maka splint dipertahankan sampai 3-4 minggu
berikutnya.
2.8. Intrusive luxation
Intrusive luxation merupakan kasus luksasi yang sulit dan keberhasilan
perawatan masih diperdebatkan. Beberapa petunjuk dalam merawat intrusive
luxation adalah sebagai berikut:
(1). Reposisi segera melalui tindakan pembedahan merupakan tindakan beresiko
olah karena dapat menyebabkan resorpsi akar eksternal dan hilangnya jaringan
pendukung marginal. Reposisi secara bedah hendaknya dihindari apabila gigi
masuk ke dalam dasar hidung atau keluar dari jaringan lunak vestibulum.
(2). Beberapa kasus gigi intrusi dapat dikembalikan ke posisi semula melalui
perawatan ortodontik dan reerupsi spontan. Pemilihan teknik perawatan
bergantung pada tingkat keparahan intrusi dan kemungkinan terjadinya resorpsi
eksternal. Perawatan endodontik dapat mulai dilakukan setelah 2-3 minggu
kemudian. Apabila reerupsi spontan dirasakan cukup memakan waktu lama maka
dipertimbangkan untuk dilakukan dengan menggunakan alat-alat ortodontik.
21
Gambar 10. (a) Intrusive luxation gigi insisif sentral kanan atas
(b).Setelah 4 minggu gigi kembali erupsi dengan pemasangan alat
ortodontik
2.9 Avulsi
Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat terjadinya
trauma:
(1). Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar pada soketnya
sesegera mungkin.
(2). Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila
tidak memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu.
(3). Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.
Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek:
(1). Lakukan anestesi lokal.
(2). Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe.
(3). Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis.
(4). Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari.
(5). Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan
kembali gigi dan tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada
posisinya dan ulangi kembali replantasi.
(6). Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah
benar.
(7). Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
(8). Berikan antibiotika selama 4-5 hari.
(9). Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan
sesuatu.
22
Gambar 11. (a). Gigi insisif sentral kiri atas mengalami avulsi
(b). Cara mengembalikan gigi ke dalam soket
(c). Pemasangan splint pada gigi yang sudah direplantasi
23
(4). Apabila pada foto rontgen terlihat tanda-tanda nekrosis pulpa dan adanya
gambaran radiolusen di daerah apikal dengan atau tanpa disertai resorpsi akar
eksternal maka perawatan saluran akar harus segera dilakukan.
(5). Pada gigi dengan apeks belum tertutup dianjurkan untuk dilakukan
pembuatan foto rontgen setiap 2 minggu sekali sampai terlihat pulpa tidak
nekrosis dan penutupan apeks terjadi.
BAB 3. PEMBAHASAN
Kasus Pertama
Tinggi badan 133 cm dan berat nadan 29 Kg, datang ke klinik Kedokteran
Gigi Anak FKG UI pada tanggal 2 Juli 2003, dengan keluhan gigi depan atas sakit
atau ngilu bila makan makanan manis dan minuman dingin. 1 minggu yang lalu
sebelum penderita jatuh dilantai saat berlari didalam rumah dan gigi depan atas
24
patah sebagian. Keadaan umum anak baik, dapat berkomunikasi, tidak dalam
perawatan dokter, anak dalam keadaan sehat, tidak mempunyai kebiasaan buruk.
Pemeriksaan ekstra oral muka simetris, tidak ada pembengkakan kelenjar getah
bening, sub mandibular dan sub mentalis. Pada pemeriksaan intra oral, tidak ada
kelainan jaringan lunak. Status oklusi klasifikasi Angle kelas I tipe 2, dengan
multiple diastema. Skor plak 15 dengan indeks plak 2,5. Gigi 21 mengalami
fraktur mahkota dengan pulpa terbuka. Pada perabaaan dengan kapas
menimbulkan rasa ngilu. Tidak terdapat nyeri tekan dan kegoyangan pada gigi
tersebut. Gambaran radiografik gigi 21: menampakkan mahkota fraktur sepertiga
tengah, sudah mencapai pulpa, dan adanya radiolusensi di daerah apical karena
apeks gigi belum tertutup sempurna.
Pembahasan Kasus Pertama
Diagnosa 21 fraktur mahkota mencapai pulpa, vital (menurut klasifikasi
ELLIS, fraktur III) Pemeriksaan karies dijumpai 75,85 KMP non vital dengan
gambaran radiografis resorbsi akar sudah mencapai seperiga servikal, benih gigi
tetap 35,45 sudah menembus tulang dan pertumbuhan gigi tetap sudah mencapai
sepertiga servikal. Gigi 54 karies dentin, 55, 13,23 karies email. Rencana
perawatan sebagai berikut: DHE dan OP, 21 pulpotomi dengan Ca (OH)2
dengan restorasi komposit. Perawatan gigi lain sesuai dengan indikasi dan topical
aplikasi dengan larutan flour dan pro orthodonti.
Pada kunjungan pertama,dilakukan pemeriksaan lengkap, DHE dan OP,
gigi 21 pulpotomi dengan Ca(OH)2 dan di semen dengan semen ionomer kaca.
Seminggu kemudian dilakukan kontrol, tidak ada keluhan dan secara klinis tidak
ditemukan adanya kelainan. Pada minggu keempat dilakukan kontrol secara klinis
dan radiografis. Secara klinis tak ada keluhan dan kelainan. Dan hasil rontgen
menunjukkan terbentuknya dentin sekunder. Selanjutnya dilakukan restorasi resin
komposit. Dilakukan kontrol 1 minggu dan hasilnya tumpatan masih baik. Kontrol
setelah 1 bulan menunjukkan tumpatan juga masih baik, dan reaksi positif atas
rasa dingin. Kontrol setelah 6 bulan memperlihatkan tumpatan masih baik, serta
vitalitas gigi positif. Pemeriksaaan radiografi tidak tampak ada kelainan dan apeks
25
tertutup sempurna. Pasien dianjurkan untuk datang kembali setelah 1 tahun, dan 2
tahun, guna mengontrol keadaan giginya. Bila ada keluhan yang timbul
dianjurkan segera datang untuk pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut.
Perawatan
Alternatif perawatan yang dipilih pada kasus ini adalah pulpotomi.
Keuntungan pemilihan perawatan pulpotomi adalah pengambilan jaringan pulpa
terinfeksi seluruhnya pada kamar pulpa dan dapat mempertahankan pulpa vital
dalam saluran akar. Kasus ini menunjukkan pembentukkan akar yang masih
belum sempurna, dengan mempertahankan pulpa dalam saluran akar tetap sehat,
maka perkembangan akar akan terus berlanjut. Sedangkan parsial pulpotomi tidak
dilakukan karena pada perawatan ini hanya mengambil bagian tanduk pulpa
secara minimal. Pada pasien ini, pulpa sudah terbuka luas selama satu minggu,
kontaminasi bakteri diperkirakan sudah meluas hingga kamar pulpa. Sehingga
perawatan parsial pulpotomi tidak dilakukan.
Pasien datang dan dilakukan pulpotomi dengan kalsium hidroksida setelah
1 minggu mengalami trauma. Berbeda dengan pulpotomi yang biasa dilakukan
pada gigi dengan pulpa terbuka tidak lebih dari 72 jam. Hal ini tidaklah menjadi
masalah, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan Lucia Blanco, Stephen
Cohen ukuran pulpa yang terbuka serta waktu antara terjadinya trauma dengan
perawatan dan sempurnanya pembentukan akar merupakan salah satu hal yang
tidak terlalu penting untuk dapat mencapai perawatan pulpotomi yang optimal
(Lucian et al, 2002).
Selanjutnya dipilih bahan kalsium hidroksida yang berbentuk campuran pasta
base dan katalis. Bentuk campuran powder dan aquadest tidak dipilih karena
bahan ini tidak cukup kuat menerima tekanan sewaktu pengisian bahan restorasi.
Meskipun demikian campuran powder dan aquadest tetap masih dapat digunakan.
(Slamat, 1992).
Mengingat daerah pulpa pada saluran akar kini sudah terlindungi oleh
bahan kalsium hidroksida, selanjutnya dipilih bahan semen ionomer kaca sebagai
26
pendukung bahan pelindung. Semen ionomer kaca dipilih karena bahan ini
mampu melepaskan flour dan memiliki koefesian termal ekspansi yang sama
dengan jaringan gigi. Namun bahan ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu
dari segi estetis (Slamat, 1992).
Setelah dilakukan pulpotomi dengan kalsium hidroksida, diketahui bahwa
sudah terbentuk dentin sekunder pada minggu keempat. Menurut Ellis dan Davey
pembentukkkan dentin sekunder setelah 6-8 minggu perawatan. Namun
keberhasilan kasus ini sesuai dengan penelitian Lucia Blanco dan Stephen Cohen,
bahwa pada dasarnya formasi awal dari dentin sekunder sudah terbentuk 7 hari
setelah perawatan (Lucian et al, 2002).
Pada kontrol 6 bulan apeks telah tertutup sempurna sehingga gambaran
radiolusensi
menghilang.
Hasil
tersebut
menunjukkan
bahwa
dengan
Kasus Kedua
Seorang anak wanita berumur 11 tahun dirujuk ke bagian gawat darurat
Rumah Sakit Siloam LippoVillage (SHLV), dari Rumah Sakit Siloam Jambi,
setelah 2 hari sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas jatuh tertabrak motor.
Pasien mendapatkan imunisasi tetanus sebelum mendapatkan perawatan di poli
gigi. Pemeriksaan ekstraoral memperlihatkan bekas jahitan daerah dagu kanan dan
laserasi di bawah bibir, tidak ada asimetris wajah. Pemeriksaan intraoral terlihat
27
gigi 22 intrusi parah sampai mahkota tidak terlihat, gigi 21 sedikit ekstrusi,
goyang, dan tidak fraktur, gigi 11 intrusi dan luksasi ke arah labial disertai
kerusakan tulang alveolar, gigi 12 goyang derajat 1 dan tidak fraktur. Palpasi
jaringan adanya fraktur alveolar bagian labial dan palatal, laserasi jaringan lunak
disertai perdarahan, dan pembengkakan (Gambar 1). Gambaran radiografis
memperlihatan akar gigi 11, 22 intrusi kedalam tulang alveolar dengan sangat
ekstrim, dan terlihat foramen apikal gigi 21, 12 sudah terbentuk sempurna tidak
terlihat kelainan periapikal maupun fraktur akar (Gambar 2). Diagnosis adalah
nekrosis pulpa akibat trauma intrusi pada gigi permanen insisif sentral atas kanan
dan insisif lateral atas kiri. Rencana terapi dilakukan reposisi bedah dilanjutkan
perawatan endodontik konvensional.
Pembahasan Kasus Kedua
Kunjungan pertama, keadaan gigi geligi sebelum di reposisi, gigi 11 dan
22 terlihat intrusi sangat parah, dan akar sudah terbentuk sempurna maka rencana
terapi dilakukan reposisi secara bedah. Reposisi bedah dengan anestesi lokal yang
sudah tertunda selama 6 hari dilakukan pada gigi 11 dan 22. Reposisi dilakukan
dengan menarik keluar secara hati-hati menggunakan tang dan dikembalikan ke
posisi semula. Gigi 21 yang sedikit ekstrusi ditekan ke dalam soket sehingga
posisi gigi kembali pada posisi yang normal. Tulang alveolar yang fraktur di
kembalikan ke posisinya, gingiva yang terbuka dijahit, dan untuk menstabilkan,
gigi di etsa di fiksasi dengan splin resin komposit. Stainlesteel arch wire
selanjutnya digunakan karena splin resin komposit sulit bertahan. Pemberian
antibiotik dan analgetik selama 7 hari, dan pasien diberitahu untuk tidak
mengunyah makanan yang keras dan menjaga kebersihan rongga mulut. Pasien
dikembalikan ke rawat inap untuk evaluasi pascaoperasi untuk kemudian pasien
kembali ke Jambi.
Kunjungan kedua, setelah 17 hari, pasien datang kembali. Saat ini
dipastikan gigi 11,21,22 menjadi nekrosis, lalu dilakukan perawatan saluran akar
dengan pengukuran panjang kerja yang dikurangi sedikit dari panjang kerja
sebenarnya, berturut-turut untuk masing-masing gigi. Gigi diirigasi dengan
28
NaOCl 2,5%, dikeringkan dengan kertas penghisap, lalu diisi pasta kalsium
hidroksida (Ca(OH)2) ditutup tumpatan sementara .
Kunjungan ketiga, pasien datang 2 bulan kemudian, splin metal terlepas
sehingga wire masuk ke dalam gusi. Gusi terlihat bengkak, kemudian diputuskan
untuk melepas splin metal dilepas dengan gigi masih goyang derajat dua.
Pemeriksaan objektif memperlihatkan gigi 12 mengalami luksasi derajat dua. Tes
vitalitas termal menggunakan dingin/panas menunjukkan hasil yang negatif.
Pemasangan splin resin komposit dilakukan untuk stabilisasi gigi 12. Perawatan
saluran akar dilanjutkan dengan melakukan pembukaan akses saluran akar gigi 12
yang dilanjutkan dengan pengukuran panjang kerja yang lebih panjang dari file
awal untuk masing-masing gigi. Selanjutnya dilakukan perawatan saluran akar
secara konvensional. Irigasi dilakukan dengan NaOCl 2,5%, dikeringkan dengan
kertas penghisap, lalu diisi dengan pasta Ca(OH)2 secara padat, ditutup dengan
tumpatan sementara.
Kunjungan keempat, tiga bulan setelah kunjungan ke-3 pasien datang
kontrol kembali, splin komposit dilepas, gigi masih goyang derajat satu. Perkusi
gigi tidak ada rasa sakit, palpasi daerah labial tidak ada kelainan. Pasien
dianjurkan kembali satu bulan lagi.
Kunjungan 5, satu bulan setelah kunjungan ke-4, gigi geligi sudah tidak
goyang. Tumpatan sementara dibuka dan dilakukan pembersihan saluran akar,
mencoba kon utama berturut-turut pada gigi 11,12,21,22, di irigasi dengan NaOCl
2,5%, dikeringkan kemudian dilakukan pengisian dengan pasta Ca(OH)2 yang
baru dan ditutup tumpatan sementara .
Kunjungan 6, sembilan bulan sejak kunjungan pertama, gigi 11, 12, 21, 22
stabil dan tidak goyang, perkusi negatif, dan tidak ada perubahan warna.
Tumpatan sementara dibuka, dilakukan pembersihan saluran akar, dan diirigasi
dengan NaOCl 2,5%. Pengisian saluran akar dilakukan dengan gutta percha dan
bahan pengisi saluran akar selanjutnya direstorasi dengan resin komposit
Kunjungan 7, dua bulan setelah kunjungan ke-6 pasien datang, gigi 11, 21
mengalami perubahan warna kebiruan (Gambar 5). Gigi tidak goyang, perkusi
negatif, dan tidak terdapat kelainan pada palpasi mukosa labial. Radiografis tidak
29
memperlihatkan adanya resorpsi akar eksternal atau internal, dan tidak ada
kelainan periapikal (Gambar 6). Untuk alasan estetis dianjurkan untuk dilakukan
internal bleaching atau restorasi mahkota porselen, namun tetapi karena prognosis
pascaintrusi memerlukan waktu cukup panjang, maka restorasi definitif ditunda
sampai terlihat interpretasi hasil yang lebih baik.
Gambar 12. Luksasi intrusi parah gigi 11 dan 22. Mahkota klinis gigi 22 tidak
terlihat terbenam ke dalam soketnya. Gigi 21 sedikit ekstrusi. Laserasi jaringan
lunak, fraktur tulang alveolar bagian palatal dan bukal, disertai perdarahan dan
pembengkakan
Gambar 13. Radiografis sebelum perawatan, gigi 11 dan 21 dengan intrusi parah, apeks
terdesak kedalam tulang alveolar sampai seperti gigi yang sedang erupsi
30
Gambar 14. Prosedur reposisi bedah yang telah dilakukan, dan prosedur etsa untuk
pemasangan splin resin komposit
Gambar 15. Pengukuran file awal gigi 11, 21, 21, 2 2 A : terlihat tidak mencapai panjang kerja; B:
intrakanal medikasi dengan pasta Ca(OH)2
Gambar 16. Perubahan warna pada gigi 11, 21 satu tahun setelah perawatan
31
Gambar 17. Radiografis setelah 12 bulan masa perawatan tidak terlihat resorpsi akar (ankilosis),
apeks telah terbentuk sempurna dan tidak terlihat kelainan periapikal. Gigi 24, 25
sudah erupsi dan 14, 15 belum erupsi
Perawatan
Dalam kasus ini, gigi 11 dan 22 mengalami intrusi yang sangat parah
sehingga mahkota gigi 22 tidak terlihat sama sekali terbenam masuk ke soket
32
lebih dari 6mm, dan gigi 11 intrusi dan luksasi ke labial. Perawatan pertama yang
dilakukan dalam kasus ini adalah mengembalikan gigi tersebut ke posisi semula
dengan reposisi secara bedah, seperti yang direkomendasikan sebelumnya, yaitu
perawatan pilihan bagi gigi permanen yang intrusi adalah dengan reposisi bedah.
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa trauma tambahan yang dapat terjadi pada
jaringan periodonsium pada saat reposisi bedah, dapat menambah kemungkinan
komplikasi paska bedah, seperti resorpsi akar eksterna dan kehilangan dukungan
tulang marginal (Caliskan, 1998). Analisis pada 58 gigi permanen yang intrusi dan
dilakukan reposisi bedah, menunjukkan bahwa semakin besar trauma saat
reposisi, semakin besar kemungkinan terjadinya ankilosis. Terjadinya hal tersebut
tidak mempengaruhi hilangnya dukungan tulang marginal, dengan demikian
bahwa reposisi bedah tidak terbukti meningkatkan terjadinya resorpsi dukungan
tulang marginal (Ebeleseder, 2000).
Sebagian besar kasus yang telah dipubkasikan menyatakan bahwa pilihan
perawatan untuk trauma instrusi pada gigi permanen dengan apeks tertutup lebih
mengarah pada reposisi ortodonti daripada reposisi bedah.7 Reposisi ortodonti
merupakan prosedur yang lebih biologis untuk gigi yang mengalami intrusi,
terutama bila intrusi tidak melebihi 6mm.
Nekrosis pulpa dinyatakan akan terjadi pada 100% kasus luksasi intrusi
yang parah pada gigi permanen dengan apeks tertutup.3,4,7 Gigi yang telah
direposisi selama 2 sampai 3 minggu harus dilakukan perawatan saluran akar.
Biasanya resorpsi akar akibat inflamasi akan terlihat secara radiografis 2 minggu
setelah trauma.2 Perawatan trauma pada kasus ini sudah tertunda selama 17 hari,
sehingga reposisi bedah lebih diutamakan dibandingkan reposisi ortodonti.
Pertimbangan lainnya adalah dengan reposisi bedah, akses ke saluran akar lebih
cepat dilaksanakan, sehingga perawatan endodonti dapat dilakukan sedini
mungkin dengan harapan dapat menghentikan resorpsi inflamasi (Al-Badri et al,
2002).
Menurut Royal College of Surgeons of England (RCSE), untuk kasus
intrusi kurang dari 3mm pada gigi permanen dengan apeks masih terbuka, reposisi
pasif (re-erupsi) spontan merupakan pilihan perawatan, karena gigi masih
33
secara
tetap.
Kemampuan
biologis
Ca(OH)2
dalam
mendorong
34
yang merubah lingkungan asam pada daerah resorpsi menjadi alkalis, sehingga
dapat menghambat osteoklas dan terjadi aktivasi osteoblas yang menstimulasi
pertumbuhan jaringan dan terjadinya deposisi jaringan keras (Murad et al, 2008).
Dalam kasus ini, 2 bulan setelah dilakukan pengisian saluran akar, gigi
berubah warna menjadi kebiruan hal ini merupakan salah satu komplikasi
pascaperawatan gigi yang mengalami trauma. Gigi yang mengalami trauma
terutama lukasi intrusi yang parah pada umumnya akan terjadi perdarahan
intrapulpa akibat putusnya pembuluh darah di mahkota gigi dan lisisnya eritrosit.
Keadaan ini menyebabkan dilepasnya produk disintegrasi darah seperti besi
sulfida masuk ke dalam tubulus dentin sehingga menyebabkan perubahan warna
gigi yang makin lama makin meningkat. Radiografis setelah 12 bulan perawatan,
tidak menunjukkan adanya resorpsi inflamasi ataupun resorpsi pengganti
(ankilosis). Untuk memperoleh interpretasi pascaperawatan yang lebih baik
dibutuhkan kontrol selanjutnya setiap tahun, selama periode lima tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Badri S, Kinirons M, Cole BO, Welbury RR. Factors affecting resorption in
traumatically intruded permanent incisors in children. Dent Traumatol.
2002;18:73-6.
Andreasen JO, Bakland LK, Andreasen FM. Traumatic intrusion of permanent
teeth. Part 3. A clinical study of the effect of treatment variables such as
treatment delay, method of repositioning, type of splint, length of splinting
and antibiotics on 140 teeth. Dent Traumatol. 2006;22:99-111.
Andreason JO, Andreasen FM, Andersson L, eds. Textbook and Color Atlas of
Traumatic Injuries to the Teeth. 4, illustr. Willey; 2007;217-254.
35
SB.
Clinical
Pedodontics.
4th
ed.
Philadelphia:W.B
Saunder
Company;1973:227-228.
Koch, G & Poulsen, S. Pediatric dentistry a clinical approach. 1st edition.
Copenhagen : Munksgaard. 2001.
Lucian Blanco, Stephen Cohen, Treatment of Crown Fractures With Exposed
Pulps, Journal of the California Dental Association, June 2002.
Murad C, Fariniuk LF, Fidel S, Fidel RA, Sassone LM. Bacterial leakage in root
canals filled with calcium hydroxide paste associated with different
vehicles. Braz Dent J. 2008;19:232-7.
Rajesh A, Vijay T, Raksha B. Traumatic Injuries to Anterior Teeth in School
Children of Southern. 2012;5(2):71-79.
Riyanti E. Penatalaksanaan Trauma Gigi Pada Anak. Jurnal Kedokteran Gigi
Anak Universitas Padjajaran;2010.
Slamat Tarigan, Sari Dental Material(Terjemahan dari Dental Material E.C.
Combe),Balai Pustaka, 1992 p.144-6. 176-8.
Sutadi H. Kiat Praktis Mengembalikan Fungsi Gigi Akibat Trauma pada Anak.
Kedokt Gigi Univ Indones.2003;10:41-45.
Yassen GH, Chin JR, Younus MS, Eckert GJ. Knowledge and attitude of dental
trauma among mothers in Iraq. Eur Arch Paediatr Dent. 2013;14(4):259-65
36
37